Jika makmumnya terdiri dari laki-laki dan perempuan maka makmum perempuan berdiri di

tirto.id - MUI menerbitkan fatwa mengenai ketentuan beribadah selama pandemi COVID-19 pada Maret 2020. Salah satu isinya adalah imbauan boleh tidak salat lima waktu di masjid, bahkan salat Jumat juga, dengan menggantinya menjadi salat Zuhur di rumah. Hal ini dikhawatirkan bahwa kerumunan di tempat ibadah dapat menyebarkan virus corona SARS-CoV-2. Wabah COVID-19 ini dianalogikan dengan 'wabah taun' yang disabdakan Nabi Muhammad SAW: "Wabah taun adalah suatu ayat, tanda kekuasaan Allah SWT yang sangat menyakitkan, yang ditimpakan kepada orang-orang dari hambaNya. Jika kalian mendengar berita dengan adanya wabah taun, maka jangan sekali-kali memasuki daerahnya, jika taun telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka janganlah kalian keluar darinya,” (H.R. Muslim).
Di riwayat lain, Rasulullah SAW juga bersabda: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (H.R. Bukhari). Menurut imbauan MUI, umat Islam diharapkan tidak membuat kerumunan selama beribadah, termasuk salat berjamaah di masjid, jika keadaannya membahayakan kesehatan masyarakat luas. Salat wajib lima waktu berjamaah di masjid dapat diganti dengan salat di rumah bersama keluarga. Dalam keadaan ini, jumlah jamaah salat biasanya tidak sebanyak ketika berada di masjid.

Baca juga: Isi Lengkap Fatwa MUI tentang Sholat Jumat Saat Pandemi COVID-19

Terdapat beberapa posisi salat berjamaah yang lazim dipraktikkan di rumah, yaitu:

1. Imam dengan jumlah makmum dua orang atau lebih

Jika makmum dalam salat berjamaah jumlahnya lebih dari dua orang, maka makmum membentuk barisan. Posisi ini paling mudah dilakukan karena persis seperti kondisi salat berjamaah di masjid sebelum wabah COVID-19.

2. Imam dengan satu orang makmum laki-laki

Jika makmum sendirian saja bersama imam, maka posisinya berdiri sejajar dengan imam. Imam berada di sebelah kanan dan makmum di sebelah kiri. Dalilnya bersandar pada riwayat Abdullah bin ‘Abbas RA, ia berkata: “Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah binti Al-Harits (istri Rasulullah SAW). Aku melihat Rasulullah SAW salat Isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan salat empat rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian, beliau bangun malam. Aku pun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau salat lima rakaat, kemudian salat dua rakaat, lalu tidur kembali,” (H.R. Bukhari).

3. Makmum berjenis kelamin perempuan

Jika seseorang mengimami makmum berjenis kelamin perempuan, baik itu jumlahnya satu atau lebih dari seorang, maka posisi makmum di belakang imam. Rujukannya adalah riwayat dari Anas bin Malik RA, ia berkata: “Aku salat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi SAW, dan ibuku, Ummu Sulaim di belakang kami,” (H.R. Bukhari dan Muslim).

4. Perempuan mengimami makmum perempuan

Jika tak ada laki-laki di waktu salat, maka perempuan boleh menjadi imam. Kalau jumlahnya dua orang, maka posisinya sama dengan posisi laki-laki berdua di atas. Namun, jika jumlah perempuannya lebih dari dua orang, maka imam perempuan posisinya berada di tengah jamaah. Hal ini dirujuk dari Rabthah al-Hanafiyah, ia berkata : "Aisyah RA pernah mengimami para wanita dan ia berdiri di antara mereka dalam salat wajib,” (H.R. Abdurrazaq dan Baihaqi).

5. Salat di ruangan sempit

Jika kondisi ruangan salat berada di tempat sempit sehingga posisi imam tidak dapat berada di tempat ideal, maka posisinya sebaiknya menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan. Rujukannya adalah riwayat dari Al-Aswad bin Yazid, ia berkata: “Aku bersama Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami: 'Apakah kalian sudah salat?' Kami berkata: 'belum.' Beliau mengatakan: 'Kalau begitu bangunlah dan salat!'

Maka kami pergi untuk salat bermakmum kepada beliau. Beliau memposisikan salah satu dari kami di sebelah kanan beliau dan yang lain di kiri beliau … beliau lalu berkata: 'Demikianlah yang aku lihat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Muslim dan Nasa'i).


Secara umum, sebagaimana dilansir NU Online, posisi makmum laki-laki yang sudah balig berada di saf atau barisan paling depan, lalu ketika saf awal tidak cukup, dilanjutkan pada saf selanjutnya, lalu di belakang barisan laki-laki dewasa ditempati oleh anak kecil laki-laki yang belum baligh, lalu saf selanjutnya ditempati oleh khuntsa (orang berkelamin ganda), lalu saf selanjutnya ditempati oleh para makmum perempuan.Sebaiknya anak kecil tidak menempati saf-saf depan selama masih ada laki-laki dewasa yang akan menempatinya, karena posisi ideal bagi anak kecil adalah di belakang laki-laki dewasa. Akan tetapi, ketika saf awal tidak penuh, anak kecil barulah boleh menempati saf-saf depan yang sejajar dengan laki-laki balig. Tujuannya untuk menyempurnakan saf. Hal ini dikecualikan jika anak kecil itu memang datang lebih awal dibandingkan dengan orang-orang yang telah balig, maka ia boleh menempati saf depan.


Baca juga artikel terkait SALAT atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi

Shalat adalah ibadah rutin yang sudah seharusnya setiap muslim dan muslimah memperhatikan tentang shalatnya apakah sudah sesuai dengan tuntunan syariat atau belum. Terutama dalam shalat berjama’ah, ada yang mesti diperhatikan yaitu posisi imam dan makmum. Bagaimana posisi imam dan makmum yang seharusnya? Yuk kita simak pembahasannya.

Pendahuluan Tentang Shalat Berjama’ah

Telah kita ketahui bersama wajibnya shalat berjama’ah bagi kaum laki-laki. Dan bahwasanya shalat berjamaah wajib dilaksanakan di masjid kecuali ketika ada udzur. Simak kembali serial artikel “Keutamaan dan Kewajiban Shalat Berjamaah” dan juga artikel “Apakah Shalat Jama’ah Wajib di Masjid?”.

Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana posisi berdirinya imam dan makmum dalam shalat berjama’ah. Baik jika pesertanya sedikit atau pun banyak. Baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan tempat yang sempit. Berikut ini penjelasannya.

Batasan Jumlah Orang dalam Shalat Jama’ah

Shalat jama’ah dianggap sah jika minimal dilaksanakan oleh dua orang. Karena secara bahasa, al jama’ah sendiri dari kata al ijtima’ yang artinya: sekumpulan orang. Dan dalam bahasa Arab, dua orang yang berkumpul sudah bisa disebut ijtima’. Juga sebagaimana hadits dari Abu Umamah Al Bahili, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika ada seorang yang memasuki masjid untuk shalat:

ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟ فقام رَجُلٌ فصَلَّى معه، فقال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذان جَماعةٌ

“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang shalat ini?”. Maka seorang lelaki pun berdiri untuk shalat bersamanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Dua orang ini adalah jama’ah” (HR. Ahmad no.22189, dishahihkan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

Demikian juga dalam hadits Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَتَى رَجُلَانِ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ، فَقَالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إذَا أنْتُما خَرَجْتُمَا، فأذِّنَا، ثُمَّ أقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُما أكْبَرُكُمَا

“Dua orang mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan bahwa mereka akan pergi safar. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika kalian kalian safar (dan akan mendirikan shalat) maka adzan-lah dan iqamah-lah, dan hendaknya yang lebih tua dari kalian yang menjadi imam” (HR. Bukhari no. 630, Muslim no.674).

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa dua orang saja sudah mencukupi untuk tercapainya shalat berjama’ah.

Mengenai posisi berdirinya imam dan makmum dalam shalat berjama’ah perlu dirinci menjadi beberapa keadaan:

Jika keduanya laki-laki maka posisinya sejajar dan makmum terletak di samping kanan imam. Sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’ahuma, ia berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، فَجِئْتُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ

“Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah (binti Al Harits, istri Rasulullah). Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan shalat 4 rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian beliau bangun malam. Akupun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau shalat 5 rakaat, kemudian shalat dua rakaat, lalu tidur kembali” (HR. Bukhari no. 117, 697).

Dalam riwayat lain:

أتيتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – من آخر الليل فصلّيتُ خلفه، فأخَذ بيدي فجرّني فجعلني حذاءه

“Aku (Ibnu Abbas) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang shalat di akhir malam. Maka aku pun shalat di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku dan menarikku hingga sejajar dengan beliau” (HR. Ahmad 1/330, dan dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Hal ini berlaku baik pada laki-laki maupun wanita yang shalat berdua sesama wanita.

Maka posisi makmum berada di belakang imam membentuk barisan. Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu mengatakan:

قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

“Aku berdiri di sisi kiri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga aku berdiri di sebelah kanan beliau. Kemudian datang Jabbaar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tangan kami semua dan mendorong kami hingga kami berdiri di belakang beliau” (HR Muslim no. 5328).

Jika seorang lelaki mengimami wanita, maka perlu diketahui bahwa shalatnya seorang lelaki  bersama wanita perlu dirinci. Al Imam An Nawawi menjelaskan,

قال أصحابنا : إذا أمَّ الرجل بامرأته أو محرم له , وخلا بها : جاز بلا كراهة ; لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة . وإن أمَّ بأجنبية ، وخلا بها : حرم ذلك عليه وعليها , للأحاديث الصحيحة التي سأذكرها إن شاء الله تعالى . وإن أمَّ بأجنبيات وخلا بهن : فقطع الجمهور بالجواز

“Para ulama madzhab kami berkata, jika seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan hanya berdua, hukumnya boleh tanpa kemakruhan. Karena lelaki boleh berduaan dengan mereka (istri dan mahram) di luar shalat. Adapun jika ia mengimami wanita yang bukan mahram, dan hanya berduaan, maka haram bagi si lelaki dan haram bagi si wanita. Karena hadits-hadits shahih yang akan saya sebutkan menunjukkan terlarangnya. Jika satu lelaki mengimami beberapa wanita dan mereka berkhalwat, maka jumhur ulama membolehkannya” (Al Majmu’, 4/173).

Adapun posisi wanita jika bermakmum pada lelaki, baik wanitanya hanya seorang diri ataupun banyak, maka posisinya adalah di belakang imam. Berdasarkan keumuman hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

“Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami” (HR. Bukhari no.727, Muslim no.658).

Jika seorang wanita mengimami para wanita, maka imam berada di tengah. Dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :

أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ

“‘Aisyah pernah mengimami para wanita dan ia berdiri diantara mereka dalam shalat wajib” (HR. Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).

Dari Hubairah, ia mengatakan bahwa :

أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا

“Ummu Salamah pernah mengimami para wanita dan ia berada di tengah-tengah”. (HR Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).

Dalam kondisi tempat yang sempit sehingga tidak bisa memposisikan imam dan makmum dalam posisi yang ideal, maka posisinya menyesuaikan keadaan. Sebagaimana hadits dari Al Aswad bin Yazid, ia berkata:

دخلتُ أنا وعَلقمةُ علَى عبدِ اللَّهِ بنِ مَسعودٍ فقالَ لَنا أصلَّى هؤلاءِ ؟ قُلنا : لا ! قالَ قوموا فَصلُّوا. فذَهَبنا لنقومَ خلفَهُ فجعلَ أحدَنا عن يمينِهِ والآخرَ عن شمالِهِ … وقالَ : هكَذا رأيتُ رسولَ اللَّهِ فعلَ

“Aku bersama Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami: apakah kalian sudah shalat? Kami berkata: belum. Beliau mengatakan: kalau begitu bangunlah dan shalat. Maka kami pergi untuk shalat bermakmum kepada beliau. Beliau memposisikan salah satu dari kami di sebelah kanan beliau dan yang lain di kiri beliau … beliau lalu berkata: demikianlah yang aku lihat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Muslim no.534, An Nasa-i no.719 dan ini lafadz an Nasa-i).

Shaf yang Paling Utama Bagi Makmum

Selain bershalat jama’ah itu sendiri memiliki banyak keutamaan dibanding shalat sendirian, posisi seseorang dalam shaf ketika shalat berjama’ah pun memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat. Tingkatan keutamaan posisi shaf ini ditentukan oleh beberapa patokan. Namun ada patokan yang disepakati oleh para ulama dan ada yang diperselisihkan.

Shaf pertama bagi laki-laki, shaf terakhir bagi wanita

Dalilnya, sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاسْتَهَمُوا

“Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang ada pada adzan dan shaf pertama, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan mengundi, pastilah mereka akan mengundinya” (HR. Bukhari 615, 652, 2689, Muslim 437)

dalam riwayat lain:

لَوْ تَعْلَمُونَ أَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لَكَانَتْ قُرْعَةً

“Seandainya kalian atau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat pada shaf yang terdepan, niscaya itu sudah jadi bahan undian” (HR. Muslim 439)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf pertama” (HR. An Nasa-i, 810. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)

dalam riwayat lain:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الأَوَّلِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf-shaf terdepan” (HR. Ahmad 18152, Ibnu Majah 825, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Dalil-dalil mengenai hal ini sharih (jelas) penunjukkannya. Lalu terdapat dalil yang membedakan antara laki-laki dan wanita dalam hal ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خيرُ صفوفِ الرجالِ أولُها . وشرُّها آخرُها . وخيرُ صفوفِ النساءِ آخرُها . وشرُّها أولُها

“Shaf yang terbaik bagi laki-laki adalah yang pertama, yang terburuk adalah yang terakhir. Sedangkan shaf yang terbaik bagi wanita adalah yang terakhir, yang terburuk adalah yang pertama” (HR. Muslim 440)

Posisi yang dekat dengan imam

Posisi shaf yang semakin dengan imam, semakin besar keutamaannya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ليلني منكم أولو الأحلامِ والنهى, ثم الذين يلونَهم ثم الذين يلونَهم

“Hendaknya yang dibelakangku adalah orang yang bijaksana dan pandai, baru setelahnya adalah yang dibawah dia dalam hal kepandaian, begitu seterusnya” (HR. Muslim 432)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

ما بين بيتي ومِنبري روضةٌ من رياضِ الجنةِ ، ومِنبري على حوضِي

“Antara mimbarku dan rumahku adalah taman diantara taman-taman surga, dan mimbarku ada di dalam telagaku” (HR. Bukhari, 1196, Muslim, 1391)

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits ini dalam 2 qaul:

  1. Maksudnya adalah ta’abbud muthlaq, yaitu beribadah di tempat tersebut pahalanya berbeda dengan di tempat selainnya.
  2. Maksudnya bukan ta’abbud muthlaq, melainkan bentuk anjuran Nabi kepada para sahabat untuk mendapatkan tempat tersebut ketika beliau memberi pelajaran, lebih jelas mendengarnya, lebih dekat pada imam ketika shalat dan Nabi menjadi imam, sehingga para sahabat bisa mendapatkan lebih banyak ilmu, lebih banyak pemahaman, dan lebih meneladani Nabi dan itu semua merupakan sebab-sebab seseorang masuk ke surga.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

احْضرُوا الذكرَ، وادْنُوا من الإمَام، فإن الرجل لا يَزالُ يَتَبَاعَدُ حتى يُؤَخرُ في الجنة، وإن دَخَلَهَا

“Hadirilah khutbah jum’at dan mendekatlah kepada imam. Karena seorang yang selalu jauh dari imam, menyebabkan ia terbelakang dalam memasuki surga, andai ia memasukinya kelak” (HR. Abu Daud 1198, Al Hakim 1/289, Ahmad 5/11, lihat pembahasannya di sini)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf pertama” (HR. An Nasa-i, 810. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)

Dalam hadits ini digunakan kata الصُّفُوفِ dalam bentuk jamak bukan الصَّفِّ bentuk tunggal. Menunjukkan bahwa yang mendapat shalawat dari Allah dan para Malaikat itu tidak hanya shaf pertama saja, namun shaf-shaf depan yang jaraknya dekat dengan imam. Semakin dekat, semakin besar peluang mendapatkan shalawat dari Allah dan para Malaikat.

Sebelah kanan imam

Sebagian ulama memandang bahwa posisi sebelah kanan imam itu lebih utama dari sebelah kiri. Berdasarkan hadits:

إنَّ اللهَ وملائكتَه يُصلُّون على مَيامِنِ الصُّفوفِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf sebelah kanan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 4784, Ibnu Majah 995, Ibnu Hibban 2199).

Namun hadits ini munkar, walaupun sebagian ulama muhaddits memang menshahihkannya. Kemudian jika berdalil dengan keumuman tayamun, yaitu hadits:

إن كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يحبُّ التيمنَ في شأنهِ كلِّه . في نعلَيه، وترجُّلِه، وطهورِه

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyukai mendahulukan kanan dalam setiap urusannya, misalnya ketika memakai sandal, bersisir dan bersuci” (HR. Bukhari 426, 5854, 5380, Muslim 268).

Ini adalah pendalilan yang tidak sharih.

Namun memang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka menyukai posisi shaf kanan. Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu berkata:

خير المسجد المقام ثم ميمنة المسجد

“Posisi terbaik dalam masjid al haram adalah maqam Ibrahim, lalu shaf sebelah kanan” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 1/300)

Juga dari Bara’ bin ‘Adzib radhiallahu’anhu, ia berkata:

كنا إذا صلينا مع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ  أحببنا أن نكون عن يمينه يقبل علينا بوجهه

“Jika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kami senang berada di sebelah kanan karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami” (HR. Muslim 709).

Maksudnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam akan memandang yang di sebelah kanan setelah selesai salam. Semua ini juga tidak menunjukkan tasyri’. Ini hanya menunjukkan ijtihad para sahabat dan semangat mereka agar ketika Rasulullah selesai shalat merekalah yang dilihat pertama kali. Tidak menunjukkan pensyariatan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Dengan demikian yang rajih insya Allah, tidak ada keutamaan khusus dari posisi shaf sebelah kanan.

Kesimpulan

Dari paparan di atas kita simpulkan urutan keutamaan posisi shaf shalat dari yang paling besar adalah:

  1. Di belakang imam persis pada shaf pertama, karena shaf pertama dan paling dekat imam
  2. Posisi selain belakang imam, yang mendekati imam, di shaf pertama.
  3. Posisi di shaf pertama yang jauh dari imam
  4. Lurus di belakang imam  pada shaf kedua, karena itu posisi paling dekat imam di shaf kedua
  5. Posisi selain poin 3, yang paling dekat jaraknya dengan imam, di shaf kedua.
  6. Posisi di shaf kedua yang jauh dari imam

Dst.

Adapun bagi wanita, semakin belakang semakin utama.

Demikian pemaparan yang singkat ini, semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.

Pelajari lebih lanjut tentang shalat berjama’ah di artikel berikut.

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

🔍 Larangan Merayakan Tahun Baru, Orang Yang Bersyukur, Gambaran Surga Dan Neraka Menurut Islam, Contoh Durhaka Kepada Orang Tua, Video Renungan Islam