Kerajaan islam pertama yang ada di indonesia yaitu …

Masyarakat Padang Pariaman, masih menurut narasi tambo, turun dari darek minangkabau, dari pedalaman tengah sumatera. penduduk daerah ini menurut laporan tahunan pemerintah daerah, berdasarkan pengakuan dari masyarakat padang pariaman sendiri, barasal dari paguruyung Batusangkar, yang terletak di darek minangkabau (Pemda Tk I Sumbar, 1978;7). Rantau Pariaman, selanjutnya menurut Dobbin, didirikan oleh imigran yang berasal dari Batipuh yang dianggap memiliki landasan kerajaan (Dobbin, 2008:84). Dalam waktu yang tidak pernah diketahui secara pasti, berkemungkinan sejak tahun 1300 M, para perantau awal(peneruka) tersebut turun bergelombang  ke wilayah pantai barat dan membuka pemukiman. Desa-desa awal di pantai Padang Pariaman, menurut catatan Suryadi, sesuai perjalanan waktu lalu menjadi entrepot-entrepot dagang dan pelabuhan. Entrepot dagang dan pelabuhan tersebut dikembangkan oleh orang -orang dari kampung-kampung tertentu didarek (seperti yang telah disebut diatas), yang semula tujuannya untuk memajukan kepentingan dagang mereka sendiri. Ketika pemukiman koloni itu semangkin berkembang, daerah-daerah pemukiman juga terus membesarkan dirinya seperti fungi dikulit manusia.

Hamka Mengatakan, nama pariaman sendiri berasal dari kata dalam bahasa arab,”barri aman”. sebagaimana yang dikutip suryadi, kata dalam bahasa arab tersebut kurang lebih memiliki arti: “tanah daratan yang aman sentosa” (suryadi, 2004:92). Dalam literatur pribumi lain, kata Pariaman kadang juga dianggap berasal dari “parik nan aman”, yang artinya kira-kira pelabuhan yang aman. Kapal-kapal yang singgah untuk berdagang di bandar-bandar di Rantau Pariaman dapat dengan aman bertransaksi dagang (Bagindo Armaidi Tanjung, 2006;11).

Sebelum orang eropa datang ke kawasan Rantau Pariaman, Kota-kota pelabuhan penting dikawasan ini, seperti pelabuhan pariaman dan tiku sudah dikunjungi pelaut-pelaut dari arab, china, dan gujarat (suryadi, 2004:93). Di kota-kota ini, komoditi dagang dari pedalaman minangkabau ini ditumpuk sebelum dikapalkan ke pelabuhan-pelabuhan lain. Kota-kota ini sudah lama menjadi pelabuhan penyalur keluar emas dari pedalaman minangkabau (suryadi, 2004:94),  Kawasan tengah sumatera sejak dulu memang terkenal sebagai penghasil emas. Itulah sebabnya terkadang, Pulau Sumatera juga disebut sebagai pulau emas. Jalur penyalur emas yang dihasilkan pedalaman Minangkabau kemudian dibawa ke pesisir pantai baik ke pesisir barat maupun ke pesisir timur. ke pesisir barat dipasok melalui kampung-kampung pantai di Rantau Pariaman.

Setelah kemerdekaan, Daerah administrasi periode kolonial, priaman, tikoe en de danau districten kemudian disahkan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Padang Pariaman berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1956 dengan ibukota Kota Pariaman. Pada awalnya Kabupaten Padang Pariaman sesuai dengan Peraturan Komisaris Pemerintah di Sumatera No 81/Kom/U/1948 tentang Pembagian Kabupaten di Sumatera Tengah yang terdiri dari 11 Kabupaten diantaranya disebut dengan nama Kabupaten Samudera dengan ibukotanya Pariaman, meliputi daerah kewedanaan Air Bangis, Pariaman, Lubuk Alung, Padang Luar-Kota, Mentawai dan Nagari-Nagari Tiku, Sasak dan Katiagan.

Kabupaten Samudera ini terdiri dari 17 wilayah (gabungan nagari-nagari). Kabupaten Padang Pariaman dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1956 tanggal 19 Maret 1956 tentang Pembentukan Daerah otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah, dimana Propinsi Sumatera tengah dibentuk menjadi 14 Kabupaten, yang salah satunya adalah Kabupaten Padang/Pariaman dengan batas-batas sebagai yang dimaksud dalam pasal 1 dari Surat Ketetapan Gubernur Militer Sumatera Tengah tanggal 9 Nopember 1949 No. 10/G.M/S.T.G./49, dikurangi dengan daerah Kampung-Kampung Ulak Karang, Gunung Pangilun, Marapalam, Teluk Bajur, Seberang Padang dan Air Manis dari kewedanaan Padang Kota yang telah dimasukkan kedalam daerah Kota Padang, sebagai dimaksud dalam Surat ketetapan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Tengah Tanggal 15 Agustus 1950 No. 65/G.P./50 Bupati Padang Pariaman semasa Agresi Milter Belanda Tahun 1948 adalah Mr. BA. Murad

Kabupaten Padang Pariaman sampai tahun 2016 memiliki 17 Kecamatan, dan 103 nagari yang setelah dilakukan pemekaran nagari sesuai dengan Surat Gubernur Sumatera Barat Nomor 120/453/PEM-2016 tanggal 26 Mei 2016, sehingga di Kabupaten Padang Pariaman terdapat 103 Nagari.

Kecamatan yang paling banyak memiliki nagari adalah Kecamatan VII Koto Sungai Sarik yaitu 12 Nagari, Kecamatan Lubuk Alung, Nan Sabaris sebanyak 9 Nagari, Kecamatan Batang Anai, 2×11 Enam Lingkung, V Koto Kampung Dalam, Ulakan Tapakis sebanyak 8 Nagari, Kecamatan Padang Sago, Patamuan, sebanyak 6 Nagari, Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Sintuk Toboh Gadang, Enam Lingkung, sebanyak 5 Nagari, dan Kecamatan Sungai Geringging, Sungai Limau,V Koto Timur, 2×11 Kayutanam sebanyak 4 Nagari, kemudian Kecamatan Batang Gasan hanya mempunyai 3 nagari.

Semenjak dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) DPRD No 05/KEP.D/DPRD.2008 dan SK Bupati Padang Pariaman Nomor 02/KEP/BPP/2008 tertanggal 2 Juli 2008, Ibukota Kabupaten Padang Pariaman dipindahkan dari Kota Pariaman ke Paritmalintang, yakni Nagari Paritmalintang Kecamatan Enam Lingkung

Berikut Daftar yang pernah memerintah di Padang Pariaman sejak tahun  1945 hingga sekarang.

Bupati Kabupaten Padang Pariaman

1 Sutan Hidayat Syah
2 Ibrahim Datuk Pamuncak
3 BA. Murad
4 Said Rasyad
5 Taher Samad
6 Harun Al Rasyid
7 Na’azim Sutam Syarif
8 Raharjo
9 Syamsu Anwar
10 JB. Adam
11 Muhammad Noer
12 Prof. Drs. Harun Zein
13 Muhammad Zein Chatib
14 Kol. Inf. H. Anas Malik
15 H. Zainal Bakar, SH
16 Ir. H. Nasrul Syahrun
17 Drs. Armyn AN
18 Drs. H. Muslim Kasim AK, MM Dt. Sinaro Basa
19 Drs. H. Muslim Kasim AK, MM Dt. Sinaro Basa 2005 – 2010
20

Drs. H. Ali Mukhni

2010 – 2015
21

Drs. H. Ali Mukhni       

2015 – 2020

 

Textbook

Penilaian

Telah diakui bersama bahwa pesantren memiliki peran besar dalam perkembangan sosial-politik Indonesia. Terbukti sejak munculnya hingga sekarang pesantren masih eksis dan terus mengadakan perubahan untuk menjawab tantangan Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman. Tokoh-tokoh inspirasional dalam kancah sosial dan politik Indonesia banyak yang lahir dari pesantren, seperti Gus Dur, Hidayat Nur Wahid, Syafii Ma’arif, Din Syamsuddin, Nurcholis Majid, dan lainnya. Pesantren menjadi fondasi dan tiang penyangga paling penting bangunan peradaban dan sosial-politik Indonesia sejak tahun 1200. Kemudian, mulai tahun 1999 pesantren meningkatkan perannya dalam pembangunan peradaban Indonesia hingga memasuki millennium ketiga. Sejak tahun 1999 itu para kyai meningkatkan aktivitasnya agar lebih mampu mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia ke masa depan. Tradisi pesantren, sesuai dengan azas ahlu sunnah wal jama’ah yang dianutnya meningkatkan kembali ajakannya agar masyarakat dan bangsa Indonesia tidak hanya pandai bertikai, tetapi bersikap arif dan mampu mendahulukan kebersamaan, kesatuan, dan pemerataan keadilan bagi masyarakat luas dalam hal keagamaan, kebudayaan, ekonomi, sosial dan politik. Buku yang ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier ini berusaha menguatkan kembali peran pesantren yang oleh sebagian kalangan dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman. Tradisi pesantren yang menurut mereka adalah kolot, statis, dan sentralistik dibantah dalam buku ini. Buku ini sebenarnya sudah lama terbit, pertama diterbitkan sekitar tahun 1980-an di USA. Kemudian terjemahannya dalam bahasa Jepang terbit di Tokyo tahun 1984. Buku hasil disertasi doktor antropologi sosial di The Asutralian National University (ANU) ini terbit dalam bahasa Indonesia tahun 1982. Buku yang sekarang hadir kembali di tengah-tengah kita ini merupakan edisi revisi yang sudah banyak mengalami penambahan bab menyesuaikan dengan perkembangan kehidupan kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik bangsa Indonesia. Buku yang ditulis berdasarkan studi lapangan atas lembaga pesantren Tegalsari dan Tebuireng ini bermaksud menggambarkan dan mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren dan Islam yang dianut oleh para kyai di Indonesia yang dalam Indonesia modern tetap menunjukkan vitalitasnya sebagai kekuatan sosial, kultural dan keagamaan dan aktif membentuk bangunan kebudayaan Indonesia modern. Karena itu, dalam kancah politik pun pesantren tetap sangat diperhitungkan. Keberhasilan para kyai dalam menghimpun kekuatan yang besar di Indonesia dewasa ini bukan semata-mata karena jumlah pengikutnya lebih banyak daripada Islamnya, tetap juga karena kuatnya hubungan sosial, kultural dan emosional antara sesama kyai dan dengan para pengikutnya. Dalam situasi peralihan ke sistem pemerintahan demokrasi dewasa ini, organisasi sosial, keagamaan, dan politik yang didukung oleh para kyai memang masih mengalami sejumlah kelemahan, namun ikatan emosional, sosial, dan kultural mereka sangat kuat. Pengikut kyai pada umumnya masyarakat miskin dan mereka itu merupakan kelompok mayoritas. Oleh karena itu, para kyai cenderung dan dapat membagi-bagi suara dominan pengikutnya itu untuk memilih calon-calon DPR atau DPRD yang sesuai dengan kepentingan masyarakat lokal dan pesantrennya masing-masing (halaman 9). Kyai dan Politik Para sarjana yang mempelajari kebudayaan dan politik Indonesia pada umumnya mengakui, bahwa Islam di zaman penjajahan Belanda merupakan faktor pemersatu bagi kelompok-kelompok suku bangsa yang tinggal terpencar-pencar di berbagai kepulauan. Bahkan di luar negeri pun, koloni Indonesia di Mekkah (Jawa Community) juga merupakan wadah yang sangat efektif bagi percampurbauran kelompok suku bangsa tersebut. Sebagai pusat dakwah pengembangan Islam pesantren dengan kepemimpinan seorang Kyai telah mampu membangkitkan ruh persatuan dan kesatuan umat Islam. Karena itu, sampai dengan permulaan tahun 1920-an yang silam, Islam menjadi pendorong tumbuhnya gerakan nasionalisme. Setelah gerakan nasionalisme meluas hingga meliputi kelompok-kelompok suku bangsa yang tidak beragama Islam, seperti di Manado, Maluku, Sumatera Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur, maka gerakan nasionalisme dijiwai oleh unsur baru yaitu perasaan bersatu sebagai satu bangsa Indonesia. Islam tetap menjadi unsure pemersatu yang sangat kuat bagi kelompok suku bangsa Indonesia yang beragama Islam –yang merupakan sekitar 88 persen penduduk Indonesia –yang dapat mengurangi perasaan ekslusivisme kesukuan. Ini semua tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah pesantren yang selama berabad-abad telah menumbuhkan perasaan solidaritas bersama sebagai penghuni wilayah nusantara. Kini mereka tetap membenahi dirinya untuk tetap memiliki peranan dalam membangun masa depan Indonesia. Mereka tidak mendambakan, apalagi melindungi pandangan hidup tradisional menjadi suatu sistem yang tertutup dan memalingkan diri dari proses modernisasi.

Pendek kata, buku ini ingin menggambarkan semangat Islam para kyai pimpinan pesantren yang dikenal dengan benteng pertahanan umat Islam dan pusat penyebaran Islam. Oleh karena itu, Dhofier di sini berusaha menyoroti sejarah kedua pesantren yang diteliti, terutama mengenai perannya dalam pelestarian dan pengembangan Islam ahlusunnah wal jama’ah di Indonesia kira-kira 1875, sampai dengan masyarakat Indonesia memasuki periode millennium ketiga.