KEWAJIBAN yang menyangkut harta warisan urutan dan cara penyelesaiannya

KEWAJIBAN yang menyangkut harta warisan urutan dan cara penyelesaiannya

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

BAB I

PENDAHULUAN

Hukum waris islam yang telah dibawa Nabi Muhammad telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus mengubah struktur hubungan dalam suatu kekerabatan dan bahkan juga mengubah sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka. Sebelum kedatangan Nabi, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda kecuali wanita dalam kalanganelite. Bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.

Islam merinci dan menjelaskan melalui Al-Qur’an bagian tiap-tiap ahli waris dengan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Meskipun demikian, persoalan pembagian harta warisan masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.

Kekurang pedulian umat islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak kita pungkiri, bahwa Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: “Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid”.

Waris adalah suatu ilmu yang diberikan untuk mengetahui bagaiamana cara menghitung, mengatur dan mejaga harta waris dari orang mati kepada orang yang mendapatkan waris agar bisa mendapatkan bagian masing-masing secara adil.

Ilmu mawaris sangat penting diberikan di dunia pendidikan, karena dengan adanya ilmu ini, kita bisa mengetahui bagian-bagian yang akan kita dapat berapa bagian yang kita dapat. Dan dalam makalah ini kami akan membahas tentangpengertian warisan, dasar hukum wasiat, kewajiban yang menyangkut harta warisan, sebab-sebab mendapat warisan dan halangan mendapat warisan.


BAB II

PEMBAHASAN

KEWAJIBAN YANG MENYANGKUT HARTA WARIS

A.    DEFINISI WARIS DAN MAWARIS

Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris.[1]

Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.[2]

Sedangkan menurut Suyadmi dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (tt) mengemukakan waris adalah orang yang berhak menerima pusaka.[3]

Dari definisi waris diatas, maka disini penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa yang dinamakan dengan waris adalah suatu pemberian hak dari orang meninggal kepada orang yang hidup agar bisa dibagi bersama secara adil.

Sedangkan mawaris, secara bahasa Mawaris merupakan bentuk jamak dari kata miras. Artinya harta peninggalan si mayit yang diwariskan kepada ahli warisnya. Secara istilahnya mawaris, dapat diartikan dengan Ilmu yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang ditentukannya, serta cara pembagian harta peninggalan tersebut untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraid.Selain itu juga ada tiga ayat yaitu (An-Nisa’: 11-12) dan (An-Nisa’: 176), yang menjelaskan asas ilmu faraid, didalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap.

B.      SEBAB-SEBAB WARISAN

Harta peninggalan orang yang meninggal dunia adalah tidak serta merta dapat dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab yang menghubungkan penerima dengan orang yang mati. Dalam hal ini para ulama telah menetapkan bahwa sebab-sebab orang medapat warisan ada tiga.

1)      Nasab (النسب) atau hubungan kekerabatan.

 Nasab ini dapat berupa hubungan orang tua dengan anak, saudara, paman, dan bibi, dan lainnya, dimana hubugan itu dapat dihubungkan kepada orang tua. Hal ini berdasarkan firman Allah yang artinya :

      “Dan orang-orang yang beriman sesudahmu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

2)      Perkawinan (الزواج )

Seorang mendapatkan harta warisan dari orang yang meninggal dunia, karena adanya hubungan pernikahan atau perkawinan, seperti antara suami dengan istri atau sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah:

وَ لَكُمْ  نِصْفُ  مَا تَرَكَ  أَزْوَاجُكُمْ...الآية

“Dan bagi kamu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu”

      Dalam hubungan perkawinan ini, suami-istri dapat saling mewarisi dengan ketentun sebagai berikut:

a)      Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan yang sah menurut agama, yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun seperti yang diatur dalam ajaran Islam, baik sudah dipergauli atau belum pernah dipergauli, disamping itu, perkawinan itu tidak dianggap fasid (rusak) oleh Pengadilan Agama, karena perkawinan yang fasid menurut sari’ah adalah perkawinan yang tidak sah. Oleh karena itu, bila salah seorang mati di antara suami- istri maka mereka saling mewarisi. Tidak termasuk dalam hal ini hubungan yang disebabkan perzinahan, walaupun adanya hubungan badan antara pezina, mereka tidak dapat saling mewarisi, dan anak yang dilahirkan akibat perzinahan tidak mendapatkan warisan dari bapaknya, tapi akan mendapatkan dari ibunya.

b)      Perkawinan itu dalam posisi:

·         Pemberi waris meninggal dalam keadaan perkawinan masih utuh tidak dalam perceraian yang ba’in shugra’-. Dalam posisi ini suami-istri dapat saling mempusakai, yaitu berakhirnya perkawinan semata mata dengan matinya salah seorang suami-istri.

·         Perkawinan telah teputus,  tetapi antara suami dan istri masih dalam iddah  (masa tunggu yang dibolehkan suami  kembali kepada istri dengan tidak membuat akad baru), yang itu disebut dengan thalaq raj’iy, yaitu masa dimana suami dapat merujuk kepada istri tampa membuat akad baru, saksi, wali dan tanpa izin istri tersebut. Dari itu, apabila pada saat itu salah seorang mati, maka mereka dapat saling mewarisi. Akan tetapi bila waktu iddah telah habis kemudian  salah seroang meninggal maka hak saling mewaris telah habis dengan sebab iddah tersebut telah habis.

3)      .Al-Wala’ (pemerdekaan),

yaitu kekerabatan yang disebabkan oleh pemerdekaan  yang dilakukan seorang terhadap budak. Pemerdeka berhak mendapat warisan dari budak yang dimerdekakan karena ia telah memberikan kesenangan kepadanya dengan jalan memerdekakan itu sendiri dari perbudakan. Dengan dimerdekakan budak itu, maka  ia mendapatkan kesenangan dengan kembali sifat “kemanusiaannya” dan berakhirnya anggapan sebagai binatang.

Keberadaan perbudakan ini nampaknya sudah tidak ada lagi di muka bumi, sehingga keberadaan wala’ sebagai penyebab mendapat warisan dengan sendiri tidak ada lagi.

Contoh:

Seseorang mengangkat budak anak perempuan pamannya, kemudian dia memerdekakan dan menikahinya. Selang beberapa lama, anak perempuan tersebut meninggal, dalam hal ini, laki-laki tersebut menyandang predikat sebagai anak laki-laki pamannya, suaminya dan tuannya. Namun, jika laki-laki itu seorang imam kaum muslimin, niscaya sebab mewaris ke empat masuk padanya, yaitu Sesama Muslim. Kala itu, ia hanya mewarisi harta peninggalan melalui garis perkawinan dan anak paman.

4)      Karena Sesama Islam

Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak ada meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta warisannya diserahkan ke Baitul Mal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk Kepentingan umum atau kaum Muslimin.

Penghalang Dapat Warisan                                                        

Seorang yang telah memenuhi persyaratan untuk mendapat harta warisan dari orang yang mati, seperti adanya ikatan kekeluargaan (nasab), perkawinan, dan wala’ belum tentu ia berhak mendapatkan warisan apabila ia memiliki sifat penghalang warisan yang pada dirinya, yaitu sebagai budak, pembunuh, berlainan agama, dan berlainan negara. Keempat pengahalang ini akan dibahas pada berikut bahasan berikut:

1)      Perbudakan

 Pada masa lalu memang terjadi perbudakan manusia yang disebabkan oleh tawanan perang. Akibat dari perbudakan itu adalah  hilangnya sifat “kemanusiaannya yang merdeka”, tetapi ia dianggap sebagai barang atau binatang yang selalu tunduk kepada tuannya,  bahkan harta yang dibawanya pun milik tuan. Dasar hukum perbudakan ini sebagai pengahalang adalah adalah firman Allahyang artinya:

“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui”

Para ulama memahami ayat di atas bahwa budak itu tidak cakap mengurus diri dan hak milik  kebendaan dengan jalan apa saja, sementara dalam hal pusaka-mempusakai ada pelepasan hak milik kebendaan. Budak terhalang  dari mewarisi dilihat dari 2 (dua) jalan: a. Ia dianggap sebagai benda  milik tuannya, karena itu ia terhalang sebagai penerima warisan disebabkan ia sendiri sebagai benda milik tuannya. b. Ia dipandang sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan terhadap benda miliknya, karena itu ia tidak dapat memberikan warisan kepada ahli warisnya seandainya ia memiliki kerabat, karena ia sendiri dan hartanya milik tuannya sehingga ia diangga tidak memiliki harta sedikitpun.

2)      Pembunuhan

Dasar hukum pembunuh tidak mendapat warisan dari orang yang dibunuhnya adalah hadist Rasulullha yang berbunyi:

قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم    ليس للقاتل  شيء وإن لم يكن له وارث فوارثه أقرب الناس إليه ولا يرث القاتل شيئا

Rasulullah bersabda: “Pembunuh (yang membunuh pemberi warisan) tidak memiliki hak sedikitpun (untuk mewarisi). Jika ia (pemberi warisan) tidak meninggalkan pewaris maka yang berhak mewarisinya adalah orang yang paling dekat (hubungan keluarga) dengannya, dan pembunuh itu tidak mewarisi sesuatu”

Seorang yang telah terbukti sebagai pembunuh pemberi warisan tidak dapat mewarisi harta peninggalannya. Tetapi tipe pembunuhan bagaimana yang dapat mengahalangi seorang untuk mendapat harta warisan dari yang terbunuh masih diperselisihkan ulama. Bentuk pembunuhan itu ada tiga macam:

a)    القتل العمد, yaitu pembunuhan dengan sengaja dimana pembunuh bermaksud membunuh terbunuh, dengan terpenuhi syarat sebagai orang yang berakal dan bermaksud membunuh. Pembunuhan semacam ini bersansikan “Qishash” dengan syarat:

·         Orang yang akan di-qishash harus orang berakal dan balig.

·         Sepakatnya keluarga yang terbunuh untuk di-qishah.

·         Tidak boleh melebihi dalam melakukan qishash, seperti ditetapkan  orang yang hamil untuk di-qishah, maka harus ditunggu sampai ia melahirkan.

b)   القتل شبه العمد, yaitu pembunuhan yang serupa dengan pembunuhan sengaja, mislanya  seperti pemukulan dengan menggunakan tongkat yang ringan, sabuk,  atau melempar dengan batu kecil kemudian seorang mati. Cara seperti ini adalah mirip dengan sengaja karena adanya dua kemungkinan antara sengaja dan kesahalan. Sanksi pembunuhan semacam ini  adalah berdosa dan diyat.

c)    القتل الخطاء, yaitu pembunuhan karena kesalahan pada perbuatan yang boleh dilakukan oleh seorang yang mukallaf, seperti pemburu yang  salah sasaran, pembuat sumur yang mengakibatkan orang terjatuh mati, dan pembunuhan yang  dilakukan oleh anak kecil atau orang gila. Pembunuhan semacam ini dikenakan sangsi diyat dan kifarat.

Terhadap macam bentuk pembunuhan di atas diperselisihkan ulama, yaitu bentuk pembunuhan yang mana yang dapat mengahalangi untuk mendapat warisan.  Dalam hal dapat dilihat dalam penjelasan berikut:

·         Menurut maazhab Hanafi pembunuhan yang dapat menjadi penghalang untuk mendapat warisan adalah pembunuhan sengaja, mirip sengaja, karena kesalahan, dan pembunuhan yang dianggap kesalahan. Sementara pembunuhan yang tidak dianggap sebagai penghalang adalah pembunuhan tidak langsung, pembunuhan karena membela hak, pembunuhan karena yang dilakukan oleh orang yang tidak mukallaf.

·         Menurut Malikiyah pembunuhan yang dapat menghalagi untuk mendapat warisan adalah pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan mirip sengaja, dan pembunuhan tak langsung. Sementara yang tidak menjadi penghalang adalah pembunuhan karena kesalahan, dianggap salah, membela hak, belum mukallaf, dan karena uzur.

·         Menurut ulama Syafi’iyah, bahwa pebunuhan yang menjadi penghalang untuk mewaris itu adalah segala bentuk pembunuhan secara mutlak., baik sengaja, tidak sengaja, atau karena kasalahan.

·         Sementara menurut mazhab Hambali bahwa pembunuhan yang dianggap sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan adalah pembunuhan dengan sengaja, mirip sengaja, dan tak langsung. Pembunuhan yang tidak menjadi peghalang menurut mereka adalah pembunuhan karena kesalahan, dianggap kesalahan, karena membela hak, pembunuhan yang dilakukan oleh orang tidak mukallaf, dan karena uzur.

3)      Berbeda Agama

Yang dimaksud dengan berbeda agama adalah berbeda keyakinan antara orang yang akan saling mewarisi, seperti orang yang akan memberi warisan  adalah orang yang beragama Islam sementara orang yang menerima warisan adalah beragama lain, seperti pewarisan kakak dengan adik, atau anak dengan bapak, atau cucu dengan kakek, dan sebagainya yang berbeda agama, baik agama Yahudi. Keristen, Hindu, Budha dan lainnya.

 Dasar hukumnya adalah hadist Rasulullullah yang berbunyi:

أن النبي  صلى الله عليه وسلم  قال لا يرث المسلم  الكافر ولا يرث الكافر المسلم

“Nabi bersabda: Seorang muslim tidak dapat (saling) mewaris dengan orang kafir, dan (demikian juga) orang kafir tidak dapat (saling) mewarisi dengan orang muslim.

Oleh karena perbedaan agama menjadi penghalang untuk mendapatkan warisan, maka apabila terjadi pemurtadan dalam sebuah keluarga, misalnya anak memeluk masuk agama lain, ia tidak berhak menerima pusaka dari ayahnya (atau lainnya yang dapat saling mewarisi), karena keyakinan yang berbeda tersebut, sekalipun sebelum pembagian harta warisan dibagikan ia (anak itu) kembali kepada agama Islam, menurut jumhur ulama. Sementara menurut Imam Ahmad dalam satu pendapatnya adalah boleh ia menerima, sebab ia sudah keluar dari sifat murtad tersebut.

Contoh:

Bila seseorang mati meninggalkan seorang istri kitabiyah (ahli kitab) dan seorang anak laki-laki, semua harta yang ditinggalkan si mayit di berikan untuk anak laki-lakinya. Bila seorang kafir mati meninggalkan anak laki-laki yang muslim dan paman kafir, maka semua harta peninggalan diwariskan kepada pamannya yang kafir, dan anak laki-laki simayit tidak mendapat apa-apa dari harta peninggalan ayahnya karena berlainan agama antara anak dan orang tua.

C.     DASAR HUKUM WASIAT

$pkšr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#qãZtB#uääoy»pky­öNä3ÏZ÷t#sŒÎ)uŽ|ØymãNä.ytnr&ßNöqyJø9$#tûüÏmÏp§Ï¹uqø9$#Èb$uZøO$##ursŒ5AôtãöNä3ZÏiB÷rr&Èb#tyz#uäô`ÏBöNä.ÎŽöxî÷bÎ)óOçFRr&÷LäêöuŽŸÑÎûÇÚöF{$#Nä3÷Gt6»|¹r'sùèpt6ŠÅÁBÏNöqyJø9$#4$yJßgtRqÝ¡Î;øtrB.`ÏBÏ÷ètÍo4qn=¢Á9$#Èb$yJÅ¡ø)ãŠsù«!$$ÎÈbÎ)óOçGö6s?ö$#ŸwÎŽtIô±tR¾ÏmÎ$YYyJrOöqs9urtb%x.#sŒ4n1öè% ŸwurÞOçFõ3tRnoy»pky­«!$#!$¯RÎ)#]ŒÎ)z`ÏJ©9tûüÏJÏOFy$#ÇÊÉÏÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa". (Q.S. Al-Maidah: 106).[8]

Mengenai keberadaan wasiat, para ulama’ keberselisih pendapat dalam menetapkan sifat hukum tuntutannya itu. Ibnu Hazm mengatakan bahwa hukum wasiat adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka.

D.    URUTAN KEWAJIBAN YANG MENYANGKUT HARTA WARISAN

Menurut Jumhur Fuqaha, dan ketentuan yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir dalam pasal 4, bahwa hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalan adalah sebagai berikut:

1.      Biaya perawatan

Tajhiz atau biaya perawatan yang dimaksud adalah biaya-biaya perawatan yang diperoleh dari orang yang meninggal, dimulai sejak saat meninggalnya sampai dengan saat penguburannya.

Jenazah seseorang wajib dirawat, dikafani sebagainya sesuai dengan status sosial ekonominya, dan tidak boleh berlebih-lebihan. Allah SWT. menekankan  bahwa dalam membelanjakan harta benda sesuai dengan kewajaran. Hal itu ditegaskan dalam Firmann-Nya yang berbunyi sebagai berikut:

tûïÏ%©!$#ur!#sŒÎ)(#qà)xÿRr&öNs9(#qèù̍ó¡çöNs9ur(#rçŽäIø)tƒtb%Ÿ2uršú÷ütšÏ9ºsŒ$YB#uqs%ÇÏÐÈ

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. Al-Furqon: 67).[9]

Perawat jenazah harus dilakukan sejak seorang meninggal sampai dengan saat pemakamannya. Biaya yang dibutuhkan untuk merawat jenazah terdiri atas biaya memandikan, mengafani, dan memakamkan serta biaya yang lainnya. Besarnya biaya perawatan jenazah disesuaikan dengan kondisi orang yang bersangkutan, baik sosial ekonominya maupun jenis kelaminya.

Siapakah yang harus menanggung biaya perawatan orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai harta peninggalan sedikit pun, ulama berbeda pendapat.

Golongan Malikiyah berpendapat bahwa biaya perawatan harus diambil dari baitul mal,  karena keadaan seperti itu menjadi beban kewajiban baitul mal.

Adapun golongan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya tersebut harus dipikul oleh keluarga yang menjadi tenggungannya ketika dia masih hidup. Kalau tidak mempunyai kerabat, diambilkan dari baitul mal,  dan kalau dari baitul mal  juga tidak memungkinkan, biaya perawatannya diambil atau dibebankan kepada orang-orang Islam yang kaya sebagai pemenuhan kewajiban fardhu kifayah.

2.      Biaya perawatan bagi kerabat yang menjadi tanggungannya

Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Imam Abu Yusuf, biaya perawatan bagi kerabat-kerabat yang fakir, budak, dan istr, baik kaya maupun miskin yang masih menjadi tanggungan orang yang meninggal, maka harus diambil dari hata kekayaanya, kalau orang-orang tersebut mendahuluinya meninggal dunia atau dari harta peninggalannya kalau mereka meninggal terkemudian.

Pendapat ini adalah wajar, karena kerabat-kerabat tersebut menjadi tanggungan orang yang meninggal ketika masih hidup untuk memberikan nafkah dan mencukupi kebutuhan mereka.

3.      Pelunasan Utang-Utang

Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, utang-utang si pewaris terlebih dahulu harus dilunasi. Adapun tentang utang-utangnya terhadap Allah, yang tidak mungkin dituntut manusia, seperti zakat, kafarat, dan utang nazar, menurut Imam Abu Hanafiyah tidak harus dibayarkan dari harta peninggalan. Sebaliknya, menurut jumhur ulama’ harus diambil dari harta peninggalan sebelum dibagikan kepada ahli waris.

Dengan memperhatikan keterangan tersebut, utang dapat diklasifikasikan menjadi dua macam diantaranya adalah sebagai berikut:

a.       Utang kepada Allah

b.      Utang kepada sesama manusia.

4.      Melaksanakan Wasiat

Setelah menggunakan harta peninggalan orang yang meninggal untuk mengurus jenazah dan membayar utang, langkah selanjutnya adalah untuk melaksanakan wasiat selama tidak melebihi ketentuan syara’.

5.      Barang yang diwasiatkan dan kadar wasiat

Fuqoha’ sepakat bahwa barang yang diwasiatkan adalah barang pokoknya. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat tentang pewasiatan manfaat. Jumhur fuqaha’ membolehkannya, tetapi Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, dan Fuqaha.

Tentang jumlah harta diwasiatkan, ulama sepakat bahwa jumlahnya tidak boleh lebih dari sepertiga harta. Namun, mereka berbeda pendapat tentang orang yang tidak meninggalkan ahli waris, dan kadar barang wasiat yang utama, apakah sepertiga atau kurang dari sepertiga.

E.    CARA PENYELESAIAN HARTA WARISAN

Sisa harta warisan setelah diambil untuk menyelesaikan tiga hal yang berhubungan dengan orang yang meninggal, selanjutnya adalah pembagian harta kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at, yaitu sebagai berikut:

1.      Mendahulukan biaya periwayatan jenazah daripada utang

Biaya perawatan jenazah itu harus didahulukan dari pada pelunasan utang-utangnya, sebelum harta itu dibagikan kepada ahli warisnya.

2.      Mendahulukan utang daripada pelunasan wasiat

Pelunasan utang itu harus didahulukan daripada pelaksanaan wasiat sebagaimana dinyatakan dalam hadist yang berarti “Nabi Muhammad SAW. memutuskan  untuk melunasi utang sebelum melaksanakan wasiat, sedangkan kamu sekalian mendahulukan sebelum melunasi utang.”

3.      Mendahulukan wasiat daripada membaginya harta peninggalan kepada ahli waris

Wasiat itu harus didahulukan daripada pembagian harta peninggalan kepada ahli waris. Andaikan yang didahulukan membagikan harta peninggalan kepada ahli waris, tidak ada sisa harta peninggalan sedikitpuon yang harus diterimakan kepada penerima wasiat.

Setelah semua hak yang bersangkutan dengan harta pusaka tersebut dilaksanakan, harta peninggalan yang da dibagikan kepada para ahli waris sesuai dengan tingkatannya masing-masing, seperti yang telah disebutkan dalam bab terdahulu.


BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris.

 Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.  Sedangkan menurut Suyadmi dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (tt) mengemukakan waris adalah orang yang berhak menerima pusaka.

Dari definisi waris diatas, maka disini penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa yang dinamakan dengan waris adalah suatu pemberian hak dari orang meninggal kepada orang yang hidup agar bisa dibagi bersama secara adil.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agam RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Al-Waah, 1989).

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, tt).

Suyadmi, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Magelang: CV. Tidar Ilmu, tt).

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1991).

Suhrawardi K .Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)

M. Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam, terj.Sarmin Syukur (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995)

Sayyid Sabik, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikir,1992), jilid III

Ramulyo, Idris,Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata. 1994




 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1991), hal. 13.

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, tt), hal. 13.

Suyadmi, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Magelang: CV. Tidar Ilmu, tt), hal. 549.

Sayyid Sabik, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikir,1992), jilid III: hal.162

M. Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam, terj.Sarmin Syukur (Surabaya: Al-Ikhlas 1995)

Departemen Agam RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Al-Waah, 1989), hal.  180.

Departemen Agama, Op Cit, hal.  568.