Kita harus mendahulukan titik-titik daripada titik-titik

Kita harus mendahulukan titik-titik daripada titik-titik

Disembah dan Dimintai Pertolongan Adalah Hak Allah

Oleh : H. Ilyas Bustamiludin 

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

         Artinya:         

“Hanya Engkaulah yang kami sembah

dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”. 

(QS. Al-Fatihah {1}: 5)

Pada edisi sebelumnya, kita membahas deskripsi tentang Allah yakni Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta yang Menguasai Hari Pembalasan kelak. Allah dianggap sebagai orang ketiga dalam konteks pembicaraan dengan ungkapan: “Dengan menyebut nama Allah” dan seterusnya. Pada ayat ini terjadi iltifaat (peralihan) menjadi orang kedua dengan menggunakan ungkapan “Hanya kepada Engkau”. Iltifaat yang terjadi pada surat Al-Fatihah ini, kata penulis tafsir Aayat Ahkaam, mengandung kelembutan untuk menyampaikan suatu maksud dengan menggunakan kata ganti orang kedua (dhamir mukhatab) yang berbeda kalau seandainya digunakan kata ganti orang ketiga (dhamir ghaib) dengan ungkapan “Dialah yang aku tuju” misalnya. Yang demikian itu memang sejalan ketika seorang hamba menyembah dan meminta kepada Allah, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. Dan sejalan juga dengan ungkapan sebuah hadits “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, apabila engkau tidak melihat-Nya, pasti Dia melihat engkau”.

Pada edisi pertama, kita juga membahas tekstur surat Al-Fatihah yang dibelah menjadi dua bagian yakni untuk Allah dan untuk hamba-Nya. Edisi kali ini kita membahas bagian kedua dari surat Al-Fatihah yang kata Allah melalui lisan nabi-Nya: هذا بيني وبين عبدي، ولعبدي ما سأل “Ini adalah antara Aku dan hamba-ku, dan hamba-Ku akan memperoleh yang dia minta”. Ayat inilah yang merupakan inti dari surat Al-Fatihah. Sementara Al-Fatihah inti dari Al-Qur’an di mana Al-Qur’an juga inti dari Kitab-kitab yang telah Allah turunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya.

Pada Ayat ke-5 ini juga akan kita belah menjadi dua frase pembahasan yakni frase إِيَّاكَ نَعْبُد untuk Allah yang dapat dipahami sebagai kewajiban menyembah-Nya yang Maha Tunggal dan frase إِيَّاكَ نَسْتَعِينُ untuk manusia yang dimaknai sebagai meminta pertolongan untuk beribadah kepada-Nya dan ikhlas dalam menjalankannya. Sehingga keyakinan yang sudah mengakar dan menghujam di hati akan rububiyah Allah Swt atas seluruh makhluk, sifat Maharahman dan Maharahim serta kekuasan atas hari Kiamat lalu diikrarkan bahwa Dialah yang patut disembah dan dimintai pertolongan-Nya. Dan inilah jabaran dari uluhiyah Allah SWT.

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 5

Pernyataan sekaligus ikrar bahwa إِيَّاكَ نَعْبُدُ “Hanya Engkaulah yang kami sembah” senafas dengan وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ “dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” se-apa eratnya kedua ungkapan ini? Sangat erat tentunya. Ini bisa dilihat dari berbagai sisi. Dikatakan senafas karena kedua ungkapan ini sangat padat dan hanya dipisah dengan huruf “Wau” yang artinya “Dan”. Kedua ungkapan ini sama-sama menggunakan Fiil (Kata Kerja) Mudhari’ yang digunakan untuk menyatakan masa kini dan masa yang akan datang. Berarti, kegiatan menyembah dan minta pertolongan dimulai hari ini dan seterusnya. Subyek pelaku ungkapan menyembah dan meminta ini adalah ‘kami’ atau ‘kita’ dengan obyeknya yang tunggal yaitu ‘Iyyaaka” yang kedua-duanya diletakkan di awal kalimat.

Pernyataan Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan tidak bisa dipisah, karena orang yang menyembah Allah berarti dia meminta kepada-Nya karena dalam beribadah adalah meminta kepada-Nya. Juga meminta adalah bagian dari ibadah. Iyyaka Na’budu adalah tujuan seseorang dalam berbuat taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan nabi-Nya. Sedang, Iyyaaka Nasta’iin agar tidak meminta apa yang ia butuhkan kecuali kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa segala macam bentuk ibadah haruslah disertai dengan isti’anah. Imam As-Sinqithy dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat di atas sebagai pengejawantahan dari perintah Allah “sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu” (Al-Baqarah: 21). Dan, “janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah...!” (Al-Baqarah: 22) dan ayat-ayat lainnya. Selanjutnya kata beliau, tidak layak bertawakkal kecuali kepada yang berhak untuk diibadahi. Karena selain Dia tidak ada yang mampu menguasai segala urusan. Pernyataan ini didukung oleh Firman Allah surat Huud ayat 123 sebagai resume surat tersebut “maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya”!

  • Frase إِيَّاكَ نَعْبُدُ

Ayat ini diawali dengan dhamir (Kata ganti) إِيَّاكَ (Hanya Engkaulah). Kata ganti ini dikenal dengan sebutan dhamir Nashab Munfashil. Dikatakan Nashab karena kelompok dhamir ini digunakan sebagai maf’ul bih atau obyek. Dan dikatakan munfashil karena dhamir ini terpisah dari kalimat lain. Berarti dhamir إِيَّاكَ adalah dhamir nashab munfashil yang mufrad mukhatab. Singkatnya ialah kata ganti yang digunakan untuk orang kedua tunggal yang dalam struktur kalimat dia menjadi obyek. Orang kedua dalam hal ini adalah Allah SWT.

Selanjutnya, ternyata dhamir إِيَّاكَ didahulukan dari kata نَعْبُدُ. Kalimat ini bentuk normalnya adalah “Na’budu iyyaka wa nasta’inu iyyaaka” (Aku menyembah kepadamu dan memohon pertolongan kepadamu), namun ternyata objek kalimat dalam hal ini إِيَّاكَ didahulukan menjadi “iyyaaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Secara bahasa Arab, ini menghasilkan makna Al-Hashr (pembatasan) dan Al-Ikhtishahsh atau pengkhususan karena dianggap lebih penting, sehingga sudah tepat apabila ayat ini diterjemahkan dengan tambahan “Hanya” sebagai pembatasan dan pengkhususan semata. Dan lebih tepat lagi kalau penulis punya usul: “Hanya Akan Engkau kami menyembah dan hanya akan Engkau kami memohon pertolongan”. Kata “Akan Engkau” benar-benar terasa maf’ul bih sebagai obyek satu-satunya yang disembah dan dimintai pertolongan. Yaitu Allah yang Maha Tunggal.

Kata إِيَّاكَ diulangi lagi, ini merupakan tujuan mendapatkan perhatian dan juga sebagai pembatasan. Kandungan maknanya menurut Ibnu Katsir dalam tafsir-nya لا نعبد إلا إياك، ولا نتوكل إلا عليك “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu dan kami tidak menyerahkan sesuatu kecuali hanya kepada-Mu”. Dan inilah puncak kesempurnaan keta’atan. Dan memang content agama itu secara keseluruhan kembali kepada kedua makna ini. Lihatlah firman Allah surat QS. Al-Jin: 20 Allah tandaskan: قُلْ إِنَّمَا أَدْعُو رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.’” Makna seperti ini tidak hanya terdapat dalam satu ayat al-Qur’an saja, seperti firman-Nya di penghujung surat Huud Allah dengan tegas Allah memerintahkan:فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ Artinya: “maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan” (Qs. Hud 123). Dan juga dalam Surat Al-Bayyinah ayat 5 disebutkan, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”.

Penggunaan redaksi kata Na’budu (Kami menyembah) dan Nasta’iin (Kami minta pertolongan bukan A’budu (Aku menyembah) dan bukan Asta’iin (Aku minta pertolongan), ini mengandung makna yang halus dan dalam, yaitu pengakuan seseorang atas segala kekurangannya di hadapan Raja Diraja yang Maha Agung dan Maha Tinggi serta pengakuan kekurangannya dalam memohon pertolongan kepada-Nya dengan sendirian. Ini isyarat tentang spirit ajaran islam yakni adanya kebersamaan. Seorang muslim harus berbaur dengan yang lain sebagai satu kesatuan.

Ibadah mana yang dikehendaki oleh Al-Fatihah ayat 5? Tentu semua ibadah, baik ibadah Mahdhah yang syarat dan rukunnya serta teknis pelaksanaannya sudah ditentukan dan dicontohkan oleh Rasulullah seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Juga ibadah Ghair Mahdhah yakni semua aktivitas manusia sepanjang tujuan dan motifnya diorientasikan hanya kepada Allah. Hal ini merupakan implementasi doa iftitah yang dibaca dalam shalat sebelum surat Al-Fatihah pada raka’at pertama bahwa إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ : “Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Lagi-lagi untuk Tuhan semesta alam. Oleh karenanya, dalam beribadah kepada Allah, niat menempati peran penting. Dikatakan penting karena niat dapat menentukan diterima atau tidaknya ibadah kita. Niat beribadah harus benar-benar murni karena Allah dan hanya mengharap ridha-Nya. Oleh karenanya, target ibadah yang kita lakukan adalah bagaimana ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Agar ibadah itu diterima, paling tidak ada 2 (dua) syarat mutlak dalam beribadah yang meliputi persyaratan internal dan eksternal. Persyaratan internal ialah Ikhlas dan persyaratan eksternal adalah Ittiba kepada Rasulullah SAW.

Dalam hal ittiba’, kita tidak diperkenankan untuk berkreatif dalam soal ibadah. Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah merupakan sesuatu yang diridhai Allah, dan kita tidak akan mengetahui apa yang diridhai Allah kecuali setelah Allah kabarkan atau dijelaskan Rasulullah. Begitu juga dengan ikhlash. Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Allah semata. Walaupun seseorang beribadah siang dan malam, jika tidak ikhlash (dilandasi tauhid) maka sia-sialah amal tersebut seperti ayat 5 (lima) dari surat Al-Bayyinah di atas. Ikhlas dalam beribadah ialah Ibadah tidak boleh dicampur dengan syirik yang mengakibatkan ibadah tersebut lenyap tanpa diakui sebagai ibadah (Al-An’aam: 88).

Didahulukannya ungkapan Na’budu (ibadah) atas Nasta’iin (minta tolong) dalam surat Al-Fatihah itu termasuk dalam bab mendahulukan Ghooyaat (tujuan) atas Wasaail (sarana). Yakni, mendahulukan tujuan atas media. Karena, ibadah itu adalah tujuan hamba-hamba yang (memang) diciptakan untuk beribadah (Adz-Dzariyaat: 56). Sedang isti’anah (minta tolong) itu adalah wasilah (sarana) untuk ibadah itu sendiri.

  • Frase وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين

Ini adalah hak hamba untuk meminta pertolongan. Kata نَسْتَعِين memiliki asal kata A’aana atau al-Aun menolong yang kemudian mengalami tambahan huruf yang bertambah arti. Sehingga mengalami perubahan menjadi Ta’awana atau At-Ta’aawun (saling tolong menolong) dan Ista’aana atau Al – Isti’anah (minta pertolongan). Orang yang minta tolong disebut Al-Musta’iin sedang Allah dalam hal ini memposisikan sebagai Al-Musta’aan sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anbiyaa ayat 112 yang merupakan penutup dan sekaligus kesimpulan dari surat tersebut di mana nabi Muhammad SAW diperintah untuk mengatakan: قَالَ رَبِّ احْكُم بِالْحَقِّ Û— وَرَبُّنَا الرَّحْمَٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ " (Muhammad) berkata: “Ya Tuhanku, berilah keputusan dengan adil. Dan Tuhan kami ialah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Yang dimohonkan pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu katakan." Juga perkataan Ya’qub ketika anak-anaknya datang membawa baju gamis Yusuf (yang berlumuran) dengan darah palsu: وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ “Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan”. Jadi, Al Musta’an berarti satu-satunya yang dimintai pertolongan terhadap segala urusan yang dihadapi oleh hamba-Nya yaitu Allah SWT saja. Dan tidak disebutkannya pertolongan apa dalam frasa Iyyaka Nasta'in menunjukkan keumumannya. Artinya, kami meminta pertolongan dalam segala urusan.

Isti’anah mengandung dua hal penting, yaitu Keyakinan penuh kepada Allah dan penyerahan diri kepada-Nya (tawakkal). Hanya kepada Allahlah kita minta tolong untuk hal-hal yang memang hanya Allah yang bisa melakukannya seperti: rizqi, kesembuhan, jodoh, keselamatan, dan yang semisalnya. Meminta kepada selain Allah hal-hal yang hanya Allah saja yang mampu melakukannya adalah termasuk kesyirikan. Adapun meminta tolong kepada seseorang yang mampu untuk melakukannya sebagai bentuk taawun (tolong menolong) adalah termasuk hal yang diperbolehkan, Bahkan Allah Ta’ala menganjurkan saling tolong-menolong antar sesama hamba-Nya: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ Û– وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ “saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2). Misalnya, meminta pertolongan dokter ketika sakit. Semacam ini tentu dibolehkah namun dengan catatan harus meyakini bahwa pertolongan yang datang pada hakikatnya dari Allah, adapun dokter hanyalah sebab. Di antara contoh meminta pertolongan kepada orang hidup yang dibolehkan adalah seperti permintaan Dzul Qarnain kepada rakyatnya, "… maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat) …". (Al-Kahfi: 95)

Maka mintalah pertolongan kepada Allah dengan taqwa kepada-Nya. Yaitu dengan mengamalkan apa yang Allah perintahkan dan apa yang diperintahkan dan dianjurkankan oleh Rasul-Nya, serta menjauhi apa yang mereka larang. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ Ûš وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu‘” (QS. Al Baqarah: 45)

Berdo’a dan berharap hanya kepada Allah SWT, tawakkal dan istighatsah atau isti’anah (memohon pertolongan) hanya kepada Allah semata. Minta saja langsung karena Allah itu dekat. وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ Û– أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ Û– فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (Al-Baqarah: 186). Memenuhi segala perintah-Nya dan beriman kepada-Nya adalah kunci diterimanya sebuah doa. Dan ingat bahwa dalam berdoa hendaknya dengan merendah diri dan suara yang lembut (Al-A’raaf: 55) karena saudara meminta kepada zat yang Maha Mendengar.

Makna lain dari ibadah tentunya mendekatkan diri, bukankah apabila saudara meminta sesuatu, saudara harus mendekat baru meminta. Ini juga pelajaran bagi kita bahwa kita harus mendahulukan dulu hak Allah yang merupakan kewajiban kita kepada-Nya berupa ibadah. Bukan menuntut hak sebelum melaksanakan kewajiban.

Oleh para aktivis kemanusiaan selalu yang dikedepankan adalah Hak Asasi Manusia (HAM), sementara dalam islam adalah pemenuhan kewajiban itu lebih penting yakni Kewajiban Asasi Manusia (KAM). Sebab Allah telah memberikan segalanya bagi manusia apa yang menjadi kebutuhan hamba-Nya. Bahkan, Allah telah menyediakan kepada orang-orang yang beribadah kepada-Nya berupa surga yang penuh kenikmatan kelak (Al-Baqarah: 25).

Allah yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu kecuali dengan hikmah yang agung. Di antara ciptaan Allah adalah kita manusia dan jin. Dua makhluk inilah yang akan menghuni surga atau neraka. Kepada keduanya diberi tugas untuk beribadah kepada-Nya (Adz Dzariyat: 56). Tugas pengabdian dan ibadah hanya kepada Allah swt ini tidaklah ringan, sebab manusia adalah makhluk yang lemah (QS An-Nisa’: 28), dan penuh kezhaliman dan kebodohan (QS Al-Ahzab: 72), tentulah tidak akan mampu memenuhi tugas dan tanggung jawab yang sangat besar dan berat ini tanpa meminta pertolongan (ber-isti’anah) kepada Allah swt dan menyatakan bahwa mereka hanya meminta pertolongan ini kepada-Nya. Ini menunjukkan bahwa segala macam bentuk ibadah haruslah disertai dengan isti’anah. Isti’anah yang dimaksud adalah ajaran berupa do’a permintaan yang hendaknya diprioritaskan. Yaitu permintaan hidayah taufik dalam segala keadaan sebelum meminta fasilitas lain yang pada prinsipnya untuk mendukung pelaksanaan ibadah tersebut. Mintalah agar ditunjuki jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (اللهُ أَعْلَمُ بِمُرَادِهِ)

Dibaca: 3.437 Kali