Kitab yang ditulis imam syafi’i yang berisi tentang pandangan fiqihnya yang baru berjudul

Daftar Pustaka

Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Syihab al-Din al-‘Asqalani al-Syafi’i, Tahdzib al-Tahdzib, juz III, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1996.

Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz II, Kairo, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1974.

Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabihi al-Qadim wa al-Jadid, diterjemahkan oleh Usman Sya’roni dengan judul Ensiklopedia Imam Syafi’i: Biografi dan Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Masa, Bandung, Hikmah, 2008.

Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, Cet. IX.

CD Program Mausu’ah al-Hadis al-Syarif

Fatih Suryadilaga dkk, Studi Kitab Hadis, Yogyakarta, Teras, 2003.

Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, Juz. I, IV, Beirut, Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1993.

------------------------------------------, Ikhtilaf al-Hadis, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986

Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’i: Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Ara’uhu, wa Fikruhu, terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Utman, Imam Syafi’i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih, Jakarta, Lentera, 2007.

Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab al-‘Aqil, Manhaj al-Imam al-Syafi’i fi Itsbat al-‘Aqidah, terj. Nabhani Idris dengan judul Manhaj Aqidah Imam Syafi’i, Bogor, Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2002.

Nasr Hamid Abu Zayd, al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, diterjemahkan oleh Khoirun Nahdliyin dengan judul Imam Syafi’i: Moderatisme Eklektisisme Arabisme, Yogyakarta, LKiS, 1997.

Saifuddin, Tadwin Hadis: Kontribusinya dalam Perkembangan Historiografi Islam, Banjarmasin, Antasari Press, 2008.

Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh: ‘Ardh wa Dirasah, Beirut, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1959.

Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al Muththalibi al-Qurasyi atau lebih dikenal dengan Imam asy-Syafi’i lahir di Asqalan, Gaza, Palestina pada tahun 150 H/767 M dan meninggal dunia di Fushat, Mesir di tahun 204 H/819 M.

Beliau merupakan salah satu mufti besar dalam dunia Sunni Islam sekaligus sebagai penggagas mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i masih termasuk kerabat Rasulullah saw karena beliau dari Bani Muththalib, keturunan al-Muththalib, saudara Hasyim, kakek dari Nabi Muhammad saw.

Pada usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke kota Madinah untuk menuntut ilmu kepada ilmu besar ketika itu, yakni Imam Malik. Dua setelahnya ia pergi ke Irak dan di sana berguru pada murid-murid Imam Hanafi.

Kitab Karangan Imam Syafi’i

Ar-Risalah merupakan kitab hasil karangan Imam Syafi’i yang bisa dikatakan sebagai peletak pertama dasar-dasar teori hukum dalam Islam (ushul fiqh). Hingga sekarang kitab tersebut masih menjadi rujukan bagi siapapun yang berniat mengetahui serta memperdalam mengenai ushul fiqh.

Selain kitab Ar-Risalah, kitab karangan Imam Syafi’i yang menjadi masterpiece ialah kitab Al-Umm. Letak perbedaan pada keduanya ialah Ar-Risalah lebih dominan membahas pada tataran teoritis dan landasan dalam membentuk suatu hukul (istinbath hukum) sedangkan kitab Al-Umm, lebih kepada wilayah praktis yakni hasil ijtihad beliau dalam hal ihwal permasalah fiqh.

Melalui dua kitab karangan tersebutlah, Imam Syafi’i masyhur dikenal sebagai seorang bintang kaum Sunni di dunia Islam. Padahal di kalangan Sunni sendiri juga banyak terdapat Imam lain yang tak kalah terkenal ilmu dan kepandaiannya seperti Imam Hanafi, Imam Mailk, dan Imam Hambali, misalnya.

Berikut akan dipaparkan secara singkat mengenai kedua kitab karangan Imam Syafi’i tersebut.

Ar-Risalah

Metode pembentukan sebuah hukum ala Imam Syafi’i terkuak di dalam ini. Beliau menggunakan empat dasar dalam meng-istinbath-kan sebuah hukum yakni Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas.

“Tidak ada bagi seseorang berkata mengenai sebuah masalah yang ini halal dan yang ini haram melainkan sudah memiliki pengetahuan tentang hal itu. Pengetahuan tersebut yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas,” ucap beliau dalam kitabnya tersebut.

Imam Syafi’i mengidentikkan ijtihad dengan qiyas sehingga beliau menyimpulkan bahwa ijtihad itu adalah qiyas. Di titik lain, beliau sangat menolak tegas metode istihsan, yakni sebuah metode pemikiran yang dianggap hanya berdasar pada kebebasan berpikir manusia dengan berdasar pada kepentingan dan perilaku seseorang.

Beliau menambahkan bahwa, metode istihsan itu sendiri merupakan metode pengambilan hukum yang hanya menuruti kesenangan semata-mata. (Hal. 503-507).

Di akhir bab kitab tersebut, Imam Syafi’i menutupnya dengan bab Ikhtilaf yang mana bab tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa sang Imam besar sangat mencintai perbedaan dan pendaapt orang lain.

Al-Umm

Secara bahasa, kata al-umm memiliki arti ibu. Maksud Imam Syafi’i sendiri memang ingin menjadikan kitab tersebut sebagai kitab induk yang memberikan penjelasan terperinci tentang ilmu fikih.

Dalam kita Al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan sumber pembentukan mazhabnya dan bahwa ilmu memiliki tingkatan, yaitu:

  1. Ilmu yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul selaku sumber utama jika tetap kesahihannya.
  2. Ilmu yang didapatkan dari ijma’ jika dalam hal yang tak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
  3. Fatwa sebagian sahabat yang tak diketahui terdapat sahabat yang menyalahinya
  4. Pendapat yang menjadi perselisihan di kalangan sahabat.
  5. Qiyas, jika tak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil tersebut di atas.

Jadi, seseorang tak boleh berpegang pada selain Al-Qur’an dan Hadits dan tingkatan yang lain selama terdapat hukumnya di dalam dua sumber utama tersebut. Ilmu haruslah diambil dari tingkatan yang lebih di atas.

Dalam hal komposisi, bab-bab dalam kitab Al-Umm memang agak mirip dengan kitab fikih lainnya yang diawali dengan bab thaharah (bersuci), syarat wudhu, teknis berwudhu dan lain sebagainya.

Terdapat 128 masalah hukum yang dibahas dalam kitab Al-Umm. Di dalamnya juga terdapat pembahasan mengenai perbedaan antar mazhab-mazhab.

Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H di kota Gaza, Palestina. Di usia yang relatif muda, ia sudah menggebrak panggung sejarah pemikiran ushul fiqh dengan mahakarya kitab ar-Risalah.

Menurut Dr. Mahmud Abdurrahman dalam kitab Tarikh Ushul al-Fiqh, Imam Syafi’i menulis pertama kali kitab ar-Risalah di kota Makkah atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi. Saking kagumnya atas karya tersebut, Abdurrahman bin Mahdi berkata, "Aku tak akan pernah shalat kecuali di dalamnya aku akan selalu mendoakan asy-Syafi'i. Sungguh ia adalah pemuda yang sangat jenius".

Soal lokasi penulisan ar-Risalah, Fakhr ar-Razi berpendapat lain. Dalam kitab Manaqib asy-Syafi'I, ia menjelaskan bahwa Imam Syafi’i menulis kitab ar-Risalah di kota Baghdad, kemudian menulis ulang kitab ar-Risalah setibanya di negeri Mesir. Menurutnya, keduanya (kitab ar-Risalah yang ditulis di kota Baghdad dan yang ditulis di negeri Mesir) memiliki cakupan penjelasan ilmu yang luas.

Fakhr ar-Razi juga berpendapat dalam kitab Manaqib asy-Syafi'i

"Para ulama sebelum datangnya Imam Syafi’i saling berdiskusi di dalam masalah-masalah ushul fiqh. Para ulama saling mengambil dalil dan saling silang pendapat tetapi mereka tidak mempunyai rancangan peraturan yang bersifat menyeluruh yang bisa dipakai sebagai tendensi di dalam mendalami dalil-dalil syariat. Begitu juga, para ulama belum mempunyai tatanan baku dalam bersilang pendapat dan men-tarjih dalil-dalil syariat yang ada. Kemudian tampillah Imam Syafi’i dengan pemikirannya dalam ilmu Ushul Fiqh. Imam Syafi’i-lah yang meletakkan peraturan yang bersifat menyeluruh guna mendalami dalil-dalil syariat di hadapan khalayak ramai. Sehingga menjadi kukuhlah penisbatan kejeniusan Imam Syafi’i di dalam ilmu syara' seperti halnya penisbatan kejeniusan Aristoteles di dalam ilmu logika."

Baca juga: Di Balik Sikap Imam Syafi’i Keluar dari Kaidah Mazhabnya

Kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi’i di kota Makkah lebih dikenal dengan "ar-Risalah al-Qadimah" atau disebut juga dengan "ar-Risalah al-Atiqah".

Keistimewaan dari Imam Syafi'i dibandingkan dua mujtahid mutlaq sebelumnya, yaitu Imam Abu Hanifah yang terpusat di Iraq dan Imam Malik yang terpusat di kota Madinah, adalah perjalanan keilmuannya yang sangat kaya dan panjang.

Dimulai dari kota Makkah yang sangat terkenal dengan ilmu tafsir dan asbabun nuzul Al-Qur’an. Imam Syafi’i mulai menetap di kota Makkah sejak usia dua tahun. Imam Syafi’i telah menyelesaikan hafalan Al-Qur'an sebelum usianya genap menginjak umur tujuh tahun. Di kota Makkah, Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Syekh Muslim bin Khalid az-Zanji.

Kemudian, di usia 13 tahun Imam Syafi’i mulai mengembara ke kota Madinah yang terkenal dengan gudangnya ulama ahli hadits. Di kota Madinah inilah Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Imam Malik bin Anas. Imam Syafi’i menetap di kota Madinah hingga tahun 179 H/795 M, tahun di mana Imam Malik bin Anas wafat.

Di kota Makkah dan Madinah inilah, Imam Syafi’i bertemu dengan pakar ahli hadits, ahli tafsir dan ahli fiqh yang mumpuni di bidangnya. Imam Syafi’i mampu menyerap semua ilmu itu dengan baik. Hingga di fase ini, Imam Syafi’i mendapatkan derajat mumpuni dalam bidang fatwa, baik di bidang fiqh maupun bidang Hadits.

Selain menimba ilmu agama, Imam Syafi’i juga belajar gramatika bahasa Arab ke pelosok-pelosok pedalaman jazirah Arab. Diriwayatkan Imam Syafi’i pernah menetap lama di perkampungan bani Hudzail. Di fase inilah, Imam Syafi’i mendapatkan penguasaan gramatika bahasa Arab yang fashih dan baik, yang di kemudian hari sangat menunjangnya dalam memahami tata bahasa Al-Qur’an dan Hadits.

Imam Syafi’i juga sempat menjadi pegawai pemerintahan di daerah Najran setelah wafatnya Imam Malik. Kemudian, Imam Syafi’i menetap sekitar sembilan tahun di kota Makkah. Kemungkinan besar dalam periode sekitar sembilan tahun menetap di kota Makkah inilah Imam Syafi’i mengarang kitab ar-Risalah.

Pengembaraan Imam Syafi’i berlanjut ke kota Baghdad pada tahun 195 H/810 M. Di fase inilah, Imam Syafi’i menemukan banyak penyesuaian. Imam Syafi’i mampu menyelaraskan dengan baik pemikiran ahlu naql (ulama yang banyak bersandar pada teks agama, red) yang didapatkan di kota Madinah di bawah asuhan Imam Malik dengan pemikiran ahlu ra'yi (ulama yang banyak bersandar pada akal, red) yang didapatkan di bawah asuhan Imam Muhammad bin al Hasan, murid dari Imam Abu Hanifah di kota Baghdad.

Di kota Baghdad inilah, Imam Syafi’i memiliki beberapa murid. Murid-murid beliau di kota Baghdad di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, az-Za'farani, dan al-Karabisi.

Setelah perjalanan keilmuannya yang panjang, tak pelak, Imam Syafi’i merasa memerlukan banyak reformasi dalam kitab ar-Risalah yang telah ditulis dahulu di kota Makkah. Hingga di fase akhir inilah, Imam Syafi’i menulis ulang kitab ar-Risalah di Fustath, salah satu bagian dari kota Kairo di negeri Mesir saat itu.

Maka lahirlah kitab ar-Risalah versi baru yang dianggap para ulama setelahnya sebagai puncak pemikiran Imam Syafi'i. Di kemudian hari, karya yang ditulis ulang ini lebih masyhur dengan sebutan “ar-Risalah al-Jadidah" atau dikenal juga dengan "ar-Risalah al-Mishriyyah".

Akan tetapi, meskipun telah mengalami masa menimba ilmu yang sangat panjang Imam Syafi’i tetap berusaha untuk menyempurnakan kitab ar-Risalah. Hal ini, sebagaimana catatan Imam al-Baihaqi dalam kitab Manaqib asy-Syafi'i yang bersumber dari Rabi' bin Sulaiman, murid dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata, "Aku membaca kitab ar-Risalah al-Mishriyyah di hadapan Imam Syafi’i lebih dari 30 kali, dan setiap aku membaca di hadapannya, Imam Syafi’i selalu memberikan koreksi atas kitab ar-Risalah al-Mishriyyah, kemudian pada akhirnya Imam Syafi’i berkata kepadaku, ‘Allah tidak menakdirkan sebuah kitab lebih shahih (terhindar dari kesalahan) kecuali dalam kitab-Nya (Al-Qur'an)’."

Di kemudian hari, kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi’i dijabarkan lebih panjang (syarh) oleh Imam Abu Bakar Muhammad bin Abdullah ash-Shairafi, Imam Abu Walid Hassan bin Muhammad al Umawi, Imam Muhammad bin Ali yang lebih masyhur dengan julukan al-Qaffal asy-Syasyi, Imam Abu Muhammad al-Juwaini (ayah dari Imam Haramain al-Juwaini), dan Imam Abu Bakar Muhammad bin Abdullah asy-Syaibani.

Setelah lahirnya kitab ar-Risalah al-Jadidah Imam Syafi’i merasa perlu untuk menyempurnakan lagi ilmu ushul fiqh yang beliau rintis dengan menerbitkan kitab Jima'ul Ulum. Kitab ini banyak menceritakan tentang golongan yang menolak dalil hadits Ahad serta bantahannya dan sejenisnya.

Disusul setelahnya, Imam Syafi’i menerbitkan kitab Ikhtilaful Hadits yang menjelaskan perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi hadits yang beredar. Kitab ini disusun sesuai dengan alur bab ilmu fiqh. Dan pada akhirnya Imam Syafi’i menutup karya-karyanya dalam ilmu ushul fiqh dengan menerbitkan kitab Ibthalul Istihsan. Kitab ini banyak mengkritik ulama yang terlalu berlebihan dalam memakai metode istihsan. Selain itu, Imam Syafi’i juga menulis kitab Sifatu Nahyi Nabi yang menjelaskan makna larangan (nahyu) dalam hadits Nabi.

Walhasil, Imam Syafi’i meletakkan fondasi yang sangat kokoh sebagai awal dimulainya diskusi panjang tiada akhir di bidang ilmu ushul fiqh. Di antara landasan pemikiran yang telah dibangun oleh Imam Syafi’i adalah:

  • Menjelaskan dalil-dalil yang diambil dalam menentukan hukum yaitu Al-Qur’an, hadits, ijma', qiyas, serta mempertajam urutannya.
  • Memperkokoh hujjah hadits secara umum dan mengukuhkan hujjah hadits Ahad secara khusus serta menerangkan tentang tidak adanya pertentangan secara nyata baik antara Al-Qur’an dan hadits maupun antara satu hadits dengan hadits lainnya sebagai sumber dalil.
  • Menjelaskan kewajiban mengikuti jalan orang-orang beriman (ijma').
  • Memberikan batasan dan kadar yang jelas dalam menjadikan akal sebagai patokan hukum serta memberikan syarat yang terperinci dalam menggunakan Qiyas.
  • Memberikan perlawanan cukup serius dalam mematahkan hujjah Mu'tazilah yang terlalu ekstrem dalam mentakwil sifat Allah.
  • Memberikan peringatan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab serta di dalam Al-Qur’an ada beberapa cara baca yang memang ada di dalam pelafalan bahasa Arab.
  • Menerangkan tentang amr (perintah) dan nahi (larangan).
  • Menjelaskan naskh dan mansukh (pembatalan hukum).

Setelah periode Imam Syafi’i, berbondong-bondonglah para ulama generasi selanjutnya untuk menelisik lebih jauh di dalam masalah Al-Qur’an dan hadits.

Di antara para ulama tersebut adalah Imam Ahmad bin Hanbal dengan karya kitab Risalatul Imam Ahmad fi Tha'atir Rasul, disusul dengan Imam al-Bukhari dengan karya kitab Akhbarul Ahad dan karya kitab al-I'tisham bil Kitab wa Sunnah, disusul dengan Imam Ibnu Qutaibah dengan karya kitab Takwil Musykil al-Qur'an dan karya kitab Takwilu Mukhtalafil Hadits.

Imam Syafi’i wafat pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H di kota Kairo.


Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir; penerima beasiswa NU pada tahun 2018.



Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.