Komando mandala merencanakan 3 fase dalam pembebasan Irian Barat dengan urutan

Soekarno memerintahkan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Brigjen Soeharto selaku Panglima Komando Mandala.

Jakarta (ANTARA) - Di Palembang, Sumatera Selatan, pada tanggal 10 April 1962, presiden pertama Republik Indonesia Soekarno berjanji akan segera membebaskan Irian Barat (sekarang Provinsi Papua Barat) dari cengkeraman kolonialisme Belanda dan menjadikannya bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka.

Dalam pidatonya, yang berjudul Seluruh Rakyat dari Sabang sampai Merauke Bertekad Membebaskan Irian Barat dalam Tahun Ini Juga, Soekarno mengatakan bahwa Indonesia terlalu lunak terhadap imperialisme Belanda di Irian Barat. Ia saat itu berseru bahwa Indonesia tidak akan lagi membiarkan Belanda mengulur-ulur waktu dan bersiap untuk mengerahkan segala upaya demi mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.

"Kita malahan sudah terlalu lama memberi ampun kepada imperialisme di Irian Barat. Terlalu lama! Sekarang datanglah saat yang kita dalam tahun ini pula, tidak memberi ampun kepada imperialisme di Irian Barat," kata Soekarno, Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat, saat berkunjung ke Palembang untuk memeriksa kesiapan pembangunan Jembatan Musi. Upaya mempertahankan kedaulatan Indonesia di Irian Barat berawal setelah Belanda menolak mengakui bahwa wilayah itu adalah bagian dari NKRI dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Delegasi Indonesia dan Belanda memiliki perbedaan pandangan saat KMB berlangsung pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949. Delegasi Belanda berpendapat bahwa Irian Barat tidak memiliki hubungan dengan wilayah Indonesia yang lain sehingga mereka menginginkan daerah itu diberikan status khusus. Namun, delegasi Indonesia berpendapat bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Indonesia Timur yang masuk dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam pertemuan itu, Arsip Nasional Indonesia mencatat dua pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah lewat negosiasi lebih lanjut antara Kerajaan Belanda dan RIS satu tahun setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Akan tetapi, satu tahun setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, perundingan mengenai status Irian Barat tidak menemui titik terang.

Arsip Nasional Republik Indonesia dalam publikasinya berjudul Guide Arsip Perjuangan Pembebasan Irian Barat 1949—1969 mencatat dua pertemuan telah digelar di Jakarta pada bulan Maret 1950 dan di Den Haag pada bulan Desember 1950.

Dua pertemuan itu bertujuan mengumpulkan fakta mengenai Irian Barat, kemudian akan dilaporkan ke Uni Indonesia-Belanda. Namun, dua pihak menyerahkan dua laporan berbeda sehingga upaya itu buntu. Alhasil, Indonesia menempuh jalur konfrontasi politik dan ekonomi, di antaranya memutus hubungan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 15 Februari 1956, membatalkan persetujuan KMB secara sepihak pada tanggal 27 Maret 1956, dan membentuk Provinsi Otonomi Irian Barat pada tanggal 15 Agustus 1956. Indonesia juga menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda mulai dari maskapai penerbangan, pelayaran, bank, pabrik gula, hingga perusahaan gas. Setidaknya, ada sekitar 700 perusahaan Belanda atau campuran modal Belanda-Indonesia yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia dengan total nilainya mencapai 1.500 juta dolar AS. Aksi Indonesia pun dibalas dengan penguatan militer Belanda di Irian Barat, salah satunya dengan pengiriman Kapal Induk Karel Doorman ke perairan Indonesia di wilayah timur.

M. Cholil dalam bukunya Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat (1979) mencatat pengiriman kapal induk itu pun menambah ketegangan hubungan diplomatik Indonesia dan Belanda.

Puncaknya, Indonesia pun memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960.

Konfrontasi Militer

Setelah putusnya hubungan diplomatik itu, Soekarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kian gencar mempersiapkan pasukan perang dan menyusun operasi militer untuk mengusir imperialisme Belanda di Irian Barat. Pemerintah Indonesia pada tahun 1961 mengirim sejumlah anak muda dari berbagai daerah di Papua yang pro-NKRI ke Irian Barat. Langkah itu, menurut M. Cholil, merupakan balasan atas aksi Belanda yang mengusir kelompok masyarakat pro-NKRI serta mendatangkan warga anti-Indonesia ke Irian Barat selama 1950—1960. Selama periode itu, Belanda mengerahkan sekitar 10.000 polisi di Irian Barat untuk menghalang-halangi warga setempat atau masyarakat di pulau sekitar yang pro-NKRI datang ke Irian Barat. Belanda juga menyiapkan armada lautnya, seperti kapal induk Karel Doorman, dua buah kapal perusak, dan dua kapal selam di Laut Karibia. Indonesia membalas aksi Belanda dengan melakukan kunjungan ke sejumlah negara sahabat dan meminta dukungan dari komunitas internasional. Menteri Keamanan Nasional Jenderal A.H. Nasution, misalnya, di akhir 1960 melawat ke Uni Soviet, kemudian menandatangani perjanjian pembelian senjata. Uni Soviet saat itu setuju senjata dibeli dengan kredit jangka panjang sehingga tidak terlalu memberatkan bagi perekonomian Indonesia. Dari Uni Soviet, Indonesia mendapatkan tidak hanya senjata berat, tetapi juga kapal penjelajah Sverdlov, kemudian diberi nama "KRI Irian" dan pesawat peluncur bom jarak jauh Tupolev-16.

Martin Sitompul dalam artikelnya Ongkos Pembebasan Irian Barat yang terbit di Historia.id pada tahun 2020 menulis Tim Logistik untuk Pembebasan Irian Barat bekerja cepat menyiapkan gudang-gudang peralatan perang di pelosok hutan, peralatan tempur, lapangan udara, bahan bakar, bahkan sampai pabrik roti. Pabrik roti itu sengaja dibuat untuk jadi sumber konsumsi para teknisi dari Uni Soviet.

Tim logistik juga menyiapkan mesin dan alat konstruksi buatan Inggris, serta tangki-tangki terapung untuk mengisi bahan bakar buatan Jerman. "Penggalangan kekuatan fisik militer berlangsung terus sehingga pada ulang tahun XVI Proklamasi, 17 Agustus 1961, Republik Indonesia merasa kuat dalam konfrontasi dengan Belanda di segala bidang," kata M. Cholil dalam bukunya. Indonesia, pada penghujung 1961, membentuk Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (KOTI) dan Soekarno sebagai panglima tertinggi juga mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora): 1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda Kolonial; 2. Kibarkanlah Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia; 3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan bangsa.

Persetujuan New York

Ketegangan antara Indonesia dan Belanda memasuki babak baru setelah Belanda menyerang tiga kapal Indonesia di Laut Arafuru/Aru. Dalam pertempuran itu, Komodor Yos Sudarso bersama seluruh awak kapalnya gugur setelah memutuskan menjadikan Kapal Komando KRI Macan Tutul sebagai sasaran tembak dua kapal perusak Belanda, yang diduga adalah HRMS Utrecht dan Evertsen. Yos Sudarso berbuat demikian agar KRI Macan Kumbang dan KRI Harimau, yang saat itu tengah berpatroli bersama KRI Macan Tutul di Laut Aru, punya kesempatan melepaskan diri dari serangan Angkatan Laut Belanda. Gugurnya awak KRI Macan Tutul di Laut Aru pun meneguhkan niat Indonesia mempercepat operasi militer di Irian Barat. Soekarno memerintahkan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Brigjen Soeharto selaku Panglima Komando Mandala untuk menjalankan tiga tahapan operasi militer, yaitu penyusupan, serangan terbuka, dan konsolidasi atau menegakkan kekuasaan secara penuh di Irian Barat. Namun, sebelum pertempuran itu pecah, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menunjuk Jaksa Agung Robert F. Kennedy untuk mempertemukan dua pihak. Rencana untuk berunding itu juga dimotori oleh diplomat AS Ellsworth Bunker. Ujung dari rencana itu adalah terselenggaranya perundingan di New York, yang menghasilkan Persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Persetujuan itu, yang difasilitasi oleh Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, memerintahkan Belanda menyerahkan pemerintahan di Irian Barat kepada penguasa sementara PBB-Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) pada tanggal 1 Oktober 1962, kemudian UNTEA secara resmi mengembalikan kedaulatan Indonesia di Irian Barat ke pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Syaratnya saat itu Indonesia harus mengadakan referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebelum akhir 1969. Pepera kemudian berlangsung pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasilnya saat itu Irian Barat tetap jadi bagian dari Indonesia. Pemerintah Indonesia pun melaporkan hasil Pepera pada Sidang Umum Ke-24 PBB dan seluruh hasilnya diterima dalam sidang umum PBB pada tanggal 19 November 1969.

Setelah rangkaian peristiwa itu, pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 1 Mei 1963 sebagai Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat guna mengingat kembali pengorbanan para patriot yang gugur serta untuk meneguhkan sikap bahwa Papua dan Papua Barat akan selalu tergabung dalam wilayah NKRI.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2021

Penjelasan mengenai 3 Fase Operasi Pembebasan Irian Barat, Serta Pelaksanaan Hasil KMB, dan TriKora, trikora, isi kmb, hasil kmb, isi konferensi meja bundar, meja bundar, kmb dilaksanakan di, konferensi meja bundar , dan hasil konferensi meja bundar.




Komando Mandala merencanakan operasi-operasi pembebasan Irian Barat dalam tiga fase, yaitu sebagai berikut.

Fase ini berlangsung sampai akhir 1962. Pada fase ini usaha pembebasan wilayah Irian Barat melibatkan rakyat dalam perjuangan fisik. Perjuangan pembebasan Irian Barat adalah perjuangan seluruh rakyat Indonesia. 

Di mana-mana dibentuk kesatuan-kesatuan sukarelawan seperti di kantor-kantor, sekolah-sekolah, organisasi-organisasi, dan sebagainya. Sebagian dari para sukarelawan tersebut bersama-sama dengan ABRI turut serta dalam operasi infiltrasi.

Fase ini dimulai awal 1963 dengan dilakukan serangan terbuka terhadap lawan untuk menduduki pos-pos pertahanan musuh yang penting.

Fase ini terjadi awal 1964, di mana mulai ditegakkannya kekuasaan Republik Indonesia di seluruh wilayah Irian Barat.

Antara bulan Maret sampai bulan Agustus 1962 oleh Komando Mandala dilakukan serangkaian operasi-operasi pendaratan melalui laut dan penerjunan dari udara di daerah Irian Barat. 

Operasi-operasi infiltrasi tersebut berhasil mendaratkan pasukan-pasukan ABRI dan sukarelawan di berbagai tempat di Irian Barat. Antara lain Operasi Banteng di Fak-Fak dan Kaimana, Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga dengan sasaran Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke.

Sementara itu mulai disusun suatu rencana serangan terbuka merebut Irian Barat sebagai suatu operasi penentuan yang dinamai Operasi Jayawijaya. 

Komando mandala merencanakan 3 fase dalam pembebasan Irian Barat dengan urutan
Suasana Rapat Umum Pembebasan Irian Barat

Untuk melaksa-nakan operasi-operasi tersebut Angkatan Laut Mandala di bawah pimpinan Kolonel Soedomo membentuk Angkatan Tugas Amphibi 17, terdiri atas tujuh gugus tugas, sedangkan Angkatan Udara membentuk enam kesatuan tempur baru.

Pada mulanya Belanda mencemoohkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut. Mereka mengira, bahwa pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah Irian. 

Tetapi setelah ternyata bahwa operasi-operasi infiltrasi dari pihak kita ber-hasil yang antara lain terbukti dengan jatuhnya Teminabuan ke tangan pasukan Indonesia, maka Belanda bersedia untuk duduk pada meja perundingan guna menyelesaikan sengketa Irian. 

Dan dunia luar pun yang dulunya mendukung posisi Belanda di forum PBB mulai mengerti bahwa Indonesia tidak main-main.


Silahkan baca juga : Mengenal Benua, Negara dan Sistem Pemerintahannya

Sementara itu Pemerintah Kerajaan Belanda sedikit banyak mendapat tekanan dari pihak Amerika Serikat untuk berunding, untuk mencegah terseretnya Uni Sovyet dan Amerika Serikat ke dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik Barat-daya di mana masing-masing pihak memberi bantuan kepada pihak yang lain di-antara yang bersengketa, yaitu Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. 

Dengan demikian pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, yang terkenal dengan Perjanjian New York.

Adapun isi dari Perjanjian New York adalah sebagai berikut.

  1. Kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir pada 1 Oktober 1962. 
  2. Irian Barat akan berada di bawah perwalian PBB hingga 1 Mei 1963 melalui lembaga UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang dibentuk PBB. 
  3. Pada 1 Mei 1963, Irian Barat akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia. 
  4. Pemerintah Indonesia wajib mengadakan penentuan pendapat rakyat (pepera) Irian Barat untuk menentukan akan berdiri sendiri atau tetap bergabung dengan Indonesia, pada tahun 1969 di bawah pengawasan PBB.
Perjanjian itu berdasarkan prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Duta Besar Ellsworth Bunker dari Ameirika Serikat, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB diminta untuk menjadi penengah.

Soal yang terpenting dalam perjanjian itu, ialah mengenai penyerahan pemerintahan di Irian dari pihak Kerajaan Belanda kepada PBB. 

Untuk kepentingan tersebut dibentuklah United Nations Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang pada gilirannya akan menyerahkan pemerintahan itu kepada Republik Indonesia se-belum tanggal 1 Mei 1963. 

Sedangkan Indonesia menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian sebelum akhir tahun 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menerima hasil-hasilnya.

Selanjutnya untuk menjamin keamanan di wilayah Irian Barat, PBB membentuk pasukan keamanan yang dinamakan United Nations Security Forces (UNSF) di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Said Udin Khan dari Pakistan.

Sesuai dengan Persetujuan New York, pada tanggal 1 Mei 1963 kekuasaan pemerintahan atas Irian Barat dari UNTEA diserahkan kepada Indonesia. 

Dengan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, maka Komando Mandala juga dibubarkan. Operasi terakhir yang dilaksanakan oleh Komando Mandala untuk menyelenggarakan penyerahan kekuasaan pemerintahan Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI adalah Operasi Wisnumurti.

Dari hasil Pepera tahun 1969 itu, Dewan Musyawarah Pepera secara aklamasi memutuskan bahwa Irian Barat tetap ingin bergabung dengan Indonesia. Hasil musyawarah pepera tersebut dilaporkan dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-24 oleh diplomat PBB, Ortiz Sanz yang bertugas di Irian Barat.

Kembalinya Irian Barat ke pangkuan pemerintah Republik Indonesia berarti kembali membaiknya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Belanda. Oleh karena itu, pada tahun 1963 itu juga, dilakukan pembukaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta.

Bentuk perjuangan yang dijalankan pemerintah cenderung menerapkan upaya diplomasi untuk menyelesaikan konfliknya dengan penjajah. 

Namun, karena watak penjajah yang selalu ingkar janji, maka kesepakatan pun tidak terlaksana. Demikian juga dengan perjuangan diplomasi yang dilakukan bangsa Indonesia untuk membebaskan Irian Barat.

Sesuai isi KMB, Irian Barat akan diserahkan oleh Belanda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS. Namun, pada kenyataannya lebih dari satu tahun pengakuan kedaulatan Indonesia, Belanda tidak kunjung menyerahkan Irian Barat pada Indonesia. 

Bahkan pada tahun 1952, Belanda memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda. Padahal, sebelumnya Indonesia berupaya melakukan pendekatan bilateral dengan Belanda dalam penyelesaian masalah Irian Barat sejak masa Kabinet Natsir. 

Akhirnya,Indonesia membawa masalah Irian Barat ke forum PBB pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I dan dilanjutkan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap. Namun upaya ini tidak membawa hasil.

Pembebasan Irian Barat merupakan tuntutan nasional yang didukung oleh semua partai politik dan semua golongan. Tuntutan itu didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi, 

“untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ....” 

Sedangkan Irian Barat adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia.

Oleh karena berbagai upaya diplomasi tidak berhasil, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menempuh sikap keras melalui konfrontasi total terhadap Belanda.

Pada tahun 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dan secara otomatis membubarkan Uni Indonesia-Belanda. Melalui UU No. 13 Tahun 1956 tanggal 3 Mei 1956,Indonesia menyatakan bahwa Uni Indonesia–Belanda tidak ada.

Pada 18 November 1957, diadakan rapat umum pembebasanIrian Barat di Jakarta. Rapat tersebut mendorong seluruh rakyat Indonesia untuk mendukung kebijakan yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam upaya merebut Irian Barat.

Para buruh Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda melakukan mogok massal yang diikuti oleh pemboikotan berbagai media massa dan film-film buatan Belanda. 

Akhirnya pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap berbagai perusahaan Belanda yang ada di Indonesia pada tahun 1957, seperti Bank Escompto, perusahaan Philips dan KLM, serta percetakan de Uni.

Komando mandala merencanakan 3 fase dalam pembebasan Irian Barat dengan urutan
Pengambilalihan Perusahaan KLM

Untuk mencegah tindakan anarki dan untuk menampung keinginan rakyat banyak, maka Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Nasution selaku Penguasa Perang Pusat memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan Belanda, dan kemudian menyerahkannya kepada pemerintah.

Pada 17 Agustus 1960, Indonesia secara sepihak memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda yang diikuti oleh pemecatan seluruh warga negara Belanda yang bekerja di Indonesia.

Kemudian pemerintah Indonesia mengusir semua warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia dan memanggil pulang duta besar serta para ekspatriat Indonesia yang ada di Belanda. 

Menghadapi konfrontasi Indonesia tersebut, ditanggapi Belanda dengan mempersiapkan pembentukan negara Papua serta segala kelengkapannya seperti lagu kebangsaan dan bendera. 

Untuk menandingi pembentukan negara Papua, pemerintah RI membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibu kota di Soasiu (Tidore).

Usaha merebut Irian Barat yang sebelumnya dilakukan dengan cara diplomasi dan tekanan-tekanan ekonomi, mulai ditingkatkan ke arah perjuangan dengan kekuatan bersenjata.

Dalam rangka persiapan suatu kekuatan militer untuk merebut Irian, pemerintah Republik Indonesia mencari bantuan senjata ke luar negeri. 

Pembelian senjta itu dilakukan ke negara Moskow, India, Pakistan, Thailand, Filipina, Australia, Selandia baru, Jerman, Prancis, dan Inggris.

Mengetahui usaha yang dilakukan oleh Indonesia tersebut, Belanda mulai menyadari bahwa bila Irian Barat tdak diserahkan secara damai kepada Indonesia, maka Indonesia akan membebaskannya dengan kekuatan militer. 

Menghadapi persiapan-persiapan Indonesia itu, Belanda mengajukan protes kepada PBB dengan menuduh Indonesia melakukan agresi, selanjutnya PBB memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan kapal perangnya ke perairan Irian Barat, di antaranya kapal induk Karel Doorman.

Puncak konfrontasi Indonesia terhadap Belanda terjadi saat Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Jogjakarta. 

Adapun isi Trikora adalah sebagai berikut.

  1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial. 
  2. Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia. 
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Untuk melaksanakan Trikora, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/Pangti ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan Nomor 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat di Makassar (Ujung Pandang). 

Komando Mandala bertugas untuk berikut ini.

  1. Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi-operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Provinsi Irian Barat ke dalam kekuasaan negara Republik Indonesia. 
  2. Mengembangkan situasi militer di wilayah Irian Barat: a. sesuai dengan taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi; b. supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di wilayah Provinsi Irian Barat dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau didudukkan untuk kekuasaan/pemerintah daerah Republik Indonesia.

Silahkan Baca Juga : Pemberontakan PKI Madiun dan 5 tempat tragedi DI/TII

Pembahasan saat ini yaitu 7 Pengguna dalam Basis data dan Operasi Operasi Dasar Manajemen Database, arsitektur basis data, basis data, database 7 Pengguna dalam Basis data dan Operasi Operasi  Dasar Manajemen Database Pengguna dalam Basis data Pada tingkat pemakai, data base dikelompokkan menjadi beberapa tingkat pemakai yaitu antara lain sebagai berikut : 1. Database Administrator Ialah manusia yang mengorganisasi seluruh sistem basis data. Database administrator imemiliki tanggung jawab penuh dalam manajemen database meliputi: pengaturan hak akses, koordinasi dan monitoring serta bertanggung jawab terhadap kebutuhan hardware dan software. Dalam pekerjaannya biasanya dibantu oleh staf Admin. Database Administrator 2. Database Designer Adalah manusia yang bertugas merancang dan mengembangkan database. database designer bertanggung jawab dalam identifikasi data yang tersimpan dalam database, menentukan struktur data yang tepat untuk disimpan dalam database. Database designer memerlukan

5 Fungsi Modul Input Output (I/O) Modul I/O adalah suatu komponen dalam sistem komputer yang bertanggung jawab atas pengontrolan sebuah perangkat luar atau lebih dan bertanggung jawab pula dalam pertukaran data antara perangkat luar tersebut dengan memori utama ataupun dengan register – register CPU. Dalam mewujudkan hal ini, diperlukan antarmuka internal dengan komputer (CPU dan memori utama) dan antarmuka dengan perangkat eksternalnya untuk menjalankan fungsi-fungsi pengontrolan. Fungsi dalam menjalankan tugas bagi modul I/O dapat dibagi menjadi beberapa katagori, yaitu: • Kontrol dan pewaktuan. • Komunikasi CPU. • Komunikasi perangkat eksternal. • Pem-buffer-an data. • Deteksi kesalahan. 1. Fungsi Kontrol dan Pewaktuan Fungsi kontrol dan pewaktuan (control & timing) merupakan hal yang penting untuk mensinkronkan kerja masing – masing komponen penyusun komputer. Dalam sekali waktu CPU berkomunikasi dengan satu atau lebih perangkat dengan pola tidak menentu dan kecepatan transfer

5 Komponen Penting dalam Proposal Penelitian, tahapan metode ilmiah, metodologi penelitian, metode ilmiah