Masyarakat arab sebelum Islam disebut jahiliyah hal ini karena

Ciri umum yang selalu disebut-sebut pada masyarakat Arab, suku Quraisy, ketika Nabi Muhammad mulai diutus memperkenalkan ajaran Islam adalah jahiliyah. Kata jahiliyah artinya adalah bodoh. Nabi Muhammad diutus di tengah masyarakat itu oleh karena kebodohannya. Bukan disebut nakal, tetapi adalah bodoh.

Bodoh lawan katanya adalah pintar, cerdik, atau cerdas. Disebut bodoh oleh karena tidak mampu mengunakan akal atau pikirannya. Diajari tidak nyambung, diberi sesuatu menolak, diberi nasehat tidak mau mendengarkan, Sesuatu yang penting diangap tidak ada gunanya, dan sebaliknya, sesuatu yang tidak ada gunanya dianggap penting.

Oleh karena kebodohannya itu, patung buatannya sendiri dianggap tuhannya. Anak perempuan sebagai penerus keturunannya dianggap rendah, tidak ada gunanya, dan bahkan mendatangkan rasa malu. Wanita termasuk ibunya sendiri dianggap sekedar sebagai harta dan boleh diwaris. Maka, harkat dan martabat manusia tidak dihargai.

Selain itu, oleh karena kebodohannya itu pula, manusia dirampas kehormatannya, dijadikan budak, dan diperdagangkan. Seseorang tatkala dijadikan budak, maka diperlakukan apapun sesuai dengan kemauan pemiliknya. Ketika itu ada jual beli manusia atau budak, bahkan di juga terdapat pasar manusia.

Antar kabilah atau suku saling bersaing, perang, dan juga beradu kekuatan. Siapa yang kuat, merekalah pemenangnya. Kehidupan manusia, pada zaman jahiliyah tidak ubahnya kehidupan binatang. Beradu kekuatan dianggap hal biasa. Itulah sebabnya masyarakat Arab, suku Quraisy, ketika itu disebuit sebagai masyarakat bodoh atau jahiliyah.

Berbeda dengan zaman jahiliyah, masyarakat sekarang ini menamakan dirinya modern, beradab, menghargai harkat dan martabat manusia. Kebodohan dianggap sudah hilang, atau masa lalu. Antar manusia sudah saling memahami, menghormati, menjalin kasih sayang, dan bertolong menolong. Siapa saja yang menggangu kehormatan seseorang, maka diadi atas dasar hukum yang berlaku.

Namun pertanyaannya adalah, apakah sebenarnya pada masyarakat modern, ciri kebodohan atau jahiliyah sebagaimana dikemukakan itu sudah berhasil dihilangkan. Mari kita lihat melalui gambaran singkat berikut. Pada masyarakat modern setelah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka antar negara juga ternyata saling berlomba kekuatan, baik lewat ekonomi, politik, dan bahkan juga persenjataan.

Alat-alat modern yang berfungsi untuk menghancurkan kekuatan musuh, ternyata semakin dahsyat. Jika peperangan pada zaman jahiliyah Arab dahulu hanya menggunakan panah, tombak, dan pedang, maka sekarang ini negara-negara maju menggunakan peralatan yang amat canggih, berupa bom atau nuklir yang memiliki daya pemusnah yang amat dahsyat. Hanya dalam hitungan detik, sebuah kota besar bisa dibikin hancur tidak tersisa.

Jika pada masa jahiliyah manusia diperdagangkan, harkat dan martabat wanita tidak dihargai, maka pada zaman modern sekarang ini, masing-masing kita bisa melihat sendiri. Perempuan dijual belikan, bagaikan barang atau bahkan binatang, untuk memuaskan nafsu yang tidak terkendali. Jual beli perempuan, juga diiklankan bagaikan memasarkan barang dagangan lainnya.

Lebih dahsyat lagi, binatang tatkala mengembangkan keturunannya tidak melakukan kesalahan. Binatang berjenis kelamin jantan melakukan seks dengan betina. Seks di kalangan binatang tidak ada yang antar sejenis, tetapi justru manusia ada yang melakukan hal itu. Homoseks dijadikan perbincangan untuk dilegalkan. Demikian pula, obat-obatan terlarang, diperjual belikan. Belum lagi kejahatan itu berupa korupsi, manipulasi, kong kalikong, bahkan juga pembunuhan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan atau keselamatan dirinya.

Merenungkan gambaran tersebut, maka di zaman modern seperti sekarang pun, ciri-ciri jahiliyah ternyata justru lebih tampak, dan bahkan kekuatan perusaknya jauh lebih dahsyat. Mungkin jika dibandingkan, keadaan di zaman modern ini akan lebih jahiliyah dibanding masyarakat jahiliyah suku Quraisy zaman dahulu. Akhirnya, memperhatikan hal itu, sementara orang bertanya, bagaimana mengatasi jahiliyah modern itu. Jawaban itu kiranya sederhana saja, yaitu perbaikilah akhlaknya. Jalan selainnya, tidak mungkin. Wallahu a'lam

Ilustrasi kehidupan Arab Jahiliyah. Foto: Unsplash.com/andrewtneel

Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab disebut sebagai Arab Jahiliyah. Dahulu, bangsa Arab sering kali menampakkan budaya-budaya yang tidak baik, seperti menyembah patung.

Zaman Jahiliyah memang selalu identik dengan masa yang buruk, pertumpahan darah, dan perbuatan keji yang bahkan tidak dapat diterima dengan akal sehat. Kondisi sosial mereka pun sangat buruk, terutama antara kaum bangsawan dan masyarakat biasa. Kaum bangsawan selalu mendapatkan kedudukan terpandang karena mereka memiliki otoritas dan pendapat yang wajib didengar oleh rakyatnya.

Gaya hidup yang berjalan turut hancur. Bisa dikatakan kehidupan pada zaman Jahiliyah tidak dapat diterima dengan akal sehat. Pelacuran di mana-mana bahkan pertumbahan daran pun sudah dianggap biasa. Kondisi hina lebih banyak dialami para buda perempuan. Intinya, perbuatan zina merata di semua lapisan masyarakat.

Pada zaman tersebut, bangsa Arab bukan menyembah apa yang seharusnya mereka sembah karena belum mengenal Islam. Patung adalah sesembahan yang masyarakat Arab sembah. Kemana pun mereka pergi, patung yang disembah akan selalu dibawa. Saat itu namanya berhala.

Dikehidupan penuh kesesatan tersebut, ahli filsafat bahkan tidak ada. Oleh sebab itu, kegiatan ilmiah di kalangan masyarakat Arab tidak berkembang. Namun, sebagaimana yang dilansir dari berbagai sumber, terdapat ahli hikmah dan ahli syair. Ajaran yang diperintahkan pun mendorong untuk menjauhi perbuatan tercela, hina, dan menjauhi keburukan, serta harus selalu berbuat baik.

Hingga pada akhirnya, Islam menyapa bangsa Arab. Masa Jahiliyah bangsa Arab perlahan pudar dan membuat perbedaan sangat jelas ketika Islam masuk. Bangsa Arab perlahan meninggalkan apa yang dulunya mereka sembah dan memercayai Allah SWT sebagai Sang Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Pelindung, dan Penyayang terhadap segala makhluk-Nya.

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Jahiliyah memang dikenal sebagai peradaban yang buruk, namun masih ada akhlak terpuji yang menjadi kelebihan mereka.

Begitulah gambaran singkat bangsa Arab sebelum datangnya Islam.

Jahiliyyah menjadi isu sentral mengapa Nabi Muhammad diutus oleh Allah dan menjadi Nabi dan Rasul yang terakhir. Para sejarawan muslim menyebutkan bahwa Jarak antara Nabi Muhammad diutus dengan Nabi Isa adalah 600 tahun. Hal ini menunjukan bahwa kebobrokan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad belum diutus begitu panjang dan lama bahkan pada masa Nabi diutus kondisi tersebut sudah menakar kuat dalam karakter masyarakat Arab. Lantas, apa yang dimaksud dengan jahiliyyah yang sering digunakan dalam menilai orang-orang Arab sebelum Nabi diutus dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul?

Dalam KBBI, jahiliah berarti kebodohan. Dengan ini, berarti zaman jahiliah adalah zaman yang kondisi masyaraktnya hidup dalam kebodohan, ketidak tahuan. Nabi pernah menyebut kondisi masyarakat yang seperti ini dalam peristiwa ketika Nabi di usir dan lempari batu oleh penduduk Thaif. Ketika Nabi ditawari malaikat apakah mereka perlu untuk dimusnahkan dengan dilemparkan gunung kepadanya, Nabi menjawan, jangan mereka adalah masyarakat yang belum tahu (hum lâ ya’lamȗn). Dengan ini apakah yang dimaksud dengan oleh Nabi dengan kata ”tidak tahu” merupakan ”kebodohan” secara total masyarakat Arab atau hanya dalam masalah-masalah tertentu?

Ketika Al-Qur’an diturunkan, para pakar sastra mengakui bahwa al-Qur’an bukan ciptaan manusia. Mereka belum pernah menemukan keindahan susunan kalimat Arab seindah al-Qur’an. Bahkan Al-Qur’an memberi tawaran kepada masyarakat Arab untuk membuat susunan kalimat minimal menyamai keindahan Al-Qur’an. Keindahan susunan kalimat al-Qur’an tidak hanya diakui oleh para pakar ahli bahasa pada waktu itu, para ahli sastra kontemporerpun mengakui hal tersebut. Dalam ’Ulȗm al-Qur’an, kelebihan tersebut masuk dalam pembahasan tentang i’jâz al-Balaghî atau mukjizat dalam perspektif sastra. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Arab sudah terbiasa dan membudaya dengan dunia sastra. Disamping itu, masyarakat Arab memiliki keahlian dalam membaca cuaca, bintang, dan jejak sesuatu (’ilm tatâbu’ al-Âtsar).

Masyarakat Arab adalah masyarakat yang buta huruf. Meskipun mereka memiliki kelebihan dalam dunia sastra-puisi, semua itu tidak lebih hanya dinikmati untuk didengarkan bukan ditulis. Al-Thabari bahkan menyebutkan hanya 17 orang dari masyarakat Arab yang bisa menulis. Ketidak mampuan mereka untuk membaca justru merupakan sebuah kebanggaan pada waktu itu. Hal ini berpengaruh bagi cara masyarakat Arab melihat kemanusiaan dalam bangunan masyarakat yang fanatik dengan kelompoknya. Dijelaskan oleh Engineer, masyarakat Arab tidak bisa melihat kemanusiaan diluar kelompoknya, dalam artian kebenaran bagi mereka adalah tatanan nilai dan aturan yang berlaku bagi komunitasnya, diluar itu adalah kesalahan, yang ada dalam komunitas dia adalah kemanusiaan, tidak ada nilai yang perlu untuk dihargai diluar kelompoknya sendiri.

Wanita dalam tradisi Arab juga mengalami nasib yang mengenaskan, yakni tidak dihargai atau sering kali mendapatkan pelecehan. Memiliki keturunan perempuan bagi masyarakat Arab adalah aib. Untuk itu, mereka tidak tanggung-tanggung untuk membunuh anak perempuan. Karena bagi mereka yang bermanfaat adalah memiliki anak laki-laki. Perempuan di Arab pada waktu itu tidak mendapatkan harta warisan bahkan perempuan adalah barang yang diwariskan. Begitulah kurang lebih yang disampaikan oleh Fakhruddin Al-Razi dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib-nya.

Dalam masalah ekonomi juga mengalami nasib yang sama. Kesengsaraan golongan masyarakat kecil yang selalu tertindas oleh kelompok elit masyarakat Arab menjadi pemandangan dimana-mana. Akibatnya, anak yatim piatu, miskin, janda, terbengkalai dan tidak diperhatikan. Mereka dimanfaatkan untuk bekerja dengan gaji yang rendah dan tidak jarang gajinya dibatar terlambat. Itulah mengapa Nabi nanti mengharuskan untuk membayar gaji seorang pekerja sebelum kering keringatnya.

Menurut Ibnu Hisyam dalam Sîrah Ibnu Hisyâm menyebutkan bahwa Makkah pada masa jahiliyyah terbebas dari yang tindakan dzalim. Menurutnya, Jurhum adalah orang yang dzalim di Makkah. Menghalalkan segala yang telah diharamkan, menindas masyarakat Makkah, memakan harta benda yang diserahkan untuk perawatan Ka’bah. Ketika suku Bakr menyaksikan hal tersebut, mereka berkumpul untuk memerangi dan mengusir Jurhum dari kota Makkah. Hingga akhirnya peperangan dimenangkan oleh Suku Bakr dan tersingkirlah Juhrum dari Makkah.

Dalam kitab Manhaj al-Salaf fî Fahmi al-Nushȗsh Baina al-Nadzriyyah wa Al-Tanhbîq, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki menyebutkan bahwa kedatangan Nabi Muhammad Saw. adalah merupakan bentuk penyelamatan masyarakat Arab dari kondisi yang sudah berda diujung kehancuran. Islam datang untuk mengajak mereka saling menyayangi, mengasihi, tidak berpecah belah, tidak saling memusuhi dan membenci. Itu semua disarikan dari Firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 103 yang artinya, ”dan berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan janganlah kalian saling bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dulu saling bermusuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian lalu dengan rahmat Allah kalian dijadikan saling bersaudara, kalian sebenarnya telah berada diujung kehancuran kemudian Allah menyalamatkan kalian (dengan perantara Nabi Muhammad)”.

Dalam penjelasan ini menyiratkan bahwa bangsa Arab sudah terbiasa dengan pertikaian, peperangan, bermusuhan satu sama lain. Meskipun sekilas ada perbedaan antara yang telah disampaikan oleh Ibnu Hisyam diatas dengan penjelasan yang disampaikan oleh Sayyid Muhammad Al-Maliki, dengan menjadikan penjelasan Engineer sebagai refrensi tengah dalam memahami kedua refrensi yang sekilas saling bertolak belakang tersebut ada satu benang merah bahwa tidak dipungkiri bahwa masyarakat Arab tidak bisa dilepaskan dengan yang namanya bertengkar, berperang, berbuat dzalim, namun itu sifatnya adalah antar kelompok bukan pergolakan dalam internal suku. Dalam artian, suku Quraisy tidak dipungkiri juga melakukan kedzaliman kepada suku lainnya bukan kepada sesama suku Quraisy.

Budaya pertikaian yang terjadi pada masyarakat Arab adalah karena mereka memiliki karakter fanatik kesukuaan (ta’ashshub) yang kuat. Setiap hal yang menyinggung suku tertentu mudah meledak menjadi bahan pertikaian bahkan peperangan diantara mereka. Solidaritas sesama suku memang kuat, namun mereka tidak bisa memahami orang lain diluar sukunya. Singkatnya budaya untuk saling memahami, saling menghargai, saling toleransi tidak terlihat pada diri mereka.

Untuk itu, jahiliah adalah kondisi masyarakat yang jauh dari semangat persatuan, menghargai kelompok masyarakat diluar suku dan kelompoknya, masyarakat yang mudah menistakan nilai kemanusiaan, tidak bertanggung jawab atas kewajibannya, memeras dan menjajah kebebasan orang lain. Dengan itulah, mengapa Nabi Muhammad Saw. diutus Allah sebagai sosok yang bertugas untuk menyempurnakan akhlak manusia. Bahkan Nabi memiliki satu visi penting dalam tugasnya, yakni menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin).

Wallahu a’lam bishshawab.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA