Mengapa fatwa mui mengeluarkan fatwa tentang kredit as



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan ijtima' atau kesepakatan ulama komisi fatwa se-Indonesia terkait pinjaman online atau pinjol yang kini tengah menjadi perhatian. Tak sedikit yang terjebak pinjaman online ilegal hingga terjerat utang dalam jumlah yang sangat banyak. Ada 5 poin yang disampaikan MUI terkait pinjol. Kelima poin itu adalah: 1. Terkait utang piutang, pada dasarnya merupakan bentuk akad tabarru' (kebajikan) atas dasar saling tolong-menolong yang lebih ditingkatkan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. 2. Bagi pengutang yang sengaja menunda pembayaran utang padahal menurut hukumnya adalah haram. 3. Pengutang yang memberikan ancaman fisik atau membuka rahasia (aib) seseorang yang tidak mampu membayar utang, hukumnya adalah haram. 4. Memberi penundaan atau keringanan dalam pembayaran utang bagi yang mengalami kesulitan merupakan perbuatan yang lebih disarankan (mustahab). 5. Layanan kredit baik online maupun offline yang mengandung riba hukumnya haram, meskipun dilakukan di atas dasar kerelaan. Baca Juga: Penurunan bunga akan dongkrak user dan penyaluran pinjaman fintech Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis, Sabtu (20/11) memberikan penjelasan tentang apa yang disebut riba. "Jadi, yang memenuhi syarat riba itu ada dua. Ada riba fadhl, ada riba nasiah. Riba fadhl itu dalam bentuk yang sama, kemudian ditukar dengan jumlah yang lebih besar. Uang Rp 100.000, umpamanya, ditukar dengan Rp 90.000, Rp 5.000," kata Choli. Riba semacam itu, kata dia, jarang ditemukan dalam kasus kredit online. Riba dalam pinjol adalah riba nasiah. "Riba yang terjadi secara online biasanya adalah riba nasiah. Bertambahnya uang, utang, karena bertambahnya waktu, itu adalah riba nasiah. Kita meminjam sesuatu berdasarkan waktu dan bertambah kewajiban bayar yang lebih besar," kata dia. Cholil mengatakan, inilah yang menyebabkan pinjol dengan sistem non-syariah tidak diizinkan atau diharamkan oleh MUI. Ketetapan ini berlaku untuk semua penyelenggara pinjol, termasuk pinjol yang sudah tercatat di OJK sekalipun. Meski demikian, keputusan diserahkan kepada masing-masing individu apakah akan memilih pinjol atau turut mempertimbangkan aspek haram/halalnya secara agama. "Soal pinjaman yang sesuai syariah dan yang konvensional di dalam UU kita, masyarakat dapat memilihnya," kata Cholil. Baca Juga: Bareskrim Polri sita Rp 217 miliar dari penangkapan 13 tersangka pinjol ilegal Rekomendasi MUI MUI merekomendasikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Polri, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk terus meningkatkan perlindungan kepada masyarakat. Serta melakukan pengawasan serta menindak tegas pinjol yang meresahkan masyarakat. Bagi pihak penyelenggara pinjol, MUI merekomendasikan agar mereka menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam semua transaksi yang dilakukan. Terakhir, kepada masyarakat khususnya umat Islam, MUI menyarankan agar memilih jasa keuangan hanya yang sesuai dengan prinsip syariah. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Ijtima' MUI soal Pinjaman Online atau Pinjol, Ini 5 Poinnya. Penulis: Luthfia Ayu Azanella Editor: Inggried Dwi Wedhaswary Baca Juga: Perbankan raup berkah dari peningkatan belanja online Editor: Wahyu T.Rahmawati

  • pinjaman online
  • fatwa MUI


  • Home
  • Bisnis
  • TEMPO Interaktif, Jakarta:Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia menetapkan fatwa bahwa bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun individu yang melakukan praktek pembungaan adalah haram."Ini artinya umat Islam tidak diperbolehkan melakukan tansaksi dengan lembaga keuangan konvensional tersebut," kata Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin kepada wartawan dalam acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (16/12) malam. Fatwa larangan untuk bermuamalah dengan lembaga konvensional ini tidak berlaku mutlak untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah. Untuk di wilayah ini diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi berdasarkan prinsip darurat atau hajat (kebutuhan).Adapun untuk wilayah yang sudah banyak terdapat kantor/jaringan lembaga keuangan syariah mutlak tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga. "Seperti di Jakarta," ujar Maruf. Masih adanya ketentuan darurat ini, kata Ma'ruf, dikarenakan pihak MUI juga mempertimbangkan akses jaringan lembaga keuangan syariah, agar fatwa ini tidak menyulitkan umat Islam. Bujukan BIMa'ruf juga mengakui adanya bujukan dari Bank Indonesia. "BI memang meminta agar kita menetapkan fatwanya tidak bersifat mutlak, melainkan juga memperkenankan prinsip darurat dan kita memang setuju," katanya. MUI sendiri sebenarnya mempertimbangkan untuk mengeluarkan fatwa ini pada tahun 2004. Tetapi pertimbangan banyaknya agenda nasional tahun 2004 seperti Pemilu dikhawatirkan akan menunda kembali fatwa ini. "Jadi sekarang saja, mumpung ada ijtima ulama," kata Ma'ruf sambil tersenyum. Sebelumnya, Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syariah. Tetapi di situ dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia masih besifat darurat. "Sekarang tidak lagi," ujar Ma'ruf. Walaupun demikian, kata Ma'ruf, tidak berarti seluruh transaksi dengan lembaga keuangan diharamkan. Transaksi bank konvensional seperti transfer uang tidaklah haram. "Karena tidak berdasarkan perhitungan bunga tetapi merupakan jasa biasa atau fee basedincome," katanya. Sedangkan aktivitas transaksi keuangan lain, seperti tabungan, kredit, simpan pinjam, atau lainnya yang didasarkan kepada perhitungan bunga, adalah haram hukumnya. Dasarnya adalah pembungaan tersebut merupakan riba. Fatwa MUI yang disusun banyak ulama setelah melakukan pembahasan yang rumit dengan merujuk banyak kitab, menyatakan bahwa praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba nasi'ah, yakni tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Bahkan MUI menilai bahwa bunga uang dari simpanan/pinjaman yang berlaku saat ini lebih buruk dari riba yang diharamkan Allah SWT dalam Al Quran karena riba hanya dikenakan tambahan pada saat si peminjam tidak ampu mengembalikan pinjaman pada saat jatuh tempo. "Padahal sekarang bunga bank sudah langsung dikenakan tambahan sejak terjadinya transaksi," kata KH Malik Madani yang membacakan rumusan fatwa tersebut kepada para ulama dan wartawan yang hadir.Selain itu, ketetapan keharam bunga bank juga telah dinyatakan oleh keputusan tiga forum ulama internasional, yaitu Majma'ul Buhuts al Islamiyyah di Mesir pada Mei 1965, Majma' al Fiqh al Islami di Jeddah, Arab Saudi, pada Desember 1985, Majma' Fiqh Rabithah al A'lam al Islami di Mekkah, Arab Saudi, pada bulan Rajab 1406 H. Amal Ihsan - Tempo News Room

    Lihat Juga


  • Home
  • Bisnis
  • TEMPO Interaktif, Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indoensia (DSN MUI) akan mengeluarkan fatwa tentang kartu kredit yang sesuai dengan syariat Islam. "Kemungkinan besar tahun depan," kata KH Ma'ruf Amin, Ketua DSN MUI, di Jakarta, Rabu (5/11).Menurut Ma'ruf, fatwa diperlukan perbankan syariah yang memang belum pernah mengeluarkan produk syariah seperti kartu kredit. "Ini sudah menjadi tuntutan nasabah yang menghendaki produk-produk perbankan konvensional juga dimiliki perbankan syariah," katanya. Padahal, kartu kredit perbankan kovensional dianggap bertentangan dengan hukum Islam, karena menggunakan bunga atau riba sebagai dasar pengambilan keuntungan dari penggunaan kartu kredit oleh nasabahnya. Bunga dikenakan apabila nasabah mencicil pembayaran tagihan kartu kreditnya. Tapi, kata Ma'ruf, transaksi dengan menggunakan kartu kredit sama sekali tidak melanggar hukum atau bertentangan dengan syariat Islam. "Asalkan nasabah membayar penuh seluruh tagihan kartu kreditnya di akhir bulan sehingga tidak terkena bunga," katanya. Masih ada persoalan lain menyangkut kartu Islami itu, seperti akad atau perjanjian antara bank syariah, nasabah pemegang kartu kredit dan perusahaan penyedia barang dan jasa yang produknya dibeli dengan kartu kredit. Belum lagi, seperti kata Ma'ruf, "bagaimana bila kartu Islamnya digunakan untuk membeli minuman keras, membayar diskotik, dan barang dan jasa yang haram lainnya?". Rencananya, MUI akan membahas itu bersama dengan perbankan syariah dan Bank Indonesia setelah masa lebaran mendatang.Bisa jadi, memang fatwa diperlukan, lantaran stadarisasi kartu kredit Islami belum ada. Bahkan, contoh di beberapa negara muslim seperti Malaysia dan Sudan, belum bisa dijadikan standar yang sesuai dengan syariat Islam. "Namanya saja kartu kredit, jelas bermasalah karena dalam Islam tidak ada kredit. Di Malaysia, islamic card tidak beda dengan kartu kredit biasa, sehingga diragukan status hukumnya. Bank syariah sendiri tidak setuju dengan bentuk seperti di Malaysia itu," kata Ma'ruf. Amal Ihsan - Tempo News Room

    Lihat Juga


    Video yang berhubungan

    Postingan terbaru

    LIHAT SEMUA