Mengapa kita dilarang saling mengejek dan menertawai kekurangan saudara

Pernah gak sih kamu menghina atau mengkritik penampilan fisik seseorang? Entah itu secara langsung ataupun tidak langsung, sebaiknya renungkan kembali sikapmu itu kalau kamu pernah melakukannya.

Karena tanpa kamu sadari sebenarnya ada banyak hal buruk yang kemungkinan terjadi, pada orang yang fisiknya sudah kamu hina atau kritik tersebut. Yakin kamu gak merasa menyesal kalau sampai hal-hal buruk semacam itu terjadi akibat kata-kata yang keluar dari mulutmu?

Coba deh baca, pikirkan dan renungkan baik-baik lima alasan kenapa kamu gak boleh menghina atau mengkritik fisik orang lain, di bawah ini.

Mengapa kita dilarang saling mengejek dan menertawai kekurangan saudara
abc.net.au

Semua manusia yang ada di bumi ini adalah ciptaan Tuhan. Jadi, kalau kamu menghina fisik seseorang, sama halnya kamu sedang menghina apa yang sudah Tuhan ciptakan.

Tuhan sudah menciptakan bentuk fisik manusia sedemikian rupa dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Orang Indonesia, Korea, Cina, Eropa, Arab, ataupun India semua memiliki keunikannya masing-masing. Ada yang berkulit sawo matang, kuning langsat, putih, bertubuh tinggi, pendek, gemuk, kurus, bermata sipit atau lebar, semua sesuai dengan ketetapan Tuhan.

Kamu pastinya tidak lupa kan kalau kamu sendiri juga makhluk ciptaan-Nya? Alih-alih menghina atau mengkritik, kenapa kamu tidak belajar untuk menghargai saja perbedaan yang ada? Setidaknya saling menghargai sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya.

Mengapa kita dilarang saling mengejek dan menertawai kekurangan saudara
yandex.com

Mungkin kamu tidak sadar kalau kata-katamu yang sudah menghina atau mengkritik bentuk fisik seseorang itu sudah membuat kepercayaan dirinya turun. Katakanlah artis yang setiap hari fisiknya kamu komentari saat memposting fotonya melalui Instagram.

Mereka bisa saja tampil biasa saat berada di layar kaca. Tetapi kamu sendiri tidak tahu kan kalau di balik layar, mungkin mereka sangat terpukul membaca komentar yang kamu tuliskan.

Akibat rasa tertekan dan kepercayaan diri yang semakin turun karena hinaan, tidak jarang banyak orang yang akhirnya memutuskan untuk merombak penampilannya. Bahkan tidak jarang mereka yang tidak memiliki cukup biaya untuk melakukannya memutuskan menjadi pribadi yang menutup diri dari dunia luar.

Tidak banyak lho orang yang masih kebal dan percaya diri saat kondisi fisiknya dihina orang lain. Kalau sudah begini kan tidak baik untuk kelangsungan hidup orang yang bersangkutan.

Mengapa kita dilarang saling mengejek dan menertawai kekurangan saudara
wallpaper-house.com

Penampilan fisik memang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kepercayaan diri seseorang, terutama perempuan. Ketika seseorang merasa penampilannya sudah baik, maka mood-nya juga kemungkinan akan meningkat.

Lalu apa jadinya kalau seseorang yang merasa penampilannya tidak menarik, ditambah lagi mendapat hinaan atau body shaming terhadap fisiknya? Kemungkinan terbesarnya ia akan merasa insecure. Bahkan ia juga merasa malu terhadap dirinya sendiri.

Kembali lagi ke poin sebelumnya, hal ini juga bisa berujung pada kepercayaan diri yang semakin menurun. Bisa jadi orang yang tadinya kamu kenal aktif dan supel, tiba-tiba saja berubah menjadi pendiam, penyendiri, dan menarik diri dari kehidupan sosial.

Mengapa kita dilarang saling mengejek dan menertawai kekurangan saudara
themicrophone.com.au

Kedengarannya mungkin terlalu berlebihan kalau body shaming bisa menyebabkan seseorang depresi dan bunuh diri. Tetapi, rasa tidak percaya diri, insecure dan malu terhadap dirinya sendiri yang terus menerus juga bisa menyebabkan seseorang menjadi depresi. Menghadapi depresi tanpa didampingi orang-orang terkasih dan profesional bahkan bisa berujung pada keputusan bunuh diri.

Hal ini terjadi lantaran ejekan yang terus menerus mereka terima, tanpa sadar mensugesti mereka untuk berpikir bahwa hidupnya sudah tidak berarti atau tidak ada gunanya lagi.

Mengapa kita dilarang saling mengejek dan menertawai kekurangan saudara
zosiabeauty.com

Menghina penampilan fisik orang lain sama buruknya dengan mengkritik dirimu sendiri. Apa yang kamu lakukan hanya akan membuatmu menjadi orang yang ignorance dan tidak bisa bertoleransi terhadap perbedaan yang ada. Toh, tidak ada manusia yang diciptakan dengan fisik yang 100% sempurna, bukan? Setiap orang pasti diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, termasuk kamu.

Jadi, terimalah penampilan fisik diri sendiri dan orang lain apa adanya. Karena ada banyak hal yang bisa dilakukan dalam hidup ini untuk menuju perubahan yang lebih positif. Saling mendukung satu sama lain misalnya.

Pada akhirnya, penampilan fisik seperti bentuk tubuh, warna kulit, atau paras wajah memang bukanlah hal yang layak untuk dikritik atau dihina. Tidak peduli apapun alasannya, kekurangan fisik seseorang adalah apa yang sudah Tuhan anugerahkan kepadanya. Mari saling menghargai dan menjadi pribadi yang lebih positif.

Baca Artikel Selengkapnya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Fenomena dewasa ini yang cukup memprihatinkan kita adalah kita saksikan saudara-saudara kita sesama muslim yang saling mengejek, saling menghina, dan saling mengolok-olok di media sosial. Berbagai gelar dan julukan yang buruk pun mudah terucap, baik melalui lisan atau melalui jari-jemari komentar di media sosial. Sebutlah misalnya julukan (maaf) “cebong”, “kampret”, “IQ 200 sekolam” dan ucapan-ucapan buruk lainnya. Ucapan-ucapan yang tampak ringan di lisan dan tulisan, padahal berat timbangannya di sisi Allah Ta’ala di hari kiamat kelak.

Hukum Saling Memanggil dengan Gelar dan Julukan yang Buruk

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ

“Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk)” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Pada asalnya, “laqab” (gelar atau julukan) itu bisa mengandung pujian dan bisa juga mengandung celaan. Jika julukan tersebut mengandung pujian, inilah yang dianjurkan. Seperti, memanggil orang lain dengan “yang mulia”, “yang ‘alim (berilmu)”, “yang terhormat” dan sebagainya.

Namun jika julukan tersebut mengandung celaan, maka inilah maksud ayat di atas, yaitu hukumnya terlarang. Misalnya, memanggil orang lain dengan “orang pelit”, “orang hina”, “orang bodoh”, dan sejenisnya. Meskipun itu adalah benar karena ada kekurangan (cacat) dalam fisiknya, tetap dilarang. Misalnya dengan memanggil orang lain dengan “si pincang”, “si mata juling”, “si buta”, dan sejenisnya. Kecuali jika julukan tersebut untuk mengidentifikasi orang lain, bukan dalam rangka merendahkan, maka diperbolehkan. Misalnya, jika di suatu kampung itu ada banyak orang yang bernama “Budi”. Jika yang kita maksud adalah “Budi yang pincang” (untuk membedakan dengan “Budi” yang lain), maka boleh menyebut “Budi yang pincang”. Karena ini dalam rangka membedakan, bukan dalam rangka merendahkan.

Sayangnya, kita jumpai saat ini orang sangat bermudah-mudah dan meremehkan larangan Allah Ta’ala dalam ayat di atas. Diberikanlah julukan bagi orang yang berbeda pandangan atau pilihan “politiknya” dengan sebutan (maaf) “cebong”, sedangkan di pihak lain diberikan julukan (maaf) “kampret” dan julukan-julukan yang buruk lainnya. Seolah-olah ucapannya itu adalah ucapan yang ringan dan tidak ada perhitungannya nanti di sisi Allah Ta’ala.

Lebih-lebih bagi mereka yang pertama kali memiliki ide julukan ini dan yang pertama kali mempopulerkannya, kemudian diikuti oleh banyak orang. Karena bisa jadi orang tersebut menanggung dosa jariyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Dan barangsiapa yang membuat (mempelopori) perbuatan yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa dan (ditambah dengan) dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim no. 1017).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengikuti tersebut sedikit pun” (HR. Muslim no. 2674).

Jangan Saling Mengolok-olok

Allah Ta’ala juga melarang kita dari perbuatan saling mengolok-olok. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala melarang perbuatan mengolok-olok orang lain. Misalnya dengan mengolok-olok saudaranya dengan mengatakan “IQ jongkok” atau “IQ 200 sekolam”, dan olok-olokan lainnya. Apalagi, dalam olok-olokan IQ tersebut jelas-jelas mengandung unsur dusta dan kebohongan atas nama orang lain. Karena tentunya, orang yang mengolok-olok itu tidak pernah mengukur IQ saudaranya sama sekali.

Selain itu, perbuatan mengolok-olok, saling memanggil dengan gelar yang buruk, dan perbuatan mencela orang lain itu Allah Ta’ala sebut dengan kefasikan. Istilah “fasik” maksudnya adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena perbuatan semacam ini tidak pantas dinamakan dan disandingkan dengan keimanan.

Di akhir ayat di atas, Allah Ta’ala katakan bahwa barangsiapa yang tidak mau bertaubat dari perbuatan-perbuatan di atas (mengolok-olok, memberikan gelar yang buruk, mencela, merendahkan, ghibah dan adu domba), maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Mereka telah menzalimi orang lain. Dan bisa jadi Allah Ta’ala selamatkan orang yang dilecehkan dan Allah Ta’ala timpakan hukuman kepada orang yang mengolok-olok dan melecehkan tersebut dengan bentuk hukuman sebagaimana olok-olok yang dia sematkan kepada orang lain atau bahkan lebih buruk.

Mencela Orang Lain Berarti Mencela Diri Sendiri

Ada yang menarik dalam ayat di atas berkaitan dengan larangan mencela orang lain. Allah Ta’ala melarang kita mencela orang lain dengan lafadz,

وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ

“Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Mengapa mencela orang lain Allah Ta’ala sebut dengan mencela diri sendiri? Ada dua penjelasan mengenai hal ini. Penjelasan pertama, karena setiap mukmin itu bagaikan satu tubuh. Sehingga ketika dia mencela orang lain, pada hakikatnya dia mencela dirinya sendiri, karena orang lain itu adalah saudaranya sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ المُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Sesungguhnya orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain itu bagaikan satu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lain” (HR. Bukhari no. 481 dan Muslim no. 2585).

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyokong satu sama lain itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit, dengan begadang (tidak bisa tidur) dan demam” (HR. Muslim no. 2586).

Penjelasan kedua adalah karena jika kita mencela orang lain, maka orang tersebut akan membalas dengan mencela diri kita sendiri, dan begitulah seterusnya akan saling mencela. Dan itulah fenomena yang kita saksikan saat ini.

Mencela orang lain itu termasuk perbuatan merendahkan (menghina) mereka. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih” (QS. At-Taubah [9]: 79).

Oleh karena itu, melalui tulisan ini, kami mengajak kepada saudara-saudara kami sesama kaum muslimin untuk menghentikan kebiasaan saling mencela, saling menghina, saling mengolok-olok, dan saling memanggil dengan gelar dan julukan yang buruk. Baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya (di media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya). Karena semua yang kita ucapkan dan semua yang kita tulis, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Ta’ala.

***

@Sint-Jobskade 718 NL, 11 Dzulqa’dah 1439/ 25 Juli 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Referensi:

Disarikan dari kitab Al-farqu baina an-nashiihah wa at-tajriih karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 19-21 (penerbit Kunuuz Isybiliya).

🔍 Hukum Bom Bunuh Diri, Surat An Nahl Ayat 36, Dalil Akhlakul Karimah, Malu Adalah Sebagian Dari Iman, Shalat Sunat Sebelum Subuh