Mengapa Kyai haji Ridwan Abdullah dipilih untuk membuat lambang Nahdlatul Ulama

Mengapa Kyai haji Ridwan Abdullah dipilih untuk membuat lambang Nahdlatul Ulama
10/01/2011
Judul: Buku Pintar Berdebat dengan WahhabiPenulis: Muhammad Idrus RamliPenerbit: Bina Aswaja dan LBM NU JemberCetakan:1, September 2010Tebal: vi + 171 halaman

Peresensi: Yusuf Suharto*

Setelah menulis buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik” pada tahun 2008, kemudian setahun berikutnya menulis buku Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlus sunnah wal Jama’ah, Idrus Ramli, penulis buku Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi ini bersama tim LBM NU Jember seringkali diminta mengisi pelatihan dan internalisasi Aswaja di kalangan nahdliyyin. Dalam kegiatan tersebut tak jarang juga diundang tokoh-tokoh salafi. Dari proses dan hasil perdebatan inilah buku ini kemudian ditulis.

Sebagai alumnus pesantren yang sering terlibat dalam kegiatan bahtsul masa’il, dan kemudian di bawah bimbingan KH Muhyiddin Abdusshomad (Rais Syuriah PCNU Jember) mempelajari secara mendalam terutama tentang aspek aqidah ahlussunnah wal jama’ah bersama beberapa alumnus pesantren lainnya, ustadz Idrus, demikian ia biasa dipanggil, terlihat sangat matang memaparkan hujjah-hujjah naqliyah dan aqliyah serta cita rasa gaya pemaparan dan seni berdebat khas yang diungkapkan dalam buku ini.

Untuk membuat semakin berbobotnya buku ini, buku mungil berwarna putih dengan cover berlambang tali jagat ini juga dilengkapi dengan kisah-kisah dialog dan perdebatan para ulama ahlussunnah wal jama’ah dahulu dengan kalangan ulama wahhabi. Misalnya antara Sayyid ‘Alwi bin Abbas al- Maliki al-Hasani (ayahanda sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) dengan Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di (guru Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin) di Masjidil Haram Makkah, dialog terbuka antara Syaikh as-Syanqithi dengan ulama Wahhabi tuna netra, dialog al-Hafidz Ahmad al-Ghumari di Makkah al-Mukarramah, perdebatan Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan dialog Syaikh Salim Ulwan dengan Syaikh Abdurrahman Dimasyqiyath di Australia. Juga disertakan beberapa kisah perdebatan yang dilakukan para ustadz muda teman penulis di kalangan nahdliyyin atau alumni pesantren.

Tujuan yang ingin dicapai penulis buku ini sebagai tergambar dalam kata pengantarnya adalah agar buku ini menjadi panduan dalam berdialog dan berdebat dengan kalangan Wahhabi yang dewasa ini menamakan dirinya Salafi. Tujuan itu agaknya tercermin dari judul buku yang mentasbihkan diri sebagai ‘buku pintar’. Sebuah pilihan judul yang menarik dan sesuai pula dengan muatannya.

Buku dengan tebal 171 halaman ini terdiri dari sepuluh (10) bab, yaitu: Ngalap Barokah, Allah Maha Suci, Bid’ah Hasanah, Otoritas Ulama, Bukan Ahlussunah , Menurut al-Syathibi, Istighasah dan Tawassul, Cerdas bermadzhab, tradisi yasinan, dan permasalahan tradisi.

Tercermin dari sistematika bab tersebut buku ini antara lain memberikan argumentasi meyakinkan tentang adanya bid’ah hasanah, tradisi tahlilan dan yasinan, talqin, pembacaan ushalli, ngalap berkah, tawassul, keberadaan ta’wil semenjak ulama salaf, otoritas ulama dan lain sebagainya. Disinggung pula walau sekilas kritik terhadap ajaran Rafidah atau Syi’ah, terkait posisi aliran ini yang mengkritisi berlebihan para sahabat.

Bahkan dalam beberapa bab disinggung pendapat para ulama yang dihormati dan biasa dikutip ulama wahhabi, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taymiah, al-Hafidz Ibnu Katsir, Ibnu Qayyim, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, namun justru menguatkan dalil golongan mayoritas ahlussunnah wal jama’ah. Misalnya, pendapat Ibnu Taymiyah tentang talqin berikut ini. (Lihat hal. 166)

“Talqin yang tersebut ini (talqin setelah mayit dikuburkan) telah diriwayatkan dari segolongan sahabat bahwa mereka memerintahkannya seperti Abi Umamah al-Bahili serta beberapa sahabat lainnya, oleh karena ini al-Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama lain mengatakan bahwa sesungguhnya talqin mayit ini tidak apa-apa untuk diamalkan…” (Majmu’ Fatawa Ibn Taymiyah, juz 1, hal. 242)


Karena berisi serial dialog dan dan perdebatan-perdebatan, maka kadang klasifikasi atau sistematika bab yang dicoba penulis tidak dapat terpahami dengan segera sebelum membaca subbabnya. Misalnya dalam bab bukan ahlussunnah, disusuli dengan subbab mereka golongan khawarij yang mendeskripsikan bahwa wahhabi bukan bagian dari Sunni, tetapi Khawarij, karena menganut ajaran takfir al-mukhalif dan istihlal dima’ al-mukhalifin (hal. 69-70). Untuk meyakinkan pembaca bahwa wahhabi bagian dari khawarij, penulis membeberkan pendapat beberapa ulama otoritatif sunni semacam Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Amin Affandi (Ibnu Abidin), dan Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Shawi (penulis tafsir al-Shawi Hasyiah tafsir al-Jalalain). Penjelasan bahwa wahhabi tergolong khawarij ini dimulai pada halaman 69 hingga 87.

Sebagai buku penting yang membekali cara berdebat dengan kalangan salafi wahhabi, secara mantap buku ini juga mengulas ciri-ciri aliran bid’ah dan dhalalah menurut pandangan Imam as-Syatibi dalam kitab al-I’tisham. Ciri-ciri yang secara umum dapat dikenali dari ahli bid’ah ini adalah, terjadinya perpecahan dan perceraiberaian pendapat di kalangan internal aliran, berikutnya, gemar mengikuti teks mutasyabihat, kemudian, mengikuti hawa nafsu, menghujat generasi ulama salaf dan terakhir mereka sulit diajak berdialog.

Namun, dalam konteks pluralitas aliran dalam Islam, dan secara luas kenyataan pluralitas agama di Indonesia, buku ini harus dibaca dengan semangat sekedar mempertahankan ajaran internal ahlussunnah walj amaa’ah an-nahdliyyah (meminjam istilah aswaja di internal Nahdlatul Ulama). Katakanlah, buku ini semacam hak jawab internal kaum nahdliyyin atau golongan mayoritas umat Islam terkait kritik yang selama ini disematkan kaum salafi terhadap kaum sarungan ini. Bukankah perbedaan pendapat di antara umat Islam itu adalah rahmat, sebagaimana dinyatakan Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr al-Shiddiq, “Perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Muhammad merupakan rahmat bagi manusia”. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga berkata, “Aku tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad tidak berbeda pendapat. Karena seandainya mereka tidak berbeda pendapat, tentu tidak ada kemurahan dalam agama”. (hal. 67-68).

Akhir kata, buku ini terbukti telah mendapat sambutan yang hangat dari para peserta ketika diperkenalkan dalam acara Daurah Aswaja PWNU Jawa Timur yang diikuti Pengurus Syuriah PCNU se-Jawa Timur pada 17- 19 Desember 2010 lalu di Islamic Centre Surabaya. Karenanya, buku ini layak diapresiasi oleh kalangan nahdliyyin dan umat Islam, karena di samping dapat dianggap sebagai buku panduan pertama yang memakai metode tanya jawab dan dialog untuk mempertahankan dan membentengi ajaran ahlussunnah wal jama’ah yang dalam akidah menganut pada Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, buku ini ditulis oleh seorang aktivis Aswaja yang benar-benar terlibat langsung dalam perdebatan untuk mempertahankan benteng madzhab mayoritas ummat Islam di dunia. Akhirnya, selamat membaca!


*Pengajar di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang Jawa Timur, Mahasiswa S-2 Jurusan PAI Akidah Akhlak IAIN Sunan Ampel Surabaya.Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=26868

Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari kemudian memanggil Kiai Ridwan untuk menanyakan asal mula pembuatan lambang tersebut. Kiai Ridwan menuturkan, KH Abdul Wahab Hasbullah sebelumnya menugasinya untuk membuat lambang itu.

Kiai Ridwan mengaku, pembuatan lambang itu memakan waktu hingga satu setengah bulan. Sebelum menggambar sketsa lambang itu, ia menjalani berbagai ritual agar hatinya terpaut pada Allah SWT. Telebih dahulu, ia melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk kepada-Nya. Pada malam harinya, Kiai Rid wan bermimpi melihat suatu gambar langit yang biru jernih. Mimpi itulah yang kemudian diguratkannya ke dalam lambang NU tersebut.

Setelah mendengar penjelasan Kiai Ridwan, KH Hasyim Asy'ari pun merasa puas. Pahlawan nasional kelahiran Tambakrejo, Jombang, itu lantas mengangkat kedua tangan Kiai Ridwan sembari menggumamkan doa. Harapannya, Allah SWT menjadikan NU sebagai organisasi yang sarat makna, seperti halnya diisyaratkan lambang tersebut.

LINTASIDE.COM-Mimpi melihat bintang di langit adalah sebuah inpirasi besar bagi  pencipta lambang NU  KH Ridlwan Abdullah (1884-1962).

Ulama dari Pondok Buntet Pesantren Kabupaten Cirebon ini adalah salah satu kiayi yang hadir dalam pertemuan di kediaman KH Wahab Hasbullah di Kertopaten Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dalam pertemuan itu lahirlah Nahdlatul Ulama.

Dalam pertemuan tersebut, beberapa keputusan dihasilkan untuk menjaga kemerdekaan bermadzhab di tanah Hijaz, salah satunya adalah pembentukan Komite Hijaz. Dan itu cikal bakal pendirian NU.

KH Ridwan Abdullah beserta para ulama lainnya, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Asnawi Kudus, KH Bisri Syansuri, KH Nawawi Pasuruan, KH Ridwan Semarang, KH. Maksum Lasem, K.H. Nahrawi Malang, H. Ndoro Muntaha, K.H. Abdul Hamid Faqih Sedayu Gresik, K.H. Abdul Halim

Leuwimunding, Cirebon K.H. Mas Alwi, K.H. Abdullah Ubaid Surabaya, Syaikh Ahmad Ghanaim al Misri dari Mesir, dan lain-lain, memutuskan untuk membentuk Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) dan mengirimkan delegasinya untuk menghadap Raja Ibnu Saud di Makkah.

Baca Juga: Mimpi Bulan Jatuh di Kampungnya, Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Suruh Orang Ini ke Panjalu Ada Apa?

Komite ini meminta kepada Raja Ibnu Saud, untuk membebaskan para pendatang, untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab yang diikutinya.

Selain ikut terlibat dalam pendirian NU, KH. Ridwan Abdullah juga dipercaya untuk membuat lambang NU. KH Ridwan Abdullah dipilih karena punya keahlian melukis.

Makanya beliau dipercaya menciptakan lambang NU yang indah itu. Ridwan Abdullah mengawali pendidikan agamanya di Pondok Pesantren Buntet Cirebon untuk berguru pada Kiai Abdul Jamil.


Page 2

Ridwan Abdullah lahir di Kampung Carikan Gang I, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya, pada tahun 1884.

Baca Juga: Arti MImpi Dikejar Buaya Yang Benar Menurut Kitab Tafsir Mimpi Ahlam Kabir, Ternyata Tak Semuanya Sial

Ia pertama kali mendapatkan pendidikan saat belajar di sekolah milik Belanda. Banyak yang memperkirakan, bakat melukisnya cukup terasah, saat Ridwan berada di sekolah tersebut. Belum sampai lulus, Ridwan kemudian dikirim oleh ayahnya untuk mendapatkan pendidikan agama di Pesantren Buntet Cirebon.

Dari Buntet, Ridwan masih mengembara mencari ilmu ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, dan Pesantren Bangkalan, Madura, asuhan Kiai Cholil.

Lambang NU Diciptakan Setelah Bermimpi dan Kekuatan Spritual KH Ridlwan Abdulah

Proses kreatif lahirnya lambang NU ternyata bukan sekadar mengandalkan daya imajinasi dan kecerdasan KH Ridlwan, disamping menggerakan daya imajinasinya, KH Ridlwan Abdullah juga menggerakkan kekuatan spiritualnya. Kekuatan Spritual memegang peranan terpenting di balik terciptanya lambang NU.

KH Ridlwan Abdullah memang ditugasi membuat lambang NU untuk keperluan Muktamar ke-2 NU di Surabaya. KH Wahab Chasbullah saat itu sebagai ketua panitia ingin ada lambang NU pada muktamar.

Selama satu bulan KH Ridlwan membuat sketsa lambang NU bahkan sampai berkali-kali belum berhasil juga, padahal muktamar sudah diambang pintu sehingga sampai sempat mendapat “teguran” KH Wahab Chasbullah.

Akhirnya, pada suatu malam dengan harapan muncul inspirasi atau ilham pada saat-saat orang lelap tidur, Kiai Ridlwan mengambil air wudzu kemudian melaksanakan shalat istikharah. Setelah itu beliau tidur sejenak.

Baca Juga: Karomah Abah Anom: Wanita Penderita Penyakit Kista , Setelah Minum Air Malah Divonis Hamil 8 Bulan


Page 3


Page 4