Mengapa Magna Charta menjadi tonggak demokrasi di Eropa?

Magna Charta (Piagam Besar) dianggap sebagai tonggak penting dalam perkembangan demokrasi. Magna Charta (1215) berisi kontrak antara beberapa bangsawan (Baron) dan Raja John dari Inggris di mana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan privilese dari bawahannya sebagai imbalan untuk dukungan mereka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang (Budiardjo, 2010: 109, 213). Hak-hak yang dijamin di antaranya adalah pemungutan pajak tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan (no taxation without representation) dan tidak dapat dilakukan penangkapan tanpa ada proses peradilan.

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Magna Charta kemudian menjadi landasan bagi lahirnya peristiwa lain yang meningkatkan proses demokratisasi di Inggris. Pada tahun 1688 terjadi Glorious Revolution (Revolusi Agung) yaitu konflik antara Raja James II dan parlemen Inggris yang berakhir dengan penurunan paksa Raja James II dari kekuasaannya. Hasil penting dari Revolusi Agung ini adalah pada tahun 1989 parlemen Inggris membuat Undang-Undang Deklarasi Hak (Bill of Rights) yang di antaranya menetapkan hak rakyat untuk mengajukan petisi kepada raja dan hak kebebasan berbicara.

Dari machtsstaat ke rechtsstaat

Peristiwa seperti Magna Charta dan Glorious Revolution membawa makna baru ihwal pengoperasian kekuasaan dalam berpemerintahan. Pada masa sebelumnya, yang beroperasi adalah negara berdasarkan kekuasaan (machtsstaat) dengan cirinya adalah pemerintahan yang menindas dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Konsep hak ilahi raja (divine right of kings) menjadi basis legitimasi pemerintahan berdasarkan negara kekuasaan yaitu kekuasaan raja adalah mandat Tuhan dan karena sifatnya suci maka raja tidak dapat salah (the king can do no wrong). Dalam konsep hak ilahi raja, raja tidak bertanggung jawab kepada orang atau lembaga di bumi tetapi kepada Tuhan karena kekuasaan raja berasal dari Tuhan sendiri.

Konsep kekuasaan yang dilahirkan oleh Magna Charta dan Glorious Revolution adalah rechtsstaat atau rule of law yaitu pemerintahan berdasarkan hukum atau pemerintahan konstitusional. Dalam pemerintahan berdasarkan hukum semua orang, baik itu penguasa maupun rakyat, harus bertindak berdasarkan aturan yang telah dibuat bersama. Kekuasaan dari seorang penguasa tidaklah mutlak tetapi dibatasi oleh konstitusi. Konstitusi itu sendiri dianggap sebagai kristalisasi dari hak-hak rakyat sehingga apabila penguasa bertindak berdasarkan konstitusi, maka dengan sendirinya hak-hak rakyat terjamin.

Negara berdasarkan hukum ini banyak mendasarkan diri pada teori kontrak sosial dari John Locke (1632-1704). Teori itu menyatakan bahwa negara terbentuk berdasarkan kontrak yang disepakati bersama antara penguasa dan rakyat. Rakyat menyerahkan mandatnya kepada penguasa dengan syarat bahwa rakyat baru menaati penguasa tersebut apabila dia menggunakan mandat itu untuk menjamin hak-hak dari rakyat. Dalam konteks ini, yang berlaku bukan lagi hak ilahi raja (divine right of kings) melainkan kedaulatan rakyat (people’s sovereignty). Penguasa bertanggung jawab dan tunduk kepada rakyat.

Melalui kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang menjadi pengawas utama pemerintah karena kekuasaan pemerintah tak lain adalah titipan mandat rakyat, dan yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali. Peran pemerintah dalam konsep negara berdasarkan hukum itu sangat minimal yaitu seperti watchdog (anjing penjaga di malam hari) yang baru menggonggong apabila ada pencuri. Pemerintah baru bertindak apabila terdapat perbuatan rakyat yang mengganggu ketertiban umum.

Dalam konteks pemahaman seperti itu, hemat saya, sangat aneh ketika di negeri ini ada pejabat publik yang melaporkan dan mengancam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengkritik mereka; atau ketika ada kepala daerah yang mengancam memenjarakan tokoh adat karena berdebat dengannya soal tanah ulayat. Kasus-kasus tersebut banyak menyita perhatian publik di media massa belakangan ini. Meskipun laporan ke lembaga penegak hukum dari pejabat publik tersebut mengatasnamakan pribadi, tetapi kesan bahwa mereka melakukan itu lebih karena mempunyai kekuatan berbasis status jabatan publik itu tetap sulit dibantah. 

Sangat penting untuk disadari bahwa mengkritik pejabat publik yang diduga melakukan penyimpangan adalah hak rakyat yang ingin memastikan bahwa mandat yang telah dititipkannya dijalankan dengan benar. Kewajiban moral para pejabat publik untuk mendengar kritik itu. Juga kritik dari rakyat yang bersifat tuduhan sekalipun tetap harus diterima karena toh pada akhirnya ada lembaga penegak hukum yang akan membuktikan kebenarannya.

Para pejabat publik yang melapor dan mengancam LSM dan rakyat telah membalikkan esensi demokrasi yaitu rakyat yang mengawasi pemerintah menjadi pemerintah yang mengawasi rakyat. Pemerintah yang mengawasi rakyat itu adalah sistem otoriter dan totaliter, bukan sistem demokrasi sebab sebagaimana dikatakan di depan bahwa peran pemerintah dalam sistem demokrasi itu sebatas watchdog. Para pejabat publik tersebut telah berperangai otoriter di balik kedok demokrasi. Maka, rakyat harus selalu merapatkan barisan dalam melawan ulah para pejabat publik perusak demokrasi!

Penulis: Ransis Raenputra, Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Merdeka.com - Setiap hari selalu ada peristiwa penting maupun tidak biasa yang mungkin tidak selalu diketahui maupun diingat oleh semua orang. Seperti peristiwa 15 Juni yang menandai penandatanganan Piagam Magna Carta, yaitu salah satu dokumen paling terkenal dalam sejarah Inggris.

Magna Carta, atau “Piagam Besar,” bisa dibilang merupakan pengaruh awal yang paling signifikan pada proses sejarah ekstensif yang mengarah pada aturan hukum konstitusional saat ini di dunia berbahasa Inggris.

Pada tahun 1215, setelah Raja John dari Inggris melanggar sejumlah hukum dan kebiasaan kuno yang mengatur Inggris, rakyatnya memaksanya untuk menandatangani Magna Carta, yang menyebutkan apa yang kemudian dianggap sebagai hak asasi manusia.

Berikut merdeka.com merangkum selengkapnya sejarah penandatanganan Piagam Magna Carta dan tujuannya:

2 dari 3 halaman

Pada tahun 1215 Inggris berada dalam kekacauan politik. Raja John menjadi sangat tidak populer, berkat perselisihan sengit dengan gereja dan serangkaian pajak tinggi untuk mendanai perang yang sedang berlangsung dengan Prancis. 

Aliansi para baron yang tidak puas dan anggota penting pendeta telah meningkatkan tekanan pada raja selama bertahun-tahun. Pada awal 1215 para baron menguasai London, tidak memberinya pilihan selain bernegosiasi.

Raja-raja Inggris sebelumnya telah memberikan konsesi kepada para baron feodal mereka, tetapi piagam-piagam ini tidak jelas kata-katanya dan dikeluarkan secara sukarela. Namun, dokumen yang dibuat untuk John pada bulan Juni 1215 memaksa raja untuk memberikan jaminan khusus atas hak dan hak istimewa para baronnya dan kebebasan gereja. 

Peristiwa memuncak pada bulan Juni, ketika Raja John akhirnya bertemu dengan para baron untuk mendengar tuntutan mereka. 

Pada tanggal 15 Juni 1215, John bertemu dengan para baron di Runnymede di Sungai Thames dan menyegel Anggaran Para Baron, yang setelah revisi kecil secara resmi dikeluarkan sebagai Magna Carta.

3 dari 3 halaman

Magna Carta istimewa karena meminta pertanggungjawaban raja terhadap aturan hukum, sama seperti rakyatnya. Totalnya terdiri dari 63 klausa, meliputi hukum, kebebasan dan gereja.

Klausa yang paling terkenal dan penting diabadikan pada hak-hak "orang bebas" atas keadilan dan pengadilan yang adil. Meskipun pada saat itu "orang bebas" hanya merujuk pada sejumlah kecil bangsawan, bagian ini telah mengambil makna simbolis selama bertahun-tahun. Hari ini adalah salah satu dari tiga klausa asli yang masih bertahan dalam hukum Inggris.

Seberapa penting Magna Carta?

Pada saat itu Magna Carta memiliki dampak hukum yang sangat kecil. Atas permintaan Raja John, dokumen itu segera dicabut oleh Paus, yang dengan tegas menyatakan dokumen itu "batal dan tidak berlaku selamanya".

Baru kemudian 'Piagam Besar' mulai memiliki konsekuensi nyata. Penerus Raja John, Raja Henry III merilis tiga versi revisi Magna Carta selama masa pemerintahannya, dan selama bertahun-tahun itu mulai mengambil status simbolis.

Dalam 800 tahun sejak pertama kali diusulkan, tonggak hak dan kebebasan individu ini telah memberikan inspirasi bagi banyak dokumen konstitusional penting. Bill of Rights Amerika Serikat tahun 1791, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (1948) dan banyak lagi berutang besar pada suatu hari musim panas di Runnymede bertahun-tahun yang lalu, tulis laman nationaltrust.org.uk.

Mengapa Magna Charta menjadi tonggak demokrasi di Eropa?

Mengapa Magna Charta menjadi tonggak demokrasi di Eropa?
Lihat Foto

Shutterstock/David Smart

Magna Carta Libertatum, is an English legal charter that required King John of England to proclaim certain rights, respect certain legal procedures, and accept that his will could be bound by the law.

KOMPAS.com - Hari ini, lebih dari delapan abad yang lalu atau tepatnya pada 15 Juni 1215, sebuah piagam bersejarah dikeluarkan di Inggris.

Piagam yang diberi nama "Magna Carta" ini secara tertulis berisi klausul yang membatasi kekuasaan absolut raja.

Pada piagam ini, seorang raja harus menghargai dan menjunjung beberapa prosedur legal dan hak setiap manusia.

Selain itu, keinginan seorang raja juga dibatasi oleh hukum.

Magna Carta disebut sebagai sebuah kesepakatan pertama yang tercatat sejarah sebagai jalan menuju hukum konstitusi.

Magna Carta juga kerap dianggap sebagai tonggak perjuangan lahirnya pengakuan atas hak asasi manusia.

Melansir History, setelah pemberontakan yang dilakukan oleh bangsawan Inggris untuk melawan pemerintahannya, Raja John menempatkan materai kerajaannya di Magna Carta, atau "Piagam Besar" dan secara resmi mengesahkan isinya.

Dokumen tersebut pada dasarnya merupakan perjanjian damai antara John dan para baronnya, serta menjamin bahwa raja akan menghormati hak-hak feodal dan hak istimewa, menegakkan kebebasan gereja, dan memelihara hukum negara.

Meskipun sifatnya reaksioner, namun Magna Carta dipandang sebagai landasan dalam perkembangan Inggris yang demokratis oleh generasi selanjutnya.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pesawat Garuda Indonesia DC-10 PK-GIE Terbakar dan Terbelah Tiga di Fukuoka

Kemunculan Magna Carta sendiri tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan Raja John yang dinilai gagal oleh para bangsawan Inggris.

Baca tentang