Mengapa para petinggi TNI AD menjadi target utama penculikan dalam pemberontakan G 30 September

Mengapa para petinggi TNI AD menjadi target utama penculikan dalam pemberontakan G 30 September

Warga nonton bareng (nobar) pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI di Lapangan Hiraq Lhokseumawe, Aceh (23/9) malam. ANTARA FOTO

TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa elite PKI dalam operasi G30S terkesan misterius, bahkan ada yang tidak dikenali orang awam sebagai anggota partai. Siapa saja elite PKI dalam operasi yang berlangsung Jumat dini hari 1 Oktober 1965 ini?

1. DN Aidit

Dipa Nusantara Aidit atau yang dikenal dengan DN Aidit adalah Ketua Umum Comite Central PKI. Ia adalah inisiator dari G30S.

Dalam Majalah Tempo Edisi 17 November 2008, Aidit menghubungi tangan kanannya di PKI, Sjam, sepulang kunjungannya dari Cina pada awal Agustus 1965. Sjam bercerita, Aidit saat itu terlihat galau.

Ia mengaku pulang mendadak ke Indonesia setelah mendengar Sukarno jatuh sakit. Kalau sakitnya terulang, kata Aidit, Presiden bisa meninggal dunia.

Aidit khawatir kematian Sukarno akan dimanfaatkan pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat atau TNI AD untuk merebut istana dan menyingkirkan PKI. "PKI sekarang harus memilih: didahului atau mendahului," ujarnya.

Aidit pada malam itu tampaknya telah memutuskan. Ia meminta Sjam untuk memeriksa barisan Biro Chusus dan bergegas membuat konsep "sebuah gerakan yang bersifat terbatas".

2. Sjam Kamaruzaman

Sjam, dilansir dari buku "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto" karya John Roosa, adalah seorang Kepala Biro Chusus PKI. Ia ditunjuk Aidit langsung untuk menggantikan kepala sebelumnya, Karto.

Bila Karto adalah seorang anggota partai yang terkenal, berpengalaman, disukai orang, dan yang menggabungkan kerja terbuka dengan kerja militer tertutup, maka Sjam adalah sebaliknya. Di PKI ia adalah tokoh tak dikenal yang bergerak di dalam bayang-bayang.

Sehari-hari, ia lebih dikenal sebagai pengusaha. Orang tak akan menyangka bahwa ia elite PKI yang turut mengepalai operasi G30S. Dalam menjalankan rencana operasi ini Sjam dibantu asistennya di Biro Chusus, Supono Marsudidjojo alias Pono.

Dilansir dari Majalah Tempo Edisi 17 Novermber 2008, polisi militer mencatat setidaknya Sjam memiliki lima nama alias, yaitu Djimin, Ali Mochtar, Sjamsudin, Ali Sastra, dan Karman. Setahun sebelum dieksekusi pada 1986, ia bahkan mengirim surat pada adiknya dengan nama Rusman.

Hubungan Aidit dan Sjam punya sejarah panjang. Sebagai tangan kanan, Sjam amat dipercaya oleh Aidit. Tapi ia tidak tahu laporan Sjam kerap tidak akurat. Para perwira G30S siap melaksanakan rencana karena berpikir Aidit menghendaki hal itu.

Di lain sisi, DN Aidit meneruskan rencana karena mengira para perwir telah siap. Karena tidak terbuka pada kedua pihak, Sjam Kamaruzaman memindahkan nasib G30S ke tangannya sendiri dan menahbiskan diri menjadi tokoh pusat gerakan itu. Akhirnya, G30S pun berujung kacau balau.

AMELIA RAHIMA SARI

Baca juga: Struktur Pasukan dan Komando G30S di Bawah Pimpinan Letkol Untung

tirto.id - Pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta terdapat 7 nama perwira militer TNI-AD yang menjadi korban kejadian ini. Mereka kemudian dianugerahi gelar pahlawan revolusi dan pahlawan nasional RI. Partai Komunis Indonesia (PKI) disebut-sebut sebagai dalang tragedi berdarah ini.

Menurut Harold Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia (1978), G30S alias Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober), adalah peristiwa yang terjadi lewat malam 30 September sampai awal 1 Oktober 1965 ketika sejumlah perwira militer Indonesia dibunuh dalam suatu usaha kudeta.

Penyebab, latar belakang, serta kebenaran yang valid terkait terjadinya peristiwa G30S cukup rumit lagi kompleks lantaran cukup banyaknya kepentingan yang bermain dalam situasi perpolitikan di tanah air dan pemerintahan yang dipimpin Presiden Sukarno kala itu.

Perlukah Rekonstruksi Sejarah G30S/PKI?

John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) menganalogikan Gerakan 30 September telah menjadi semacam kubus rubik yang tak terpecahkan, dengan enam warna yang tidak dapat bersesuaian dengan keenam sisinya.

Roosa, sejarawan dari University of British Columbia, Kanada, menambahkan, kendala dalam memecahkan teka-teki ini ialah pemaksaan cara penyelesaian palsu yang teramat kuat segera sesudah peristiwa ini terjadi, termasuk dengan menciptakan “fakta-fakta" semisal kisah penyiksaan di Lubang Buaya, pengakuan para pemimpin PKI, dan lainnya.

Dengan banjir propagandanya, lanjut Roosa, rezim Soeharto telah memasang ranjau di sepanjang jalan kaum sejarawan dengan petunjuk palsu, jalan belokan yang buntu, dan penggalan-penggalan bukti yang direkayasa.

Baca juga:

  • Film Pengkhianatan G30S-PKI: Fakta atau Propaganda Orba?
  • Sepak Terjang Ahmad Yani Menjelang 1 Oktober 1965
  • Upaya Anak-Anak Brigjen Sutoyo Menghapus Dendam

Maka, sebut Samsudin lewat buku Mengapa G30S/PKI Gagal? (2004), harus ada keberanian dari bangsa Indonesia untuk melakukan rekonstruksi sejarah secara objektif dan kritis sehingga dapat diwujudkan sejarah G30S/PKI yang sesungguhnya.

Masih ditulis oleh Samsudin dalam bukunya, menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa untuk membuka dan memberikan peluang bagi terjadinya perkembangan penafsiran terhadap fakta pembunuhan 6 jenderal Angkatan Darat (serta 1 perwira lainnya) dan peristiwa-peristiwa terkait setelah itu.

Seiring dengan hal tersebut, menjadi kebutuhan bersama sebagai bangsa, terutama para sejarawan untuk terus mencari dan menemukan fakta-fakta baru seputar G30S/PKI demi melengkapi data-data yang telah ada.

Melalui penemuan fakta-fakta baru tersebut akan dapat dirumuskan penafsiran-penafsiran yang baru pula mengenai G30S/PKI secara lebih komprehensif.

Terlepas dari kontroversi yang masih terus didiskusikan hingga saat ini, upaya pengambil-alihan kekuasaan dan kematian 7 perwira militer dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan fakta-fakta sejarah yang memang telah terjadi.

Mengapa para petinggi TNI AD menjadi target utama penculikan dalam pemberontakan G 30 September

Infografik Pahlawan Revolusi dan Tragedi G30S 1965. tirto.id/Fuadi

Daftar Pahlawan Revolusi dalam G30S 1965

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta telah menyebabkan kematian 7 perwira TNI-AD, yang 6 di antaranya merupakan perwira tinggi alias jenderal yang kala itu cukup berpengaruh dalam pemerintahan RI di bawah pimpinan Presiden Sukarno.

Adapun 1 orang perwira lainnya adalah Kapten Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Jenderal A.H. Nasution disebut-sebut menjadi target seperti ke-6 jenderal lainnya. Tak hanya itu, ada korban meninggal dunia lainnya yaitu Ade Irma Suryani, putri Jenderal Nasution.

Baca juga:

  • Brigjen Katamso, Korban Tragedi 1965 di Yogyakarta
  • Mayjen Soeprapto, Akhir Tragis Perjalanan Sang Survivor
  • Ade Irma Terbunuh Karena Jadi Perisai A.H. Nasution

Selain itu, Bripka Karel Sadsuit Tubun yang merupakan pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena turut pula menjadi korban dalam peristiwa berdarah ini.

Berikut ini para pahlawan revolusi dalam peristiwa G30S 1965 di Jakarta:

  1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi)
  3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD Bidang Intelijen)
  5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD Bidang Logistik)
  6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal AD)
  7. Lettu CZI Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution)
  8. Bripka Karel Sadsuit Tubun (Pengawal Kediaman Resmi dr.J. Leimena)

Jenazah para korban penculikan dalam peristiwa G30S di ibu kota ditemukan di wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur, tanggal 3 Oktober 1965, kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Baca juga:

  • Ajal M.T. Haryono Dijemput Boengkoes dari Cakrabirawa
  • Sejarah Lahirnya Pierre Tendean Pahlawan Revolusi
  • Kolonel Sugijono, Pahlawan Revolusi dari Yogyakarta

Pembunuhan terhadap perwira militer TNI-AD juga terjadi di Yogyakarta yang menewaskan Kolonel Katamso dan Letkol Sugijono pada 1 Oktober 1965. Jasad keduanya ditemukan pada 12 Oktober 1965 di wilayah Kentungan dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Yogyakarta.

Pemerintah RI kemudian menetapkan ke-10 tokoh tersebut dengan gelar Pahlawan Revolusi dan memberikan kenaikan pangkat anumerta. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar Pahlawan Revolusi juga diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Baca juga artikel terkait G30S PKI atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/agu)


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH

Subscribe for updates Unsubscribe from updates