Masyarakat menggunakan berbagai taktik yang digunakan seperti adanya anggapan bahwa melakukan perang tersebut adalah bagian dari jihad fii sabilillah atau memperjuangkan agama dan dengan adanya pengaruh kaum ulama pada rakyat yang sangat kuat menjadikan perang tersebut dirasa sulit untuk ditaklukkan. Dalam perang Aceh ini juga dikenal dengan taktik perang gerilya atau perang yang dilakukan dengan cara bersembunyi. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Aceh agar pihak Belanda kesulitan dalam penangkapan masyarakat Aceh. Selai itu sulitnya Belanda menghadapi perang Aceh dikarenakan Belanda tidak memiliki informasi yang banyak terkait Aceh. Hingga pada akhirnya munculah tokoh bernama Snouk Hurgronye sebagai penasihat dalam urusan pemerintah sipil. Ia ahli dalam bahasa arab dan mempelajari adat, istiadat dan kepercayaan orang Aceh serta Snouk Hurgronye berusaha mendekati kaum ulama. Dengan demikian, kerasnya perjuangan rakyat Aceh dan kurangnya informasi Belanda tentang daerah Aceh membuat Perang Aceh menjadi perang melawan kolonialisme Barat yang paling lama dan sulit dihadapi Belanda. tirto.id - Perang Aceh merupakan salah satu perang terlama yang dihadapi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam sejarah pendudukannya di Nusantara. Perang di bumi Serambi Mekah yang berlangsung dari tahun 1873 hingga 1910 ini terbagi dalam empat fase. Dari fase ke fase yang berjalan cukup lama, muncul tokoh-tokoh perjuangan dari tanah rencong yang terlibat dalam upaya perlawanan terhadap penjajah Belanda. Begitu pula dari pihak Belanda, sejumlah nama bergantian dalam memimpin misi menaklukkan Aceh.
Penyebab Perang Aceh
Perang Aceh terjadi karena ambisi Belanda yang ingin menguasai seluruh wilayah Nusantara pada abad ke-19 Masehi. Butuh waktu lama bagi bangsa asing itu untuk bisa menundukkan wilayah Aceh. Boedi Harsono dalam Hukum Agraria di Indonesia: Sejarah Penyusunannya Isi dan Pelaksanaannya (1975), menyebutkan bahwa ambisi Belanda itu didasari dengan adanya perubahan dunia perekonomian setelah disahkannya Undang-Undang Agraria. Selain faktor ekonomi, ada pula politis. Mengutip tulisan A. Anwar bertajuk "Strategi Kolonial Belanda dalam Menaklukkan Kerajaan Aceh Darussalam"dalam jurnal Adabiya (Volume 19, 2017), Kerajaan Aceh dianggap penghambat utama perluasan kekuasaan Belanda di pesisir timur dan selatan Sumatera.
Baca juga:
Proses dan Fase Perang Aceh
Perang Aceh I (1873-1874) Ibrahim Alfian dalam Perang Kolonial Belanda di Aceh (1977), menyebutkan bahwa perang diawali pada 26 Maret 1873, ketika geladak kapal komando Citadel van Antverpen secara resmi memaklumkan perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam. Saat itu Belanda tidak langsung melakukan penyerangan karena masih menghimpun pasukan. Melihat yang demikian, pihak Aceh pun melakukan mobilisasi umum guna menghadapi perang yang sudah di ambang pintu itu. Akhirnya, pada 6 April 1873 pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R.Kohler berlabuh di Pantai Ceureumen, Aceh Barat. Seketika itu, pasukan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah dengan semangat jihad fi sabilillah langsung menggempur pasukan Belanda dengan meriam. Keberhasilan pasukan Aceh dalam mempertahankan wilayahnya mengakibatkan Belanda kewalahan dan memutuskan untuk menghentikan serangan ini sembari menghimpun kekuatan maupun strategi baru.
Baca juga:
Perang Aceh II (1874-1880) Ekspedisi Aceh II oleh Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Pasukan Belanda memang berhasil menguasai istana Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, itu terjadi karena pasukan Aceh telah meninggalkan kraton dan bergerilya. Oleh karena itu, sama seperti periode sebelumnya, pasukan Belanda tetap kewalahan dalam menghadapi pasukan Aceh di perang fase kedua yang dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood.
Baca juga:
Perang Aceh III (1881-1896) Masih dengan semangat jihad fi sabilillah, para pejuang Aceh seperti Teuku Umar, Cik Ditiro, Panglima Polim, dan Cut Nyak Dien berhasil memobilisasi rakyat Aceh untuk melakukan perang gerilya melawan Belanda. Alhasil, Belanda semakin kewalahan dengan taktik dan semangat perang dari rakyat Aceh. Pada 1891, Christiaan Snouck Hurgronje yang merupakan ahli bahasa Arab dan Islam yang juga penasihat untuk urusan adat dari pemerintah kolonial datang ke Aceh. Sebagai orang yang paham tentang Islam, ia mendekati para ulama. Peran Snouck Hurgronje menjadikan pasukan Belanda lebih terbantu, karena ia menggunakan siasat menyerang dari dalam yang nantinya membuahkan hasil gemilang. Bertepatan dengan kedatangan Snouck Hurgronje, rakyat Aceh sedang merasakan duka yang mendalam karena kematian Teuku Cik Ditiro. Salah satu pemimpin Aceh lainnya, Teuku Umar, dikabarkan menyerah kepada Belanda. Namun, itu ternyata hanya taktik semata untuk memperlemah kekuatan lawan.
Baca juga:
Perang Aceh IV dan Akhir (1896-1910) Ketiadaan Teuku Umar tidak membuat semangat rakyat Aceh padam menghadapi Belanda. Dipimpin Cut Nyak Dien, istri Teuku Umar, dengan dibantu oleh pejuang wanita bernama Pocut Baren, rakyat Aceh terus melakukan perlawanan. Hingga akhirnya, Teuku Umar yang kembali bergabung dengan pasukan Aceh. Sayangnya, pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur di Meulaboh. Perjuangan pun kembali dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien bersama Pocut Baren. Ibrahim Alfian dalam Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912 (1987) mengungkapkan, kondisi rakyat Aceh mulai melemah karena kematian dari beberapa pemimpinnya. Terlebih, strategi merusak dari dalam yang dijalankan Snouck Hurgronje juga berjalan dengan mulus dan semakin memperlemah pasukan dan rakyat Aceh. Tahun 1905, Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan kemudian wafat pada 1910. Kematian Cut Nyak Dien pun menjadi penanda berakhirnya Perang Aceh.
Baca juga:
Tokoh-tokoh Perang AcehTokoh Aceh: Panglima Polim, Sultan Mahmud Syah, Tuanku Muhammad Dawood, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Pocut Baren Tokoh Belanda: J.H.R Kohler, Jan van Swieten, Snouck Hurgronje
Baca juga
artikel terkait
PERANG ACEH
atau
tulisan menarik lainnya
Alhidayath Parinduri
Subscribe for updates Unsubscribe from updates
Perang Aceh berlokasi di Aceh, Sumatera Utara pada tanggal 1873 – 1914, dan berlanjut hingga tahun 1942 dengan adanya perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Perang ini berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama dan banyak membawa korban nyawa. Tercatat lebih dari 100.000 penduduk sipil tewas akibat korban pembantaian Belanda. Adanya 200.000 mujahidin Aceh, melibatkan 100.000 tentara gabungan dari Bugis, Madura dan Jawa. Latar Belakang dan Sebab Terjadinya Perang Aceh Isi perjanjian ini adalah penyerahan beberapa wilayah penting di Aceh oleh Sultan Ismail kepada pihak Hindia belanda, seperti daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang yang tadinya berada di wilayah kepemimpinan Kesultanan Keraton Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda
Isi perjanjian London adalah bahwa antara Belanda dan Inggris ada ketentuan batas-batas wewenang di Asia Tenggara, dengan garis batas Singapura
Banyak bukti menyebutkan bahwa, meskipun kemerdekaan Negara Aceh sudah diakui oleh negara-negara luar, kedaulatannya masih sering diganggu oleh pihak Belanda dengan segala macam cara. Warga dan Tokoh Masyarakat Aceh menjadi geram dan risau akan perilaku pihak Belanda ini.
Perjanjian ini berisi mengenai kewenangan Belanda yang diberik oleh Inggris untuk memperluas wilayah kekuasaan di Aceh. Inggris hanya ingin bebas melakukan perdagangan di daerah Siak. Namun kedua hal ini sama sekali tidak menguntungkan bagi warga Aceh itu sendiri, sehingga warga dan tokoh masyarakat memberontak dan melawan.
Hal ini terjadi menjadi klimaks pada tangal 26 Maret 1973, dan menyebabkan Pihak Belanda mengumumkan perang dengan Aceh.
Hubungan Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki membuat pihak Belanda Geram dan mengancam untuk mendapat isi pembicaraan hubungan diplomatik tersebut yang berlangsung di Singapura. Hubungan dilateral ini dipimpin oleh Sultan Machmud Syah. Strategi Perang Strategi perang Bangsa Indonesia, yaitu gerilya ditiru oleh pemimpin pasukan Belanda yang bernama Van Huetz dan Hans Christoffel. Belanda memiliki Colone Macan, yaitu pasukan dengan ketrampilan khusus yang menguasai wilayah pedalaman pegunungan-pegunungan dan hutan rimba di Aceh untuk menangkap dan mengejar para pahlawan Gerilyawan Aceh. [AdSense-B] Taktik yang digunakan selain Gerilya adalah dengan menangkap para kerabat dan anggota keluarga dari pemimpin-pemimpin dan gerilyawan Aceh. Seperti khasus diculiknya Permaisuri Sultan dan Tengku Putroe pada tahun 1902. Diculiknya putra Sultan Tuanku Ibrahim oleh Van der Maaten. Ditangkapnya Panglima Polim dan anak Panglima Polim pada dua waktu yang berbeda. Banyaknya pembunuhan-pembunuhan sadis yang terjadi yang menawan rakyat sipil. Kemudian yang penangkapan dan pembuangan Cut Nyak Dhien ke daerah Sumedang, Jawa Barat. Proses Perang Aceh Terjadi pada tahun 1873 sampai 1874 dibawah komando Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah, melawan Kohler, seorang pimpinan perang Belanda yang membawahi 3000 serdadu. Pada masa ini, kejadian yang sangat penting adalah ketika direbutnya kembali Masjid Raya Baiturrahman dari tangan Belanda. Terjadi pada tahun 1874 sampai 1880 dimana pasukan Belanda berada dibawah kepemimpinan Jendral Jan van Swieten. Pihak Belanda berhasil menduduki Kerajaan Keraton pada tanggal 1974 dan dijadikan sebagai tempat utama pertahanan Belanda. [AdSense-A] Pada masa perang kedua ini, ibukota berpindah-pindah mulai dari Keumala Dalam, Indrapuri dan tempat lain-lainnya dikarenakan perang ini termasuk sangat frontal dan sadis. Belanda mengumumkan kewenangan dan kekuasannya dengan menduduki Keraton Sultan dan mengangkat Tuanku Muhammad Dawood menjadi Sultan di Indrapuri. Perang Aceh Ketiga Perang ini terjadi pada tahun 1881 sampai 1896, banyak berita beredar mengenai perang ketiga ini yang berlangsung sampai tahun 1903. Di masa inilah Pahlawan Indonesia yang bernama Teuku Umar, Panglima Polim dan Sultan memimpin strategi gerilya bagi para pasukannya. Pihak Belanda sendiri dipimpin oleh seorang yang bernama Van der Dussen. Peran Cut Nyak Dien, sebagai pengganti komando gerilya menggantikan suaminya (Teuku Umar) dikenang sepanjang masa. Keberaniannya dalam melawan penjajah menginspirasi banyak wanita masa kini dalam perjuangannya sendiri-sendiri. Perang Aceh keempat sangat jauh berbeda apabila dibandingkan dengan Perang sebelum-sebelumnya. Perang masa ini lebih pada perjuangan individu tanpa adanya komando baik dari pihak Kerajaan Keraton maupun dari Panglima Perang. Dalam perang keempat ini, strategi Gerilya sangat ditekankan dan menjadi patokan dalam penyerangan terhadap Belanda. Isi Korte Verklaring atau Traktat Pendek
Tokoh Dalam Perang Aceh
Kesimpulan dan Poin Penting
Banyaknya penyebab konflik sosial bisa diperngaruhi oleh banyak hal, baik dari sisi internal maupun internasional. Politik, sosial, budaya dan adat adalah beberapa hal yang telah tercatat menurut sejarah melatarbelakangi penyebab konflik papua, penyebab konflik poso dan penyebab konflik Maluku. |