Mengapa taktik militer Daendels lebih menekankan pada pembangunan jalan?

Membicarakan sejarah jalan di pulau jawa tidak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia yang juga terkait dengan bangsa Eropa saat itu yang menduduki Indonesia. Louis yang baru diangkat sebagai Raja memanggil Daendels, perwira tinggi Belanda yang berpangkat Letnan Jenderal, yang pernah bertugas di Leguin Asing Prancis. Ia mengundurkan diri dari militer karena usulan pertahanannya ditolak semasa Republik Bataf. Keberhasilannya mengalahkan pasukan Inggris itu mengilhami Louis untuk mengangkat Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda karena Wilayah Hindia Belanda harus dipertahankan. Bagi Louis, hanya Daendels yang dapat melakukan perubahan di Jawa. Pelantikannya dilakukan pada tanggal 28 Januari 1807 dengan dua tugas pokok : mempertahankan Pulau Jawa dan membenahi system administrasi.

ada tahun 1908 kekuasaan di Nusantara beralih dari kompeni ke Pemerintah Hindia Belanda, dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811). Untuk kelancaran menjalankan tugasnya di Pulau Jawa, Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer di Ujung Barat Jawa Barat ke Panarukan di Ujung Timur Jawa Timur (kira-kira 1000 km). Jalan raya ini menghubungkan kota-kota yang ada di pedalaman Pulau Jawa. Pada jarak 15 km, 30 km dan paling jauh 60 km didirikan kota-kota untuk mencapai kota yang lebih besar berikutnya. Sebagai contoh adalah Kota Sumedang, Majalengka, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan jarak tempuh ideal untuk kuda dapat berjalan yaitu sekitar 15 km. Setiap 15 km kuda tersebut akan istirahat atau diganti dengan kuda yang baru. Pada setiap kuda tersebut biasanya terdapat kandang kuda yang berada di sekitar alun-alun (orang sunda menamakannya banceuy).

Walaupun dikatakan sebagai jalan terbaik dan terpanjang dimasanya, ide pembangunan jalan ini sebenarnya bukanlah ide Daendels. Ia menjalankan instruksi atasannya, dengan meniru apa yang telah dilakukan oleh Napoleon Bonaparte. Pada tahun 1805, Napoleon telah membangun jalan transnasional yang berpusat di Paris, menggabungkan 27 kota terpenting di Eropa, memfungsikannya untuk pelayanan pos, sehingga ujung wilayah kekaisaran dengan lainnya terhubungkan dan waktu perjalanannya menjadi pendek.

Peta Jalan raya Pos Anyer – Panarukan

Tidak banyak arsip ditemukan mengetahui besarnya dana dalam pembuatan jalan pos yang jaraknya 600 pal (kurang lebih 1.000 km). Pemerintah hanya menyediakan dana sebesar 30.000 ringgit (1 ringgit atau rijksdaalder = 2,40 gulden yang dalam pelaksanaannya habis digunakan untuk membangun jalan rute Batavia-Buitenzorg. Sementara pembangunan rute Buitenzorg sampai Kandanghaur (di Barat Cirebon) digunakan uang kertas kredit yang dikeluarkan Daendels.

Dalam pembangunan tahap pertama jalan rute Buitenzorg-Kandanghaur yang medannya cukup berat, setiap pekerja diberikan uang sebesar sebesar 4 ringgit sebulan ditambah dengan 4 gantang dan garam. Uang ini diserahkan kepada para Bupati yang memimpin pekerja proyek itu. Kelanjutan proyek yang menyusuri pantai utara Pulau Jawa sampai ke Panarukan disepakati bersama antara Gubernur Jenderal dan para Bupati pribumi, seperti tertuang dalam resolusi Gubernur Jenderal tanggal 1 September 1808, disertai dengan instruksi bagi para Bupati.

Namun demikian dari beberapa literature yang ada, pembangunan jalan pos, di Jawa telah menelan korban sebanyak 30.000 orang. Kerja paksa dilakukan oleh para budak atau mereka yang melakukan tindak pidana. Mereka dirantai kaki tangannya. Sementara, kerja wajib dilakukan sebagai bentuk pengabdian dari kawula kepada gustinya. Kerja wajib tidak terkait dengan hukuman, melainkan ditetapkan dalam batas waktu tertentu untuk bekerja demi kepentingan penguasa. Kerja wajib berlaku bagi semua warga pria dewasa yang sehat badannya. Dalam setahun dengan kebijakan tangan besinya, jalan itu selesai. Satu rekor pada waktu itu. Dibalik kesuksesan itu, korban-korban sebagai tumbal berjatuhan. Para pekerja paksa itu tewas lantaran kelelahan dan serangan nyamuk malaria. Sumber Inggris menyebutkan korban tewas akibat pembangunan Jalan Raya Pos sebanyak 12.000 orang. Ini yang resmi tercatat karena diyakini jumlah korban lebih dari angka tersebut.

Ternyata tidak semua Bupati yang mengikuti perintah Daendels. Bupati yang membangkang terhadap kesewenang-wenangan Daendels adalah Bupati Sumedang yang dikenal dengan sebutan Pangeran Kornel. Pada pembangunan jalan yang melewati suatu lembah yang dalam diantara pegunungan yang bercadas, banyak para pekerja yang meninggal. Melihat rakyatnya banyak yang meninggal, maka Bupati menolak pekerjaan tersebut dan menantang Daendels. Untuk menghormati keberanian Bupati Sumedang , maka jalur tersebut diabadikan dengan nama Cadas Pangeran. Sebuah patung peringatan yang menggambarkan Pangeran Kornel sedang berjabat tangan dengan pangeran Daendels dengan tangan kiri dan persembahan ditangan kanan.

Pembangunan jalan raya itu dilakukan oleh rakyat pribumi dibawah pimpinan Bupati Daerah masing-masing. Di Jawa Barat jalan tersebut yaitu melewati Jakarta – Bogor- Cianjur – Bandung – Cadas Pangeran – Majalengka – Cirebon dan Jawa Tengah. Sedangkan di daerah khususnya dan daerah Priangan umumnya, Jalan Raya Pos mulai dibangun pertengahan 1808, dengan memperbaiki dan memperlebar jalan yang telah ada. Di daerah Bandung sekarang, jalan raya itu adalah Jalan Jenderal Sudirman – Jalan Asia Afrika – Jalan A. Yani, berlanjut ke Sumedang – Cirebon – dan seterusnya.

Monumen Bandung Km.0

Seusai meresmikan pembangunan jembatan pada sungai Cikapandu yang baru selesai dibangun, Herman Willem Daendels dan Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah II berjalan kaki kearah timur. Sampai disuatu tempat (saat ini didepan kantor Dinas Bina Marga Jawa Barat ). Herman Willem Daendels berhenti sambil menancapkan kayu dan berkata “ Zord Dat Als Ik Terug Kom Hier Een Stad is Gebouwd ” (artinya coba usahakan bila aku datang kembali di tempat ini telah dibangun sebuah kota). Ditempat ini pulalah masyarakat kemudian membuat tugu yang menyatakan tanda “Kilometer 0”. Pada saat sekarang ini patok ini dipergunakan sebagai posisi KM.Bd. 0 + 00.

Permintaan ini ditujukan untuk kelancaran pembangunan jalan raya, dan agar pejabat pemerintah kolonial mudah mendatangi Kantor Bupati. Secara resmi Daendels melalui surat tanggal 25 Mei 1810 meminta Bupati Bandung dan Bupati Parakan Muncang untuk memindahkan ibukota kabupaten, masing-masing ke daerah Cikapudung dan Andawadak ( Tanjungsari), mendekati Jalan Raya Pos.

Rupanya Daendels tidak mengetahui, bahwa jauh sebelum surat itu keluar, Bupati Bandung sudah merencanakan untuk memindahkan ibukota kabupaten Bandung, bahkan telah menemukan tempat yang cukup baik dan strategis bagi pusat pemerintahan. Tempat yang dipilh adalah lahan kosong berupa hutan, terletak ditepi barat sungai Cikapundung, tepi selatan Jalan Raya Pos yang sedang dibangun (pusat kota Bandung sekarang). Alasan pemindahan ibukota itu antara lain, Krapyak tidak strategis sebagai ibukota pemerintahan karena terletak disisi selatan daerah Bandung yang sering dilanda banjir bila musim hujan. Dengan demikian kota Bandung didirikan oleh dan atas kebijakan Bupati Bandung keenam, R.A.A Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Bupati R.A.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (The Founding Father) kota Bandung. Akan tetapi , memang Daendels yang mempercepat proses tersebut.

Pada masa Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles berkuasa (1811 – 1816) sempat pula dibangun jalan-jalan simpangan ke daerah-daerah pedalaman yang menandakan semakin berkembangnya ruas-ruas jalan pada waktu itu. Perkembangan jaringan jalan pasca pembangunan Jalan Raya Pos terlihat dari semakin banyaknya perkebunan-perkebunan yang didirikan pemerintah kolonial Belanda maupun pihak swasta. Karesidenan Priangan yang subur membuat tumbuhnya perkebunan-perkebunan, membawa konsekuensi terjadinya pembangunan jalan yang cukup pesat. Jalan-jalan tersebut seperti Bandung – Ciwidey, Bandung – Lembang – Subang, Bandung – Pangalengan.

Seiring dengan perkembangan perkebunan yang ada di Jawa Barat maka dibangun jalan-jalan lainnya, baik yang menghubungkan kawasan perkebunan dengan kota terdekat maupun antara perkebunan dengan Jalan Pos. Pertumbuhan jalan-jalan ini mengarah kepada Jalan Pos. Dengan demikian Jalan Pos menjadi sumbu utama dalam sistem jaringan jalan saat itu. Terdapat juga jalan lainnya yang dibangun untuk kegiatan wisata seperti jalan menuju puncak Papandayan dan jalan menuju puncak gunung Tangkuban Perahu yang dibangun oleh Ir. Poldervaart.
Pembangunan jalan yang dilakukan oleh Deandels yang dikenal dengan Jalan Raya Pos ini merupakan titik tolak pembangunan system jaringan jalan di Pulau Jawa, termasuk Jawa Barat. Namun demikian pada dasarnya pembangunan jalan di Jawa Barat sudah dimulai dilakukan oleh raja-raja dan Bupati-Bupati jauh sebelum Deandels datang, walaupun jalan-jalan tersebut kecil-kecil dan masih bersifat lokal yang menghubungkan lokasi-lokasi penghasil kebutuhan primer seperti mata air, ladang, tempat ibadah dan lain-lain. Sebagian besar dari jalan Daendels juga memanfaatkan jalan-jalan tersebut.

Setelah kemerdekaan pengelolaan jalan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Di Jawa Barat setelah kemerdekaan pembangunan jalan terus dilakukan dengan didasarkan kepada pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Pembangunan jaringan jalan relative lebih pendek-pendek yaitu untuk menghubungkan pusat kegiatan atau kota dengan system jaringan jalan yang ada. Disamping pembangunan jalan, juga dilakukan pembangunan kapasitas dan struktural (konstruksi) jalan.

Sejarah Bhakti Pekerjaan Umum (PU)

Tanggal 3 Desember merupakan hari yang punya “Makna Khusus” bagi warga Departemen Pekerjaan Umum. Karena pada tanggal tersebut lima puluh tujuh tahun yang lalu terjadi peristiwa bersejarah. Gugur tujuh orang karyawan yang berjuang mempertahankan markas Departemen PU di Kota Bandung yang dikenal sebagai “Gedung Sate”. Peristiwa ini kemudian dikenang dan diperingati sebagai HARI BHAKTI PEKERJAAN UMUM.
Gedung V & W ini dipertahankan mati-matian sampai titik darah penghabisan oleh para pemuda/ pegawai Departemen PU. Karena mereka sadar, bahwa gedung tersebut pada waktu itu dipergunakan sebagai kantor Pusat Departemen

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, para pemuda pegawai Departemen Pekerjaan Umum tidak mau ketinggalan dengan pemuda-pemuda lainnya di kota Bandung. Mereka mempersiapkan diri dalam menghadapi segala kemungkinan yang sekiranya akan dapat merintangi serta mengganggu kemerdekaan yang telah diproklamasikan.

Jiwa dan semangat perjuangan yang menyala-nyala dari para patriot muda ini kemudian dihimpun dan disalurkan dalam suatu gerakan yang teratur dalam bentuk organisasi dengan nama gerakan Pemuda PU.

Gedung Sate, telah berhasil diambil alih oleh gerakan pemuda PU dari tangan Jepang. Kewajiban mereka selanjutnya pada saat itu adalah mempertahankan dan memelihara apa yang telah diambil alih itu jangan sampai direbut kembali oleh musuh. Untuk dapat menyusun pertahanan yang kompak, maka gerakan pemuda ini lalu membentuk suatu seksi pertahanan yang dipersenjatai seperti granat, beberapa pucuk bedil dan senjata api lainnya hasil rampasan dari tentara Jepang.

Mulanya gerakan pemuda ini hanya menghadapi kekuatan lawan, yaitu tentara Jepang. Namun menjelang akhir bulan September 1945, di Tanah Air ini mulailah mengalir tentara Sekutu yang katanya ditugaskan untuk menjaga keamanan dan menyelesaikan tawanan perang akibat bertekuk lututnya Jepang pada Sekutu.
Sumpah Setia

Tepatnya tanggal 4 Oktober 1945, kota Bandung dimasuki tentara Sekutu yang diikuti oleh serdadu Belanda dan NICA. Sejak saat itu suasana kota Bandung menjadi semakin tidak aman. Sejak itu pula gerakan pemuda pejuang harus berhadapan dengan tentara Jepang dan tentara Sekutu, Belanda dan NICA.

Dengan semakin gawatnya situasi pada waktu itu, para pegawai dari Kantor Pusat Dep. PU dibawah pimpinan Menteri Muda Perhubungan dan Pekerjaan Umum Ir. Pangeran Noor pada tanggal 20 Oktober telah mengangkat Sumpah Setia Kepada Pemerintah Republik Indonesia. Hampir setiap hari kantor Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum dikacau oleh tentara Sekutu/Belanda/NICA, akibatnya para pegawai tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan tenang. Oleh karena itu, pada mulanya semua pegawai Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum diperkenankan untuk tidak masuk kantor selama situasi belum aman. Kecuali para pegawai yang memang diserahi barang-barang milik negara yang ada di dalamnya. Tugas yang berat ini mereka terima sebagi suatu kewajiban yang mulia yang akan dilaksanakan dengan taruhan jiwa dan raga.

Terjadinya Peristiwa

Pada tanggal 24 Nopernber 1945, dibagian utara kota, meletus suatu pertempuran yang hebat. Penduduk sekitarnya banyak yang mengungsi ke kota lain yang keadaannya masih aman. Waktu itu Gedung Sate dipertahankan oleh Gerakan Pemuda PU yang diperkuat oleh satu Pasukan Badan Perjuangan yang terdiri lebih kurang 40 orang dengan persenjataan yang agak lengkap. Tetapi, bantuan yang diberikan itu tidak lama, karena pada tanggal 29 Nopember 1945, pasukan tersebut lalu ditarik dari Markas Pertahanan Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum. Tanggal 3 Desember 1945, jam 1.00 pagi, waktu itu kantor Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum di Jl. Diponegoro 22 Bandung yang dikenal dengan Gedung Sate itu hanya dipertahankan oleh 21 orang. Tiba-tiba datang menyerbukan sepasukan tentara Sekutu/Belanda dengan persenjataan yang berat dan modern. Walaupun demikian petugas yang mempertahankan Gedung Sate ini tak mau menyerah begitu saja. Mereka mengadakan perlawanan mati-matian dengan segala kekuatan yang dimiliki tetap mempertahankan kantor yang akan direbutnya itu.

Mereka dikepung rapat dan diserang dari segala penjuru. Pertempuran yang dahsyat itu memang tidak seimbang. Pertempuran ini baru berakhir pada pukul 14.00 WIB. Dalam pertempuran tersebut diketahui dari 21 orang pemuda 7 diantaranya hilang. Satu orang luka-luka berat dan beberapa orang lainnya luka-luka ringan. Setelah dilakukan penelitian ternyata para pemuda yang hilang itu diketahui bernama : Didi Hardianto Kamarga, Muchtaruddin, Soehodo, Rio Soesilo, Soebengat, Rana dan Soerjono.

Semula memang belum diketahui dengan pasti, dimana jenazah dari ketujuh orang pemuda ini berada. Baru pada bulan Agustus 1952 oleh beberapa bekas kawan seperjuangan mereka dicarinya di sekitar Gedung Sate, dan hasilnya hanya ditemukan empat jenazah yang sudah berupa kerangka. Keempat kerangka para suhada ini kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Sebagai penghargaan atas jasa-jasa dari tiga orang lainnya yang kerangkanya belum ditemukan telah dibuatkan 2 tanda peringatan. Satu dipasang di dalam Gedung Sate dan lainnya berwujud sebuah Batu Alam yang besar ditandai dengan tulisan nama-nama ketujuh orang pahlawan tersebut yang ditempatkan di belakang halaman Gedung Sate.

Hari Bhakti

Satu hari menjelang genap Dwi Windu Usia peristiwa 3 Desember 1945 tepatnya tanggal 2 Desember 1961, Menteri Pertama Ir. H. Djuanda (almarhum) telah memberi “Pernyataan Penghargaan” tertulis kepada mereka para pemuda pegawai yang gugur pada tanggal 3 Desember 1945 dalam mempertahankan Gedung yang pertama dari Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, di Jl. Diponegoro Nomor 22 Bandung. Peristiwa 3 Desember 1945 ini telah tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa, dan sejarah perkembangan Pekerjaan Umum pada khususnya.
Peristiwa ini telah mempersembahkan “Sapta Taruna Kesatrianya” keharibaan Ibu Pertiwi. Dan melahirkan suatu korps Pemuda/Pegawai Pekerjaan Umum yang mempunyai kesadaran sosial, jiwa kesatuan (Corp-geest), rasa kesetiakawanan (Solidaritas) serta kebanggaan akan tugasnya sebagai abdi masyarakat, khususnya dalam bidang pekerjaan umum.

Peristiwa 3 Desember 1945 akan terus dikenang dan diperingati sebagai Hari Kebaktian Pekerjaan Umum. Saat ini para pegawai Departemen Pekerjaan Umum terus berjuang untuk melanjutkan pengabdian mereka terhadap nusa dan bangsa. Perjuangan para generasi penerus ini telah diwujudkan dalam pengabdian terhadap negara untuk mengisi kemerdekaan Republik Indonesia dengan kegiatan pembangunan yang saat ini sedang giat dilaksanakan.

Sebelummya, yakni pada tanggal 3 Desember 1951 oleh Menteri Pekerjaan Umum pada waktu itu, Ir. Ukar Bratakusuma, ketujuh pemuda pahlawan tersebut dinyatakan dan dihormati sebagai “PEMUDA YANG BERJASA” dan tanda penghargaan itu telah pula disampaikan pada para keluarga mereka yang ditinggalkan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA