Mengapa uu peradilan tentang narkotika

  1. Home /
  2. Archives /
  3. Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2021 /
  4. Articles

Lady Olivia Depari, Nurini Aprilianda, Mufatikhatul Farikhah

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

e-mail:

 

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis mengenai memaknai frasa pengedar narkotika dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai tindak pidana yang tidak dapat dilakukan diversi. Dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a tersebut mengatur mengenai frasa pengedar narkotika sebagai tindak pidana yang tidak dapat dilakukan diversi karena mengandung ketentuan norma pengecualian diversi terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme. Namun, ada dilema terhadap Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa sepanjang penelusuran, tidak ada definisi pengedar secara eksplisit karena dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak menjelaskan pengertian pengedar narkotika, sehingga penting untuk memaknai frasa pengedar narkotika yang tidak dapat dilakukan diversi pada anak. Penelitian ini mengangkat rumusan masalah: (1) apakah makna frasa pengedar narkotika dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak sebagai tindak pidana yang tidak dapat dilakukan diversi dan (2) apakah ratio decidendi hakim dalam memutus pemidanaan dalam Putusan Nomor: 50/Pid.Sus-Anak/2019/Pn.Btm. Menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Jenis dan sumber bahan yang digunakan bahan hukum primer, sekunder, dan non hukum yang diperoleh penulis dan akan dianalisis dengan menggunakan metode penafsiran gramatikal bersamaan dengan interpretasi logis, dan penafsiran sistematis. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diketahui bahwa memaknai frasa pengedar narkotika dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Putusan Nomor: 50/Pid.Sus-Anak/2019/Pn.Btm adalah Pasal 114 yang lebih tepat dikenakan pada pengedar narkotika. Berdasarkan ratio decidendi hakim dalam memutus pemidanaan anak yang menjadi pengedar narkotika dilihat dari tujuan hakim dengan membuat pertimbangan yang demikian yakni teori gabungan atau teori modern, yang dapat ditemukan bahwa ada dua ratio decidendi hakim yakni secara yuridis dan secara filosofis.

Kata kunci: pengedar narkotika, anak, tindak pidana, diversi

 

ABSTRACT

This research aims to find out, understand, and analyze the definition of the phrase ‘narcotic dealer’ as stated in Article 9 paragraph (1) letter a of law Number 11 of 2012 concerning Judiciary System of Juvenile Crime that allows no diversion since this law consists of exemption in diversion for a criminal committing serious crimes such as murder, rape, drug dealing, and terrorism. However, there is a quandary as regards the elaboration in Article 9 paragraph (1) letter a in which there is no definition of the phrase ‘narcotic dealer’ because law Number 35 of 2009 concerning Narcotics does not give any further explanation of the phrase. With this issue, it is essential that this phrase be carefully defined, where no diversion is given to the child concerned. From the above issues, this research studies: (1) what is the definition of the phrase ‘narcotic dealer’ as stated in Article 9 paragraph (1) letter a of law Number 11 of 2012 and (2) what is the ratio decidendi of the judges in delivering judgment as in Decision Number 50/Pid.Sus-Anak/2019/Pn.Btm? with normative-juridical methods, statutory, case, and conceptual approaches, this research required primary, secondary, and non-legal materials obtained and analyzed based on grammatical, logical, and systematic interpretation. The research reveals that Article 114 is appropriate to serve as the basis for the punishment imposed on narcotic dealers, while the consideration made by the judges involving integrated and modern theories is also taken into account in terms of the ratio decidendi that involves both juridical and philosophical.

Keywords: narcotic dealers, child, criminal offense, diversion

 


GINANJAR, EKKY (2021) ANAK PENGGUNA NARKOTIKA DALAM PANDANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009. Diploma thesis, Universitas Islam Kalimantan MAB.

Mengapa uu peradilan tentang narkotika
Text
ARTIKEL EKKY GINANJAR.pdf

Download (286kB)

Abstract

Penyalagunaan narkotika sebagaimana besar terjadi pada anak-anak usia sekolah maupun remaja. Mereka mudah terpengaruh dan jiwa belum stabil. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan konsep pengaturan tindak pidana narkotika dalam telaah hukum positif di Indonesia dan pandangan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 terhadap anak pengguna narkotika. Pengaturan tindak pidana narkotika dimulai dengan UU No 9 Tahun 1976 yang melarang tentang pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan narkotika. Ketentuan dalam UU No 9 ini pada dasarnya berhubungan dengan perkembangan lalu-lintas dan adanya alat-alat perhubungan modern yang mempercepat penyebaran atau pemasukan narkotika ke Indonesia. Kemudian UU No 9 Tahun 1976 dianggap dapat lagi mengakomodir banyak hal dari kejahatan narkotika. Maka diterbitkanlah UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mempunyai cakupan lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat berupa hukuman mati. Ketentuan pidana yang terdapat dalam UU No. 35 Tahun 2009 dirumuskan dalam Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. UU No 35 Tahun 2009 terdapat empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh UU dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni: a). Perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika, b). Perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor narkotika, c). Perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika, e). Perbuatan berupa membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika dan precursor. Ketentuan hukum pidana anak, ditetapkan dalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dibentuknya UU ini disadari bahwa walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat. Dalam UndangUndang No 35 Tahun 2009 tidak memberikan pengecualian terhadap pelaku anak. Berdasarkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU di atas, penyalahgunaan narkotika mengandung makna, penyalahgunaan narkotika yang dilakukan dengan tanpa hak dan melawan hukum yang ditujukan bagi diri sendiri. Anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009 jo Pasal 22 UU No 3 Tahun 1997 diubah menjadi UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat dijatuhi pidana. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dalam hal ini narkotika paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

Actions (login required)

Mengapa uu peradilan tentang narkotika
View Item

PERADILAN ANAK YANG TERLIBAT NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA, DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (UU SPPA). (Analisa Putusan Nomor : 10/Pid.Sus.Anak/ 2019/PN.Jkt.Brt)

Mulyono Mulyono, Endi Arofa, Oksidelfa Yanto



Bahwa pengertian anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Penanganan Tindak Pidana terhadap anak tentunya berbeda dengan penanganan perkara orang dewasa, penanganan terhadap anak bersifat khusus karena diatur dalam peraturan tersendiri. Perlu dipahami bahwa terkait penanganan anak yang berhadapan hukum tersebut tentunya didasarkan pada beberapa ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus yakni Sistem Peradilan Pidana Anak yang menjadi perangkat hukum dalam menyelesaikan permasalahan (Tindak Pidana) yang bentuknya dapat berupa pengayoman, bimbingan, pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana  pengaturan  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,  bagaimana  peranan para penegak hukum dalam  pelaksanaan  sistem  peradilan pidana anak dan apa-apa saja faktor-faktor yang menghambat terpenuhinya tujuan sistem peradilan pidana tersebut.  Metode penelitian  yang  digunakan  dalam  penelitian ini adalah penelitian hukum normatif–empiris yaitu penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan dan analisa kasus pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 10 / Pid.Sus-Anak / 2019 / PN.Jkt.Brt.  Data yang digunakan yaitu data skunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dari buku-buku bahan bacaan, peraturan perundang-undangan, jurnal hukum, kamus hukum, dan bahan kuliah yang berhubungan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak yang berhadapan dengan hukum mulai dari tahap Penyidikan, Penuntutuan, dan proses peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat tidak berjalan dengan baik, upaya tersebut terkendala terhadap rendahnya kemampuan para penegak hukum dalam menangani kasus anak dalam mewujudukan tujuan sistem peradilan pidana anak dalam menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.


  • There are currently no refbacks.

Mengapa uu peradilan tentang narkotika
Mengapa uu peradilan tentang narkotika