Mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalil-dalilnya baik ittifaq dan mukhtalaf disebut

MAKALAH FIQH DAN USHUL FIQH

TAQLID, TALFIQ, ITTIBA’ DAN IFTA

Nama Dosen : Indah Dian sari, S.H.I., M.H.I.

Mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalil-dalilnya baik ittifaq dan mukhtalaf disebut

KELAS F

Disusun Oleh:

Tessa Miltasari                        1651010443

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2017

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan nama Allah yang maha Pengasih lagi maha Penyayang. Puji syukur penulis panjatkan kepada-Nya, serta salawat dan salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW. sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul TAQLID, TALFIQ, ITTIBA’, IFTA”.

Uraian setiap topik dalam tulisan ini penulis sajikan dengan materi-materi yang menerangkan tentang konsep-konsep yang terdapat dalam Ushul Fiqh Islam. Sedang untuk penelusuran yang lebih jauh dan mendalam pembaca dapat mengadakan kajian pada buku, kitab ataupun referansi lainnya yang dianggap relevan dengan topik bahasan ini.

Akhir kata saya mengucapkan terimakasih, mudah-mudahan makalah ini dapat sedikit menambah wawasan dan berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, 21 April 2017

Tessa Miltasari

DAFTAR ISI

JUDUL..............................................................................................................................I

KATA PENGANTAR.......................................................................................................II

DAFTAR ISI....................................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah.....................................................................................1

B.     Rumusan masalah..............................................................................................2

C.     Tujuan masalah.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A.    Taqlid..................................... ..........................................................................3

B.     Talfiq...............................................................................................................10

C.     Ittiba’ .............................................................................................................18

D.    Ifta ..................................................................................................................21

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan......................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................24

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah

Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya. Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid, ittiba’, dan ifta. Keempatnya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda.

Makalah ini mencoba menguraikan masalah yang berkenaan dengan Talfiq, taqlid, ittiba’, dan ifta yang ramai dan tetap hangat untuk didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama juga masyarakat kita di Indonesia, oleh karena itu kita dituntut agar mengetahui, meneliti dan mendalami ilmu usul fiqh terutama untuk materi  ini, sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan atau pertanyaan tentang masalah ini. Makalah ini hanyalah sebagai pengantar, agar nantinya kita bisa lebih mendalami  dengan mengkaji khazanah-khazanah keilmuan yang ada di negeri ini.

B.     Rumusan masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan taqlid, hukum, ketentuan, syarat-syarat, serta jenisnya?

2.      Apakah yang dimakasud dengan talfiq, ruang lingkup, sudut pandang dari para ulama, serta juristifikasi dalil syariah pada hukum talfiq?

3.      Apakah yang dimaksud dengan ittiba’, hukum, pendapat para ulama mengenai ittiba’, serta macam-macam ittiba’?

4.      Apakah yang dimaksud dengan ifta serta kedudukannya dalam islam?

C. Tujuan masalah

1.      Untuk mengetahui pengertian, hukum, ketentuan, syarat-syarat, serta jenis dari taqlid.

2.      Untuk mengetahui pengertian, ruang lingkup, sudut pandang para ulama, serta juristifikasi dalil syariah pada hukum talfiq.

3.      Untuk mengetahui pengertian, hukum, pendapat para ulama, serta macam-macam dari ittiba’.

4.      Untuk mengetahui pengertian ifta serta kedudukannya dalam islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A.  TAQLID

a.       Pengertian Taqlid

Secara Etimologi taqlid adalah “Mengalungi” atau “Memakaikan Kalung” kemudian diambil pemahaman bahwa Taqlid adalah “Mengikuti seseorang secara patuh,”  dapat juga berarti وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة “Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang."[1][1] secara sederhana dapat di artikan قبول قول بلا حجة   “menerima pendapat orang lain tanpa hujjah.”[2][2] Pengertian lain seperti yang diungkapkan oleh Mardani[3][3] وضع الشيء في العنق محطا به كالقلادة “Meletaki sesuatau dilehernya dengan mengitarinya seperti kalun.” Secara Terminologis Taqlid adalah:

اتباع من ليس قوله حجة

“Mengikuti perkataan seseorang yang perkataannya bukan Hujjah.”[4][4]

Sedangkan Menurut Ulama Lain Taqlid adalah seperti yang dikemukakan oleh Ibn al-Hummam, yang dikutib oleh Amir Syarifuddin.

التقليد العمل بقول من ليس قوله احدى الحجج بلا حجة منها

“Taklid adalah beramal dengan pendapat seseorang yang tidak berkedudukan sebagai hujjah tanpa mengetahui hujahnya.”[5][5]

 Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy Taqlid Adalah:

العمل بقول من ليس قوله احدى الحجج الشرعية بلا حجة منها

“Mengamalakan pendapat orang yang pendapatnya itu bukan suatu Hujjah Syariyyah, Tanpa ada hujjah.”[6][6]

Menurut al-Amidi, seperti yang dikutib oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, bahwa mengambil suatu hukum dengan dalilnya, walaupun sesuai dengan pendapat seorang mujtahid, maka dinamai ittiba’, bukan Taqlid. Karena sebenarnya dia mengambil dari dalil bukan dari mujtahid. [7][7] Lebih lanjut beliau mengatakan, Ringkasnya Ittiba’ adalah:

اتباع ما ثبت عليه حجة

“mengikuti sesuatu yang ada hujjahnya.”[8][8]

Sedangkan Muttabi’ adalah:

والمتبع كل من اوجب عليه الدليل اتبا قول غيره

“orang yang diwajibkan oleh dalil mengikuti perkataan orang lain.”[9][9]

Dari defenisi yang dikemukakan oleh para pakar diatas, maka dapat dirumuskan hakikat taqlid dengan:

a.       Taqlid beramal dengan pendapat orang lain.

b.      Pendapat orang lain itu bukan hujah.

c.       Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau dalil dari pendapat yang di ikutinya.

b. Hukum Bertaqlid

                        Terdapat perbedaan pandangan ulama dalam masalah boleh atau tidaknya bertaqlid, terhadap pendapat orang lain. Hal ini dapat di kelompokan sebagai berikut:[10][10]

1.      Taqlid yang dilakukan oleh mujtahid kepada mujtahid lain. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

a)      Kebanyakan ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang mujtahid melakukan taqlid secara mutlak, karena ia mampu melakukan ijtihad dengan sendirinya.

b)      Ahmad bin hanbal, Abu ishak bin al-rawahaih dan sofyan al-tsauri mengatakan boleh mujtahid melakukan taqlid kepada mujtahid lain secara mutlak.

c)      Imam syafi’i dalam qaul qadimnya (waktu di iraq) berpendapat boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain dalam level shahabat nabi dan tidak boleh kepada mujtahid lainnya.

d)     Muhammad bin hasanal syaibani berpendapat boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain yang lebih alim dari dirinya.

e)      Ulama lain berpendapat bahwa boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain, tatapi hanya untuk diamalkannya sendiri dan tidak untuk difatwakannya.

f)       Ibn sureij berpendapat bolehnya mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain bila ia menghadapi keterbatasan waktu untuk berijtihad sendiri.

g)      Ulama lain berpendapat bolehnya seseorang mujtahid taqlid kepada mujtahid lainn bila ia seorang yang sedang bertugas sebagai qadhi.

2.      Hukum taqlid yang dilakukan oleh al-Muttabi’ atau alim. Dalam hal ini ulama juga berbeda pendapat sebagai berikut:

a)      Tidak boleh seorang alim bertaqlid kepada mujtahid karena ia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan hukum dengan sendriinya. Walaupun ia belum mencapai kemampuan mujtahid.

b)      Boleh seorang alim bertaqlid kepada mujtahid lain dengan syarat ia dapat mengetahui kekuatan dalil yang digunakan mujtahid yang diikutinya itu..

3.      Hukum bertaqlid yang dilakukan orang awam kepada seorang mujtahid. Hal ini juga menjadi tempat perbedaan pendapat. Yaitu:

a)      Menurut al-Baidhawiy dari kalangan Syafi’iyah dan kebanyakan ulama lainnya berpendapat bahwa beleh orang awam dan orang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad untuk bertaqlid. Bahkan ada yang mewajibkannya. Hal ini berdasarkan pemahaman dari surah An-Nahl ayat 43.

b)      Golongan mu’tazilah baghdad berpendapat tidak boleh orang awam bertaqlid, tetapi ia wajib mencapai hukum melalui ijtihadnya dan untuk itu ia harus belajar.

c)      Al-Jubba’iy berpendpat boleh seorang awam bertaqlid dalam bidang ijtihadiyah dan tidak boleh dalam hal –hal yang ada nashnya yang jelas.

          Dalam masalah taqlid, Ibn Subki mengelompokan ummat pada empt kelompok yaitu seperti yang dikutib oleh Mardani[11][11] sebagai berikut:

1.      Orang awan yang tidak mempunyai pengetahuan sama sekali.

2.      Arang alim yang belum mencapai tingkat mujtahid.

3.      Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai ke tingkat dugaan kuat (zhan).

4.      Mujtahid.

     Menurut beliau bertaqlid tergantung pada tingkatannya dalam pengelompokan diatas. Orang yang telah sampai ke tingkat mampu berijtihad tetapi baru sampai ke tingkt zhan maka dikategorikan mujtahid penuh.

c. Ketentuan Bertaqlid

                        Seseorang yang akan bertaqlid kepada seorang mujtahid, di isyaratkan bahwa ia mengetahui orang yang di ikutinya itu memang mempunyai kemampuan untuk ber ijtihad dan bersifat ‘adalah. Yaitu tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil, dan selalu menjaga Muruahnya. Pengetahuannya itu dicukupkan dari berita yang masyhur ditengah umat.

Asy -Sy aikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin membagi taqlid dalam dua jenis[12][12], yaitu:

Pertama: seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2 dalam semua urusan agamanya. Dan para 'ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu,) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma' dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan." Beliau juga berkata : "Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada 'ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar'i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar'i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang 'ulama yang berpendapat adalah lebih 'aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada 'ulama yang lain, yang mana 'ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.

Kedua: seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.

d. syarat-syarat taqlid

            Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi. Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :

1)     Syarat-syarat orang yang bertaqlid

                 Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.

2)      Syarat-syarat yang ditaqlid

                 Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

                        Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.

1.      Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2 dalam semua urusan agamanya.

                 Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan.”

Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.

2.      Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.

B.  TALFIQ

A. Definisi Talfiq

            Kata Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan . Sedangkan menurut terminologi (istilah), Di bawah ini adalah beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Ushul al-fiqh:

Pertama, Talfiq berarti mengerjakan sesuatu dengan cara seperti yg tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata lain mengambil satu qodliyah (rangkaian) yang mempunyai kandungan beberapa rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai pada hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya. Atau mencampur adukkan perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun .

Kedua, beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang kedua.

Ketiga, mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun .

Keempat, Perbuatan mencampurkan berbagai pendapat madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab . contoh dari talfiq dalam segi ibadah, yaitu sebagai berikut:

1.     Seseorang berwudlu tanpa menggosok (al-dalku) dengan alasan mengikuti madzhab imam Syafi’i, setelah itu dia bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan wudhu’nya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia pun melakukan shalat. Maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudhu’nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah, wudhu’nya sudah batal karena menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti madzhab Malikiyyah wudhu’nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau menggosok.

2.     Seseorang bertaqlid kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap sebagian kepala dalam berwudhu’, kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah yang berpendapat tidak batalnya wudhu’ ketika bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudhu’ seperti ini untuk menunaikan sholat itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun.

Alhasil kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syariat Islam karena telah keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang kelima.Sebagian contoh talfiq dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai berikut:

1.    Seorang laki-laki menikahi perempuan dengan tanpa wali dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu Hanifah, kemudian praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar dan tanpa menghadirkan saksi mengikuti pendapat imam Malik. Contoh talfiq seperti ini tidak diperbolehkan karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.

2.   Membuat undang-undang pernikahan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi dengan alasan mengikuti madzhab Syafi'iyyah, akan tetapi mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafiyyah yang berpendapat sah ruju'nya bil fi'li (langsung bersetubuh tanpa ada ucapan ruju’). Contoh talfiq seperti ini juga tidak diperbolehkan dengan alasan seperti di atas karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.

B. Ruang Lingkup Talfiq

        Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarnakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan minuman keras.
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:

1.      Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah, karena dalam masalah ibadah seperti ini tujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah Swt.

2.      Hukum yang didasarkan pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena membuat mudharat. Dalam hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda : “Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.

3.      Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had dan transaksi sosial ekonomi.

C. Sudut Pandang Ulama Tentang Talfiq

        Menanggapi hukum boleh tidaknya talfiq ini, ulama‘ terbagi menjadi dua kelompok, yaitu :

Pertama, kelompok yang tidak membolehkan adanya talfiq, kelompok ini diwakili oleh syeikh Ibnu Abdul Bari, menurut beliau orang awam tidak boleh bertalfiq, karena hal tersebut hanya akan menghilangkan taklif (pembebanan) hukum yang diperselisihkan (mukhtalaf fih) oleh para ulama.

        Pendapat pertama ini juga diperkuat oleh Imam al-Ghazali. Beliau melarang praktik talfiq dengan alasan hal tersebut condong pada mengikuti hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara harus dikembalikan kepada syari‘at bukan kepada hawa nafsu. Beliau menyitir ayat al-Quran yang berbunyi :“Jika kamu berselisih paham tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah Swt.

Kedua, kelompok yang membolehkan praktik talfiq, diantaranya adalah sebagian ulama‘ Malikiyah, mayoritas Ashab Syafi‘i serta Abu Hanifah: mereka membolehkan talfiq dengan alasan bahwa larangan talfiq tersebut tidak ditemukan dalam syara‘, karenanya seorang mukallaf boleh menempuh hukum yang lebih ringan. Selain itu, ada hadits Nabi (qauliyah maupun fi‘liyah) yang menunjukkan bolehnya talfiq. Dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh Aisyah, Nabi bersabda:
” Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “.Dalam hadits lain beliau bersabda : “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. DR. Wahbah Zuhaili juga sepakat tentang kebolehan talfiq ini, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan darurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat.

        ‘Izzuddin Bin Abdi al-Salam menyebutkan bahwa, boleh bagi orang awam mengambil rukhsah beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.

        Kalau kita lihat beberapa pendapat di atas, ternyata tidak ada qoul (pendapat) yang membolehkan talfiq secara mutlak. Oleh karena itu, ada beberapa klasifikasi talfiq yang perlu diperhatikan. Pertama, talfiq batal secara esensi, seperti melakukan sesuatu yang menyebabkan penghalalan barang yang haram, seperti menghalalkan khamr, zina dan lainnya. Kedua, talfiq yang dilarang bukan pada esensinya, tetapi karena faktor eksternal. Dalam kasus kedua ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

1)      Mengambil pendapat yang mudah-mudah seperti mengambil pendapat setiap mazhab yang termudah bukan karena dharurat atau ‘udzur. Hal ini dilarang agar seseorang tidak melepaskan diri dari pembebanan-pembebanan syar’i.

2)      Talfiq tidak boleh berlawanan dengan keputusan hakim.

3)      Talfiq tidak boleh mencabut kembali hukum atau keputusan yang telah diikuti atau disepakati ulama.

        Alhasil, demi kemaslahatan, sebenarnya masih ada ruang untuk talfiq. Apalagi ketika berhadapan dengan kondisi dharurat, maka talfiq menjadi satu-satu pilihan yang mesti kita tempuh asal jangan sampai bertentangan dengan spirit syara‘(maqashid al-syari’ah). Yang penting, praktik talfiq bukan sekedar untuk mengambil kemudahan saja, tetapi bertujuan agar keluar dari jeratan kemudharatan.

D. Justifikasi Dalil Syariah Pada Hukum Talfiq

            Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidak ada dalil shorih yang menunjukkan kebolehan atau pelarangan untuk melakukan talfiq. Adapun pendapat yang mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu bersumber dari apa yg dikatakan oleh ulama` Ushul di dalam ijma` mereka, dimana mereka beranggapan bahwasanya dikhawatirkan akan timbulnya pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan pendapat antara dua kelompok madzhab. Maka, menurut mayoritas ulama` berpendapat tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga ini akan menyalahi sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ulama` (Ittifaq). Seperti contoh, Iddah (masa penantian) wanita hamil yg ditinggal mati suaminya, dalam masalah ini ada dua pendapat dimana ulama yang pertama berpendapat untuk menunggu setelah selesai melahirkan, dan yang kedua berpendapat untuk menggunakan waktu yang lebih lama diantara kedua waktu tadi (ab`adu al-ajalain). Maka dalam hal ini tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga yaitu, penantiannya si perempuan tadi hanya satu bulan saja .

            Akan tetapi dakwaan terhadap pelarangan terjadinya talfiq itu tidak absolut adanya, karena kalau kita mau melihat dengan seksama, permasalahan talfiq itu sendiri baru dicetuskan oleh para ulama’-ulama’ akhir (Muttakhirun) pada masa masa kemunduran islam. Atau lebih jelasnya masalah talfiq ini tidak di jumpai pada zaman ulama terdahulu (Mutaqoddimun), pada masa Rosulullah Saw dan para sahabat, juga pada masa imam-imam madzhab dan murid muridnya. Pada masa Rosulullah Saw jelas sekali tidak adanya praktek talfiq, karena pada masa itu masa turunnya wahyu dan tidak membutuhkan praktik ijtihad di dalamnya. Begitu juga tidak di jumpainya permasalahan talfiq pada masa Sahabat dan Tabi`in, karena apabila ada seseorang yang menanyakan tentang suatu masalah kepada mereka, mereka memfatwakan dengan tanpa keharusan mengikuti pendapat mereka dan tidak juga melemahkan pendapat mufti yang lain. Demikian juga pada masa imam madzhab empat dan para sahabat ijtihad lainnya, yang tidak melarang pengikutinya untuk beramal pada madzhab yang lain, asalkan di setiap mereka mengambil pendapat dari yang lain dengan disertai pengetahuan perbedaan mereka dalam permasalahan furu`iyyah.

Dari kutipan-kutipan pendapat di atas tadi telah memberikan pemahaman kepada kita bahwasannya tidak adanya dalil yang jelas atas kebolehan dan pelarangan talfiq itu sendiri, maka secara tidak langsung akan menunjukan atas kebolehan talfiq tersebut. Sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yg berbunyi “ Asal setiap sesuatu itu adalah mubah (boleh)” sampai ada dalil syar`i yang tegas melarangnya . Sebagai mana hadits Rosulullah Saw yang berbunyi ; “Kehalalan ialah sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah Swt di dalam kitabnya dan keharaman ialah sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt di dalam kitabnya pula, apabila tidak tersebutkan maka dima`fu olehnya dan tidak memberatkan atas kamu” . Dan pelarangan atas talfiq tadi itu juga akan menyebabkan ketidak bolehan taqlid yang semestinya diwajibkan terhadap orang awam yang notabenya sebagai pemula dan memungkiri bahwasannya perbedaan para imam adalah rahmat bagi umat Islam. Demikian pula mengingakari asas-asas syari`at yang diciptakan untuk mempermudah umat manusia dan menghilangkan pembebanan atasnya, karena sesungguhnya agama Allah itu mudah bukan untuk memberatkan umatnya. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat al Baqarah ayat 185: yang artinya : “Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu”. Meski ayat di atas menyangkut pada hal kebolehan orang yang berbuka puasa di dalam perjalanan pada waktu bulan Ramadhan, tetapi tujuan umum ayat di atas ialah menyeluruh pada tiap-tiap permasalahan agama.




C.  ITTIBA’

a)                   Pengertian Ittiba’

                        Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.

Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:

قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .

“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”

Di samping ada juga yang memberi definisi :

قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ .

“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”

                        Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.

  b.      Hukum Ittiba’

        Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”.

Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:

اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)

“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”. (QS. Al-A’raf:3)

Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.

Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود)

“Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.” (HR.Abu Daud)

c.      Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’

          Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.

Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

  a.       Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan

  b.      Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3

اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)

“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.

Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

       Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.

       Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.

Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama B.


d. Macam-macam ittiba’

                        Macam-macam Ittiba’, ada dua macam ittiba’, yakni ittiba’ kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, dan ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

a.       Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya

     Ulama’ sepakat bahwa seluruh kaum muslimin wajib mengikuti segala perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.

“ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jangan kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al A’raf (7):3)

b.      Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-nya.

Ulama berbeda pendapat tentang ittiba’ kepada ulama atau para mujtahid. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan para sahabatnya saja. Tidak boleh kepada yang lain. Hal ini dapat di ketahui melalui perkataan beliau kepada Abu Dawud, yaitu

“berkata Daud, aku mendengar Ahmad berkata, Ittiba’ itu adalah seorang yang mengikuti apa yang berasal dari Nabi SAW. Dan para sahabatnya”.

D.  IFTA

                 Kata fatwa (kemudian disebut dalam istilah bahasa Indonesia) sepadan dengan kata Ifta’ yang berakar dari afta, berarti penjelasan tentang suatu masalah.

                 Secara etimologi kata ifta’ (افتاء)terambil dari akar kata “يفتى- افتاء- افتى” yang berarti memberi penjelasan , memberi jawaban dan atau berarti memberi fatwa. Ifta’ itu pada intinya adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Dari sini dapat dipahami bahea yang dimaksud dengan ifta’ ialah kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai jawaban atas dasar pertanyaan yang diajukan.

                 Dari segi terminologi fatwa adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, fatwa adalah jawab (keputusan pendapat) yang diberikan oleh mufti terhadap suatu masalah atau juga dinamakan dengan petuah. Sedangkan dalam ilmu ushul feqih, fatwa adalah pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.

الإِخْبَارُ عَنْ حُكْمِ الله تَعَالى بِمُقْتَضَى الأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى جِهَةِ الْعُمُوْمِ وَالشُّمِ

“fatwa ialah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang mencakup segala persoalan”.

                 Menurut ulama Hanafi, ifta’ adalah menjelaskan hukum terhadap suatu permasalahan (bayan hukm al-mas’alah). Dalam pandangan ulama Maliki, ifta’ adalah menginformasikan tentang suatu hukum syariat dengan cara yang tidak mengikat (al-ikhbar bi al-hukm al-shar‘i ‘ala ghayr wajh al-ilzam).

                 Al-Qaradawi mendefinisikan ifta’ sebagai “menjelaskan hukum syariat tentang satu persoalan sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang penanya, baik yang jelas maupun samar, individual maupun kolektif” (bayan al-hukm al-shar‘i fi qadiyyah min al-qadaya jawaban ‘an su’al sa’il mu‘ayyan kan aw mubham, fard aw jama‘ah).

2. Kedudukan Ifta’ (fatwa)

                    Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama sebagai mufti dan pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.

  Disebutkan didalam kitab Al-Mjmu’ tersebut “kalian harus mengerti bahwa fatwa  berfatwa itu adalah satu perkara yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi ia mempunyai faedah yang besar pula karena orang yang berfatwa itu bukan  sembarang orang melainkan adalah pewaris para nabi yang secara fardlu kifayah harus melaksanakan urusan itu” Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa mufti adalah penyambung lidah para nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. untuk menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat dibumi ini.

بلغوا عنى ولو اية

”Hendaklah engkau menyampaikan kepada mereka dariku sekalipun hanya satu ayat.”(HR.Ahmad dan Tirmidzi)

                    Ibnu Abidin menjelaskan bahwa orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya tentang agama. Mereka yang dikenal fasik dengan sendirinya tak memiliki otoritas mengeluarkan fatwa. Menurut sejumlah kalangan, bahkan mereka yang terkenal fasik haram mengeluarkan fatwa. Kriteria seperti ini tampaknya menjadi bukti kuat akan bobot fatwa yang dikeluarkan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

                                                  Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa taqlid adalah menerima pendapat orang lain tanpa hujjah serta Terdapat perbedaan pandangan ulama dalam masalah boleh atau tidaknya bertaqlid, terhadap pendapat orang lain tentang hukum-hukum bertaqlid yang dikelompokkan menjadi beberapa kelompok menurut para ulama.dan memiliki ketentuan untuk Seseorang yang akan bertaqlid kepada seorang mujtahid, di isyaratkan bahwa ia mengetahui orang yang di ikutinya itu memang mempunyai kemampuan untuk ber ijtihad dan bersifat ‘adalah. Yaitu tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil, dan selalu menjaga Muruahnya. Pengetahuannya itu dicukupkan dari berita yang masyhur ditengah umat.

            Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan . pada hal ini ruang lingkup talfiq menurut Para ulama` fiqh sepakat bahwa hanya terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan).

                                                         Ittiba’  adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding. Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:

اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)

“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”. (QS. Al-A’raf:3)

Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.

     Ifta adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan.

DAFTAR PUTAKA

al-'Utsaimin, Asy -Sy aikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh. 2007.  Prinsip Ilmu Ushul Fiqih.

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1974. Pengantar Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.

Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.

Syarifuddin, Amir. 2012 Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana.

Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001).

HTTP://syedelee.tripod.com/keunggulanislam/id50.html, diakses pada tanggal 18 april 2017 pada pukul 19:45 WIB.

http://adiabdullah.wordpress.com/2008/01/24/81/, diakses pada tanggal 18 april 2017 pada pukul 20:22 WIB.

Dr. Qurasy Shyhab, Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad. Jakarta : Departemen Agama IAIN, 1986.

Yahya, Mukhtar dan Fathur Rahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung : Al ma’arif, 1993.

Hanafie . A, Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma, 1993.

A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Edisi pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana, 2010.

A. Hanafie, Ushul Fiqh, cetakan Ke-3, Jakarta: Widjaya, 1963.

Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.

M. Suparta dan Djedjen Zainuddin. Fiqih, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006.

Koto Alaiddin , Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih: PT Raja Grafindo persadaa, Jakarta, 2004.

Ali Bin Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jeddah :Al-haromain), tanpa tahun.

Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. AMZAH: jakarta. 2005

Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988).


Asy -Sy aikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, hal. 133

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), Hal. 163. Lihat juga T.M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, pengantar ilmu fiqh, (jakarta: bulan bintang, 1974), Hal.190.

Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja wali Pers, 2013), hal. 368

Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 163.

T.M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Op.Cit., hal. 190-191.

Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 164-167

Mardani, Op.Cit. hal. 369-370

al-'Utsaimin, Op.cit. hal. 135

Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 155.

Syarh al-Asnawi, III, 266, Tuhfah al-Ra’yi al-Sadid, V, 79.

Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hal. 129-131

Totok jumantoro. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. AMZAH: jakarta. 2005. Hal. 101

Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988), Hal. 11

Ibid.



Maaf melenceng dari tema. Bisa di subscribe, like, comment, dan share videonya ya...!!