Menjelaskan peran guru dalam membangkitkan semangat warga Jepang setelah terpuruk akibat bom atom

GURU adalah kunci kualitas pendidikan sebuah bangsa. Guru juga merupakan profesi yang dapat membangkitkan sebuah bangsa yang sedang terpuruk. Sebuah pembelajaran sejarah pernah terjadi saat Nagasaki dan Hiroshima luluh lantak oleh ledakan bom atom. 

Kaisar Hirohito langsung mengumpulkan semua jendral yang masih hidup, dan menanyakan kepada mereka, “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Pertanyaan tersebut tentu membuat bingung semua jendral. Saat itu, Kaisar Hirohito berpikir jauh ke depan. Sampai hari ini, profesi guru di Jepang sangat dihormati, mereka menyebutnya sensei yang berarti kehormatan.  

Kepedulian dan memahami peran strategis profesi guru membuat Jepang terus melakukan evaluasi dalam meningkatkan kualitas guru-guru mereka. Berkat kondisi tersebut, saat ini negeri matahari terbit itu menjadi salah satu negara dengan pendidikan terbaik dunia. Pernyataan tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaga The Social Progress Imperative, yang menempatkan Jepang di posisi kedua tentang tingkat pendidikan dasar di seluruh dunia, yang tersaji dalam indeks kemajuan sosial pada 2017.

Ho Chi Minh yang merupakan bapak bangsa Vietnam mengatakan bahwa, "No teacher no education, no education no economic and social development.” Artinya, tanpa guru tak ada pendidikan, dan tanpa pendidikan tidak ada perkembangan ekonomi dan sosial. Pernyataan tersebut secara tersirat mengungkapkan bahwa guru memiliki peran penting dalam kemajuan pendidikan dan kemajuan suatu bangsa.

Pendidikan dan peningkatan kualiatas guru terus ditingkatkan oleh Vietnam. Bahkan alokasi dana pendidikan di Vietnam menyentuh angka 20% atau sama dengan negara kita. Namun hebatnya, kualitas pendidikan Vietnam mampu melampaui Indonesia berdasarkan data World Bank 2017.

Peringatan Hari Guru Nasional setiap 25 November, dalam masa pandemi ini tentu harus menjadi momentum bagi pemangku kebijakan dan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Terlebih khususnya mereka yang bergerak dalam dunia pendidikan untuk berpikir lebih keras lagi dan berjuang lebih kuat lagi dalam menghadapi tantangan yang begitu besar. 

Salah satu hal yang harus dipikirkan adalah cara meningkatkan kualitas guru sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Program yang ditawarkan penulis adalah program penjaringan guru hebat. Program ini terdiri dari tiga fase pelaksanaan; pertama, dimulai saat perguruan tinggi menerima mahasiswa calon guru. Penulis menyebutnya fase pra-guru.

Membaiknya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru dengan mengalokasikan dana pendidikan yang cukup besar membuat masyarakat antusias untuk memasukan anaknya ke fakultas keguruan atau fakultas tarbiyah. Fenomena tersebut sudah terjadi beberapa tahun ini. Berdasarkan data yang diambil dari sumberdaya.ristekdikti.com pada 2017 menyebutkan dari 1,5 juta mahasiswa Indonesia diperkirakan lulusan sarjana kependidikan sekitar 300 ribu mahasiswa per tahun. Sementara kebutuhan guru hanya sekitar 40 ribu orang per tahun. Artinya terjadi over supply yang cukup serius.

Pada fase pra-guru ini, seharusnya pemerintah menetapkan standardisasi yang jelas bagi calon mahasiswa keguruan. Standar tersebut kemudian menjadi panduan bagi perguruan tinggi terpilih untuk menentukan calon mahasiswa keguruan yang berkualitas. Saat ini banyak universitas atau sekolah tinggi yang menerima mahasiswa keguruan dengan begitu mudah. Sementara untuk calon profesi seperti kedokteran, polisi, TNI, bahkan sekolah vokasi lain memiliki persyaratan yang cukup rumit dengan tingkat intelegensi dan standar fisik tinggi. Kita perlu belajar dari Finlandia tentang istimewanya mahasiswa keguruan di sana.

Setelah itu, mahasiswa yang sudah terpilih benar-benar dibina dengan baik. Berikan teori pengetahuan yang baru, yang sesuai dengan proyeksi pendidikan abad 21. Dosen-dosen yang mengajar pun tidak boleh sembarangan, karena dari merekalah mahasiswa-mahasiwa belajar menjadi seorang guru yang penuh talenta, penuh tata krama dan penuh pengetahuan. Jika dari penjaringan mahasiswa sudah baik, output yang dihasilkan pun akan baik. Apabila sudah demikian, fase selanjutnya adalah saat menjadi guru. Penulis menyebutnya fase pascaguru.

Fase ini adalah fase yang paling menentukan dalam suksesi peningkatan kualitas guru. Pada fase ini, guru diberikan pelatihan secara rutin sebagai cara agar mereka terus belajar. Pelatihan pertama terfokus untuk kepentingan siswa. Guru harus benar-benar diawasi ketika mendidik siswa dalam tugas-tugas pertamanya oleh instansi berwenang. Mereka juga diberikan arahan tentang membangun karakter siswa secara utuh (knowing character, feeling character and action character). Baru setelah mereka benar-benar siap, biarkan guru merdeka dalam mengajar, juga dalam belajar.

Pelatihan selanjutnya adalah softskill atau pelatihan penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Tentu saja ke depan kita berharap bahwa tidak ada lagi guru yang gagap teknologi. Banyaknya evaluasi kegiatan belajar mengajar daring saat pandemi ini harus menjadi contoh agar tidak terulang di kemudian hari. 

Kedua, pelatihan menulis (karya ilmiah, lesson plan, buku ajar, ataupun karya-karya fiksi). Pelatihan ini sangat penting untuk menciptakan guru yang kreatif dalam berliterasi dan menuangkan gagasannya. Ketiga, pelatihan menjadi pembicara dan pendengar yang baik (diskusi, seminar ataupun presentasi) sebagai bentuk mencerdaskan dan membuka wawasan serta sarana untuk berbagi pengetahuan. 

Fase terakhir adalah fase ketika guru sudah pensiun. Penulis menyebutnya dengan fase purna guru. Pada fase ini guru-guru yang sudah pensiun diberi kesempatan untuk berbagi kepada guru-guru muda, sebagai pembelajaran dan sebagai bahan evaluasi. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? Ya walaupun setiap zaman beda cara menyelesaikan masalah tapi selalu ada nilai positif yang dihasilkan dari guru-guru yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun. 

Demikianlah program penjaringan guru hebat. Tentu tidak ada yang instan untuk sebuah perubahan besar, begitupun dalam dunia pendidikan. Memulai dari nol lalu melesat, atau berdiam diri seperti ini tapi jalan di tempat. Jaya selalu pendidikan Indonesia. 

tirto.id - Berbulan-bulan lamanya Kaisar Hirohito menderita sakit pankreas. Saat diperiksa pada akhir September 1987, ia diketahui mengidap kanker usus dua belas jari.

Hirohito sempat membaik berkat operasi. Namun, beberapa bulan kemudian, ia tiba-tiba kolaps. Tim dokter menyatakan sang kaisar ternyata masih mengalami pendarahan internal.

Kondisinya tak pernah membaik. Pada 7 Januari 1989, tepat 29 tahun yang lalu, ia dinyatakan meninggal dunia pada pukul 7.55 pagi. Shioci Fujimori, selaku pelayan utama istana, mengumumkan berita duka ke khalayak beserta penyebabnya.

Sepanjang enam dekade masa kepemimpinannya, untuk pertama kalinya, warga Jepang mengetahui bahwa raja mereka mengidap kanker yang mematikan.

Di penghujung riwayatnya, Hirohito tercatat sebagai kaisar Jepang yang paling lama hidup dan paling lama memerintah sebuah monarki. Rekor tersebut kemudian dipatahkan oleh raja Bhumibol Abdulyadej dari Thailand. Namun, Rumah Kekaisaran Jepang masih memegang status sebagai monarki tertua di dunia.

Jepang mengalami dinamika yang luar biasa sebagai sebuah negara pada awal abad ke-20. Di masa itu pula Hirohito mulai menggenggam tahta. Bersamanya, Negeri Matahari Terbit bangkrut akibat perang besar, hingga akhirnya bangkit lagi dan menjadi salah satu adikuasa ekonomi dunia.

Hirohito lahir pada 29 April 1901 di Istana Aoyama, Tokyo, saat kakeknya Kaisar Meiji masih menjabat sebagai kaisar Jepang. Ayahnya, Kaisar Taisho, naik tahta pada 1912 atau saat Hirohito berusia 11 tahun.

Anak lelaki yang biasa dipanggil Michi itu secara resmi diumumkan untuk menjadi penerus Tahta Bunga Krisan pada 2 November 1916. Dua tahun sebelumnya ia telah menamatkan Sekolah Sebaya Gakushuin. Sampai tahun 1921 ia melanjutkan pendidikan di lembaga khusus untuk putra mahkota.

Ayahnya adalah lelaki yang tidak fit secara fisik maupun psikis untuk menjalankan tugas sebagai penguasa tertinggi. Taisho hanya bertahan selama 14 tahun. Pada 25 Desember 1926, ia meninggal karena serangan jantung yang diawali penyakit pneumonia.

Baca juga: Hirohito, Kaisar yang Lolos dari Percobaan Pembunuhan

Awal abad ke-20 adalah masa yang bergejolak, terutama secara politik, sebagai imbas dari pergulatan ideologi-ideologi baru sekaligus efek dari Perang Dunia I.

Untung militer Jepang sedang dalam kondisi yang cukup bugar. Mereka memiliki salah satu angkatan laut terkuat di dunia. Jepang juga berstatus sebagai satu dari empat anggota permanen League of Nations, organisasi global pertama dengan misi menjaga perdamaian dunia.

Jepang masih berupaya keluar dari efek Depresi Besar. Namun, kondisi ekonomi mereka tergolong lebih baik ketimbang negara lain. Jepang menguasai pasar dunia dengan memanfaatkan porak-porandanya Eropa usai Perang Dunia I, bahkan tercipta surplus perdagangan untuk pertama kalinya sejak era Edo.

Baca juga: Krisis Malaise: Depresi Besar yang Pernah Menghancurkan Amerika

Analisis tersebut mengemuka dalam artikel ilmiah Masato Shizume yang diunggah Bank of Japan Review dengan tajuk "The Japanese Economy during the Interwar Period" (2009).

Memasuki 1930-an, tulis Masato, ekonomi Jepang tercatat sebagai yang paling tidak terdampak oleh Depresi Besar jika dibandingkan dengan negara-negara industrialis lain. Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang mencapai 5 persen per tahun. Sebanyak 30 persennya disumbang oleh sektor manufaktur dan pertambangan.

Di awal kepemimpinan Hirohito, kekuatan militer pelan-pelan meningkat di dalam tubuh pemerintahan. Benih fasisme tumbuh subur. Sebagian besar dari hasil pertumbuhan industri Jepang kemudian dipakai untuk menguatkan pertahanan Jepang.

Menguatnya militerisme menumbuhkan hasrat akan perluasan wilayah. Jepang memulainya dengan diam-diam mengebom jalur kereta api di Mukden sebagai alasan untuk menginvasi Cina daratan.

Hirohito tidak menentangnya, tetapi ia ingin agar rahasia seputar insiden Mukden dipegang erat agar Jepang tak terlihat agresif. Perluasan wilayah juga sama dengan peningkatan sumber daya alam (SDA). Rezim memanfaatkannya lagi-lagi untuk menopang industri militer, termasuk melalui sistem kerja paksa.

Masato Shizume mencatat Jepang sukses melebarkan teritorinya hingga ke Asia Tenggara sepanjang tahun 1937-1941. Mereka mengeruk batubara di Cina, tebu di Filipina, beras dari Burma, hingga minyak bumi, timah, dan bauksit dari Hindia Belanda (Indonesia).

Kekuatan Jepang makin solid saat memasuki Perang Dunia II. Mereka mendapat banyak kemenangan di fase awal. Tapi, mulai tahun 1943, Jepang berangsur-angsur takluk. Militer Amerika Serikat makin merangsek ke wilayah mereka. Hampir setiap AS melancarkan serangan bom melalui udara di berbagai kota, termasuk Tokyo.

Memasuki pertengahan 1945, Sekutu memenangkan pertempuran di Eropa usai kekalahan Jerman dan Italia. Hirohito mulai mempertimbangkan opsi yang asing sekaligus terdengar “haram" di telinga orang-orang Jepang: menyerah.

Baca juga: Indonesia Merdeka Bukan Hadiah dari Jepang

Sejumlah sejarawan, termasuk penulis buku Hirohito And The Making of Modern Japan (2009) Herbert P. Bix, menggambarkan Hirohito sebagai sosok yang reputasiya melebihi kepala negara. Ia adalah keturunan dewa matahari Amaterasu, personifikasi bangsa, pemimpin spiritulitas negara, dan simbol persatuan rakyat Jepang.

Hirohito juga diharapkan menjadi teladan atas sikap tanpa menyerah yang melekat di benak setiap warga Jepang, terutama prajuritnya. Daripada kalah atau menanggung malu karena ditangkap musuh, prajurit Jepang lebih memilih mati atau bunuh diri, sebagaimana dicontohkan para samurai dengan ritual seppuku (harakiri).

Namun, Jepang saat itu benar-benar sudah hancur. Bom atom di Nagasaki dan Hiroshima menjadi klimaks serangan udara AS. Barang kebutuhan langka. Inflasi melesat naik. Transportasi lumpuh. Industri mandek. Ekonomi compang-camping. Belum lagi dengan ancaman serangan dari Uni Soviet usai dipatahkannya pakta netralitas kedua negara.

Pada tanggal 15 Agustus 1945 kekaisaran Jepang membagikan pengumuman melalui jaringan radio yang mampu menjangkau para tentara yang sedang berada di koloni, langsung dari mulut Hirohito. Di hari itu pula sebagian besar warga Jepang untuk pertama kalinya mendengar suara sang kaisar.

Nadanya tinggi serta kaku. Ia memakai bahasa Jepang klasik yang lebih susah dipahami orang awam. Tapi pesan utama jelas: Jepang menyerah kepada Sekutu.

“Kami telah menyuruh pemerintah untuk berkomunikasi dengan pemerintahan AS, Britania Raya, Cina, dan Uni Soviet bahwa kerajaan kita menerima kesepakatan mereka," katanya, merujuk pada permintaan Sekutu agar Jepang menyerah tanpa syarat.

Max Fisher menyadur ulang beberapa pokok pidato Hirohito dalam laporan The Atlantic edisi 15 Agustus 2012 untuk memperingati 67 tahun peristiwa bersejarah tersebut. Hirohito akhirnya menyingkirkan tekanan dari para jenderal yang ingin Jepang meneruskan perang sampai titik darah penghabisan.

Hirohito memilih damai.

“Untuk berjuang demi kemakmuran dan kebahagiaan bersama semua bangsa, serta keamanan dan kesejahteraan rakyat kita, adalah kewajiban serius yang telah diwariskan oleh nenek moyang kekaisaran dan yang dekat dengan hati kita."

Hirohito menambahkan bahwa Sekutu telah menggunakan bom baru sekaligus yang paling kejam, sampai-sampai mampu menyeret korban jiwa dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya.

“Jika kita terus berjuang, yang terjadi bukan hanya keruntuhan bangsa Jepang, tetapi juga kepunahan total peradaban manusia."

Baca juga: Mengapa Sekutu Memilih Hiroshima & Nagasaki untuk Dibom?

Max Fisher menggarisbawahi deklarasi tersebut sebagai faktor utama yang membentuk Jepang hingga hari ini: cinta damai, anti-perang, menjunjung tinggi kemanusiaan. Kondisi yang ideal—meski harganya adalah harga diri Hirohito yang mewakili harga diri seluruh warga Jepang.

Beberapa sejarawan percaya Hirohito bertanggung jawab langsung atas kekejaman tentara Jepang, baik di Perang Cina-Jepang Kedua maupun di Perang Dunia II.

Argumen mereka didasarkan pada konstitusi era Kaisar Meiji yang menyebut bahwa kaisar juga berstatus sebagai kepala angkatan bersenjata Jepang. Oleh sebab itu Hirohito dan beberapa anggora keluarga kekaisaran semestinya diseret ke pengadilan internasional atas dasar kejahatan perang.

Kenyataannya tidak demikian. Satu teori menyebutkan bahwa penyebabnya adalah keputusan Jenderal AS Douglas MacArthur yang memandang Hirohito diperlukan Jepang sebagai simbol kebangkitan pasca-perang. Hirohito pun meneruskan kepemimpinannya, dan anggota keluarganya aman dari persekusi.

Meski demikian, ada perubahan status dari kaisar yang berdaulat sepenuhnya atas Jepang menjadi pemimpin monarki konstitusional. Perubahan ini tercantum dalam Konstitusi 1947 yang mengamandemen Konstitusi Meiji. Sebagian besar isinya didikte oleh AS selaku pemenang perang.

Tujuh tahun setelahnya adalah periode AS mengokupasi AS Jepang. Kembali mengutip laporan Max Fisher, Hirohito menggambarkannya seperti “menanggung yang tak tertahankan dan menderita apa yang tak bisa diderita".

Standar kehidupan di perkotaan menurun amat drastis. Pangan langka. Penyakit menjangkiti orang-orang. Kelaparan massal mewabah di mana-mana. Tentara yang berada di bekas koloni tak punya modal pulang kampung. Ada yang jadi pekerja murah di Uni Soviet hingga meninggal. Lainnya bernasib tak jelas.

Baca juga: Narasi Tandingan Menyerahnya Jepang di Perang Dunia II

Infografik Mozaik Hirohito

Jepang boleh bangkrut. Tapi semangat hidup warganya tak pernah surut. Di tengah usianya yang kian menua, Hirohito juga tetap menjalankan tugasnya selaku pemersatu dan penguat moral bangsa.

Ideologi ultra-nasionalisme dibuang. Demokrasi disambut. Etos kerja dan kedisiplinan yang menakjubkan membuat Jepang mudah bangkit. Para ahli menyebutnya sebagai keajaiban karena pertumbuhan ekonomi Jepang melesat dalam durasi dan skala yang melampaui ekspektasi orang-orang.

Robert J. Crawford menganalisisnya di kanal Harvard Bussines Review dengan judul Reinterpreting the Japanese Economic Miracle (edisi Januari-Februari 1998). Ia menulis hingga pertengahan 1950-an ekonomi Jepang mengalami penyembuhan berkat reformasi ekonomi dari pemerintah.

Investasi AS juga datang, baik yang terprogram maupun karena disetir Perang Korea yang memaksa AS memusatkan logistik dan produksi senjatanya di Jepang.

Industrialisasi jalan lagi. Hingga awal 1970-an Jepang mengalami pertumbuhan PDB yang menjanjikan. Konsumsi meningkat, baik yang pokok hingga yang rekreasional. Atmosfer ini menggerakkan berbagai sektor industri pemenuh kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.

Di saat yang bersamaan proyek infrastruktur terus digenjot hingga ke pelosok. Memasuki 1980-an Jepang menjadi telah memantapkan diri sebagai salah satu eksportir tersukses. Produk kebudayaan modern mereka laris manis di pasar dunia. Pasar saham Jepang berkali-kali meraih rekor tertinggi.

Hirohito hidup untuk membersamai Jepang melalui periode yang amat dinamis. Mulai saat mereka memetik keberhasilan restorasi Meiji, lalu hancur digempur Sekutu, hingga akhirnya bangkit menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, di tahun kematiannya, pada awal Januari 1989.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan
(tirto.id - awa/msh)


Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani

Subscribe for updates Unsubscribe from updates