Menurut anda bagaimana sebaiknya Posisi Indonesia dalam menyikapi Konflik Laut Cina Selatan tersebut

Menurut anda bagaimana sebaiknya Posisi Indonesia dalam menyikapi Konflik Laut Cina Selatan tersebut

Type 041 Qing Class, tumpuan Tiongkok di kala konflik laut Cina Selatan. Kapal selam ini mengadopsi bentuk dan teknis dari Kilo Class Rusia. Diawaki oleh 88 orang, dengan persenjataan 2 tabung torpedo berukuran sangat besar 533mm, kecepatan kapal ini mencapai 25Km/perjam. wsj.com

TEMPO.CO , Jakarta - Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN I Gusti Agung Wesaka Puja mengatakan peran Indonesia sangat besar untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan. Hal ini terkait dengan pembentukan Code of Conduct (CoC) yang mengatur tata perilaku di Laut Cina Selatan supaya CoC ini bisa diselesaikan. "Peran Indonesia sangat besar untuk terus menjaga momentum terciptanya stabilitas di Laut Cina Selatan," kata Puja di sela acara "Dialogue on Developing Peace and Reconciliation in the Southeast Asia Region" di Jakarta, 29 Oktober 2015.

Indonesia, kata Puja, sudah berusaha sejak dibentuknya Declaration of Conduct (DoC) pada 2002 guna menyusun upaya untuk perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan. Pada 2011, kata dia, dibentuk guidelines atas DoC. "Ini adalah upaya Indonesia untuk membuat perdamaian bisa terpelihara dan salah satu tuntutannya adalah dibentuk CoC yang prosesnya masih bergulir," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa CoC mengatur tata perilaku negara di kawasan Laut Cina Selatan, seperti, jika ada kapal yang bersinggungan, apa yang harus dilakukan. Hal ini, kata dia, untuk berkomunikasi satu sama lain sebelum insiden itu menjadi konflik. "Kita bisa redam konflik itu karena, kalau insiden tidak dikelola dengan baik, itu bisa menjadi konflik," ucapnya.

Selain itu, ia mengatakan, pembentukan hotline dan peluang pembukaan search and rescue (SAR). "Misal ada kapal yang mengalami bencana, ada sistem SAR yang mengatur. Itu yang termasuk penanganan awal, sebelum CoC itu diselesaikan," tuturnya.

Saat ini, kata dia, CoC belum mengatur secara detail. "Detail inilah yang sedang coba dirampungkan bersama RRT," katanya.

Sebelumnya, ia mengatakan, potensi konflik di Laut Cina Selatan jangan dilihat sebagai satu isu saja. Dari sejarahnya, ucap dia, konflik ini merupakan bentuk trust defisit yang diwarisi masa kolonialisme. "Ini juga karena belum selesainya masalah perbatasan antarnegara di ASEAN dan klaim teritorial negara ASEAN yang berhadapan dengan Cina," tuturnya.

ARKHELAUS WISNU

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, mengatakan Indonesia ingin kawasan Laut China Selatan (LCS) yang damai dan stabil.

Hal itu diungkapkan Retno dalam Press Briefing di Jakarta pada Sabtu (12/9/2020), di tengah meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China di kawasan tersebut.

"Indonesia sampaikan bahwa Indonesia ingin melihat Kawasan LCS damai dan stabil, dimana prinsip-prinsip internasional yang diakui secara internasional ditegakkan termasuk UNCLOS 1982."


Selain kembali menegaskan fungsi UNCLOS 1982 sebagai kerangka hukum internasional untuk semua aktivitas di perairan dan laut, Retno juga membahas soal kode etik (Code of Conduct) yang masih dalam tahap penyelesaian.

Retno mengatakan bahwa The Code of Conduct in the South China Sea harus konsisten dengan hukum internasional termasuk UNCLOS 1982.

"Indonesia juga sampaikan bahwa UNCLOS 1982 adalah satu-satunya basis untuk penentuan maritime entitlements, kedaulatan dan hak berdaulat, juridiksi dan legitimate interest di perairan dan laut." tegasnya.

Sebelumnya pada pekan lalu Indonesia dan negara ASEAN lainnya, serta China, telah mengadakan pertemuan untuk membahas soal penyelesaian Code of Conduct. Dalam pertemuan secara online yang dihadiri para menteri luar negeri negara itu, China mengatakan negaranya ingin menyelesaikan pembentukan kode etik soal Laut China Selatan. Tujuannya adalah demi menghindari bentrokan di kawasan yang diperebutkannya dengan sejumlah negara tersebut.

"China harus menyelesaikan kode etik dengan negara-negara ASEAN secepat mungkin untuk menciptakan seperangkat aturan yang mencerminkan karakteristik kawasan itu," kata Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, Kamis.

Pernyataan itu disampaikan saat AS-China makin meningkatkan kehadiran di kawasan yang merupakan jalur penting bagi perdagangan internasional itu.

Sebagaimana diketahui, China terus memperluas klaimnya di kawasan dalam beberapa bulan terakhir. Ada sekitar 90% kawasan Laut China Selatan yang diklaim China. Negara itu bahkan telah membangun pulau-pulau buatan dengan infrastruktur militer.

Langkah itu tidak hanya menarik amarah dari negara-negara yang memperebutkan kawasan (Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam), tapi juga AS, yang memiliki militer terbesar di dunia.

AS menganggap langkah China itu bisa membahayakan kawasan, dan atas dasar itu AS telah meningkatkan kehadirannya di perairan. Pada Juli, AS bahkan dengan tegas menyebut klaim China melanggar hukum internasional.

Namun, kegiatan AS itu justru membuat China marah. Hingga kini kedua negara terus saling memperkuat posisi militer mereka di perairan, memicu ketakutan di antara negara-negara kawasan akan terjadinya perang senjata.


[Gambas:Video CNBC]

(dob/dob)

Posisi Indonesia dalam konflik Laut China Selatan sebagai mediator perdamaian dan bersikap netral terhadap klaim laut tersebut

Untuk lebih detailnya, yuk pahami penjelasan berikut:

Konflik Laut China Selatan merupakan konflik yang terjadi di kawasan Asia Timur dan Tenggara yang masih berlangsung sampai saat ini. Terdapat 6 negara yang memperebutkannya, yakni Brunei, China, Malaysia, Filipina, Taiwan RRC, dan Vietnam. Hal ini menjadikannya sebagai sengketa kedaulatan yang melibatkan lebih dari dua pihak. Masing-masing pihak mengajukan masing-masing klaimnya terhadap kedaulatan di Laut China Selatan. Posisi Indonesia bersikap netral dalam konflik tersebut dan Indonesia tidak berambisi untuk mengklaim laut tersebut karena menghormati hukum laut internasional.

Berbagai macam upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan persengketaan tersebut diantaranya proses damai yang diprakarsai ASEAN dan tentunya Indonesia ikut serta sebagai mediator pendamaian. Proses damai di Laut China Selatan yang diprakarsai ASEAN tidak hanya dimulai dari pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) dari tahun ke tahun, tetapi juga dari prakarsa Indonesia sejak 1990-an melalui lokakarya Laut China Selatan sejak 1980-an. Hingga disepakatilah Declaration on Conduct of the Parties in South China Sea (DOC) antara Tiongkok dengan ASEAN di Kamboja, pada 4 November 2002. Namun hingga saat ini,upaya yang dilakukan ASEAN belum dapat menjadi solusi bagi penyelesaian konflik Laut China Selatan.

Menurut anda bagaimana sebaiknya Posisi Indonesia dalam menyikapi Konflik Laut Cina Selatan tersebut
Menurut anda bagaimana sebaiknya Posisi Indonesia dalam menyikapi Konflik Laut Cina Selatan tersebut

Kapal induk Amerika Serikat di Laut China Selatan. Ist

ASIATODAY.ID, JAKARTA – Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana memandang, Indonesia memainkan peran penting dalam konflik antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan.

Menurut Hikmahanto, militerisasi bukanlah langkah yang tepat.

“Menggunakan cara ini dapat diinterpretasi sebagai penggunaan kekerasan atau perang,” ujar dia dalam keterangan yang diterima, Jumat (17/7/2020) .

Hikmahanto memandang, ada 4 sikap yang harus ditegaskan Indonesia dalam menghadapi situasi di Laut China Selatan.

Permata, tidak ada klaim. Indonesia perlu menyampaikan ke dunia bahwa Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan, baik laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen.

Ketegasan ini perlu disampaikan karena Indonesia tidak pernah mengakui adanya klaim sepihak dari China terkait sembilan garis putus. Klaim tersebut dinegasikan oleh Indonesia dengan melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal nelayan berbendera China yang memasuki wilayah ZEE Indonesia.

Kedua, Hindari kekerasan. Indonesia punya perhatian besar agar ketegangan antara dua negara besar Amerika dan China di Laut China Selatan tidak berubah menjadi perang antar dua negara besar.

China tidak seharusnya menggunakan kekerasan untuk menegaskan klaimnya karena hukum internasional tidak mengakui penggunaan kekerasan untuk perolehan wilayah.

AS juga tidak seharusnya menggunakan kekerasan karena sebagai negara, AS tidak berada di kawasan. Jangan sampai kawasan Laut China Selatan sebagai battle ground AS di luar kawasan. Ketiga, Juru damai. Indonesia menyampaikan kesediaan untuk menjadi honest peace broker/juru damai yang tidak memiliki kepentingan. Indonesia pantas untuk menjadi juru damai karena Indonesia adalah negara anggota ASEAN yang besar dan tidak mempunyai konflik baik dengan China maupun AS.

Keempat, Pesan untuk China. Indonesia harus dapat menyampaikan kepada China agar tidak memanfaatkan kondisi Pandemi covid-19 untuk meraih keuntungan dalam klaimnya di Laut China Selatan, bahkan hingga menutup jalur pelayaran internasional.

“Bila China memanfaatkan suasana pandemi ini maka mereka tidak hanya berhadapan dengan negara-negara yang bersengketa dengannya, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina, tetapi berhadapan dengan AS dan sekutunya,” jelasnya.

Indonesia juga harus menyampaikan kepada AS untuk dapat menahan diri dalam penggunaan kekerasan terhadap China karena penggunaan kekerasan tidak akan memberi keuntungan apapun kepada negara-negara di kawasan. (ATN)