Menurut saudara apakah CCTV dapat menjadi pengganti dari 4 orang saksi?

ilustrasi_CCTV_sebagai_alat_bukti

REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA

Oleh:

Husni Mubaraq (2335)

 MAHASISWA SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER "AHM-PTHM"

ANGKATAN XXV

2021

PENDAHULUAN

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Kecanggihan teknologi dan perkembangan teknologi memberi dampak negatif kepada setiap orang apabila menyalahgunakan teknologi tersebut, tetapi ada juga dampak positif dimana perkembangan teknologi dapat memudahkan proses pembuktian di persidangan. Pembuktian dibatasi oleh ketentuan tentang cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Kemajuan zaman sekarang telah melahirkan Undang-Undang baru dimana Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi eletronik juga mengatur tentang alat bukti yang merupakan perluasan dari KUHAP.

Demi memberikan kemudahan dalam menjaga keamanan dari tindakan kriminal, maka kita membutuhkan alat yang dapat memantau kegiatan sekitar kita selama 24 jam yaitu dengan kamera pengawas atau lebih sering dikenal dengan nama Closed Circuit Television (CCTV). CCTV dapat berfungsi sebagai alat bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan untuk menjadi petunjuk dan mengungkap tindak pidana di pengadilan. Berdasarkan permasalah diatas, maka akan dibahas pada artikel ini adalah “Bagaimana Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana?”

REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI

Pembuktian merupakan landasan bagi hakim dalam memutus perkara yang diperiksa yang bertujuan mencari atau menemukan kebenaran peristiwa yang digunakan sebagai dasar putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum. Dalam halnya suatu perkara pidana, maka menurut pasal 295 RIB hanya diakui sebagai alat-alat bukti yang sah, yakni: Kesaksian, Surat-surat, Pengakuan dan Petunjuk-petunjuk. KUHAP juga mengatur mengenai alat bukti yang sah dan dapat digunakan dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana, yakni Pasal 184 ayat (1) yaitu: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa.

Bagi aparat penegak hukum, akan lebih mudah membuktikan apabila saksi dapat membuktikan kesalahan terdakwa yang telah melakukan kejahatan tindak pidana. Sebaliknya, apabila saksi tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa telah melakukan kejatahatan tindak pidana tersebut, maka aparat penegak hukum akan lebih sulit untuk menelusuri dan membuktikan kebenaran materil tersebut. Dalam KUHAP pada pasal 185 ayat (2), (3) dan (4) menyatakan kesaksian tersebut dikuatkan dengan alat pembuktian lain, maka dapatlah diperoleh bukti yang sah, bahwa aturan “unus testis nulus testis” bukanlah harus diartikan bahwa keterangan dari seorang saksi tidak mempunyai kekuatan pembuktian sama sekali, esensi alat bukti petunjuk ini diatur ketentuan Pasal 188 KUHAP.

Berbicara mengenai kamera CCTV dapat dijadikan sebagai alat bukti. Di masa lalu alat bukti yang dapat diterima di Pengadilan terbatas pada alat-alat bukti yang bersifat materiil, yaitu alat bukti yang dapat dilihat dan diraba. Namun seluruh alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP tersebut tidak mengakomodir alat bukti elektronik. Secara keperdataan juga tidak jauh berbeda. Sebagaimana kita ketahui alat-alat bukti yang diakui dalam hukum acara perdata Indonesia diatur dalam HIR (Herzens Indonesisech Reglement) yaitu alat bukti yang berupa naskah otentik, keterangan saksi, pengakuan dan persangkaan oleh hakim.

CCTV dapat dipergunakan sebagai alat bukti petunjuk, jika CCTV tersebut mempunyai keterkaitan antara keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 188 Ayat (1), (2), (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi pedoman seiring perkembangan zaman pada kejahatan di Indonesia. Menurut Undang-Undang ITE, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan.

Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah sebagaimana yang diatur oleh Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. CCTV juga menjadi alat bukti elektronik juga dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena CCTV termasuk pada apa yang dinyatakan oleh Ayat (1) bahwa CCTV merupakan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti hukum yang sah.

Alat bukti elektronik khususnya rekaman video sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa dalam praktek acara pidana di negara-negara maju, khususnya di negara dengan sistem common law. Selama ini kedudukan rekaman video dalam praktek belum jelas, banyak perdebatan mengenai pengakuannya dalam pembuktian perkara pidana, namun belakangan peran rekaman data elektronik khususnya video ini dapat mempunyai nilai dalam pembuktian di sidang pengadilan umum.

Keberadaan berbagai alat bukti yang tidak diatur dalam undang-undang, termasuk alat bukti elektronik ini sedikit banyak juga mempegaruhi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang diajukan terhadapnya di pengadilan yang sudah mulai mengakui dan menerima adanya bukti elektronik sebagai alat bukti. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetakkannya merupakan alat bukti hukum yang sah. Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat.

Agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah, Undang-Undang ITE telah mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.

PENUTUP

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Kedudukan rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana sebagai Alat bukti diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah.
  2. Pertimbangan Hakim terhadap rekaman CCTV sebagai alat bukti yang sah dalam tindak pidana dalam putusan Majelis Hakim menjadikan Rekaman CCTV sebagai penguat dari keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dalam penyelidikan.

Islam mengatur dengan sangat terperinci tentang saksi dari kasus perzinaan.

Kamis , 12 Nov 2020, 19:06 WIB

Republika/Putra M. Akbar

Fasilitas CCTV yang terpasang di jembatan penyeberangan orang (JPO) Jembatan Gantung di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta, Senin (13/1).

Rep: Andrian Saputra Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, Rekaman video sering dijadikan sebagai alat bukti untuk menuduh seseorang melakukan perbuatan asusila. Seperti dalam kasus perzinaan, dengan mudah seseorang menuduh orang lain berbuat zina hanya dengan dasar tayangan video. Seperti yang terjadi belakangan ini, ada rekaman video perzinaan yang tersebar dari tangkapan kamera televisi sirkuit tertutup (CCTV), ada juga warga yang secara langsung menyaksikan perbuatan zina kemudian memvideokan dengan gawainya hingga viral di media maya. 

Sebenarnya, apakah sah bila rekaman video dijadikan bukti kasus perzinaan? Bagaimana bila ada satu orang laki-laki yang menyaksikan perbuatan zina dan memvideokannya secara langsung atau live streaming di dunia maya hingga disaksikan sejumlah netizen? Apakah netizen yang melihat juga bisa menjadi saksi?

Islam mengatur dengan sangat terperinci tentang saksi dari kasus perzinaan. Mulai dari jumlah saksi dan syarat-syarat yang harus terpenuhi dari saksi. Ini agar seseorang Muslim tidak dengan mudah menuduh seseorang berbuat zina atau qazaf. Sebab, risiko yang ditanggung orang yang menuduh berbuat zina bila tidak terbukti sangat besar. 

Para ulama berpendapat perzinaan harus dibuktikan oleh empat orang saksi yang melihatnya secara langsung dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Ini berlandaskan pada keterangan QS an-Nisa ayat 15, juga surah an-Nur ayat 4 dan 13. Semuanya menjelaskan bahwa tuduhan perbuatan zina harus menghadirkan empat orang saksi, termasuk yang menuduh. Bila tidak dapat terpenuhi, risiko yang diterima penuduh adalah hukum cambuk sebanyak 80 kali. 

Pada masa Rasulullah terdapat di antara kalangan Muslim, yakni Syarik bin Sahma yang dituduh Hilal bin Umayyah telah berzina dengan istrinya. Maka Rasulullah pun memerintahkan untuk mengajukan saksi dan mengingatkan bahwa apabila tidak terpenuhi maka penuduh dikenakan hukuman //had//. Oleh karena itu, menurut Pimpinan Rumah Fiqih Indonesia Ustaz Ahmad Sarwat, ketentuan empat saksi tidak bisa digantikan oleh video rekaman. 

"Dalam masalah persaksian, apalagi khususnya dalam kasus zina, maka syaratnya persaksian itu harus melihat langsung, bukan dengan gambar atau video atau melalui CCTV dan sebagainya, tidak bisa itu," ujar Ustaz Ahmad Sarwat kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Menurut Ustaz Sarwat, di antara syarat melihat langsung perbuatan zina adalah saksi-saksi harus melihat dengan mata yang awas. Bila terdapat salah satu saksi yang rabun atau harus menggunakan alat bantu dalam melihat maka kesaksiannya tidak dapat diterima. Demikian dengan orang yang sudah harus pakai kacamata. Menurut dia, kesaksiannya sudah tidak bisa diterima. 

"Matanya itu harus dua, jadi kalau ada orang yang matanya tinggal satu, misalnya, itu tidak bisa diterima sebagai orang yang bersaksi. Jadi, ibaratnya orang ngintip, itu lubangnya harus ada delapan karena saksinya ada empat dan masing-masing punya dua bola mata. Delapan lubang itu harus berfungsi karena dia memang untuk menyaksikan. Maka kalau hari ini ada rekaman orang berzina lalu viral, maka yang menonton itu tidak bisa dikatakan sebagai saksi," ujar Ustaz Sarwat.

Para ulama berpendapat, syarat-syarat saksi secara umum adalah harus baligh, artinya kesaksian seorang anak kecil tidak dapat diterima. Selain itu, saksi harus berakal, yakni mengetahui hak dan kewajiban, mudharat, dan manfaat. Oleh karena itu, kesaksian orang gila tidak dapat diterima. 

Selain itu, saksi juga harus kuat ingatannya atau tidak boleh orang yang pelupa. Saksi juga harus sempurna dalam penglihatannya dan harus bisa memberikan penjelasan. Saksi juga haruslah seorang Muslim dan tidak dalam tekanan atau penghalang dalam memberikan persaksian. Bahkan, terdapat syarat yang menyebut saksi haruslah adil dalam kehidupannya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA