Menyebutkan politik yang diterapkan oleh Belanda dalam menjajah Indonesia

dibaca normal 3 menit

Penulis: Abdul Hadi
tirto.id - 23 Sep 2021 18:55 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Penjelasan mengenai contoh 4 bentuk penderitaan rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda.

tirto.id - Sejak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menguasai sejumlah wilayah nusantara pada tahun 1600-an, hingga pemerintahan Hindia Belanda bubar akibat Perang Dunia II, berbagai bentuk penderitaan dialami rakyat Indonesia.

Penderitaan panjang yang harus dilalui rakyat Indonesia akibat kolonialisme itu mendorong banyak bumiputra bertekad memperjuangkan kemerdekaan. Rasa senasib-sepenanggungan di bawah penjajahan Belanda kemudian membentuk nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia.

Perjuangan panjang akhirnya berbuah pada proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, kemerdekaan tersebut masih harus ditebus dengan pengorbanan banyak pejuang karena Belanda sempat ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Mengutip buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1997) terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, penderitaan rakyat Indonesia selama penjajahan Belanda tidak hanya akibat perang dan kekerasan. Kemiskinan, kelaparan, hingga perbudakan bahkan dialami rakyat Indonesia saat dunia sudah memasuki abad ke-20.

Ada banyak contoh penderitaan rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Empat contoh di bawah ini cuma sebagian dari bentuk penderitaan rakyat Indonesia akibat kolonialisme Belanda.

1. Kebijakan Cultuurstelsel (Tanam Paksa)

Setelah menguasai Indonesia berdasarkan Konvensi London pada 1814, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di nusantara dipimpin oleh suatu komisi yang beranggotakan Vander Capellen, Elout, dan Buyskes.

Salah satu misi penjajahan Belanda tersebut ialah untuk membayar utang Kerajaan Belanda yang tergolong besar karena perang. Saat komisi ini diambil alih Gubernur Jenderal Van den Bosch, kebijakan tanam paksa, yang kerap disebut pula dengan Cultuurstelsel, diimplementasikan di banyak daerah sejak tahun 1830.

Sistem tanam paksa benar-benar memeras tenaga rakyat Indonesia serta mengeruk kekayaan alam di nusantara. Banyak rakyat bumiputra menderita akibat Cultuurstelsel.

Baca juga: Sejarah Cultuurstelsel: Aturan, Tujuan, Tokoh, & Dampak Tanam Paksa

Kapasitas sawah dikurangi untuk keperluan tanam paksa, rakyat dipaksa bekerja, bahkan kadang dituntut bekerja di kebun yang letaknya sampai puluhan kilometer jauhnya dari desa. Selain itu, kerja rodi juga dilakukan di bawah todongan senjata. Akibatnya, kemiskinan dan kelaparan menjalar di banyak tempat.

Infografik SC Indonesia di Masa Penjajahan Belanda. tirto.id/Fuad

Tanaman yang harus ditanam selama Cultuurstelsel ditentukan oleh pemerintah Belanda. Kopi, teh, tebu dan jenis komoditas potensial ekspor lainnya harus ditanam demi menambah pundi-pundi harta Kerajaan Belanda.

Sistem tanam paksa bisa menggelembungkan kas Belanda, tapi rakyat bumiputra menderita. Selain kelaparan dan kemiskinan, penyakit pun sering mewabah karena banyak orang kurang gizi. Bahkan, banyak pekerja paksa yang mati kelaparan.

Dampak besar sistem tanam paksa pada penderitaan rakyat di nusantara membuat kritik tajam dilontarkan pada pemerintah Hindia-Belanda. Kritik itu malah datang dari sebagian orang Belanda sendiri.

Karena Cultuurstelsel dianggap tidak manusiawi, sistem tanam paksa dihapuskan dan diganti dengan pihak swasta Belanda yang turun mengelola perkebunan di nusantara. Secara berangsur-angsur, sistem tanam paksa kemudian dihapuskan pada 1861, 1866, 1890, dan 1916.

2. Perbudakan di Hindia Belanda

Ketika VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coenstraat berhasil menguasai Batavia, kondisi wilayah yang kini menjadi Jakarta tersebut tidak sepadat pada masa kemudian. Banyak penduduk lokal Batavia kabur ke pelosok Batavia Selatan, yakni Jatinegara Kaum.

Padahal, untuk membangun Batavia selepas penaklukan, orang-orang Belanda butuh tenaga kerja. Karena itulah, VOC mendatangkan tawanan perang dan budak dari berbagai tempat, misalnya Manggarai, Bali, Sulawesi, Arakan, Bima, Benggala, Malabar, dan lainnya, demikian tercatat dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi (2001) yang ditulis Alwi Shahab.

Baca juga: Ratu Beatrix ke Jakarta dan Betapa Susahnya Belanda Meminta Maaf

Dalam perjalanannya, banyak pria bumiputra diperbudak menjadi pekerja kasar di Batavia, sementara perempuan dijadikan pemuas nafsu berahi dan pengurus rumah tangga orang-orang Belanda. Apabila mereka membangkang, hukumannya sangat kejam.

Izin perbudakan akhirnya dihapus pada 1860 oleh pemerintah Hindia-Belanda. Namun, praktiknya terus dilakukan hingga dekade pertama abad ke 20, sebagaimana dicatat Reggie Baay dalam Daar werd wat gruwelijks verricht atau Perbudakan di Hindia Belanda (2015).

3. Kerja Rodi

Salah satu kerja rodi paling terkenal yang membuat rakyat bumiputra di Indonesia sengsara adalah pembuatan jalan raya sepanjang kurang lebih 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan pada 1809.

Kerja rodi massal itu dipelopori Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang menerima mandat dari Louis Napoleon, penguasa Belanda di bawah pengaruh Prancis era Napoleon Bonaparte. Daendels menerima perintah untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serbuan Inggris. Maka itu, ia memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Panarukan.

Baca juga: Bagaimana Daendels Membangun Pemerintahan Modern di Hindia Belanda?

Mengutip Britannica, nama lain kerja rodi adalah kerja budak yang dilakukan di bawah paksaan. Para pekerja tidak memperoleh upah dan dipaksa bekerja di luar batas kemanusiaan.

Kerja rodi pembangunan jalan raya Anyer hingga Panarukan pada 1809 memakan korban jiwa hingga 12.000 jiwa. Kerja rodi ini dilaksanakan di bawah todongan senjata dan lecutan cambuk. Banyak pekerja yang kelaparan hingga meninggal demi terbangunnya jalan itu.

4. Upah Rendah di Perkebunan

Sejak tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda menerapkan sistem Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Kebijakan ini membuka Hindia-Belanda bagi pengusaha swasta-asing untuk menanamkan modal dan membuka perusahaan.

Sistem Politik Pintu Terbuka ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang (UU) Agraria (Agrarische Wet) 1870 dan Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Dua UU itu menjadikan Hindia Belanda pusat perkebunan penting dalam perdagangan ekonomi dunia.

Namun, rakyat bumiputra yang dahulunya tersiksa dengan tanam paksa, harus mengalami derita yang lain karena dipaksa bekerja di perkebunan besar. Hingga pertengahan Abad 20, tumbuh banyak perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, hingga kelapa sawit di Hindia Belanda.

Ketika banyak pengusaha swasta membangun perusahaan di nusantara, rakyat Indonesia beralih menjadi buruh yang dipaksa bekerja habis-habisan dengan upah rendah. Makanan dan kesehatan mereka tidak terjamin, begitu pula dengan kesejahteraannya. Sistem memang berganti sejak pertengahan Abad 19, tapi kemiskinan tetap saja menjadi wajah sehari-hari rakyat Indonesia di bawah penjajahan Belanda.

Baca juga artikel terkait PENJAJAHAN BELANDA atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/add)

Penulis: Abdul Hadi Editor: Addi M Idhom Kontributor: Abdul Hadi

© 2022 tirto.id - All Rights Reserved.

Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.

Awalnya, politik pecah belah merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi Politik kekuasaan.[1]

Unsur-unsur yang dijadikan teknik dalam politik ini adalah:

  • Menciptakan atau mendorong perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah aliansi yang bisa menentang kekuasaan berdaulat.
  • Membantu dan mempromosikan mereka yang bersedia untuk bekerja sama dengan kekuasaan yang berdaulat.
  • Mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antar masyarakat.
  • Mendorong konsumerisme yang berkemampuan untuk melemahkan biaya politik dan militer.

Politik pecah belah termasuk strategi yang digunakan oleh penjajah kolonial (Belanda) untuk menggagalkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca kemerdekaan Indonesia 1945. Politik pecah belah juga menjadi alat memecah belah suatu bangsa agar bisa ditaklukkan dengan tujuan untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah untuk dikuasai.[2] Pada 1947-1948 Belanda membentuk negara boneka dengan menjanjikan kemerdekaan terhadap beberapa negara boneka yang telah dibuatnya, diantaranya Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.[3]

Sejarah Awal

Pada Perang Dunia II, Jepang mengakui  kalah dari tentara sekutu dengan pemboman kota Hirosima dan Nagasaki pada 6 dan 8 Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, sekutu kemudian memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo, yaitu menjaga situasi dan kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke Indonesia. Pada tanggal 16 September 1945 rombongan Belanda, perwakilan sekutu berlabuh di Tanjung Priok.  

Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan).

Terjadi kekosongan pemerintahan yang berkuasa Indonesia yang diakibatkan kekalahan Jepang. Oleh karena itu, para pemuda (Golongan Muda) melakukan penculikan terhadap Soekarno-Hatta yang kemudian membawa keduanya ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.[4] Peristiwa Rengasdengklok terjadi pada 16 Agustus 1946, yakni penculikan kepada dua bapak proklamator Republik Indonesia, Soekarno dan Hatta, ke Karawang, Jawa Barat, dengan tujuan supaya cepat mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945[4]. Tetapi Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 1945, karena ingin kembali berkuasa. Hal inilah yang mengawali agresi militer I tahun 1947 dan agresi militer II tahun 1948.

Agresi Belanda I dan II

Setelah Indonesia Merdeka pada 1945, Belanda masih mempunyai urusan dengan Indonesia, yakni pengembalian semua wilayah yang dulu bekas jajahan Belanda menjadi bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Untuk menjadi negara berdaulat, beberapa tahapan melawan Belanda dilakukan untuk mempertahankan teritori yang sudah dideklarasikan dari Sabang- Merauke.

Perjanjian Linggarjati 1946

Perjanjian yang terjadi di Linggarjati, Jawa Barat, dihadiri oleh pihak dari Indonesia yang diwakili Sutan Syahrir dan dari pihak Belanda diwakili Wim Schermerhorn, dimana menghasilkan resolusi yang melemahkan Indonesia secara de Facto.[5] Pada perjanjian tersebut hanya akan mengakui Jawa, Sumatera dan Madura sebagai bagian dari negara Indonesia.

Agresi Militer Belanda I 1947

Pada 21 Juli 1947, Wakil Gubernur Jenderal Belanda Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku lagi dan memulai operasi militer yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947.[6] Belanda menamakan operasi militer ini sebagai Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.

Perjanjian Renville 1948

Akibat agresi militer 1 yang dilakukan Belanda, Amerika Serikat turun tangan untuk menetralkan situasi dengan menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Keduanya lalu menandatangani perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.[7] Hasil dari perjanjian ini, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda hanya mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan.

Agresi Militer Belanda II 1948

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melanggar gencatan senjata dan isi Perjanjian Renville. Belanda mengerahkan 80.000 pasukannya[8] kemudian menyerang ibu kota Indonesia yang pada saat itu di Yogyakarta dan melakukan penangkapan kepada Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.

Konferensi Meja Bundar 1949

Akibatnya, Amerika Serikat kembali  menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 2 November 1949,[9] terkait pengembalian seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia, termasuk Papua didalamnya. Perjanjian ini menyatakan Belanda setuju untuk mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda menjadi Indonesia. Khusus untuk Papua Barat menjadi satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang tidak dipindahkan ke Indonesia dan status Papua Barat akan dibahas setahun kemudian, yakni 1950.

Negara Bagian Indonesia Timur (Papua) di Indonesia

Selama 1947-1948, pihak Belanda sengaja ingin menguasai Indonesia dengan mudah, dan membagi-baginya menjadi kelompok kecil, dengan total 6 bagian, diantaranya diantaranya Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.[10] Sejak 1950 sampai 1961, Belanda masih belum mengembalikan Papua sampai 1961, dimana Belanda seharusnya mengembalikan Papua menjadi bagian dari Indonesia sesuai kesepakatan hasil konferensi Meja Bundar (KMB), di Den Haag, Belanda, yang akan dibahas satu tahun setelahnya, yakni pada 1950.[9]

Belanda masih menguasai Papua Barat sebagai wilayah jajahannya, Alasannya karena Belanda masih mau mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik sekaligus bertekad memperkuat basis ekonominya di Papua.[11] Belanda diam-diam mendirikan negara boneka Papua. Belanda memulai dengan membentuk komite bernama New Guinea Council pada tanggal 19 Oktober 1961.[11] Adapun tugasnya merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional (Bendera Bintang Kejora), cap negara, memilih "Hai Tanahku Papua" sebagai lagu kebangsaan, dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang Papua. Belanda mengakui bendera dan lagu ini pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada tahun yang sama, Belanda sekaligus mendirikan pasukan Papoea Vrijwilligers Korps atau Korps Relawan Papua (PVK), tentara buatan Belanda yang terdiri dari pribumi Papua.[11]

  • Ad hominem
  • Agent provocateur
  • Bendera palsu
  • Ikan haring merah
  • Kampanye hitam
  • Peperangan psikologis
  • Politik identitas
  • Taktik salami
  • Ucapan kebencian

  1. ^ Saptamaji, Rolip (2013-11-22). "Memahami Operasi Strategi Devide et Impera". Berdikari Online. Diakses tanggal 2017-10-16. 
  2. ^ "Politik devide et Impera VOC – Donisaurus". Diakses tanggal 2020-02-18. 
  3. ^ Media, Kompas Cyber. "Terbentuknya Republik Indonesia Serikat Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  4. ^ a b Media, Kompas Cyber. "Saat Sutan Syahrir Mendengar Berita soal Kekalahan Jepang dari Sekutu pada 10 Agustus 1945... Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  5. ^ Media, Kompas Cyber. "Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  6. ^ "Agresi Militer Belanda I". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  7. ^ "Perjanjian Renville, Perjanjian yang Disahkan pada 17 Januari 1948 di Atas Kapal Amerika Serikat ya". Tribun Video. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  8. ^ "Agresi Militer Belanda II, Penyerbuan Pasukan Belanda Terhadap Wilayah Republik Indonesia". Tribun Video. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  9. ^ a b Media, Kompas Cyber. "Konferensi Meja Bundar: Latar Belakang, Tujuan, Hasil, dan Dampaknya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  10. ^ Fathoni, Rifai Shodiq (2016-10-01). "Republik Indonesia Serikat (1949-1950)". Wawasan Sejarah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-21. 
  11. ^ a b c "Papua dan Ambisi Presiden Pertama". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-21. 

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Politik_pecah_belah&oldid=21398527"

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA