Mushaf Al qur an yang digunakan oleh umat Muslim dunia hingga sekarang disebut mushaf

Jakarta -

Salah satu peristiwa yang paling kontroversi jika diukur dalam ukuran umat Islam sekarang ialah pembakaran secara legal sejumlah mushaf di zaman pemerintah khalifah Utsman ibn 'Affan. Seperti diketahui bahwa banyak sekali sahabat ikut mencatat ayat-ayat Al-Qur'an yang disampaikan oleh Nabi namun itu hanya sebagai koleksi pribadi. Antara satu mushaf dengan mushaf lain tidak sama. Ada yang mencampur baurkan antara ayat dan penjelasan Nabi tentang ayat itu tetapi penulisnya memiliki kode tersendiri untuk membendakan antara ayat dan penjelasan nabi. Ada juga yang tetap mencantumkan ayat-ayat yang sudah dihapus (mansukh) tanpa kode tertentu. Belum lagi dengan semakin maraknya jenis-jenis bacaan (qiraah) seiring dengan semakin berkembangnya umat Islam sampai ke luar jazira Arab saat itu. Atas dasar perkembangan itu maka Khalifah Utsman ibn 'Affan membentuk tim unifikasi dan kodifikasi Al-Qur'an yang anggota-anggotanya para sahabat senior dan sahabat yunior, tentu saja yang memiliki hafalan yang bagus.

Di antara tokoh-tokoh terkenal yang bertugas dalam tim tersebut ialah Zaid bin Tsabit, yang memang lebih dikenal sebagai sekretaris pribadi nabi, ditambah dengan sahabat lain seperti Abdullah bin Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Harist bin Hisyam. Selain mereka dikenal sebagai orang yang aktif menulis wahyu juga dikenal penghafal Al-Qur'an (al-hafidh) yang handal dan sudah pernah terlibat dalam kodifikasi dan unifikasi terbatas Al-Qur'an di zaman Abu Bakar yang menghasilkan Mushaf Al-Bakariyah (nisbat kepada Abu Bakar). Mushaf ini disimpan di rumah Hafsah, salahseorang isteri Nabi.

Mushaf Al-Baqariyah yang selesaai disusun dalam tahun ke-12 H tersebut dipinjam oleh tim untuk dijadikan salah satu rujukan penting di samping menghadirkan saksi dan membandingkan sejumlah mushaf koleksi pribadi para sahabat. Setelah pekerjaan anggota tim sudah merampungkan tugasnya pada tahun ke-25 H maka terwujudlah sebuah mushaf yang disepakati para sahabat. Mushaf inilah kemudian disebut Mushaf Utsmani. Zaid bin Tsabit diminta untuk menulis ulang atau menggandakan mushaf final ini dan mushaf asli dari Hafsah dikembalikan dan yang baru diselesaikan digandakan sebanyak tujuh eksemplar lalu dikirim ke sejumlah wilayah sebagai mushaf standar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Setelah segalanya selesai, timbul masalah baru. Diapakan mushaf-mushaf pribadi yang dikumpulkan oleh tim? Jika dibuang ditempat sampah tentu bermasalah karena manuskrip suci itu bukan sampah. Jika dikembalikan kepada pemiliknya dikhawatirkan akan menimbulkan kontroversi dikemudian hari karena antara satu mushaf dengan mushaf lain berbeda. Akhirnya diputuskan oleh tim atas persetujuan Khalifah Utsman selain mushaf Al-Baqariyah dan mushaf Utsmani dibakar. Sumber pembakaran sejumlah mushaf Al-Qur'an dapat dilihat di dalam kitab Mabahits Fi 'Ulum al-Qur'an, karya Manna' al-Qaththan, h. 139, dan kitab-kitab 'Ulum Al-Qur'an lainnya.

Pembakaran mushaf Al-Qur'an saat itu disaksikan oleh banyak orang dan tak seorang pun yang keberatan atas pembakaran itu. Bahkan dikutip dalam kitab Al-Mashahif, khususnya dalam bab Ittifaaq al-Nas Ma'a Utsman 'ala Jam' al-Mushaf, hal. 177, Sayyidina Ali mengatakan: "Sekiranya Utsman tidak melakukan yang demikian itu maka akulah yang akan melakukannya". Kebijakan pembakaran sejumlah mushaf Al-Qur'an pada masa Utsman dianggap ide cerdas oleh sejumlah ulama belakangan' Jika tidak ditempuh cara itu maka bisa dibayangkan tentu akan menimbulkan konroversi bahkan mungkin muncul fitnah besar di dalam perkembangan umat Islam. Mushaf Al-Qur'an yang sudah usang dan kusut hingga sulit dibaca difatwakan banyak ulama untuk dibakar, jangan dibuang di tempat sampah bersama dengan sampah kotor lainnya.

Prof. Nasaruddin Umar

Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis.

Lihat juga Video: Pentingnya Mengikuti Aturan Waqaf Saat Membaca Al-Qur'an

[Gambas:Video 20detik]

(erd/erd)

Salah satu aspek kajian al-Qur’an yang paling mendapat perhatian dan menimbulkan banyak kontroversi adalah sejarah kodifikasi al-Qur’an dan pembakuan Mushaf Uthmānī. Sudah sejak abad 2 H. kajian sejarah al-Qur’an menjadi perhatian ulama Islam. Mereka melakukan kajian tentang perbedaan Mushaf yang beredar di beberrapa wilayah Islam. Ibnu Amir dengan Ikhtilāf Maṣāḥif al-Shām wa al-Hijāz wa al-‘Irāq, al-Kisā`iy dengan Ikhtilāf Maṣāḥif Ahlu al-Madīnah wa Ahlu al-Kūfah wa Ahlu al-Baṣrah, Khalaf bin Hisyam dengan Ikhtilāf al Maṣāḥif dan Ibnu Abi Dawud al-Sijistāny dengan al- Maṣāḥif adalah beberapa contoh kajian sejarah al-Qur’an yang dilakukan ulama Islam. Karya Ibnu Abi Dawud inilah yang kemudian menjadi rujukan utama dalam kajian-kajian sejarah al-Qur’an termasuk oleh kalangan orientalis.

Dari kalangan orientalis Barat terdapat nama Theodore Noldeke yang menulis The History of the Qur’an. Kerja intelektual Noldeke dilanjutkan penerusnya: Friedrich Schwally, Gotthelf Bergsträsser dan Otto Pretzl, yang menyempurnakan buku tersebut menjadi 3 Jilid. Richard Bell, orientalis Inggris, dan Regis Blochere, orientalis Perancis, mengikuti jejak metodologis Noldeke dalam mengkaji al-Qur’an. Bell menulis The Qur’an dan Blochere menghasilkan karya Le Coran. Dari Australia muncul nama Arthur Jeffery yang memberikan pengantar pada kitab al- Maṣāḥif  karya Ibnu Abi Dawud al-Sijistany.

Sejarah Quran tetap menjadi salah satu kajian terpenting di kalangan sarjana muslim kontemporer. Tiga karya terdahulu yang menjadi rujukan utama dalam kajian ini adalah al-Maṣāḥif Ibnu Abi Daud, The History of the Qur’an Theodore Noldeke dan pengantar Arthur Jeffery pada al-Maṣāḥif. Ada dua kecenderungan dalam kajian sejarah al-Qur’an di kalangan sarjana muslim kontemporer. Pertama, kajian yang cenderung mempertahankan teori dogmatis tentang sejarah al-Qur’an. Kedua, kajian yang cenderung membongkar kemapanan sejarah al-Qur’an. Kecenderungan pertama direpresentasikan beberapa nama seperti Abd al-Ṣobūr Shāhīn, Ibrahim al-Abyāry dan Muhibbuddin Abd al-Sajjān. Sedangkan kecenderungan kedua diwakili nama-nama seperti Arkoun, Abid al-Jabiry, Sahrur, Asymawy dan Nasr Hamid Abu Zaid.

Sejatinya kajian tentang sejarah al-Qur’an sangat sensitif, karena berkaitan dengan keyakinan umat Islam paling fundamental. Setidaknya terdapat dua titik sensitif dalam kajian sejarah al-Qur’an, yaitu proses kodifikasi dan adanya perbedaan mushaf yang digunakan para Sahabat. Tulisan ini akan mengkaji sejarah kodifikasi al-Qur`an dimulai dari masa pewahyuan hingga terbakukannya Mushaf Uthmani sebagai satu-satunya mushaf yang diterima oleh umat Islam.

B. Pewahyuan al-Qur`an kepada Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam

Di dalam al-Qur`an ditemukan beberapa ayat yang mengambarkan bagaimana al-Qur`an diturunkan. Ayat-ayat tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, ayat-ayat yang mengindikasikan bahwa al-Qur`an diturunkan sekaligus, yaitu: al-Baqarah: 185, “…bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia…”, al-Dukhān: 3, “Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi…” dan al-Qadr: 1, “Sesungguhnya kami Telah menurunkannya pada malam kemuliaan”

Kedua, ayat-ayat yang mengindikasikan bahwa al-Qur`an diturunkan secara bertahap, yaitu al-Isrā`: 106, “Dan Al Quran itu Telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia…” dan al-Furqān: 32, “Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’ Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara teratur dan benar”.

Gugatan orang-orang kafir dalam al-Dukhān: 32 menunjukkan bahwa yang mereka ketahui, al-Qur`an diturunkan secara bertahap. Fakta yang disaksikan para sahabat pun demikian. Ibnu Kathīr menuturkan bahwa ‘Atiyyah bin al-Aswad merasa gamang tentang makna firman Allah pada al-Baqarah: 185 dan al-Qadr: 1 yang keduanya mengindikasikan bahwa al-Qur`an diturunkan sekaligus. Padahal seperti ia ketahui, al-Qur`an diturunkan pada bulan Syawwal, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, Safar, Rabiul Awwal dan Rabiuts Sani. Ibnu Abbas menjawab bahwa al-Qur`an diturunkan sekaligus pada bulan Ramadan atau yang disebut malam lailatul qadar atau malam yang diberkahi. Kemudian al-Quran diturunkan secara bertahap pada bulan-bulan dan hari-hari seperti mereka saksikan[1].

Jawaban Ibnu Abbas mengurai kerumitan yang menyelubungi dua kelompok ayat yang terkesan kontradiktif. Kelompok pertama menggambarkan turunya al-Qur`an secara utuh dan sekaligus, sedangkan kelompok kedua menggambarkan turunya al-Qur`an secara bertahap. Ibnu Kathīr mempertegas kesimpulann ini, lagi-lagi dengan mengutip Ibnu Abbas, bahwa al-Qur’an diturunkan sekaligus dari al-Lawḥ al-Mahfuẓ ke Bayt al-‘Izzah kemudian diturunkan secara bertahap sesuai peristiwa-peritiwa yang terjadi selama 23 tahun[2].

Berbeda dengan Ibnu Kathīr, al-Rāzī menyebutkan dua kemungkinan jawaban atas persoalan kontradiksi dua kelompok ayat di atas. Kemungkinan pertama sama dengan jawaban yang disampaikan Ibu Kathīr. Kemungkinan kedua adalah bahwa Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā menurunkan dari al-Lawḥ al-Mahfuẓ ke langit dunia pada malam lailatul qadar sejumlah ayat al-Qur`an yang akan diwahyukan kepada Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam selama setahun. Pada malam lailautl qadar tahun berikutnya juga diturunkan lagi sejumlah ayat yang diperlukan untuk tahun tersebut, dan begitu seterusnya hingga purna seluruh pewahyuan al-Qur`an kepada Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Menurut al-Rāzī kedua jawaban memiliki probabilitas kebenaran yang sama. Sebab, kata “bulan Ramadan” pada al-Baqarah: 185 bisa berarti bulan Ramadan pada tahun tertentu dan bisa pula bulan Ramadan tanpa ketentuan tahun. Jika arti pertama yang digunakan, maka penurunan al-Qur`an dari al-Lawḥ al-Mahfuẓ ke langit dunia hanya terjadi sekali. Sebaliknya jika arti kedua yang digunakan, maka penurunan al-Qur`an bisa terjadi beberapa kali pada beberapa kali bulan Ramadan di tahun yang berbeda. Penjelasan al-Rāzī berakhir tanpa ada pilihan, mana di antara kedua jawaban yang diunggulkan[3].

Al-Māwardī memunculkan jawaban ketiga. Ia katakan bahwa berdasarkan periwayatan Ibnu Abbas, al-Qur`an diturunkan sekaligus dari al-Lawḥ al-Mahfuẓ ke langit dunia kepada malaikat safarah pada malam lailatul qadar pada bulan Ramadan. Dari malaikat safarah ditransmisikan kepada Jibril secara bertahap dalam kurun waktu 20 (dua puluh) hari. Kemudian Jibril mewahyukannya kepada Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam secara bertahap dalam kurun waktu 20  tahun[4].

Jawaban kedua seperti dituturkan al-Rāzī sudah pernah diungkapkan oleh Ibnu al-Anbārī jauh sebelumnya. Tetapi menurut Ibnu Hajar, apa yang disampaikan Ibnu al-Anbārī lemah karena diceritakan melalui jalur periwayatan yang lemah dan terputus. Demikian juga pendapat al-Māwardī lemah, karena diriwayatkan melalui jalur tunggal (gharīb). Ibnu Hajar memilih pendapat pertama, seperti yang disampaikan Ibnu Kathīr di atas, sebab pendapat ini didukung hadis dengan jalur periwayatan yang beragam dan semuanya sahih[5].

Sependapat dengan Ibnu Hajar, al-Suyūṭī mengatakan bahwa jawaban pertama adalah yang yang tersahih bahkan terpopuler di kalangan ulama. Alasan yang diajukan pun sama, yaitu bahwa pendapat ini didukung hadis dengan berbagai jalur periwayatan yang sahih[6].

Persoalan pewahyuan al-Qur`an dari Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā hingga sampai ke Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam adalah hal yang tidak kasat mata. Oleh karena itu cara yang tepat untuk mendapatkan informasi mengenai hal tersebut adalah dengan bersandar pada informasi yang sahih dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Itulah yang dilakukan Ibnu Kathīr, Ibnu Hajar maupun al-Suyūṭī dalam mengungulkan jawaban pertama. Meskipun seluruh jalur periwayatan hanya berujung pada Ibnu Abbas (mawqūf) dan tidak sampai kepada Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam (marfū’), tetapi karena materi hadis berada di luar wilayah ijitihad, maka hadis tersebut sama nilainya jika keluar dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam.

Berdasarkan penjelasan di atas, proses pewahyuan al-Qur`an hingga sampai kepada Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam dapat digambarkan sebagai berikut. Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā menurunkan al-Qur`an dari al-Lawḥ al-Mahfuẓ ke Bayt al-‘Izzah secara utuh dan sekaligus pada bulan Ramadan, tepatnya pada malam lailatul qadar yang disebut juga malam yang diberkahi. Dari Bayt al-‘Izzah al-Qur`an di bawa Jibril ‘Alayhi al-Sallam untuk disampaikan kepada Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam secara bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang dihadapinya selama kurun waktu 23 tahun.

C. Tranmisi dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam kepada Sahabat

Selama 23 tahun masa pewahyuan, Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam mengajarkan dan memperdengarkan ayat yang diterima kepada para Sahabat. Bukhārī menceritakan bahwa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam berkata kepada Ubay, “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu ‘لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا’”. Ubay bertanya, “dan Allah menyebutku?”. Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam menjawab, “iya”. Lalu Ubay menangis[7]. Ubay juga mengatakan, “aku mengambil al-Qur`an dari mulut Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Karena itu aku tidak akan meninggalkannya”[8].

Ibnu Mas’ud pun demikian. Ia mengatakan, “aku mengambil langsung dari mulut Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam 70 sekian surah”[9]. Bahkan ia tahu betul pasangan surah yang dibaca dalam salat[10]. Ibnu Masud juga menekankan pentingnya kesesuaian pembacaan dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Suatu saat ia membaca surah Yusuf. Seseorang menyalahkan bacaannya dan mengatakan, “tidak seperti ini ayat itu diturunkan”. Ibnu Mas’ud pun membantah, bahwa seperti inilah aku membacanya di hadapan Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam[11].

Peristiwa yang sama juga pernah dialami Umar. Suatu saat ia mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surah al-Furqān dalam salat. Umar pun memperhatikan bacaan Hisyam dengan seksama. Ternyata bacaan Hisyam tidak sama dengan yang pernah dibacakan Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam kepada Umar. Seusai salat, Umar bertanya, “Siapakah yang mengajarkanmu bacaan al-Qur`an yang aku dengar tadi?”. Hisyam menjawab, “Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam yang mengajarkanku”. “Bohong kamu”, tukas Umar. “Demi Allah, Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam membacakan kepadaku surah ini”, bela Hisyam. Mereka berdua pun menghadap Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Ketika Umar dan Hisyam membacakan versi bacaan masing-masing, Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam membenarkan keduanya[12].

Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam tidak hanya mengajarkan dan membacakan al-Qur`an di forum khusus seperti yang dialami Ubay, Ibnu Masud dan Umar, tetapi juga pada momentum yang lain seperti pada saat khutbah. Ummu Hisyam yang pernah berbagi dapur dengan Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam selama dua tahun, mengatakan bahwa ia mengambil surah qāf dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam yang selalu dibacanya dalam khutbah Jum’ah[13].

Sahabat juga megambil al-Qur`an dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam melalui momentum salat. Abu Hurairah, misalnya, mendengar Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam membaca surah Jum’ah dan al-Munāfiqūn pada salat Jumah[14]. Nu’man bin Basyir memiliki pengalaman berbeda. Ia mendengar Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam membaca surah al-`A’lā dan al-Ghāshiyah dalam salat id dan salat jumah[15]. Sementara Ibnu Abbas mendengar Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam membaca surah Sajdah dan al-Insān pada salat Subuh di hari Jumat, sedangkan pada salat Jumahnya dibaca surah Jum’ah dan al-Munāfiqūn[16]. Bahkan pernah dalam sekali salat Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam membaca surah al-Baqarah, al-Nisā` dan `āli ‘Imrān, semuanya hinga tuntas. Hal itu dikisahkan Hudzaifah ketika suatu malam ia salat bersama Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam[17].

Tidak hanya pada momentum ibadah saja, Rasulullah juga membacakan al-Qur`an pada saat perjalanan. Abdullah bin Mughaffal bercerita bahwa Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam membaca surah al-Fatḥ di atas onta dalam suatu perjalanan[18].

Seluruh kisah di atas hanyalah sekelumit dari keseluruhan cerita yang menggambarkan proses transmisi al-Qur`an yang dilakukan Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam kepada para sahabatnya. Proses transmisi ini ditunjang dengan upayanya memperluas kesempatan untuk mempelajari al-Qur`an kepada sebanyak-banyak orang. Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam pernah menikahkan dua sejoli dengan mas kawin pengajaran al-Qur`an[19]. Ketika seseorang datang berhijrah kepada Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam, ia diserahkan kepada salah satu sahabat untuk mendapatkan pelajaran al-Qur`an[20].

Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam juga memberikan motivasi agar banyak orang terdorong untuk mempelajari al-Qur`an. Misalnya, Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam memposisikan orang yang belajar dan mengajarkan al-Qur`an sebagai sebaik-baik orang[21]. Di samping itu Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam memberikan apreasi yang tinggi kepada orang-orang yang menguasai al-Qur`an dengan memberikannya hak untuk menjadi imam salat. Hak ini diberikan tanpa memandang status sosialnya. Jadi, meskipun seorang budak, jika ia lebih menguasai al-Qur`an dibanding yang lain, maka ia berhak menjadi imam salat[22].

Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika banyak dari kalangan sahabat yang hafal al-Qur`an. Mengutip Abu Ubaid dalam al-Qirā`āt wa al-Qurrā` , al-Suyūṭī menyebtukan bahwa penghafal al-Qur`an dari kalangan muhajirin adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Talhah, Sa’ad, Ibnu Masud, Hudzaifah, Salim patron Abu Hudzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin al-Sāib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abdullah bin Amr, Ibnu Zubair, Aisyah, Hafshah dan Ummu Salamah. Sedangkan dari kalangan ansor Ubadah bin al-Ṣāmit, Muadz bin Jabal, Mujammi’ bin Jariyah, Fuḍālah bin Ubaid, Maslamah bin Mukhallad, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu al-Dardā`, Anas bin Malik dan Abu Zaid[23].

Jumlah penghafal al-Qur`an dari kalangan sahabat tidak terbatas pada hitungan nama-nama di atas. Pada peristiwa bi`r ma’ūnah 70 sahabat yang dikirim Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam semuanya meninggal, dan menurut Anas bin Malik, mereka semua adalah para penghafal al-Qur`an[24]. Pada perang yamāmah sejumlah penghafal al-Qur`an meninggal. Menurut Anas bin Malik jumlahnya mencapai 70 orang[25].

Al-Qur`an tidak hanya dihafal oleh para sahabat, tetapi sebagian juga ada yang menulisnya. Bukhārī menceritakan bahwa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam bersabada: “Panggilah Zaid dan suruhlah ia membawa papan, tinta dan tulang – atau tulang dan tinta – kemudian Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam bersabda, “tulislah [لاَ يَسْتَوِي القَاعِدُونَ][26].  Ketika Zaid bin Thābit menjalankan tugas untuk membukukan al-Qur`an sebagaiman diperintahkan Abu Bakar, ia menghimpun catatan-catatan al-Qur’an dari pelepah kurma, batu, tulang dan dari hafalan orang-orang[27]. Zaid juga menuturkan bahwa para sahabat telah menyusun al-Qur`an (ta`līf) di hadapan Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam yang dituliskan pada kulit[28].

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur`an yang diwahyukan kepada Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam telah ditransmisikan ke generasi sahabat melalui berbagai forum dan dengan berbagai cara. Sejumlah besar sahabat merekam seluruh ayat al-Qur`an dalam bentuk hafalan; sebagian lain ada yang merekam sebagian saja dari al-Qur`an; dan sebagian lain merekamnya dalam bentuk tulisan.

D. Kodifikasi al-Qur`an

Seusai perang Yamamah Umar mengusulkan agar dilakukan penghimpunan al-Qur`an. Usulan ini didasari kekhawatiran akan semakin menyusutnya jumlah penghafal al-Qur`an setelah banyak di antara mereka terbunuh pada perang Yamamah. Semula Abu Bakar keberatan dengan usulan Umar. Ia beralasan bahwa penghimpunan al-Qur`an tidak pernah dilakukan ataupun diperintahkan Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Tetapi Umar terus membujuk hingga akhirnya Abu Bakar menyetujui usulan Umar. Abu Bakar pun memanggil Zaid bin Tsabit untuk menjalankan program ini. Awalnya dengan alasan yang sama Zaid bin Tsabit juga keberatan atas perintah penghimpunan al-Qur`an. Kini giliran Abu Bakar yang meyakinkan Zaid bin Tsabit hingga akhirnya ia bisa menerima gagasan penghimpunan al-Qur`an[29].

Penjelasan di atas mengimplikasikan tiga hal. Pertama, hingga Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam meninggal tidak ada satu mushafpun yang menghimpun seluruh ayat al-Qur`an. Penghimpunan al-Qur`an dalam satu mushaf baru terjadi pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Hal ini terlihat dari alasan penolakan Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit atas usulan penghimpunan al-Qur`an. Kedua, alasan disetujuinya gagasan penghimpunan al-Qur`an adalah kekhawatiran akan musnahnya al-Qur`an karena semakin menyusutnya jumlah penghafal al-Qur`an. Ketiga, pelaksana program penghimpunan al-Qur`an adalah Zaid bin Tsabit.

Sumber lain menyebutkan bahwa Abu Bakar tidak hanya memberikan mandat kepada Zaid bin Tsabit, tetapi juga kepada Umar. Ibnu Abi Daud menceritakan bahwa ketika banyak penghafal al-Qur`an gugur di medan perang, Abu Bakar khawatir al-Qur`an akan musnah. Lalu ia memerintahkan Umar dan Zaid bin Tsabit, “duduklah kalian di pintu masjid. Jika seseorang mendatangkan kitab Allah dengan membawa dua saksi, maka catatalah”[30]. Dalam menjalankan perintah ini Umar tidak sekedar berperan sebagai pembina yang hanya duduk di belakang meja, tetapi ia turun langsung mengumumkan siapa-siapa yang pernah menerima ayat al-Qur`an dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Ibnu Abi Daud menceritakan, “Umar bermaksud menghimpun al-Qur’an. Ia berdiri di antara orang-orang dan berkata, “Siapa yang pernah menerima al-Qur’an dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam, maka bawalah kemari”. Sebelumnya orang-orang telah mencatat al-Qur’an di lembaran, papan, dan pelepah kurma. Umar tidak bersedia menerima dari siapapun pengakuan tentang al-Quran, kecualli didukung dua saksi”[31].

Sementara perintah Abu Bakar diterjemahkan Zaid bin Tsabit dengan menulusuri naskah-naskah al-Qur`an yang pernah ditulis para sahabat ataupun hafalan-hafalan yang diterima langsung dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam, hingga kemudian ia temukan dua ayat dari surah al-Tawbah pada Khuzaimah dan tidak ditemukan pada sahabat lain[32]. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang dimaksud “tidak ditemukan pada sahabat lain” adalah bahwa dua ayat tersebut tidak ditemukan kecuali dalam catatan Khuzaimah. Hal ini tidak menafikan bahwa sahabat lain ada yang hafal dan mendengarnya langsung dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Sebagaimana dikutip Ibu Hajar, Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa al-Hārith bin Khuzaimah juga menyampaikan dua ayat terakhir al-Tawbah dan bahwa ia bersaksi telah mendengar kedua ayat itu dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Umar pun bersaksi bahwa ia juga mendengarnya dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam[33].

Penjelasan di atas menggambarkan bagaimana meotde penghimpunan al-Qur`an yang diterapkan pada masa Abu Bakar. Pertama, ayat al-Qur`an yang dihimpun harus benar-benar diterima langsung dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Kedua, setiap klaim ke-Quran-an harus didukung minimal dua saksi.

Program ini menghasilkan satu mushaf yang menghimpun seluruh ayat al-Qur’an. Awalnya mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar. Setelah ia meninggal, mushaf berpindah ke tangan Umar bin Khattab. Sepeninggal Umar, mushaf disimpan oleh Hafṣah binti Umar.

Kodifiasi kedua terjadi pada masa kekhalifahan Utsman. Bukhārī menceritakan bahwa ketika perang penaklukan Azerbeijan dan Armenia bersama umat Islam Iraq dan Syam, Hudzaifah bin al-Yaman dikagetkan oleh perbedaan mereka dalam membaca al-Qur’an. Hudzaifah pun mengusulkan kepada Utsman agar segera mengatasi persoalan ini untuk menghindari terjadinya perbedaan al-Qur`an seperti yang menimpa kitab suci umat Yahudi dan Nashrani[34]. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar, penduduk Iraq membaca al-Qur`an dengan versi bacaan Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Syam membacanya dengan versi bacaan Ubay bin Ka’b[35].

Perbedaan bacaan al-Qur`an seperti yang terjadi antara penduduk Syam dan Irak bukanlah yang pertama kali disaksikan Hudzaifah. Sebelum perang Azerbeijan Hudzaifah sudah pernah menyaksikan fenomena serupa. Ia pernah mendengar penduduk Kufah membaca al-Qur`an dengan versi bacaan Ibnu Mas’ud sedangkan orang Basrah membacanya dengan versi bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Mendenagr itu Hudzaifah marah dan ia bermaksud melaporkannya kepada Utsman sebagai khalifah dan mengusulkan agar menyatukan pembacaan al-Qur`an. Bahkan pernah suatu kali Ibnu Mas’ud mengklarifikasi ketidaksukaan Hudzaifah terhadap perbedaan versi bacaan al-Qur`an. Dengan terus terang Hudzaifah menjawab, “aku tidak suka mendengar ‘versi bacaan si fulan, versi bacaan si fulan’. Kemudian hal itu akan mengakibatkan perbedaan tentang bacaan al-Qur`an, seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani atas kitab sucinya”[36].

Jadi, kasus perbedaan bacaan al-Qur`an yang terjadi pada perang Azerbeijan adalah pemicu yang mendorong Hudzaifah untuk segera mengusulkan penyatuan bacaan al-Qur`an kepada Utsman sebagai khlaifah. Tetapi perbedaan bacaan itu sendiri sudah terjadi sebelum perang Azerbeijan.

Di sisi lain Utsman juga pernah menyaksikan sendiri kasus perbedaan pembacaan al-Qur`an. Pada masa kekhalifahan Utsman, seorang pengajar al-Qur`an mengajrakan bacaan al-Qur`an versi tertentu dan pengajar lain mengajarkannya dengan versi bacaan lain. Ketika para pelajar bertemu mereka berbeda bacaan dan melaporkan perbedaan itu kepada masing-masing pengajar mereka. Kemudian terjadilah saling mengkafirkan di antara mereka. Berita ini sampai ke telinga Utsman[37]. Jadi ketika Hudzaifah datang melaporkan kasus perbedaan bacaan al-Qur`an, Utsman semakin yakin dengan kasus yang pernah didengarnya.

Sejatinya perbedaan pembacaan al-Qur`an pernah dialami Umar dan Hisyam bin Hakim bin Hizam seperti dikemukakan di atas. Dalam kasus Umar dan Hisyam, perbedaan diselesaikan dengan mengadukannya kepada Nabi Ṣalla Allah Alayhi wa sallam. Ketika itu Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam membenarkan kedua versi bacaan, dan Ia bersabda bahwa al-Qur`an diturunkan atas “tujuh huruf”. Menurut al-Suyūṭī kebebasan mengucapkan al-Qur`an dengan berbagai dialek adalah dispensasi pada masa awal pewahyuan, untuk memudahkan pembacaan al-Qur`an bagi bangsa Arab dengan beragam dialek. Utsman berpendapat bahwa disepensasi sudah berakhir, dan karenanya diperlukan penyatuan bacaan al-Qur`an untuk menghindari perpecahan dan saling mengkafirkan antar umat Islam[38]. Karena itulah Utsman menyetujui usulan Hudzaifah.

Kodifikasi Utsman didukung sahabat lain. Ibnu Abi Daud menceritakan, bahwa Ali berkata,

Janganlah kalian ekstrem (menilai buruk) terhadap Utsman, dan janganlah membicarakan Utsman terkait mushaf kecuali kebaikan. Demi Allah ia tidak melakukan apa yang ia lakukan kecuali di hadapan banyak orang. Utsman Berkata, “apa pendapat kalian tentang pembacaan ini (perbedaan bacaan al-Qur`an)? Telah sampai kepadaku bahwa sebagian di antara kalian berkata, ‘bacaanku lebih baik dari bacaanmu”. Ini sudah mendekati kekufuran”. Kami bertanya, “lalu apa pendapatmu?”. Ia menjawab, “aku berpendapat agar orang-orang dipersepakatkan dalam satu mushaf, hingga tidak ada lagi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab, “itulah sebaik-baik pendapat”… Demi Allah seandaianya aku yang menjadi pemimpin akupun akan melakukan hal sama dengan yang dilakukannya.[39]

Dengan demikian kodifikasi al-Qur`an yang digagas Utsman telah disampaikan dan disetujui oleh banyak sahabat.

Dari penjelasan di atas, kodifikasi kedua pada masa pemerintahan Utsman dapat dijelaskan secara kronologis sebagai berikut. Hudzaifah menyaksikan fenomena perbedaan bacaan al-Qur`an antar umat Islam di Iraq. Fenomena yang sama juga disaksikan antar umat Islam di Syam dan Iraq. Hal ini menimbulkan keprihatinan dan kekhawatiran Hudzaifah akan terjadinya perbedaan al-Qur`an seperti perbedaan kitab suci yang menimpa umat Yahudi dan Nasrani. Hudzaifah pun melaporkan kejadian ini kepada Utsman selaku khalifah, dan mengusulkan agar dilakukan penyatuan mushaf. Utsman sendiri juga menyaksikan fenomena yang sama. Ia pun menyetujui usulan Hudzaifah. Sebelum rencana ini dilaksanakan, Utsman menyampaikan gagasan penyatuan al-Qur`an kepada para sahabat. Merekapun sepakat dengan penyatuan al-Qur`an yang digagas Utsman.

Untuk menindaklanjuti gagasan tersebut, Utsman meminjam Mushaf yang pernah disusun pada masa Abu Bakar dari Hafshah. Kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa’ad bin al-‘Āṣ dan Abdurrahman bin al-Hārith untuk menyalin Mushaf Abu Bakar ke dalam beberapa mushaf. Dari keempat orang yang menerima mandat dari Utsman, tiga di antaranya berasal dari suku Quraisy, yaitu selain Zaid bin Tsabit. Utsman berpesan kepada tiga orang yang berasal dari suku Quraisy, “jika kalian berbeda dengan Zaid bin Tsabit tentang (penulisan) al-Qur`an, maka tulislah dengan dialek (lisān) Quraisy. Sebab al-Qur`an diturunkan dengan dialek mereka”[40].

Penjelasan di atas mengimplikasikan dua hal. Pertama, mushaf yang ditulis Uthman tidak sama persis dengan mushaf Abu Bakar. Sebab, jika kodifikasi kedua pada masa Uthman hanya sekedar menyalin dari mushaf Abu Bakar, tentu tidak akan ada perbedaan penulisan. Fakta ini dikuatkan dengan komentar Ibnu Syihab al-Zuhri, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi Daud bahwa pada saat itu terjadi perbedaan antara kelompok Qurays dengan Zaid bin Tsbait tentang penulisan al-tabūt[41]. Kelompok Qurays berpendapat, ditulis al-tabūt sedangkan Zaid berpendapat, ditulis al-tabūh. Lalu disampaikanlah perbedaan itu kepada Utsman. Utsman pun memerintahkan agar ditulis al-tabūt seperti dialek Qurays. Masih menurut riwayat Ibnu Abi Daud bahwa Zaid bin Tsabit merasa yakin pernah mendengar al-Aḥzāb ayat 23 dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam tetapi belum tercatat di dalam mushaf. Lalu ia menemukannya pada Abu Khuzaimah. Kedua hal ini memperkuat fakta bahwa Mushaf Utsman tidak sama persis dengan mushaf Abu Bakar. Sebab, jika mushaf yang ditulis pada Utsman hanya menyalin apa adanya dari mushaf Abu Bakar, tentu Zaid bin Tsabit tidak perlu merasa ada yang belum tercatat dalam mushaf uthman yang kemudian ditemukan pada Abu Khuzaimah. Kedua, bahwa mushaf Utsmani ditulis dengan menggunakan dialek Qurays.

Dengan demikian kodifikasi kedua yang bertujuan menyatukan bacaan al-Qur`an bukan sekedar menyalin mushaf Abu Bakar sesuai aslinya, tetapi menjadikan mushaf Abu Bakar sebagai acuan utama dan melengkapinya dengan ayat-ayat yang belum tercatat dalam mushaf Abu Bakar. Di samping itu mushaf Utsmani ditulis dengan menggunakan dialek Qurays.

E. Mushaf Pasca Kodifikasi

Seusai kodifikasi, Utsman mengirimkan mushaf-mushaf tersebut ke daerah-daerah kekuasaan Islam dan memerintahkan agar mushaf selain versi Utsman dimusnahkan[42]. Termasuk yang dimusnahkan adalah mushaf Abu Bakar yang dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan bin Hakam. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa Marwan meminta Hafsah untuk memberikan Mushaf Abu Bakar yang disimpannya. Tetapi Hafsah menolaknya. Setelah Hafsah Wafat, Mushaf Abu Bakar jatuh ke tangan Ibnu Umar. Marwan pun kembali mengirimkan permintaan itu kepada Ibnu Umar. Disetujuilah permintaan itu. Setelah mushaf tersebut sampai ke tangan Marwan, ia memerintahkan agar mushaf tersebut dimusnahkan[43].

Perintah pemusnahan bukan tanpa perlawanan. Ibnu Mas’ud misalnya, menolak perintah pemusnahan dan menganjurkan murid-muridnya untuk menyembunyikan mushaf masing-masing agar selamat dari pemusnahan. Ibnu Abi Daud menceritakan bahwa ketika diperintahkan untuk memusnahkan mushaf selain Utsmani, Ibnu Mas’ud merasa tidak suka. Ia katakan kepada murid-muridnya, “siapa di antara kalian yang bisa mengorupsi (yaghlul) mushaf, korupsilah. Sebab, seseorang akan datang di hari kiamat dengan membawa apa yang dikorupsinya. Aku telah membaca al-Qur`an dari lisan Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam 70 surah dan Zaid waktu itu masih kecil. Haruskah aku meninggalkan apa yang aku ambil dari Rsulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam?”.[44] Dari penjelasan di atas tampak bahwa Ibnu Mas’ud enggan memusnahkan mushafnya untuk kemudian beralih ke mushaf Uthmani sebagai satu-satunya pegangan umat Islam. Sebab ia meyakini bahwa mushaf yang ia pegang benar-benar otentik dari Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam, dan karenanya tidak ada alasan untuk tidak berpegang pada mushaf tersebut.

Jadi, perintah pemusnahan tidak benar-benar langsung memusnahkan seluruh mushaf non Utsmani. Bahkan tercatat terdapat beberapa mushaf non utsmani yang masih dibaca dan dipedomani hingga masa tabi’in. Ibnu Abi Daud melaporkan bahwa Abdurrahman bin al-Aswad (W. 99 H.) membaca:

صِرَاطَ مَنْ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَغَيْرِ الضَّالِّينَ

tidak seperti dalam mushaf Utsmani:

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Ketika Abān bin Imrān menanyakan hal tersebut, Abdurrahman menjawab, “Ayahku menceritakan kepadaku bahwa ia shalat di belakang Umar dan mendengarnya membaca ayat itu” [45]. Ibnu Abi Daud juga melaporkan adanya beberapa versi bacaan di kalangan tabi’in yang tidak sama dengan versi bacaan mushaf Utsmani.

Sulaiman al-A’mash (w. 148 H.), memedomani versi bacaan Ibnu Mas’ud melalui jalur transmisi Yahya bin Waththāb dari Ubaid bin Nuḍaylah dari ‘Alqamah dari Ibnu Mas’ud. Setiap bulan Sya’ban ia membacakan al-Qur`an kepada orang-orang dan di antara mereka ada pula yang membawa mushafnya untuk dikoreksi[46]. Namun demikian hanya ada tiga nama yang tercatat memiliki jalur periwayatan mushaf Ibnu Mas’ud melalui al-A’mash, yaitu: Thalhah bin Muṣarrif, Abān bin Taghlib dan Abu Ubaidah bin Ma’n[47]. Bahkan melalui al-A’mash, versi bacaan Ibnu Mas’ud masih dikenal di Kufah hingga masa Abu Hanifah[48].

Namun demikian patut diyakini bahwa sejak dikeluarkannya perintah pemusnahan, peredaran mushaf Non Utsmani terus menyusut, hingga menjadi barang langka dan akhirnya benar-benar lenyap dari peredaran. Pertanyaan Abān bin Imran kepada Abdurrahman bin Al-Aswad tentang versi bacaan Umar seperti dikemukakan di atas mengindikasikan rasa heran Abdurrahman terhadap pembacaan mushaf non Uthmani. Bahkan dalam diskursus ushul fikih yang terekam sejak masa Abu Hanifah (w. 150 H.) versi bacaan al-Qur`an non mushaf Utsmani disebut sebagai versi bacaan yang menyimpang (shādhdhah). Oleh karena itu, meskipun al-A’mash sukses mentranmisikan versi bacaan Ibnu Mas’ud, tetapi tidak cukup kuat untuk menahan arus besar mushaf Utsmani. Tiga di antara tujuh penyebar mushaf Utsmani (qirā`ah sab’ah) yang semasa dengan al-A’mash mengajarkan mushaf Utsmani di Kufah. Mereka adalah ‘Āṣim (w.127 H.), Abu ‘Amr (w. 154 H.) dan Hamzah (w. 156 H.) yang juga murid Sulaiman al-A’mash. Dengan kata lain, meskipun versi bacaan Ibnu Mas’ud masih eksis di Kufah pada abad 2 H., tetapi terhitung minoritas jika dibanding pendukung mushaf Utsmani.

Pada perkembangan selanjutnya mushaf non Utsmani sudah menjadi barang terlarang. Dalam diskursus fikih, versi bacaan non Utsmani tidak diperbolehkan dibaca dalam salat ataupun dibaca sebagai al-Qur`an. Al-Nawawi berkata, “tidak diperbolehkan membaca al-Qur`an dengan versi bacaan menyimpang (shādhdhah), baik di dalam atau di luar salat. Sebab versi bacaan menyimpang bukanlah al-Qur`an… Ibnu Abd al-Barr mengatakan bahwa ulama sepakat, tidak diperbolehkan membaca versi bacaan menyimpang dan tidak diperbolehkan pula berma`mum kepada orang yang membaca al-Qur`an versi menyimpang”[49]. Otoritas fikih inilah yang kemudian menyeret Ibnu Shanabūdh, seorang ulama yang ahli di bidang bacaan al-Qur`an, ke pengadilan pada tahun 323 H. Seluruh ulama yang dihadirkan di depan hakim, termasuk Ibnu Mujahid, sepakat menuntut pertobatan Ibnu Shanabūdh, karena telah membaca al-Qur`an versi non Uthmani di dalam salat[50]. Sangat mungkin kisah Ibnu Shanabūdh adalah akhir dari peredaran mushaf non Uthmani.

Versi bacaan al-Qur`an non Utsmani memang telah lenyap. Hal itu sama sekali bukan berarti al-Qur`an yang ada di tangan umat Islam sekarang ini tidak lengkap atau ada yang terkurangi. Al-Ṭabarī menjelaskan, lenyapnya versi non Uthmani bukan karena dihapus bacaannya oleh Allah (mansūkh al-tilāwah) ataupun disia-siakan oleh umat Islam. Memelihara al-Qur`an adalah kewajiban. Di dalam memelihara al-Qur`an umat Islam diberikan pilihan untuk berpegang kepada salah satu di antara 7 versi bacaan (sab’at aḥruf), sebagaimana orang yang melanggar sumpah diberikan pilihan untuk menebusnya dengan menjalankan salah satu dari tiga hal. Bukanlah hal yang salah seandainya seluruh umat Islam sepakat hanya menjalankan salah satu di antara tiga model tebusan, sepanjang tidak melarang model tebusan lain. Demikian halnya dengan 7 versi bacaan al-Qur`an. Ia adalah pilihan dan bukan kewajiban. Sepanjang umat Islam telah memedomani salah satu dari 7 versi dan tanpa menginkgari versi lain sebagai al-Qur`an yang pernah diajarkan Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam kepada para sahabat, maka umat Islam telah menjalankan kewajiban untuk memelihara al-Qur’an[51]. .

F. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal berikut:

  1. Kodifikasi al-Qur`an terjadi dua kali, yaitu yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Uthman.
  2. Kodifikasi pada masa Uthman bertujuan menyatukan bacaan al-Qur`an di kalangan umat Islam. Ia tidak sekedar menyalin apa yang ada pada Mushaf Abu Bakar, melainkan melengkapinya dengan ayat-ayat yang tidak terdapat pada Mushaf Abu Bakar. Hal ini mengindikasikan bahwa Mushaf Abu Bakar berbeda dari Mushaf Uthmani
  3. Hilangnya Mushaf non Uthmani merupakan dampak kebijakan politik Uthman bin Affan. Namun demikian mushaf non Uthmani tidak hilang seketika. Setidaknya hingga abad keempat mushaf non Uthmani masih dipedomani sebagian kecil umat Islam
  4. Hilangnya mushaf non Uthmani tidak mengurangi sedikitpun otentisitas al-Qur`an yang sekarang berada di tangan umat Islam. Mushaf yang ada sekarang sama persis dengan yang diwahyukan Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā kepada Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam melalui malaikat Jibril ‘Alayhi al-Sallam dengan mengacu salah satu atau lebih dari 7 versi bacaan yang dibenarkan Rasulullah Ṣalla Allah Alayhi wa sallam.©2016

Daftar Pustaka

‘Asqalāni (al), Ahmad bin Ali bin Hajar, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1379 H

Bayhaqī (al), Ahmad bin al-Husain Abu Bakar, Dalāil al-Nubuwwah, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988

Bukhārī (al), Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Beirut: Dār Tawq al-Najāh, 1422 H.

Daylamy (al) Akram Abd, Jam’u al-Qur’ān, Dirāsat Taḥlīliyyah li Marwiyyātihi, Beirut: dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006

Ḥākim (al), Muhammad bin Abdillah al-Naysābūrī, al-Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥayn, Beirut: Dār a;-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990

Hanbal, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin, Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, Beirut: al-Risālah, 2001.

Ḥātim, Abdurrahman bin Muhammad al-Rāzī Ibnu Abi, Tafsīr Ibnu Abī Ḥātim, Riyad: Maktabah Nizar Mustafa al-Bāz, 1419 H

‘Ijlī (al), Abu al-Hasan Ahmad bin Abdillah, Tārīkh al-Thiqāt, Madinah: Matabah al-Dār, 1985

Kathīr, Abu al-Fidā` Ismā’īl Ibnu, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Riyadl: Dār Ṭayyibah, 1999

Khallikan, Syamsuddin Ibnu, Wafayāt al-A’yān wa Anbā` Abnā` al-Zamān, Beirut: Dār Ṣādir, 1971

Mansur, Abu Utsman Said bin, al-Tafsīr min sunan Sa’īd bin Manṣūr, Riyad: Dār al-Ṣumay’ī, 1997

Māwardī (al), Ali bin Muhammad, al-Nukat wa al-‘Uyūn, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth

Nasāī (al), Ahmad bin Syuaib, Sunan al-Kubrā, Beirut: al-Risālah, 2001

Nawāwī (al), Muyiddin Yahya bin Sharaf, al-Majmū’ Sharḥ al-Muhadhdhab, Beirut: Dār al-Fikr, tth

Naysābūrī (al), Muslim bin Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Beirut: Dār Iḥyā` al-Turāth al-Arabī, tth.

Rāzī (al), Muhammad bin Umar Fakhruddin, Mafātīḥ al-Ghayb, Beirut: Dār Iḥyā` al-Turāth al-‘Arabī, 1420 H

Sa’d, Abu Abdillah Ibnu, al-Ṭabaqāt al-Kubrā, Beirut: Dār Ṣādir, 1968

Sharakhsī (al), Ibnu Abi Sahl, al-Mabsūṭ, Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1993

Sijistāny (al), Ibnu Abi Daud, al-Maṣāhif, Cairo: al-Fārūq al-Ḥadīthah, 2002

Suyūṭī (al), Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, al-Ashbāh wa al-Naẓāir, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990

Ṭabarānī (al), Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu al-Qāsim, Mu’jam al-Kabīr, Cairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, tth.

Ṭabarī (al), Muhammad Ibnu Jarir, Jāmi’ al-Bayān fi Ta`wīl al-Qur`an, Beirut: al-Risālah, 2000

Tirmidhī (al), Muhammad bin Isa,  Sunan al-Tirmidhī, Cairo: Musthafa al-bābī al-Ḥalabī, 1975

————–

[1]Abu al-Fidā` Ismā’īl Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, (Riyadl: dār Ṭayyibah, 1999), 1:501. Ibnu Kathīr menyebutkan bahwa cerita Atiyyah diriwayatkan Ibnu Abi Hatim. Lihat, Abdurrahman bin Muhammad al-Rāzī Ibnu Abi Hatim, Tafsīr Ibnu Abī Ḥātim, (Riyad: Maktabah Nizar Mustafa al-Bāz, 1419 H). 1:310

[2] Ibid., 8:441.

[3]Muhammad bin Umar Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, (Beirut: Dār Iḥyā` al-Turāth al-‘Arabī, 1420 H), 5:253.

[4]Ali bin Muhammad al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), 6:311.

[5]Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalāni, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1379 H)., 9:4. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa al-Nasā`ī, Abu Ubaid dan al-Ḥākim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “al-Qur`an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadar, kemudian diturunkan (secara bertahap) selama dua puluh tahun. Lalu Ibnu Abbas membaca surat al-Isrā` ayat 106”. Di samping ketiga jalur periwayatan di atas, terdapat jalur periwayatan al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah, meskipun dengan redaksi yang sedikit berbeda. Lihat, Ahmad bin Syuaib  al-Nasāī, Sunan al-Kubrā (Beirut: al-Risālah, 2001), 10:205; al-Hakim Muhammad bin Abdillah al-Naysābūrī, al-Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥayn, (Beirut: Dār a;-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990. 2:399; Ahmad bin al-Husain Abu Bakar al-Bayhaqī, Dalāil al-Nubuwwah, ( Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 7:131.

[6]Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyūṭy, al-Itqān fi ulūm al-Qur`ān, 1:147. Di samping menunjuk jalur periwayatan yang disebutkan Ibnu Hajar, al-Suyūṭī menambahkan jalur periwayatan al-Thabarani dengan redaksi hadis yang sedikit berbeda. Lihat, Sulaiman bin Ahmad abu al-Qasim al-Ṭabarānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Cairo: Maktabah Ibnu Taymiyah, tth), 11:438.

[7]Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, (Beirut: Dār Tawq al-Najāt, 1422 H.), 6:175

[8]Ibid., 6:187.

[9]Ibid., 6:186.

[10]Muslim bin Hajjaj al-Naysābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, (Beirut: Dār Iḥyā` al-Turāth al-Arabī, tth), 1:563.

[11]Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, 6:186.

[12]Ibid., 6:194.

[13]Muslim bin Hajjaj al-Naysābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, 2:595.

[14]Ibid., 2:597.

[15]Ibid., 2:598.

[16]Ibid., 2:599.

[17]Ibid., 1:536.

[18]Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, 6:195.

[19]Ibid., 6:192.

[20]Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, (Beirut: al-Risālah, 2001), 37:426.

[21]Muslim bin Hajjaj al-Naysābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, 2:595.

[22]Ibid., 1:465. Lihat pula Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, 1:140.

[23]Lihat, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyūṭy, al-Itqān fi ulūm al-Qur`ān, 1:249. Lihat pula Akram Abd al-Daylamy, Jam’u al-Qur’ān, 28.

[24]Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, 4:73.

[25]Ibid, 6:71, 5:102.

[26]Ibid, 3:184.

[27]Ibid, 6:71.

[28]Muhammad bin Isa al-Tirmidhī, Sunan al-Tirmidhī, (Cairo: Mustafa al-Bābī al-Ḥalabi, 1975), 5:734.

[29]Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, 6:71.

[30]Ibnu Abi Daud al-Sijistāny, al-Maṣāhif, (Cairo: al-Fārūq al-Ḥadīthah, 2002), 51. Hadis ini diceritakan Ibnu Abi Daud dari jalur Hisyam dari Urwah dari Abu Bakar. Seperti diketahui Urwah tidak pernah bertemu Abu Bakar, karena itu hadis ini terputus sanadnya. Berdasarkan hal ini  sebagian ulama berpendapat bahwa yang mendapat mandat dari Abu Bakar hanya Zaid bin Tsbait. Tetapi berdasarkan penuturan Ibnu Abi daud dari jalur yang tidak terputus, Umar turut terlibat dalam proses penghimpunan. Dialah yang mengumumkan program penghimpunan al-Qur`an dan menetapkan metode dua saksi begi setiap klaim ke-Qur`an-an. Oleh karena itu, kalaupun Umar tidak mendapat mandat langsung untuk menangani penghimpunan al-Qur`an, setidaknya ia terlibat atas sepengetahuan Abu Bakar.

[31]Ibid., 62.

[32]Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, 6:71.

[33]Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalāni, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1379 H), 9:15.

[34]Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, 6:183.

[35]Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalāni, Fatḥ al-Bārī, 9:18.

[36]Ibid.

[37]Ibid.

[38]Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyūṭy, al-Itqān fi ulūm al-Qur`ān, 1:210.

[39]Ibnu Abi Daud al-Sijistāny, al-Maṣāhif, 96.

[40]Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, 6:183.

[41]Kata al-tabūt terdapat pada al-Baqarah: 248 dan Tāhā: 39.

[42]Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, 6:183.

[43]Ibnu Abi Daud al-Sijistāny, al-Maṣāhif, 102.

[44]Ibid., 75. Lihat pula, Muslim bin Hajjaj al-Naysābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, 4:1912. Ibnu Abi Daud membuat satu bab yang berjudul “kesetujuan Ibnu Mas’ud terhadap kodifikasi Utsman” (Bāb Riḍā` Abdillah Ibn Mas’ūd li Jam` Utsman) dan diletakkan persis setelah bab yang membicarakan ketidaksetujuan Ibnu Mas’ud. Lihat,  Ibnu Abi Daud al-Sijistāny, al-Maṣāhif, 82. Dalam bab itu hanya ada satu hadis, dan menurut Ibnu Hajar tidak sesuai judul bab. Lihat, Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalāni, Fatḥ al-Bārī, 9:49.

[45]Ibid., 159. Kedua bacaan umar yang berbeda dari mushaf Utsmani juga dilaporkan Said bin Mansur melalui jalur isnād yang berbeda. Lihat, Abu Utsman Said bin Manusr, al-Tafsīr min sunan Sa’īd bin Manṣūr, (Riyad: Dār al-Ṣumay’ī, 1997), 2: 533,534).

[46]Abu Abdillah Ibnu Sa’d, al-Ṭabaqāt al-Kubrā, (Beirut: Dār Ṣādir, 1968), 6:342.

[47]Abu al-Hasan Ahmad bin Abdillah al-‘Ijlī, Tārīkh al-Thiqāt, (Madinah: Matabah al-Dār, 1985), 480.

[48]Ibnu Abi Sahl al-Sharakhsī, al-Mabsūṭ, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1993), 3:75.

[49]Muyiddin Yahya bin Sharaf al-Nawāwī, al-Majmū’ Sharḥ al-Muhadhdhab, (Beirut: Dār al-Fikr, tth), 3:392.

[50]Syamsuddin Ibnu Khallikan, wafayāt al-A’yān wa Anbā` Abnā` al-Zamān, (Beirut: Dār Ṣādir, 1971), 4:299.

[51]Muhammad Ibnu Jarir al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fi Ta`wīl al-Qur`an, (Beirut: al-Risālah, 2000), 1:59