Pandu dibawa ke kahiyangan oleh batara guru

Sunu WasonoLENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (60)

“Yamawidura terkejut. Tak dinyana bahwa ada musuh di dalam selimut. Baru ia mau bicara kepada Sengkuni, Gandamana yang marahnya tak bertepi itu telah menggelandang Sengkuni ke alun-alun. Ditumpahkanlah amarahnya ke Sengkuni. Setelah dijotos dan ditendang berkali-kali, Sengkuni dibanting. Kedua tangannya ditelikung. Jari-jarinya dibetot. Pokoknya tubuh Sengkuni yang semula tampan jadi hancur lebur. Untung segera datang Yamawidura yang melerai. Jika tidak, kukira Sengkuni pada waktu itu sudah pindah alam, besar kemungkinan ia sudah berada di kerak neraka jahanam.” Destarata berhenti sejenak. Ia tampak geram. Sebaliknya, Sengkuni menggigil. Ia menutup kedua telinganya agar tak mendengar apa pun. Peluhnya mengucur di sekujur tubuh.
“Sengkuni, kenapa kamu menggigil,” tanya Destarata.
“Haaaaa, Paman Sengkuni jahat. Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Kalau aku jadi Paman Gandamana, Sengkuni sudah kuhabisi,” kata Bima.
“Bima, anakku, tetaplah menjaga adab kesopanan. Tak baik kamu bilang begitu. Barangkali semua itu sudah menjadi kehendak dewata,” ujar Kunthi.
“Kalau begitu, di mana letak keadilan, Bunda? Sudah selayaknya Paman Sengkuni mendapat hukuman setimpal,” Pamadi ikut berkomentar.
“Batobat. Kenapa Sengkuni, adikku yang kusayang, sekarang masih dihukum juga. Ini tidak adil,” kata Gendari.
“Betul Ibu. Ini pembunuhan karakter,” Jaka Pitana ikut angkat bicara.
“Sudah. Sudah. Ini realita. Tak seorang pun berhak dan bisa menutupinya. Sengkuni harus berani menanggung akibat perbuatannya. Berani berbuat berani bertanggung jawab,” tegas Destarata.
“Jangan ribut. Aku lanjutkan. Apa yang kusampaikan ini hendaknya jadi pelajaran bagi siapa pun. Kalau aku menyampaikan realita yang sesungguhnya, jangan diartikan aku ingin menelanjangi martabat seseorang. Aku tidak melakukan….apa tadi, pembunuhan…apa tadi?”
“Pembunuhan karakter,” sambung Puntadewa.
“Iya. Terima kasih Puntadewa. Jadi, aku tak melakukan pembunuhan karakter. Aku hanya membeberkan realita. Bahwa ada yang ‘tersengat”, jelas itu soal lain. Jadi, cerita selanjutnya begini,” ujar Destarata.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (61)

“Apa yang terjadi setelah tubuh Sengkuni dipermak Gandamana? Tampaknya niat Sengkuni untuk menyingkirkan Gandamana sudah bulat. Dari alun-alun ia jalan merangkak menuju istana. Entahlah apa memang ia tak sanggup berdiri dan berjalan seperti biasa atau apa yang dilakukannya itu hanya akting belaka agar mendapat perhatian Pandu. Di hadapan Pandu ia meratap dan minta keadilan. Tanpa pikir panjang, Pandu langsung memecat Gandamana dan mengangkat Sengkuni sebagai patih Hastina menggantikan Gandamana.

Aneh bin ajaib, setelah Pandu menyampaikan keputusannya, Sengkuni seketika bisa berdiri. Tercapailah hasrat dan cita-citanya menjadi patih kerajaan Hastina. Pandu tak hanya memecat Gandamana. Ia mengusir Gandamana dari Hastina. Pulanglah Gandamana ke Pancalaradya. Di sana ia menjadi tetunggul kerajaan Pancalaradya yang dipimpin oleh Prabu Drupada, kakak ipar Gandamana. Begitulah kira-kira cerita tentang Pandu, ujar Destarata.

“Hemmmmm, Siwa Adipati, apakah ceritanya sudah berakhir. Apa hubungannya dengan dipanggilnya anak-anak Ibu Kunthi ke hadapanmu. Untuk apa aku dipanggil. Apakah aku hanya disuruh mendengarkan dongenganmu,” tanya Bima.
“Sabar, Bima. Aku belum selesai bercerita. Nanti kamu, kakakmu, dan adik-adikmu akan tahu kenapa kupanggil.”
Mendengar jawaban Destarata, Pamadi dan Puntadewa tak jadi bertanya. Kunthi, Yamawidura, dan yang lainnya tetap tenang dan menunggu cerita Destarata berikutnya.
“Apakah aku sudah bisa melanjutkan cerita?” tanya Destarata entah kepada siapa. Karena tak ada yang merespon, Gendari mengambil inisiatif untuk menjawab. “Silakan, Sinuhun. Kalau boleh memberi saran, mohon disampaikan intinya saja.”
“Kalau langsung ke intinya, ceritanya tidak utuh. Biarlah kuceritakan selengkapnya. Mumpung sebagian saksi dan pelaku hidupnya ada di sini.”

Destarata panjang lebar bercerita tentang keadaan Hastina setelah Gandamana pulang ke Pancalaradya. Hubungan kerajaan Hastina dengan kerajaan Pringgadani memburuk. Pringgadani terang-terangan membakang. Rajanya, Prabu Trembuku, mengumumkan perang. Tak ada jalan perundingan. Semua diselesaikan dengan perang. Puncaknya ketika Prabu Trembuku bertemu dengan Pandu di medan laga. Keduanya sama kuat dan sama saktinya. Namun, Pandu ingin segera menyelesaikan pertempuran. Dilepaskanlah jemparing ke arah dada Trembuku. Anak panah melesat dan tepat mengenai dada Prabu Trembuku. Seketika itu juga Prabu Trembuku rubuh. Pandu segera menghampirinya. Diinjaklah dada Trembuku. Pada saat yang sama, Trembuku yang sekarat berhasil menghunus keris kalanadah. Dengan sisa tenaga yang ada dihunjamkan keris itu ke pinggang Pandu. Rubuhlah Pandu. Prajurit segera menandunya. Pandu dibawa ke istana.”

Destarata menarik napas dalam-dalam. “O, Pandu, tak kusangka racun yang menjalar ke sekujur tubuhmu tak bisa ditangkal dengan obat apa pun. Tak ada tabib yang sanggup mengobatimu. Oh, Pandu. Pandu. Sedih sekali kalau aku teringat pada proses kematianmu.”
“Kakang Adipati,” tegur Kunthi. “Mohon jangan terlalu larut dalam kesedihan. Semua yang terjadi di arcapada ini tak lepas dari kehendak dewata. Kita hanya titah yang harus menjalani hidup ini sebagaimana adanya. Mari kita terima kematian Pandu dengan ikhlas.”
“Kunthi, engkau memang perempuan mulia, seorang istri dan ibu yang tabah,” ujar Destarata.
“Hemmmm, kuharap Wa Adipati segera menyelesaikan ceritanya. Aku ingin tahu apa hubungannya dengan pertemuan ini,” desak Bima.
“Sabar, Bima,” tegur Kunthi pada Bima.
“Kulanjutkan ceritanya, tapi kuminta kalian semua menyimak. Bagian ini adalah bagian terpenting dari keseluruhan cerita yang kubeberkan,” seru Destarata.

Sesuai dengan perintah Destarata, semua yang hadir siap menyimak lanjutan ceritanya.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (62)

“Sebelum Pandu meninggal, aku sempat bertemu empat mata dengannya. Aku menjenguknya sendiri di tempat pembaringan. Gendari dan abdi dalem dimintanya menyingkir. Pandu menyampaikan pesan kepadaku. Hanya dua pesannya. Tapi sebelum pesan itu kuceritakan kepada yang hadir di sini, tolong diceritakan dulu apa yang terjadi setelah aku tinggalkan Pandu. Aku ingin mendengar langsung dari Kunthi, Puntadewa, Bima, atau Arjuna agar cerita ini lengkap. Harap kalian tahu setelah Pandu menyampaikan pesannya kepadaku, kalau tak salah, datang utusan yang menyampaikan kabar tentang Madrim. Aku baru akan membeberkan pesan Pandu di sini setelah mendengar cerita dari kalian tentang Pandu sepeninggal aku dari pembaringannya,” ujar Destarata.
“Bima,” tegur Kunthi. “Ceritakan, Nak. Singkat saja. Wa Adipati dan semua yang hadir di sini ingin mendengarkan,” lanjut Kunthi.
“Waaaaa, aku tak pandai bercerita. Ibu Kunthi atau Kakang Pambarep saja yang bercerita,” jawab Bima.
“Bagaimana, anakku Puntadewa. Apakah kamu bisa bercerita?”
“Mungkin Dimas Pamadi lebih tepat,” jawab Puntadewa.
Tanpa ditanya lebih dulu, Pamadi langsung bicara, “Kakangmas Bima saja.”
“Waaaaa. Ya sudah. Kuceritakan. Tolong semua mendengarkan.”
Semua sepakat. Semua yang hadir, termasuk Sengkuni yang dari tadi kipas-kipas karena merasa kepanasan, ikut menyimak.

Bima pun mulai bercerita. “Sepeninggal Wa Adipati, datang utusan yang mengabarkan bahwa Ibu Madrim melahirkan. Ia melahirkan kembar. Dua-duanya laki-laki. Si kembar selamat, tapi ibunya mengalami pendarahan. Ada yang aneh dari kelahiran si kembar. Setelah melahirkan kembar, jasad Ibu Madrim raib.” Bima berhenti sejenak.
“Lalu apa yang terjadi kemudian, Bima?” tanya Destarata tak sabar.
“Waaaaa. Mendengar kabar itu, Bapak Pandu tidak kaget. Dia hanya mengatakan bahwa Ibu Madrim dan Bapak Pandu sudah tiba saatnya pergi. Tak lama kemudian, datang Batara Yamadipati. Dia bilang bahwa Pandu kini tak bisa lagi semaya, tak bisa lagi minta ditunda kematiannya. Kata Yamadipati, penundaan hanya bisa dilakukam sekali, yaitu sewaktu Madrim belum melahirkan. Kini Madrim sudah melahirkan. Tiba saatnya bagi Pandu dan Madrim menuju neraka jahanam. Setelah Bapak Pandu memberi nama si kembar, ia dicabut nyawanya. Bapak Pandu dan Ibu Madrim dibawa Yamadipati. Bukan hanya nyawanya, jasadnya pun dibawa dan diceburkan ke neraka jahanam.”
“O, Pandu, Pandu. Malang benar nasibmu. O, Pandu,” ratap Destarata. “Semua gara-gara sumpahmu sendiri. Kenapa kamu bisa lupa diri, Pandu. O, Madrim, kenapa permintaanmu dulu aneh-aneh. Andaikata kamu tidak ingin naik Lembu Andini, Pandu dan kamu masih bisa menyaksikan anak-anakmu tumbuh dewasa. O, Pandu.” Destarata terisak
“Kakang Adipati, mohon jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kita ikhlaskan yang sudah pergi,” ujar Kunthi. Sehabis mengingatkan Destarata, Kunthi tak kuasa menahan perasaan sedihnya. Matanya berkaca-kaca. Menetes juga air matanya. Wajah-wajah yang hadir terlihat sedih, kecuali Sengkuni.
“Haaaa. Masih ada lanjutannya. Aku masih ingin menyampaikan cerita lanjutannya. Kalau sudah pada berhenti menangis, aku ingin melanjutkan,” ujar Bima.
“O, belum selesai?” Tanya Destarata. “Lanjutkan, Bima. Aku ingin mendengarkan.”

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (63)

Bima mulai melanjutkan cerita. “Sebelum Yamadipati membawa jasad Bapak Pandu dan Ibu Madrim, aku minta Yamadipati mempertimbangkan keputusannya. Tapi dia bersikukuh pada keputusannya. Aku malah diceramahi panjang lebar tentang hakikat hidup dan mati. Kubilang bahwa aku tak butuh ceramah Yamadipati. Butuhku cuma satu: Bapak Pandu dan Ibu Madrim diberi panjang umur. Yamadipati tak menggubris. Lalu ia rebut dengan kasar jasad Bapak Pandu yang kudekap. Sungguh kurang ajar dewa yang satu itu. Aku tak bisa menerima tindakannya. Kebijakan dewa yang tak bijak itu harus dihentikan. Apa yang dilakukan Yamadipati mencerminkan keserakahan dewa. Sudah mendapat nyawa, masih menginginkan jasadnya. Untuk apa jasad mereka ambil. Mestinya mereka ambil nyawanya saja. Biarlah jasadnya dikubur dan dirawat keluarganya untuk pengingat, untuk tanda bahwa mereka pernah ada.”
“Benar. Setuju. Kamu benar, Bima. Teruskan ceritamu, Bima,” ujar Destarata.
“Akhirnya, jasad Bapak Pandu dan Ibu Madrim dibawa Yamadipati ke kahyangan. Aku tetap tak bisa menerima. Kukejar Yamadipati sampai di kahyangan. Di kahyangan aku dikeroyok para dewa. Mereka beraninya keroyokan. Semua pengecut. Ketika Bapak Pandu dan Ibu Madrim dilemparkan ke neraka, aku ikut mencebur. Ternyata Pambarep dan Pamadi ikut mencebur ke neraka.”
“Bukan main. Begitu besarnya lelabuhanmu kepada orang tua. Sungguh mulia kamu, Bima. Waktu kau dilalap api neraka, mestinya langsung jadi abu. Tapi kenapa sekarang kamu masih bisa berada di sini dan tak ada tanda-tanda luka bakar,” tanya Destarata.
“Tunggu dulu. Ceritanya masih panjang,” jawab Bima.
Sengkuni yang semula agak acuh tak acuh jadi tertarik. Ia memperbaiki posisi duduknya dan berhenti memainkan kipasnya.
“Lanjutkan. Aku akan mendengarkan sampai selesai,” ujar Destarata.
“Begitu kami mencebur ke neraka, kahyangan geger. Para bidadari di bawah pimpinan Dewi Wilutama rame-rame ikut terjun ke neraka.”
“Weladalah, apa urusannya mereka ikut mencebur ke neraka?” tanya Destarata.
“Tingkah laku dewa memang suka kekanak-kanakan dan absurd. Mereka lakukan itu–kata mereka–sebagai protes.”
“Protes untuk apa karena apa? Destarata makin bingung.
“Sinuhun jangan tanya terus. Didengarkan saja. Biarlah ananda Bima bercerita sampai selesai,” sela Gendari.
“Habis penasaran aku. Serba tak masuk akal. Kalau yang bercerita bukan Bima, aku tak percaya,” tegas Destarata.
“Haaaaa. Apakah aku boleh melanjutkan ceritanya?” tanya Bima.
“Lanjut!” Teriak Sengkuni. Rupanya Sengkuni mulai tertarik.
“Silakan dilanjutkan, Bima” ujar Destarata.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (64)

Bima memandang sekitarnya untuk memastikan bahwa tak ada yang tertidur. Di pojok belakang terlihat Sengkuni sedang telap-telep makan juadah worang sambil sesekali meneguk bandrek. Mulailah Bima bercerita. “Tadi ditanyakan kenapa para bidadari ikut masuk ke neraka. Jawabnya sederhana: karena ada Pamadi di neraka. Mereka berebut mendekati Pamadi. Sementara dari luar terdengar suara para dewa memanggil istri-istri mereka yang memadati neraka. Rupanya mereka mumet setelah ditinggalkan istri. Mereka umumnya sudah terbiasa dilayani. Ketika istrinya tak ada, mereka bingung sendiri. Mau ngopi saja tak tahu letak kopi dan gulanya. Belum lagi berurusan dengan kebutuhan biologis mereka. Rata-rata mereka blingsatan dan sudah ada yang mulai berpikir untuk mengisengi perempuan-perempuan di dunia. Bahkan sudah ada yang ingin mengencani lelembut. Tapi mereka pada dasarnya penakut. Baru mendengar tawa peri dan wewe sudah takut. Mereka pikir perempuan di dunia itu murahan, mudah dirayu. Konon ada yang baru ingin berkenalan sudah kena damprat. Singkat cerita, kehidupan kahyangan goncang.”
“Wah, baru tahu aku kalau kahyangan dapat dibuat goncang manusia. Teruskan, Bima. Ceritamu makin menarik. Bagaimana kehidupan di neraka setelah kedatangan kalian dan para bidadari? Ceritakan yang lengkap. Jangan dipersingkat,” ujar Destarata.
“Kelihatannya kehidupan neraka tak seseram yang dibayangkan. Ha ha ha.” Tawa Sengkuni membuat Destarata kesal. “Masuk neraka, siapa takut? Ha ha ha.”
“Kuharap Sengkuni diam. Kamu tak tahu kenapa Puntadewa, Bima, dan Pamadi tak kurang suatu apa ketika berada di neraka. Jangan belum apa-apa sudah sok tahu” tegur Destarata. “Kita dengarkan dulu cerita lanjutannya. Silakan, Bima.”

Bima pun melanjutkan ceritanya. “Sungguh aku tak tahu kenapa di neraka sudah ada Semar dan Bagong. Anehnya Petruk dan Gareng tidak ikut. Saat kutanya kenapa Petruk dan Gareng tidak ikut, Semar bilang bahwa mereka sedang membantu tetangganya yang mengadakan pesta perkawinan. Kapan Semar dan Bagong masuk ke neraka, aku tak tahu. Katanya mereka malah sudah minum teh. Selama di neraka aku dan yang lain nyaman-nyaman saja. Udaranya sejuk. Waktu kutanyakan kepada Semar kenapa di neraka hawanya tak panas. Semar bilang bahwa neraka sejatinya panas sekali. Tapi karena di neraka ada begitu banyak bidadari, hawanya jadi sejuk. Ketika kutanya apakah Semar sedang bercanda, ia bilang tidak. Kata Semar, sesungguhnya dari tadi sudah ada Sanghyang Tunggal di tempat kami berkumpul. Memang tak lama kemudian tampak Sanghyang Tunggal. Dalam percakapan dengannya, ia mengatakan bahwa Batara Guru telah menyalahgunakan kekuasaan. Batara Guru dan jajarannya telah bertindak sewenang-wenang. Tindakan Batara Guru telah melampaui kewenangannya. Ia minta agar kami sabar. Katanya tak lama lagi keadaan akan kembali normal.” Bima berhenti sejenak.
“Tetap menyimak,” ujar Sengkuni.
“Minum dulu, Bima. Apa perlu disediakan tuak?” tanya Destarata.
“Wah, ide bagus, Sinuhun. Boleh juga. Hamba mau,” ujar Sengkuni.
“Aku tak menawari kamu,” tegas Destarata.
“Kalau ada, sediakan air putih di kendi saja,” Bima menjawab. Abdi dalem dengan sigap memenuhi permintaan Bima.

Setelah minum, Bima melanjutkan ceritanya.
“Sementara kami sedang berbincang-bincang di neraka, di luar muncul keributan. Para dewa resah ditinggal istri-istri mereka. Di neraka istri mereka bercengkerama dengan Pamadi. Batara Guru didemo para dewa. Ia terlihat bingung. Ia tak menduga bahwa tindakannya berakibat fatal. Ketika ia sedang berdiskusi dengan Batara Narada serta perwakilan demonstrans, sekonyong-konyong muncul dua lelembut berwajah menyeramkan mengamuk di Suralaya. Mereka menuntut bini mereka dikembalikan. Kata mereka, para dewa nggragas. Bini lelembut pun diembat. Mereka marah besar. Para dewa tak sanggup melawan. Dua lelembut itu tak mempan jenis senjata apa pun. Di tengah kebingungan itu, Batara Guru teringat pada Semar. Hanya Semarlah yang bisa mengatasi amukan lelembut. Batara Guru minta kepada petugas neraka agar mengeluarjan Semar dari neraka. Semar tidak mau keluar. Ia minta agar urusan Bima dan saudara-saudaranya yang minta pembebasan Pandu dan Madrim diselesaikan dulu. Kedatangan Semar ke neraka karena solidaritas dia pada Bagong yang juga tidak bisa berpisah dengan ndaranya, Pamadi , yang kini dikerumuni para bidadari. Singkat cerita, Pandu dan Madrim dipindahkan ke surga. Lalu Pambarep, aku, dan Pamadi dikeluarkan dari neraka diiringi para bidadari.”
“Wah wah wah. Segitu besar perjuangan kalian menyurgakan orang tua, padahal kalian pada waktu itu masih belia, belum sedewasa sekarang. Hemmm. Ceritanya hanya sampai di situ saja,” ujar Destarata.
“Belum usai. Masih ingin mendengarkan atau tidak?” tanya Bima.
“Lanjut,” saut Sengkuni.
“Kamu selalu mendahului aku, Sengkuni. Jagalah etiket dan sopan-santun,” tegur Destarata.
“Ampun, Sinuhun. Hamba penasaran. Rupanya Bima diam-diam punya bakat terpendam. Pintar mendongeng. Lain waktu bisa kita tanggap. Ha ha ha.”
“Adimas Sengkuni, sapa sira sapa ingsun. Jangan keladuk. Kalau sudah dibilang jangan ya jangan. Kalau dilarang, jangan malah seperti disuruh. Ingat, program kita. Pandai-pandailah menahan diri,” ujar Gendari.
“Terima kasih, Kakang Mbok.” jawab Sengkuni.
“Lanjutkan, Bima. Jangan terpengaruh omongan orang yang tak jelas,” kata Destarata.
“Haaaaaa. Aku mau melanjutkan cerita, tapi jangan ada yang clometan dan kurang ajar,” ujar Bima.
“Lanjutkan Bima,” seru Destarata. “Ayo lanjutkan. Aku akan menyimak baik-baik.”

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (65)

“Akhirnya, atas perintah Batara Guru semua dibebaskan dari neraka, termasuk Bapak Pandu dan Ibu Madrim. Kemudian Batara Guru menemui Semar dan minta tolong kepadanya untuk menyingkirkan dua lelembut yang telah membuat kahyangan guncang. Semar bersedia menolong asal Batara Guru mau mengakui kesalahannya dan mau minta maaf. Batara Guru pun minta maaf atas kekhilafannya, dan atas kesalahannya, katanya, ia telah mendapat teguran dari Sang Hyang Tunggal.”
“Lalu nasib dua lelembut itu bagamana, Bima?
Mereka jenis lelembut apa. Banaspati, Gendruwo, Glundung Pringis, Jrangkong, atau apa?”
“Mereka cuma lelembut jadi-jadian. Karena itu, mereka dengan mudah ditaklukkan Semar.”
“Kakang Semar memang sakti. Kentutnya saja sudah bisa melumpuhkan lawan yang paling sakti. Tapi aku baru dengar bahwa ada lelembut jadi-jadian. Bagaimana ceritanya?” Ujar Destarata.
“Sekali dikethak Semar mereka langsung ampun ampun. Lalu ketika dipelintir tangannya dan diselentik kupingnya, seketika mereka berubah menjadi wujud aslinya. Mereka tak lain adalah Petruk dan Gareng.”
“Weladalah. Dudu karepe dhewe. Jadi, ontran-ontran di kahyangan cuma dagelan Petruk dan Gareng. Syukurlah kalau semua berakhir dengan baik. Tapi kembali ke soal Pandu. Aku ingin kepastian, apakah Pandu dan Madrim sungguh berada di swargaloka?”
“Pada waktu itu mereka sudah dipindahkan ke surga. Mudah-mudahan dewa tidak mencla-mencle,” ujar Bima.
“Wah, benar-benar terhibur aku. Bima memang pendongeng berbakat. Ha ha ha,” celetuk Sengkuni.
“Waaaa. Paman Sengkuni, Bima bukan anak kecil lagi. Tak usah mengejek,” saut Bima.
“Sudahlah Bima. Tak usah kamu masukkan di hati celoteh pamanmu. Sekarang, apa lagi yang akan kamu ceritakan.”
“Waaaaaa. Tak ada lagi. Semua sudah kuceritakan. Sekarang giliran Wa Adipati yang bercerita. Katakan kepadaku dan yang lain apa pesan Bapak Pandu sebelum meninggal.”
“Baiklah. Sebelum aku menyampaikan pesan Pandu, kuharap semua yang hadir di sini menyimak baik-baik. Beri kesempatan aku untuk berbicara. Tolong jangan kata-kataku dipotong sebelum aku selesai bicara. Apakah kalian sudah siap?”
Tak ada yang menjawab. “Diam berarti siap. Aku akan mulai.”

Destarata mengulang sekilas cerita tentang hari-hari akhir Pandu. Dia tekankan bahwa Pandu pada dasarnya adalah raja yang ber budi bawalaksana. Apa yang dikatakan senantiasa dilaksanakan. Sebagai raja, ia memerintah dengan baik. Karena itu, ia disayangi rakyatnya. Sayang di saat-saat akhir pemerintahannya ia khilaf: memecat Gandamana yang loyalitasnya terhadap Pandu dan kerajaan Hastina tinggi. Tentang siapa yang bermain politik kotor sehingga Pandu membuat keputusan yang menamatkan karier Gandamana semua yang hadir di situ sudah tahu. Setelah itu, mulailah ia menyampaikan pesan Pandu.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (66)

Awak harus minta maaf dulu kepada sampeyan, pembaca yang budiman dan dimuliakan Tuhan. Selalu di saat-saat begini, ketika awak ingin segera merampungkan kisah “Lenga Tala”, ada saja gangguan datang. Anehnya, gangguan itu datang dari “oknum” yang sama. Oknum itu tak lain dan tak bukan adalah orang dalam sendiri, yaitu Lik Mukidi. Awak harus menghadapi dia sebelum mulai menulis untuk merampungkan kisah “Lenga Tala”. Meskipun akhirnya persoalan dengan Lik Mukidi bisa diselesaikan, prosesnya tak bisa dikatakan sederhana. Awak harus menyediakan “sajen” sesuai dengan kegemaran Lik Mukidi. Artinya, awak harus mendekati bini awak yang lagi asyik dengan grup WA-nya untuk mencari rondo royal, klenyem, dan ampyang. Ndilalah, stok penganan itu semua lagi habis. Dicari di ke mana-mana dan di mana-mana tak ada.

Untunglah Lik Mukidi bisa memahami kesulitan kami. Dengan singkong rebus apui dan ubi madu bakar, Lik Mukidi sudah mau. Awak tinggal melayani pertanyaan-pertanyaan dan protes-protes kecil dia. Itu perkara mudah. Yang sulit adalah menghentikan ceramah dia tentang agama. Dia sebetulnya belum cukup banyak pengetahuannya tentang agama–apalagi awak–tapi lagaknya sudah seperti seorang ustad lulusan Timur Tengah, malah seperti seorang imam besar saja, padahal mengucapkan fatihah saja belum teteh (fasih).
Selalu ia bilang “patekah”. Menyebut “wahid” dengan “wakid”. Bilang “umar” dan “ali” tak bisa, selalu dia ucapkan “ngumar” dan “ngali”.

Begitulah yang terjadi hari ini. Dari pagi sampai sesiang ini dia menceramahi awak terus. Moga-moga setelah awak suguh makan siang, dia pamit pulang. Ternyata tidak juga. Ini dia, Lik Mukidi sudah selesai makan siang. Tampaknya cocok dengan menu awak: oseng-oseng kikil, sayur sawi putih, plus peyek rebon. Ada sedikit sisa abon yang awak pesan dari Prof. Titik. Dia bolak-balik tambah nasi. Mau mengingatkan betapa bahayanya makan nasi putih terlalu banyak, awak tak berani. Takut salah paham.

Selesai makan, awak berbincang-bincang lagi.
“Maaf Lik, dari tadi rasanya kita belum membahas cerita “Lenga Tala”. Lik Mukidi menyampaikan siraman rohani terus sehingga lupa pada ‘Lenga Tala’, padahal di awal pembicaraan kita, Lik Mukidi mau kasih masukan dan kritikan. Jadi, maunya Lik Mukidi bagaimana. Saya manut saja.”
“Oh iya, untung diingatkan. Habis bagaimana ya. Kita ini sudah tidak muda lagi. Kata orang, kita ini sudah bau tanah. Seharusnya sudah harus meninggalkan kegiatan duniawi yang tak perlu. Seharusnya orientasi kita itu hanya tertuju pada satu titik saja, yakni akhirat.”
“Lalu bagaimana dengan cerita ‘Lenga Tala’-nya, Lik. Sudah janji akan memberi masukan lho,” awak coba membelokkan.
“Sangat disayangkan. Kau masih saja senang menggosok akik dan melap barang-barang tua. Bertobatlah. Kapan aku bisa mendengar kau membaca patekah dengan benar. Kapan aku bisa menjadi makmum kau pada saat salat, seperti aku jadi makmumnya Pak Mangil atau Pak Ngumar kalau lagi sama-sama di kampung. Aku merindukan itu. Kau harus mencontoh aku. Tiap malam aku zikir sampai pagi dinihari.”
“Lik, kita jadi mendiskusikan ‘Lenga Tala’ atau tidak?” Awak masih berusaha menggiring Lik Mukidi ke topik semula.
“Hidup kita sebentar, ibaratnya seperti orang mampir di kedai kopi. Jadi, kita harus bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.”
“Lik, ingat topik obrolan kita semula.”
“Tak penting kopi apa yang kita minum. Mau kopi luwak, kopi lampung, kopi banaran, kopi sidikalang, kopi aceh, atau kopi liong, yang penting ada peristiwa ngopinya. Untuk bikin kopi juga tak butuh lama. Jadi, hidup ini sungguh sebentar. Benar-benar diibaratkan seperti orang minum kopi di kedai kopi.”

Jelas itu isyarat. Awak cepat-cepat memanggil bini awak. Awak bilang saja kepada bini awak bahwa ada urusan yang amat penting dan amat segera dikerjakan. Bini awak langsung meletakkan HP-nya. Ia ke dapur untuk membuatkan kopi buat Lik Mukidi.
“Setuju, Lik. Bicara tentang kopi, rasanya kurang afdol kalau tak sambil membicarakan ‘Lenga Tala.’ Bukankah begitu, Lik?”
“O, iya. Tanpa kopi,tak ada pembicaraan tentang ‘Lenga Tala’. Harus itu. Wajib hukumnya.”

Alhamdulilah, Lik Mukidi sudah kembali ke rel semula setelah tersesat di jalan yang benar. Awak siap berdiskusi dengan Lik Mukidi. Tentu saja setelah seruputan kopi pertama. Setelah itu, awak yakin penulisan dan lanjutan cerita ‘Lenga Tala’ akan mengalir.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (67)

“Apa komentar Lik Mukidi tentang Lenga Tala?” Awak mengawali diskusi dengan lebih dulu bertanya kepada Lik Mukidi.
“Aku tak ingin memasalahkan lagi munculnya namaku di cerita itu. Semua yang terkait dengan itu sudah kuanggap selesai.”
“Lalu yang belum selesai, Lik?”
“Ada saja.”
“Apa, Lik?”
“Itu cerita kauambil dari mana? Menyimpang semua dari pakem. Cerita macam apa itu.”
“Pakem yang mana, Lik?”
“Pokoknya tidak sesuai dengan pakem.”
“Tidak bisa begitu, Lik. Harus dijelaskan. Dari sananya cerita itu versinya sudah banyak. Sampai di tempat kita tambah banyak lagi.”
“Apa begitu. Kau orang sekolahan. Coba jelaskan.”

Rupanya Lik Mukidi mulai meragukan pikirannya sendiri. Karena itu, awak jelaskan saja panjang lebar tentang cerita-cerita lain untuk meyakinkan dia. Awak ceritakan saja bagaimana dalang yang satu dengan dalang yang lain itu berbeda dalam mengisahkan lakon yang sama. Awak sebutkan saja contoh pertunjukan wayang yang pernah dia tonton dari dalang yang berbeda-beda. Awak tunjukkan juga cerita wayang yang pernah ditulis banyak orang di berbagai media, hampir tak pernah ada yang sama.

Dia mulai berpikir. Untuk meyakinkan dia lagi, awak jelaskan juga cerita yang terdapat di naskah-naskah lama. Rupanya Lik Mukidi baru tahu bahwa dalam naskah lama yang ditulis dalam aksara Jawi juga terdapat banyak cerita wayang.
“Lik, cerita mahabarata dan Ramayana itu versinya banyak. Versi India dan versi Sri Lanka berbeda. Ketika masuk ke Indonesia beda lagi. Versinya tambah banyak. Coba Lik Mukidi baca cerita pedalangan yang terbit di Solo dan sekitarnya banyak sekali versinya,” kata awak.
“Kenapa bisa berbeda-beda begitu?”
“Panjang ceritanya, Lik. Filolog yang dapat menjelaskan. Saya tak bisa menjelaskan. Kalau Lik Mukidi memang butuh penjelasan yang ilmiah tentang cerita mahabarata dan Ramayana, bolehlah kapan-kapan saya kenalkan dengan Prof. Achadiati yang sudah melakukan penelitian terhadap Hikayat Sri Rama dan Dr. Mamlahatun Buduroh yang meneliti Mahabarata. Mau, Lik?”
“Tak usah. Takut aku. Cukup penjelasan dari kau saja meskipun aku tahu kau tampak tak menguasai.”
Jleb. Kena awak. Tapi awak tak mau direndahkan begitu.
“Saya memang awam, Lik. Tapi saya coba juga untuk membaca buku. Tak hanya mengandalkan pada menonton pertunjukan wayang. Apakah Lik Mukidi sudah pernah membaca “Anak Bajang Menggiring Angin?”
“Belum. Itu cerita silat ya. Kalau “Api di Bukit Menoreh” sudah. Tapi apa perlunya kau tanyakan?”
“Bukan cersil, Lik. Kalau kumpulan sajak “Namaku Sita” karya Sapardi Djoko Damono, sudah baca belum?”
“Belum. Kau tanya pula puisi. mana aku tahu? Sebetulnya kau mau apa tanya begitu?”
“Ingin tanya saja. Susah berdiskusi kalau pengalamannya tak sama. Bagaimana saya bisa menjelaskan versi yang begitu banyak kalau Lik Mukidi miskin pengalaman baca.” Awak ejek begitu Lik Mukidi berang.
“Sombong kali kau.”
“Pernah baca karya-karya Yanusa Nugroho?”
“Belum.”
“Pernah baca cerita “Wayang Semau Gue” di koran Pos Kota?
“Belum. Ah, kau ini.”
“Pernah baca tulisan-tulisan Sri Mulyono tentang wayang?”
“Tahu ah. Sekali lagi kau tanya aku tentang wayang, kuhajar kau.”
Awak berhasil. “Baiklah,” kata awak. “Rasanya belum lama saya bicara tentang fiksi, Lik. Apa perlu dijelaskan lagi?”
“Sudah kubilang jangan tanya lagi.”
“Tapi saya tak tanya tentang wayang, Lik. Saya tanya tentang yang lain.”
“Sudahlah. Kita bicara yang lain saja. Soal cerita kau itu, lanjutkan saja. Kita bicara tentang ampyang kek, tentang klenyem, atau apa saja. Jangan lagi tentang cerita.”
“Ampyang dan klenyem tak untuk dibicarakan, Lik. Tapi untuk dimakan,” kata awak. Entah cari dan beli di mana, bini awak mendapatkan penganan itu, padahal sebelumnya cari di mana-mana tak ada. Awak ambil penganan itu, lalu awak hidangkan. Bukan main senangnya Lik Mukidi.
“Nah, ini baru konkret dan menarik,” ujar Lik Mukidi, Dia mengajak awak tos. “Sekarang boleh kita berdiskusi tentang ‘Lenga Tala’-mu,” tambahnya.
“Ha ha ha. Rupanya yang menjadi kendala Lik Mukidi ampyang. Tapi apa lagi yang akan disikusikan,Lik?”
“Cerita selanjutnya bagaimana. Itu yang penting. Aku penasaran.”
“Jadi, Lik Mukidi membaca?”
“Lha iyalah. Cerita kau beda dengan yang pernah aku tonton. Aku sudah bosan. Ingin yang berbeda. Itulah sebabnya aku membaca cerita yang kautulis itu meskipun sebetulnya bosan juga. Ha ha ha.”
Waduh. Kena lagi awak. Habis diangkat, awak dibanting pula. Apa sebetulnya maunya Lik Mukidi.
“Kenapa tokoh-tokoh cerita dalam ‘Lenga Tala’ itu tak ada yang minum kopi, kecuali Sengkuni ya.”
O, ini rupanya yang Lik Mukidi inginkan. Awak bikinkan kopi langsung. Sambil menghidangkan kopi, awak pun bercanda: “Meskipun Lik Mukidi suka ngopi, saya tak menyamakan Lik Mukidi dengan Sengkuni lho Lik.”
“Mau kausamakan juga tak apa-apa. Yang penting ngopi itu nikmat.”
“Omong-omong, bagaimana dengan cerita ‘Lenga Tala’, Lik. Saya serius bertanya.”
“Seperti halnya ngopi, lanjut. Aku nikmat dengan kopi. Kau nikmat dengan menulis cerita. Wiji Thukul pernah menulis puisi yang bunyinya “Hanya satu kata: lawan!” Mestinya kau juga bisa bilang: hanya satu kata: lanjutkan!”
“Jadi, lanjut ya Lik.”
“Yoi!”
Lik Mukidi menyeruput kopi dan tangannya mulai menjamah ampyang, lalu klenyem, ampyang lagi, klenyem lagi sampai tak ada lagi penganan di atas piring yang bisa dijamah. Awak pun senang karena suguhan awak laku. Bukan main. Di ujung percakapan kami, Lik Mukidi benar-benar memberikan pencerahan. Awak perhatikan wajah Lik Mukidi pun cerah setelah menghabiskan hidangan awak. Pada titik ini, Lik Mukidi bolehlah awak bilang “Sang Pencerah.” Terima kasih, Lik. Besok awak lanjutkan lagi cerita “Lenga Tala”.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (68)

“Ada dua pesan Pandu yang disampaikan kepadaku. Tolong didengarkan baik-baik. Pesan pertama terkait dengan harta. Pandu menitipkan “harta” yang paling berharga kepadaku.”
Semua menyimak dengan saksama. Begitu disebut kata harta berharga, Sengkuni langsung membayangkan maspicis rajabrana. ‘Jabatan patih sudah kudapatkan, tinggal menambah harta. Ini kesempatan baik buatku,’ kata Sengkuni dalam hati.
“Supaya jelas, aku tirukan saja kata-kata Pandu, tolong kalian simak.”
“Siap,” jawab Sengkuni. Tak semua menjawab. Ada yang menjawab “Iya, sendika dhawuh,” ada yang hanya bilang ‘”Ya” saja. Tapi Bima menjawab dengan kalimat panjang. “Waaaa, dari tadi aku menyimak kata-kata Wa Adipati. Sudah tak sabar. Segera katakan, Bapak Pandu berpesan apa, apa kata-katanya.”
“Baiklah. Begini Pandu bilang kepadaku: ‘Kakangmas Destarata yang kucintai, aku titip hartaku yang paling berharga, yaitu anak-anakku. Tolong mereka dididik. Terserah bagaimana mendidik mereka. Anggaplah mereka itu anak-anakmu sendiri. Besarkanlah mereka sebagaimana Kakangmas membesarkan anak-anak Kangmas sendiri’. Begitu saja pesan Pandu kepadaku.”
Tak ada yang terkejut atau bereaksi terkait dengan apa yang dikatakan Destarata, kecuali Sengkuni. Ia menggerundel sendiri. Dalam hatinya ia bilang ‘Yaaahhh, kirain harta beneran. Sialan. Tak ada yang istimewa. Mau menyampaikan pesan begitu saja pakai cerita ke mana-mana dulu. Benar-benar mengecewakan. Huh, sebal!’
“Tentu saja aku sanggupi apa yang menjadi keinginan Pandu. Amanat itu harus aku jaga dan laksanakan. Di saat Pandu menyinggung anak, kutanyakan juga soal kerajaan. Begini pertanyaanku kepadanya pada waktu itu: ‘Bagaimana dengan kerajaan?’ Lalu Pandu menjawab: ‘Terserah, Kakangmas saja.’ Dengan jawaban itu, aku bilang kepada Pandu begini: ‘Dengarkan, Pandu. Bagaimanapun, anak-anakmulah yang berhak memerintah kerajaan Hastinapura. Tapi karena mereka masih anak-anak, untuk sementara, biarlah aku yang selama ini sudah kauangkat menjadi adipati di kota Gajahoya menjalankan roda pemerintahan. Kelak kalau anak-anakmu sudah dewasa, kerajaan dan pemerintahannya akan kuserahkan kepada mereka. Biar mereka yang memegang kekuasaan Hastina.’ Begitu kata-kataku kepada Pandu. Tolong kaucatat semua yang sudah kukatakan. Kalian saksinya. Jadi, kelak yang akan memerintah Hastina adalah Pandawa.”
Semua diam. Tanda bahwa mereka mendengar dan mengamini. Hanya Sengkuni dan Gendari yang terlihat gelisah.
“Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak paduka sendiri? Mereka tidak sedikit. Seratus mulut itu butuh makan dan minum yang cukup, Sinuhun,” ujar Gendari.
“Ingat, Pandawa itu cuma keponakan, Sinuhun,” Sengkuni menimpali. “Anak-anak sendiri lebih penting. Masak takhta malah akan diberikan kepada anak orang lain. Yang benar saja. Sinuhun keliru. Jelas itu gagasan yang salah. Itu keblinger namanya.”
“Tak ada masalah dengan anak-anak kita, Gendari. Mereka akan baik-baik saja. Sebagai adipati, selama ini hidup kita tak kurang suatu apa. Lihat, apakah ada yang kelaparan. Sandang pangan kita cukup,” ujar Destarata.
“Betul. Tapi keluarga kita akan begini-begini saja kalau kita tak mengubahnya,” Gendari merespon kata-kata Destarata.
“Maksudmu apa, Gendari.”
“Batobat tobat-tobat, apa harus lebih dijelaskan lagi. Dimas Sengkuni, bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Gendari.
“Kakang mbok Adipati, tak hanya perlu dijelaskan, tapi harus ditegaskan bahwa anak sendiri yang mesti harus kudu dipikirkan. Itu yang utama. Putra tertua Kakang mbok, Kurupati, lebih berhak atas takhta Hastina. Pikiran sinuhun sesat, beliau harus dituntun ke arah pikiran yang sehat,” ujar Sengkuni.
“Hei Sengkuni, jangan meracau kamu. Soal kerajaan Hastina, itu menjadi wewenangku. Kamu jangan ikut-ikut. Akulah yang diserahi tanggung jawab Pandu, bukan kamu dan yang lain. Bagaimana mengatur negara, kamu mendapat jabatan patih saja dengan cara memfitnah dan menghasut orang. Gandamana dipecat karena fitnah dan hasutanmu. Dan karena itu, tubuhmu dibuat remuk Gandamana. Apakah kerusakan badanmu tak cukup jadi pelajaran? Lebih baik kamu pulang ke Palasa Jenar daripada di Hastina menebar racun. Mau kamu? Hastina harus berada dalam kendaliku. Mengerti?”
“Siap,” jawab Sengkuni.
“Siap siep siap siep. Sengkuni, awas kalau sampai kamu macam-macam. Kupecat kau sebagai patih. Hentikan kebiasaan burukmu itu. Awas kalau sampai kau bikin aksi macam-macam buat membodohi rakyat. Bikin koalisi ini koalisi itu. Ndak jelas. Semua ada waktunya. Tak usah nggege mangsa. Paham?”
Sengkuni tampak tersenyum sinis. Keluar juga ucapannya yang khas, “Siap.”
“Dan engkau, Gendari. Tak usah risau dengan masa depan anak-anak kita. Percayalah. Yang penting kaudidik mereka dengan baik.”
“Baiklah, Sinuhun. Dinda ikut kata Sinuhun saja” ujar Gendari.
“Kuharap perbincangan soal kerajaan tak dilanjutkan. Aku ingin menyampaikan pesan Pandu yang kedua. Kalian dengarkan. Lupakan soal kerajaan. Simak kata-kataku. Pesan Pandu ini justru yang terpenting.”
Destarata diam sejenak guna mencari diksi dan kalimat yang tepat untuk diucapkan. Semua yang hadir tak bergerak. Mereka siap mendengarkan dan mencerna sabda Destarata. (Bersambung)