Sunu WasonoLENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (60) “Yamawidura terkejut. Tak dinyana bahwa ada musuh di dalam selimut. Baru ia mau bicara kepada Sengkuni, Gandamana yang marahnya tak bertepi itu telah menggelandang Sengkuni ke alun-alun. Ditumpahkanlah amarahnya ke Sengkuni. Setelah dijotos
dan ditendang berkali-kali, Sengkuni dibanting. Kedua tangannya ditelikung. Jari-jarinya dibetot. Pokoknya tubuh Sengkuni yang semula tampan jadi hancur lebur. Untung segera datang Yamawidura yang melerai. Jika tidak, kukira Sengkuni pada waktu itu sudah pindah alam, besar kemungkinan ia sudah berada di kerak neraka jahanam.” Destarata berhenti sejenak. Ia tampak geram. Sebaliknya, Sengkuni menggigil. Ia menutup kedua telinganya agar tak mendengar apa pun. Peluhnya
mengucur di sekujur tubuh. LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (61) “Apa yang terjadi setelah tubuh Sengkuni dipermak Gandamana? Tampaknya niat Sengkuni untuk menyingkirkan Gandamana sudah bulat. Dari alun-alun ia jalan merangkak menuju istana. Entahlah apa memang ia tak sanggup berdiri dan berjalan seperti biasa atau apa yang dilakukannya itu hanya akting belaka agar mendapat perhatian Pandu. Di hadapan Pandu ia meratap dan minta keadilan. Tanpa pikir panjang, Pandu langsung memecat Gandamana dan mengangkat Sengkuni sebagai patih Hastina menggantikan Gandamana. Aneh bin ajaib, setelah Pandu menyampaikan keputusannya, Sengkuni seketika bisa berdiri. Tercapailah hasrat dan cita-citanya menjadi patih kerajaan Hastina. Pandu tak hanya memecat Gandamana. Ia mengusir Gandamana dari Hastina. Pulanglah Gandamana ke Pancalaradya. Di sana ia menjadi tetunggul kerajaan Pancalaradya yang dipimpin oleh Prabu Drupada, kakak ipar Gandamana. Begitulah kira-kira cerita tentang Pandu, ujar Destarata. “Hemmmmm, Siwa Adipati, apakah ceritanya sudah berakhir. Apa hubungannya dengan
dipanggilnya anak-anak Ibu Kunthi ke hadapanmu. Untuk apa aku dipanggil. Apakah aku hanya disuruh mendengarkan dongenganmu,” tanya Bima. Destarata panjang lebar bercerita tentang keadaan Hastina setelah Gandamana pulang ke Pancalaradya. Hubungan kerajaan Hastina dengan kerajaan Pringgadani memburuk. Pringgadani terang-terangan membakang. Rajanya, Prabu Trembuku, mengumumkan perang. Tak ada jalan perundingan. Semua diselesaikan dengan perang. Puncaknya ketika Prabu Trembuku bertemu dengan Pandu di medan laga. Keduanya sama kuat dan sama saktinya. Namun, Pandu ingin segera menyelesaikan pertempuran. Dilepaskanlah jemparing ke arah dada Trembuku. Anak panah melesat dan tepat mengenai dada Prabu Trembuku. Seketika itu juga Prabu Trembuku rubuh. Pandu segera menghampirinya. Diinjaklah dada Trembuku. Pada saat yang sama, Trembuku yang sekarat berhasil menghunus keris kalanadah. Dengan sisa tenaga yang ada dihunjamkan keris itu ke pinggang Pandu. Rubuhlah Pandu. Prajurit segera menandunya. Pandu dibawa ke istana.” Destarata menarik napas dalam-dalam. “O, Pandu, tak kusangka racun yang menjalar ke sekujur tubuhmu tak bisa ditangkal dengan obat apa pun. Tak ada tabib yang sanggup mengobatimu. Oh, Pandu. Pandu. Sedih sekali kalau aku teringat pada proses kematianmu.” Sesuai dengan perintah Destarata, semua yang hadir siap menyimak lanjutan ceritanya. LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (62) “Sebelum Pandu meninggal, aku sempat bertemu empat mata dengannya. Aku menjenguknya sendiri di tempat pembaringan. Gendari dan abdi dalem dimintanya menyingkir. Pandu menyampaikan pesan
kepadaku. Hanya dua pesannya. Tapi sebelum pesan itu kuceritakan kepada yang hadir di sini, tolong diceritakan dulu apa yang terjadi setelah aku tinggalkan Pandu. Aku ingin mendengar langsung dari Kunthi, Puntadewa, Bima, atau Arjuna agar cerita ini lengkap. Harap kalian tahu setelah Pandu menyampaikan pesannya kepadaku, kalau tak salah, datang utusan yang menyampaikan kabar tentang Madrim. Aku baru akan membeberkan pesan Pandu di sini setelah mendengar cerita dari kalian tentang Pandu
sepeninggal aku dari pembaringannya,” ujar Destarata. Bima pun mulai bercerita. “Sepeninggal Wa Adipati, datang utusan yang mengabarkan bahwa Ibu Madrim melahirkan. Ia melahirkan kembar. Dua-duanya laki-laki. Si kembar selamat, tapi ibunya mengalami pendarahan. Ada yang aneh dari kelahiran si kembar. Setelah melahirkan kembar, jasad Ibu Madrim raib.” Bima berhenti
sejenak. LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (63) Bima mulai melanjutkan cerita. “Sebelum Yamadipati membawa jasad Bapak Pandu dan Ibu Madrim, aku minta Yamadipati mempertimbangkan keputusannya. Tapi dia bersikukuh pada keputusannya. Aku malah diceramahi panjang lebar tentang hakikat hidup dan mati. Kubilang bahwa aku tak butuh ceramah Yamadipati. Butuhku cuma satu: Bapak Pandu dan Ibu Madrim
diberi panjang umur. Yamadipati tak menggubris. Lalu ia rebut dengan kasar jasad Bapak Pandu yang kudekap. Sungguh kurang ajar dewa yang satu itu. Aku tak bisa menerima tindakannya. Kebijakan dewa yang tak bijak itu harus dihentikan. Apa yang dilakukan Yamadipati mencerminkan keserakahan dewa. Sudah mendapat nyawa, masih menginginkan jasadnya. Untuk apa jasad mereka ambil. Mestinya mereka ambil nyawanya saja. Biarlah jasadnya dikubur dan dirawat keluarganya untuk pengingat, untuk tanda bahwa
mereka pernah ada.” LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (64) Bima memandang sekitarnya untuk memastikan bahwa tak ada yang tertidur. Di pojok belakang terlihat Sengkuni sedang telap-telep makan juadah worang sambil sesekali meneguk
bandrek. Mulailah Bima bercerita. “Tadi ditanyakan kenapa para bidadari ikut masuk ke neraka. Jawabnya sederhana: karena ada Pamadi di neraka. Mereka berebut mendekati Pamadi. Sementara dari luar terdengar suara para dewa memanggil istri-istri mereka yang memadati neraka. Rupanya mereka mumet setelah ditinggalkan istri. Mereka umumnya sudah terbiasa dilayani. Ketika istrinya tak ada, mereka bingung sendiri. Mau ngopi saja tak tahu letak kopi dan gulanya. Belum lagi berurusan dengan kebutuhan
biologis mereka. Rata-rata mereka blingsatan dan sudah ada yang mulai berpikir untuk mengisengi perempuan-perempuan di dunia. Bahkan sudah ada yang ingin mengencani lelembut. Tapi mereka pada dasarnya penakut. Baru mendengar tawa peri dan wewe sudah takut. Mereka pikir perempuan di dunia itu murahan, mudah dirayu. Konon ada yang baru ingin berkenalan sudah kena damprat. Singkat cerita, kehidupan kahyangan goncang.” Bima pun melanjutkan ceritanya. “Sungguh aku tak tahu kenapa di neraka sudah ada Semar dan Bagong. Anehnya Petruk dan Gareng tidak ikut. Saat kutanya kenapa Petruk dan Gareng tidak ikut, Semar bilang bahwa mereka sedang membantu tetangganya yang mengadakan pesta perkawinan. Kapan Semar dan Bagong masuk ke neraka, aku tak tahu. Katanya mereka malah sudah minum teh. Selama di neraka aku dan yang lain nyaman-nyaman saja. Udaranya sejuk.
Waktu kutanyakan kepada Semar kenapa di neraka hawanya tak panas. Semar bilang bahwa neraka sejatinya panas sekali. Tapi karena di neraka ada begitu banyak bidadari, hawanya jadi sejuk. Ketika kutanya apakah Semar sedang bercanda, ia bilang tidak. Kata Semar, sesungguhnya dari tadi sudah ada Sanghyang Tunggal di tempat kami berkumpul. Memang tak lama kemudian tampak Sanghyang Tunggal. Dalam percakapan dengannya, ia mengatakan bahwa Batara Guru telah menyalahgunakan kekuasaan. Batara Guru dan
jajarannya telah bertindak sewenang-wenang. Tindakan Batara Guru telah melampaui kewenangannya. Ia minta agar kami sabar. Katanya tak lama lagi keadaan akan kembali normal.” Bima berhenti sejenak. Setelah minum, Bima melanjutkan ceritanya. LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (65) “Akhirnya, atas perintah
Batara Guru semua dibebaskan dari neraka, termasuk Bapak Pandu dan Ibu Madrim. Kemudian Batara Guru menemui Semar dan minta tolong kepadanya untuk menyingkirkan dua lelembut yang telah membuat kahyangan guncang. Semar bersedia menolong asal Batara Guru mau mengakui kesalahannya dan mau minta maaf. Batara Guru pun minta maaf atas kekhilafannya, dan atas kesalahannya, katanya, ia telah mendapat teguran dari Sang Hyang Tunggal.” Destarata mengulang sekilas cerita tentang hari-hari akhir Pandu. Dia tekankan bahwa Pandu pada dasarnya adalah raja yang ber budi bawalaksana. Apa yang dikatakan senantiasa dilaksanakan. Sebagai raja, ia memerintah dengan baik. Karena itu, ia disayangi rakyatnya. Sayang di saat-saat akhir pemerintahannya ia khilaf: memecat Gandamana yang loyalitasnya terhadap Pandu dan kerajaan Hastina tinggi. Tentang siapa yang bermain politik kotor sehingga Pandu membuat keputusan yang menamatkan karier Gandamana semua yang hadir di situ sudah tahu. Setelah itu, mulailah ia menyampaikan pesan Pandu. LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (66) Awak harus minta maaf dulu kepada sampeyan, pembaca yang budiman dan dimuliakan Tuhan. Selalu di saat-saat begini, ketika awak ingin segera merampungkan kisah “Lenga Tala”, ada saja gangguan datang. Anehnya, gangguan itu datang dari “oknum” yang sama. Oknum itu tak lain dan tak bukan adalah orang dalam sendiri, yaitu Lik Mukidi. Awak harus menghadapi dia sebelum mulai menulis untuk merampungkan kisah “Lenga Tala”. Meskipun akhirnya persoalan dengan Lik Mukidi bisa diselesaikan, prosesnya tak bisa dikatakan sederhana. Awak harus menyediakan “sajen” sesuai dengan kegemaran Lik Mukidi. Artinya, awak harus mendekati bini awak yang lagi asyik dengan grup WA-nya untuk mencari rondo royal, klenyem, dan ampyang. Ndilalah, stok penganan itu semua lagi habis. Dicari di ke mana-mana dan di mana-mana tak ada. Untunglah Lik Mukidi bisa memahami kesulitan kami. Dengan singkong rebus apui dan ubi madu bakar, Lik Mukidi sudah mau. Awak tinggal melayani pertanyaan-pertanyaan dan protes-protes kecil dia. Itu perkara mudah. Yang sulit adalah menghentikan ceramah dia tentang agama. Dia sebetulnya belum cukup banyak pengetahuannya
tentang agama–apalagi awak–tapi lagaknya sudah seperti seorang ustad lulusan Timur Tengah, malah seperti seorang imam besar saja, padahal mengucapkan fatihah saja belum teteh (fasih). Begitulah yang terjadi hari ini. Dari pagi sampai sesiang ini dia menceramahi awak terus. Moga-moga setelah awak suguh makan siang, dia pamit pulang. Ternyata tidak juga. Ini dia, Lik Mukidi sudah selesai makan siang. Tampaknya cocok dengan menu awak: oseng-oseng kikil, sayur sawi putih, plus peyek rebon. Ada sedikit sisa abon yang awak pesan dari Prof. Titik. Dia bolak-balik tambah nasi. Mau mengingatkan betapa bahayanya makan nasi putih terlalu banyak, awak tak berani. Takut salah paham. Selesai makan, awak berbincang-bincang lagi. Jelas itu isyarat. Awak cepat-cepat memanggil bini awak. Awak bilang saja kepada bini awak bahwa ada urusan yang amat penting dan amat segera dikerjakan. Bini awak langsung meletakkan HP-nya. Ia ke dapur untuk membuatkan kopi buat Lik Mukidi. Alhamdulilah, Lik Mukidi sudah kembali ke rel semula setelah tersesat di jalan yang benar. Awak siap berdiskusi dengan Lik Mukidi. Tentu saja setelah seruputan kopi pertama. Setelah itu, awak yakin penulisan dan lanjutan cerita ‘Lenga Tala’ akan mengalir. LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (67) “Apa komentar Lik Mukidi tentang Lenga Tala?” Awak mengawali diskusi dengan lebih dulu bertanya kepada Lik Mukidi. Rupanya Lik Mukidi mulai meragukan pikirannya sendiri. Karena itu, awak jelaskan saja panjang lebar tentang cerita-cerita lain untuk meyakinkan dia. Awak ceritakan saja bagaimana dalang yang satu dengan dalang yang lain itu berbeda dalam mengisahkan lakon yang sama. Awak sebutkan saja contoh pertunjukan wayang yang pernah dia tonton dari dalang yang berbeda-beda. Awak tunjukkan juga cerita wayang yang pernah ditulis banyak orang di berbagai media, hampir tak pernah ada yang sama. Dia mulai berpikir. Untuk meyakinkan dia lagi, awak jelaskan juga cerita yang terdapat di naskah-naskah lama. Rupanya Lik Mukidi baru tahu bahwa dalam naskah lama yang ditulis dalam aksara Jawi juga terdapat banyak cerita wayang. LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (68) “Ada dua pesan Pandu yang disampaikan kepadaku. Tolong didengarkan baik-baik. Pesan pertama terkait dengan harta. Pandu menitipkan “harta” yang paling berharga kepadaku.” |