Penderitaan yang disebabkan karena adanya perubahan yang tidak dapat kita hindari adalah

EMPAT KEBENARAN MULIA Disusun oleh: Tim Dosen Agama Buddha

Sabbe sankhara dukkha ti, yada pannaya passati. Atha nibbindati dukkhe, esa maggo visuddhiya. Segala sesuatu yang berkondisi adalah derita. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.(Dhammapada, Syair 278)

Hidup adalah penderitaan, demikian yang sering kita dengar dalam perbincangan umat saat baru mengenal Buddha Dharma. Hal ini terjadi sebagai akibat dari pemahaman Buddha Dharma yang belum utuh.

Benar bahwa Guru Agung Buddha mengajarkan empat kesunyataan mulia dalam kehidupan, yang diawali dengan terdapatnya penderitaan. Namun, sesungguhnya tidak dapat hanya berhenti di situ, masih ada kelanjutannya, yaitu adanya penyebab dari penderitaan, adanya akhir dari penderitaan, dan adanya jalan mengakhiri penderitaan. Kebenaran-kebenaran dari empat kesunyataan mulia itu merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Ketidakmampuan dalam menyelami substansi kebenaran tersebut dapat menjadikan pandangan yang salah.

Beranjak dari realita kehidupan itulah kita diajarkan untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya sehingga tidak ada kemelekatan. 

Setidaknya terdapat lima unsur kemelekatan yang oleh Guru Agung Buddha untuk dihindari, yakni kemelekatan pada: bentuk fisik, perasaan, persepsi, buah pikiran, dan kesadaran. Jika dalam kehidupan ini kita senantiasa terbelenggu oleh kelima hal itu, tentu penderitaan akan menyelimuti kehidupan. Manakala kita melekat atas kekurangan dari kelima unsur tersebut, penderitaan akan menyertainya, atau sebaliknya jika kita ingin terus mempertahankan kelebihan dari kelima unsur tersebut, juga akan timbul penderitaan. Hal ini terjadi karena kita semua menyadari bahwa segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal adanya. Kesemuanya akan terus berubah dan bahkan mengalami kelapukan.

Ketika kita menyadari akan belenggu penderitaan atas kemelekatan, maka sudah tentu akan timbul upaya untuk melepaskan diri dari belenggu kemelekatan itu untuk mendapatkan kebahagiaan. Ibarat kita sedang menaiki sebuah tangga menuju puncak menara, tentu kita harus memindahkan tangan kita ke tempat yang lebih atas agar kita dapat mengangkat kaki kita untuk menginjak anak tangga yang di atasnya. Jika kita tidak memindahkan tangan kita maka tentu tidak akan dapat naik.

Semakin tinggi kita menaiki anak tangga, maka akan semakin luas jangkauan pandangan kita. Saat sampai pada puncaknya itu kita telah melepaskan satu persatu anak tangga dan bahkan melepaskan semuanya. Akhirnya pandangan kita menjadi sangat luas. Demikianlah gambaran dalam kehidupan ini agar kita tidak senantiasa terbelenggu oleh lima unsur kemelekatan itu.

Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah pentingnya memiliki pemahaman yang baik dalam memaknai kehidupan. Tidak semua hidup itu penderitaan, juga tidak semua hidup itu kebahagiaan. Dua kondisi kehidupan tersebut tidak dapat dipertentangkan secara ekstrem. Sudah sepatutnya kita menjalankan praktik kehidupan dengan bijaksana, mempraktikan empat kesunyataan mulia dengan kesadaran bahwa ada penderitaan dan sebab dari penderitaan dalam hidup, namun ada akhir dari penderitaan, serta jalan keluar dari penderitaan. Di situlah terbentang suatu harapan manakala kita mampu memaknai bagian-bagian kehidupan sebagai kebenaran sehingga dapat menemukan pencerahan pada suatu titik dimana kebahagiaan akan didapatkan.

Demikianlah, empat kesunyataan mulia menjadi pedoman dalam menjalankan kehidupan. Kita memiliki kemampuan dalam memaknai kehidupan bahwa hidup bukan hanya penderitaan, jika kita dapat melaluinya dengan mempraktikan jalan mulia berunsur delapan, yakni: pandang benar, motivasi benar, ucapan benar, perilaku benar, mata pencaharian benar, upaya benar, kesadaran benar, dan meditasi benar akan tercapai pencerahan dan kebahagiaan.  

Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Caliadi (Dirjen Bimas Buddha)

Empat Kebenaran Mulia (Pali: cattāri ariyasaccāni) adalah kebenaran yang berlaku bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan suku, ras, budaya, maupun agama. Mengakui atau tidak mengakui, suka atau tidak suka, setiap manusia mengalami dan diliputi oleh hukum kebenaran ini. Kebenaran ini berlaku secara universal.

Empat Kebenaran Mulia ditemukan oleh Pertapa Siddhartha yang bermeditasi di bawah Pohon Bodhi hingga memperoleh Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha. Empat Kebenaran Mulia yang ditemukan itu diajarkan oleh Buddha Gautama kepada umat manusia di Bumi ini. Muncul ataupun tidak muncul seorang Buddha di dunia ini, kebenaran itu akan tetap ada dan berlaku secara universal.

Empat Kebenaran:

  1. Kebenaran tentang adanya Dukkha (Dukkha)
  2. Kebenaran tentang sebab Dukkha (Dukkha Samudaya)
  3. Kebenaran tentang lenyapnya Dukkha (Dukkha Niroda)
  4. Kebenaran tentang jalan berunsur delapan menuju akhir Dukkha (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga)

Dukkha

Berbagai bentuk penderitaan yang ada di dunia ini dapat dirangkum ke dalam tiga bagian utama atau kategori:

  1. Penderitaan Biasa (Dukkha-Dukkha), misalnya sakit flu, sakit perut, sakit gigi, dan sebagainya.
  2. Penderitaan karena Perubahan (Viparinama-Dukkha), misalnya berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang dibenci, tidak tercapai apa yang diinginkan, sedih, ratap tangis, putus asa, dan sebagainya.
  3. Penderitaan karena memiliki Badan Jasmani (Sankhara-Dukkha), yaitu penderitaan karena kita lahir sebagai manusia, sehingga bisa mengalami sakit flu, sakit gigi, sedih, kecewa, dan sebagainya.
  4. Lebih lanjut tentang Dukkha, dijelaskan di dalam Patticasamupada (Hukum sebab musabab yang saling berkaitan)

Dukkha Samudaya

Ketiga macam penderitaan di atas tentu tidak muncul begitu saja, tetapi karena ada sebab yang mendahului, BUKAN asal mula. Karena disebut dengan SEBAB, maka hal itu tidak dapat diketahui awal dan akhirnya. Sebab penderitaan itu adalah karena manusia diliputi Keserakahan, Kebencian dan Kegelapan Batin, sehingga mengakibatkan kelahiran yang berulang-ulang dari masa ke masa dari satu alam ke alam berikutnya.

Manusia banyak yang tidak menyadari bahwa ada kebebasan dari semua bentuk penderitaan yang dapat dicapai ketika masih hidup. Mereka kebanyakan melekat pada kesenangan-kesenangan nafsu indra, menghancurkan kehidupan makhluk lain, menganut pandangan salah yang menyesatkan banyak orang dan menjanjikan kebahagiaan semu dan sementara, hidupnya tidak diarahkan dengan baik, tidak membuka diri untuk belajar lebih dalam tentang kebenaran universal, menjadi orang dungu yang hanya tahu tetapi tidak mempraktikkan apa yang ia ketahui, menjadi orang bodoh yang tidak mampu membedakan kebaikan dan kejahatan. Inilah sebab penderitaan yang menyelimuti kebanyakan umat manusia, yaitu Nafsu yang tiada henti (Tanha), dan kegelapan batin (Avijja) yang menjadi sebab kelahiran berulang-ulang bagi dirinya.

Dukkha Niroda

Sebagaimana kesakitan akan sembuh manakala sebabnya telah diketahui dan diberikan obat yang tepat, demikian pula penderitaan seseorang juga dapat ditransformasikan dengan mempraktikkan cara-cara yang benar dan berlaku secara universal. Kebahagiaan akan dicapai manakala ia terbebas dari penderitaan itu. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan sejati, yang mana tidak akan diketahui ke mana perginya seseorang yang telah bebas dari derita batin dan jasmani. Inilah kebahagiaan Nirwana (Nibbana). Kebahagiaan yang dapat dicapai BUKAN setelah meninggal dunia saja, tetapi juga ketika masih hidup di dunia ini.

Nirwana bukanlah suatu tempat, melainkan keadaan di mana seseorang mempunyai pikiran yang sangat jernih yang telah terbebas dari sifat serakah, benci, dan gelap batin. Ia dapat mencapainya ketika masih memiliki badan jasmani. Sebagaimana perjuangan Pangeran Siddhartha untuk mencari jalan keluar dari fenomena usia tua, sakit dan kematian hingga menjadi Buddha, maka seperti itulah seseorang dengan sekuat tenaganya sendiri berusaha mengikis habis sifat-sifat jahat yang ada dalam dirinya, mengikis habis ego dalam dirinya, mengikis habis nafsu-nafsu indra, dan memunculkan kebijaksanaan paling tinggi dalam kehidupannya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai Orang Suci meskipun masih bergaul dengan banyak orang dan berpenghidupan di masyarakat luas. Kelak ketika ia meninggal dunia, maka tidak akan ada lagi orang yang mengetahui ke mana ia pergi, karena Nirwana bukanlah suatu tempat. Sebagaimana api itu ada, namun tidak seorang pun yang dapat mengetahui ke mana perginya api setelah padam.

Jika diibaratkan sebuah lilin yang menyala, apinya adalah kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin dan batang lilin adalah badan jasmani, maka ketika nyala lilin padam bersamaan dengan habisnya batang lilin yang terbakar, saat itulah fenomena-fenomena selanjutnya dari lilin tersebut tidak dapat diketahui oleh siapa pun.

Inilah gambaran Nirwana secara sederhana.

Jadi sangat mungkin Kebahagiaan Sejati dapat dicapai bukan setelah meninggal dunia, tetapi juga ketika masih hidup.

Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga

Cara melenyapkan Dukkha adalah dengan mempraktikan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang terdiri dari:

  • Kebijaksanaan (Pali:Pañña ; Sanskerta:prajñā)
  1. Pengertian Benar (sammä-ditthi)
  2. Pikiran Benar (sammä-sankappa)
  • Kemoralan (Pali: Sīla)
  1. Ucapan Benar (sammä-väcä)
  2. Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
  3. Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
  • Konsentrasi (Pali: Samädhi)
  1. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)
  2. Perhatian Benar (sammä-sati)
  3. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

[1]

Referensi

  1. ^ Sutrisno, SJ, FX. Mudji (1993). Buddhisme : Pengaruhnya dalam abad modern. Kanisus. ISBN 979-413-985-8.  Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Empat_Kebenaran_Mulia&oldid=20923508"