Pentingnya seseorang belajar sejarah adalah

Apa pentingnya belajar sejarah? Artikel ini akan mengupas pola-pola kejadian di masa lalu yang sangat merugikan manusia karena tidak belajar dari sejarah.

Halo! ketemu lagi sama gw, Marcel. Mungkin banyak para pembaca setia Zenius Blog udah hafal kalo gua langganan nulis artikel tentang topik sejarah. Nah, dari pengalaman gua berinteraksi dengan pembaca, sebagian besar memang menyambut positif tulisan-tulisan dengan tema sejarah, tapi nggak jarang juga ada beberapa pembaca yang masih mempertanyakan hal-hal seperti ini:

Apa sih pentingnya belajar sejarah? Nggak ada gunanya itu menghafal nama-nama tokoh dan tahun. Sejarah itu kan sudah berlalu, lupain saja. Lebih baik kita fokus ke masa depan.

Oke, untuk menjawab pertanyaan semacam ini, banyak guru sejarah yang ujung-ujungnya ngejawab ngelantur:

  • “Sejarah itu pelajaran wajib dari kurikulum, mau gak mau kalian harus belajar sejarah!”
  • “Kalo ga ngerti sejarah, berarti kalian bukan orang terpelajar.”
  • “Kalo ga ngerti sejarah, nanti kalian ditertawakan orang!”
  • “Untuk masuk kuliah & kerja itu ada tes pengetahuan umum, bahan soalnya ya itu sejarah.”

Menurut gua, jawaban guru sejarah yang seperti itu kurang bijak. Bukannya menjawab pertanyaan, malah nakut-nakutin siswa. Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, gua minta lo semua lupakan dulu sejarah dalam konteks sebagai mata pelajaran di sekolah, lupakan nilai ulangan sejarah, lupakan dunia akademis. Mari kita sama-sama mengupas apa pentingnya belajar sejarah.

Nah, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, gua mau mengajak lo untuk menelusuri dari sisi sebaliknya:

Emang apa jadinya sih kalo kita ga belajar sejarah? Apa sih konsekuensinya kalo masyarakat ga belajar dari sejarah?

Untuk mengulas hal ini, izinkan gua untuk menceritakan 3 pola dalam sejarah peradaban manusia yang terus terulang selama ribuan tahun. Maksudnya pola itu gimana ya? Jadi begini, selama mendalami sejarah peradaban manusia, para ahli seringkali melihat pola peristiwa yang terus berulang kali muncul karena penyebab yang sama. Pola semacam ini sudah terjadi selama ribuan tahun bahkan sepanjang riwayat peradaban manusia. Penasaran apa sih pola sejarah yang seringkali muncul? Sebetulnya ada banyak sekali, tapi kali ini gua mau cerita 3 pola yang paling menarik:

Pola Sejarah 1: Penguasa terkuat selalu yang paling toleran

Dalam sejarah peradaban manusia, kita bisa menelusuri siapa penguasa terkuat pada zamannya. Katakanlah Persia ketika dinasti Achaemenid (550 SM- 330 SM), Kekaisaran Romawi (50 SM- 300 M), Tiongkok sewaktu zaman dinasti Tang (600 – 900 M), Kekhalifahan Ottoman (abad 16-17), Kerajaan Inggris pada zaman Ratu Victoria (abad 18-19), dan kini Amerika Serikat di zaman modern (1991-sekarang). Semua kerajaan/negara/peradaban yang gua sebut barusan bisa dikatakan sebagai penguasa terkuat pada zamannya.

Kalo kita ngeliat daftar para penguasa terkuat ini, biasanya pertanyaan yang seringkali muncul adalah: Apa yang membuat mereka bisa menjadi penguasa terkuat? Bagaimana mereka bisa memiliki sistem pertahanan yang kokoh dari serangan musuh? Bagaimana caranya mereka bisa menguasai ekonomi dan perdagangan? Bagaimana mereka bisa memiliki pengetahuan & teknologi tercanggih di zamannya? Mengapa mereka bisa jauh lebih maju dan melampaui peradaban lain pada zamannya? Jawabannya bisa jadi panjang banget untuk masing-masing kasus, tapi ada satu pola yang selalu ditemukan di antara para penguasa terkuat di zaman mereka masing-masing: 

Mereka yang menjadi penguasa terkuat di zamannya, SELALU merupakan peradaban/negara/kerajaan yang paling TOLERAN.

Inilah salah satu pola dalam sejarah yang terus terulang berkali-kali dari zaman ke zaman. Gak percaya? Yuk kita telusuri satu per satu.

1. Kerajaan Persia Dinasti Achaemenid | (550 SM- 330 SM)

Ratusan tahun sebelum masehi, ketika sebagian besar kekuasaan di Timur Tengah memiliki budaya “penaklukan”, Persia di bawah dinasti Achaemenid keluar sebagai penguasa terkuat di zamannya dengan menguasai wilayah seluas kira-kira 8 juta km². Seberapa luas tuh? Itu bisa dibilang sekitar 4 kali lipat lebih luas dari luas daratan Indonesia saat ini. Luas buanget yak!?

Ketika bangsa-bangsa lain seperti Assyria, Mesir, Babylonia, dan lain-lain membinasakan dan memperbudak semua kota yang mereka taklukkan. Persia melakukan pendekatan yang berbeda. Penaklukan tidak lagi diartikan sebagai memperbudak, tapi perluasan wilayah. Rakyat jelata dari bangsa-bangsa hasil taklukan Persia tidak dianggap sebagai “orang asing”, tapi sebagai bagian dari kerajaan Persia selama mereka bayar pajak dan menyediakan pasukan untuk kekaisaran Persia. Dengan pendekatan itu, kekaisaran Persia sukses menguasai daerah Timur Tengah yang jika mengacu pada peta dunia modern, meliputi Turki, Iraq, Iran, Mesir, Israel, Libanon, dan Syria.

2. Republik & Kekaisaran Romawi | 45 SM – 325 M

Sejarah republik & kekaisaran Romawi sebetulnya berumur ribuan tahun. Namun gua coba persempit pada masa puncak kejayaan mereka dari era Julius Caesar sampai Kaisar Konstantin (45 SM – 325 M). Pada linimasa itu, Romawi adalah kekuatan negara/kerajaan terkuat di dunia.

Salah satu yang menjadi corak Romawi dibandingkan suku-suku bar-bar di sekitarnya adalah tingkat TOLERANSI-nya terhadap orang asing. Bagi penguasa daerah-daerah yang ditaklukkan (Baca=orang asing), Romawi menawarkan status sebagai “warga negara Roma”. Para penguasa-penguasa lokal hasil taklukan Romawi ini bahkan memiliki kesempatan untuk memiliki karir politik di Roma, dari menjadi senator, jendral, bahkan menjadi Kaisar Romawi!

Kekuatan Roma mulai menurun di tahun 200an Masehi, saat agama Kristen mulai menyebar ke seluruh penjurunya. Mula-mula banyak kaisar Romawi tidak mau mentoleransi lahirnya agama “baru” ini. Pengikut agama Kristen didiskriminasi secara sosial, bahkan seringkali terjadi kasus penganiayaan. Sampai tiba saat dimana Konstantin Agung menjadi Kaisar Romawi sekaligus Kaisar Romawi pertama yang beragama Kristen.

Setelah menjadi Kaisar, Konstantin membuat gebrakan dengan mengumumkan bahwa agama Kristen menjadi satu-satunya agama yang diakui oleh Romawi! Dengan adanya pengalihan agama yang diakui negara tersebut, pergesekan horizontal antar rakyat Romawi yang menganut Kristen dan Non-Kristen (Pagan) terjadi di mana-mana.

illustrasi Kaisar Konstantin (tengah) dalam konsili Nicea 1 sebagai langkah besar dominasi agama Kristen di Roma

Akibatnya selama puluhan tahun, kekaisaran Romawi tercabik-cabik oleh konflik internal dalam negara antara masyarakat Kristen melawan non-Kristen (Pagan), termasuk juga konflik internal di antara berbagai aliran Kristen sendiri. Konflik ini memakan korban jiwa dan kemerosotan ekonomi yang sangat tajam. Kekaisaran Romawi yang sudah ringkih akibat konflik internal dalam masyarakatnya, akhirnya mudah sekali dikalahkan oleh diserang oleh suku-suku barbar sampai akhirnya runtuh tahun 476 yang ditandai kekalahan Kaisar Romulus Augustus oleh Goth Odoacer dari Jerman.

3. Tiongkok Dinasti Tang | abad 7-10 Masehi

Berikutnya ada Dinasti Tang. Dari sekian banyak dinasti dari Tiongkok, cuma Dinasti Tang yang bisa dianggap sebagai penguasa terkuat di dunia di zamannya! Keunikan dinasti Tang adalah: penguasanya TIDAK murni orang Han/Tionghoa, tapi memiliki darah Turki. Sebab pendiri dinasti Tang sebelum menjadi kaisar adalah jendral yang menjaga perbatasan Tiongkok dengan daerah Asia Tengah yang dipenuhi suku-suku keturunan Turki.

Dinasti Tang ini unik sekali, tidak seperti dinasti-dinasti di Tiongkok sebelumnya yang merasa “Pokoknya Tiongkok adalah pusat peradaban dunia, semua bangsa lain adalah orang biadab!”, dinasti Tang sangat terbuka pada lintas budaya & bertukar ilmu pengetahuan dengan orang asing. Di era dinasti Tang, orang-orang asing memenuhi ibukota, bahkan tidak aneh jika kita melihat warisan sejarah dinasti Tang yang menggambarkan orang-orang lokal Tiongkok yang berdandan seperti orang Arab, Persia, Vietnam, dan lain-lain. Di sisi lain, pasukan militer dinasti Tang menjadi begitu kuat karena dikombinasikan dengan kavaleri (pasukan berkuda) Turki yang tangguh.

kebudayaan dinasti Tang yang menggambarkan hubungan erat dengan masyarakat Asia tengah dengan perdagangan jalur Sutera

Lalu apa yang menyebabkan ambruknya Kekaisaran Tang? Singkatnya, hal itu dipicu oleh pemberontakan Jendral An Lushan yang merupakan seorang jendral keturunan Persia. Kendati Dinasti Tang berhasil mengalahkan pemberontak ini, tetapi perang melawan An Lushan membuat persepsi orang-orang Tiongkok berubah dalam memandang orang-orang “asing” yang bukan merupakan keturunan lokal. Intoleransi merebak dimana-mana, orang-orang yang dinilai keturunan “orang asing” diusir dari kota-kota besar. Terjadi pelarangan terhadap budaya asing seperti baju, kesenian, dan lian-lain. Akibatnya, sektor perdagangan & ekonomi lumpuh. Akhirnya, lagi-lagi pola yang sama terjadi, perang saudara menggerogoti dinasi Tang hingga runtuh di tahun 900an.

4. Kekhalifahan Ottoman | abad 16-17 Masehi

Kekhalifahan Ottoman pada abad 16-17 juga sempat menjadi penguasa terkuat di dunia. Bisa lo tebak apa yang menjadi ciri khas yang mendasari kekuatan besar negara ini? Yak, lagi-lagi toleransi yang besar. Pada era kejayaannya, Ottoman berhasil menjadi negara yang menekan tingkat diskriminasi sosial! Praktisnya, tidak ada diskriminasi agama maupun suku dalam tatanan sosial masyarakat Ottoman! Semua orang dari latar belakang suku atau agama manapun, memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin politik maupun berbisnis dengan siapapun. Di sisi lain, kekhalifahan Ottoman juga membuka pertukaran ilmu pengetahuan dengan peradaban di Eropa yang sudah mulai maju menuju ke tahap Enlightenment era.

Lalu apa dong yang membuat Turki Ottoman mengalami kemunduran hingga akhirnya menjadi runtuh? Puncak keruntuhannya bisa gua katakan pada saat Perang Dunia 1 yang udah sempat gua bahas di artikel Zenius sebelumnya. Namun jauh sebelum kejatuhannya PD1, Ottoman sempat mengalami stagnasi (absennya pertumbuhan) panjang. Lho kok bisa? Sedikit banyak stagnasi itu dipengaruhi oleh isu-isu anti-asing yang disuarakan dengan label fatwa-fatwa ulama Ottoman yang melarang masyarakatnya untuk bertukar ilmu pengetahuan dengan pihak asing di luar khalifah/Ottoman. Akibatnya, mempelajari pengetahuan dari non-muslim menjadi hal yang tabu. Sementara nuansa intoleransi terhadap asing semakin merebak, bangsa-bangsa di Eropa pada abad 17-18 justru sedang mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.

Contoh-contoh peradaban/kerajaan/negara terkuat lainnya

Sebetulnya masih banyak contoh yang bisa dibahas, tapi gua coba bahas sekilas aja karena nanti jadi terlalu panjang artikelnya. Contoh lain yang bisa kita lihat dari pola sejarah ini pada zaman Kerajaan Inggris era Victorian (abad 18-19). Pada zaman ini, Kerajaan Inggris bisa dianggap sebagai kekuatan terbesar di dunia. Relatif terhadap negara-negara lain, Inggris bisa dianggap sebagai negara yang paling menjunjung tinggi kemanusiaan. Hal ini ditandai dengan kebijakan mereka yang anti-perbudakan. Di saat perbudakan terhadap warna kulit tertentu (orang asing=budak) marak di negara-negara Eropa bahkan Amerika, bangsa Eropa justru membebaskan para budak. Terlepas dari pandangan bahwa budak-budak ini adalah orang asing, Inggris adalah bangsa modern pertama yang menyatakan dengan tegas bahwa perbudakan adalah hal yang ilegal karena tidak manusiawi.

Contoh lain yang bisa kita lihat adalah Amerika Serikat di zaman modern, tepatnya setelah keruntuhan Uni Soviet tahun 1991-sekarang. Mungkin ada sebagian kalangan yang memperdebatkan status kekuatan AS saat ini bisa dikatakan terkuat atau tidak. Namun secara umum, lo bisa crosscheck sendiri ranking negara terkuat di dunia selama 20 tahun terakhir hampir selalu dijuarai oleh AS.

Terlepas dari beberapa kasus belakangan ini, sepanjang abad 20 yang lalu, Negara AS bisa dikatakan sebagai salah satu negara yang secara tegas menyatakan perlindungan terhadap hak-hak minoritas, kebebasan beragama, serta kesetaraan hak setiap individu dalam konstitusinya. Ada begitu banyak progresivitas yang dimulai oleh AS di era modern ini, seperti pemenuhan hak politik kaum pendatang, kesetaraan hak kulit berwarna, kesetaraan hak perempuan, hingga kelahiran agama-agama baru minoritas di era modern ini juga terjadi Amerika Serikat. Kapan kemunduran AS dimulai? Kita belum bisa memastikan tapi berdasarkan pola-pola yang terjadi sebelumnya, kita bisa menduga hal-hal seperti apa yang bisa jadi memicu kemunduran sang negara penguasa. 😉

****

Dari beberapa contoh kasus ini gua harap lo bisa melihat apa yang gua maksud dengan pola dalam sejarah. Sikap toleransi biasanya menciptakan asimilasi yang positif dalam keberagaman. Pelajaran sejarah yang bisa kita tarik dari sini jelas: kalau kau mau negaramu kuat, JADILAH NEGARA TOLERAN. Sebaliknya, kehancuran dari peradaban yang kuat, seringkali diawali oleh menguatnya isu-isu intoleransi yang menggerogoti bangsa-bangsa itu dari dalam sampai akhirnya melemah dan jatuh dengan sendirinya.

Jadi, sekarang gua harap pertanyaan lo tentang apa pentingnya belajar sejarah bisa cukup terjawab. Begitu juga dengan perspektif sebaliknya: apa jadinya kalo kita tidak belajar dari sejarah?

“Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.”  – Jorge Agustín Nicolás Ruiz de Santayana

Pola Sejarah 2: Tidak ada harga yang naik selamanya 

Setelah contoh sejarah politik, berikutnya kita bahas sebuah pola sejarah dalam dunia ekonomi yang tidak kalah pentingnya untuk diketahui. Apaan tuh? Nama kerennya adalah economic bubble atau gelembung ekonomi. Bagi lo yang awam banget dengan istilah ini, biar gua jelasin singkat aja:

Economic bubble adalah sebuah fenomena ekonomi dimana harga suatu “barang” yang berangsur-angsur naik terus-terusan dengan sangat cepat sehingga membuat banyak pelaku ekonomi berlomba-lomba untuk membeli barang tersebut, untuk kemudian dijual kembali dengan harapan mendapatkan selisih harga yang besar.

Yak, harga suatu barang bisa tiba-tiba naik dan hal itu membuat banyak orang mencoba mengambil keuntungan ekonomi dengan membeli barang-barang tersebut. Biasanya fenomena cukup menghebohkan di masyarakat sampai-sampai seringkali ada ajakan:

Ayo buruan beli, mumpung harganya masih segini! Kalo harganya udah makin mahal, bisa langsung kita jual lagi. Jangan takut kalo barang ini gak bisa dijual, barang ini lagi laku banget, bahkan harganya akan naik terus!

Fenomena kenaikan harga ini disebut “gelembung” untuk satu alasan: yang namanya GELEMBUNG ya akan naik dengan mencolok, dan pasti pecah ketika sudah tinggi! Yak, seperti yang gua sebut di atas. Tidak ada harga yang naik selamanya. Pada suatu titik, gelembung kenaikan harga ini akan pecah, artinya harga yang melambung juga akan merosot tajam seiring dengan kejenuhan pasar.

Masih belum kebayang contoh kasusnya? Biar gw kasih contoh gelembung ekonomi terbaru di Indonesia: fenomena batu akik di tahun 2015 yang lalu. Masih inget ketika tiba-tiba semua orang demam batu akik? Dari kalangan selebritis, pejabat sampai tukang becak tiba-tiba semua ngurusin batu akik! Harga batu akik sempat melonjak tajam, bahkan mencapai milyaran Rupiah! Namun tidak lama setelah lebaran tahun 2015, mendadak batu akik jadi tidak terlalu banyak diminati lagi, harga batu akik terjun bebas dan membuat para kolektor panik. Bayangkan betapa ruginya orang yang membeli batu akik sebelum lebaran seharga Rp 1 milyar lalu ketika hendak menjualnya setelah lebaran ternyata harganya sudah merosot tajam hingga hanya laku dijual Rp 1 juta saja.

Salah satu contoh lain adalah fenomena bunga tulip di Belanda sekitar tahun 1636 – 1637. Harga bibit bunga tulip di Belanda saat itu sempat menyamai 10x lipat gaji tahunan seorang pengrajin profesional! Namun, harga mendadak terjun bebas setelah lelang tulip di Haarlem di Febuari 1637 gagal total. Setelah itu, harga tulip terus turun drastis. Contoh lain yang terjadi di Indonesia terjadi di sekitar tahun 2000an, saat pohon anthurium atau tanaman gelombang cinta sempat melonjak naik hingga mencapai 2 Milyar Rupiah! Sama seperti harga bibit tulip, fenomena ini hanya muncul sesaat hingga akhirnya harga tanaman anthurium terus merosot hingga ke level ratusan ribu Rupiah.

Bagi mereka yang memahami pola sejarah ekonomi, tidak akan larut dengan kehebohan tren sesaat semacam ini. Karena seperti pola sejarah yang lain, fenomena economic bubble ini juga sudah sering terjadi berkali-kali dalam sejarah. Sebetulnya ada banyak contoh economic bubble lain yang bisa dibahas, seperti bubble ikan Louhan di Indonesia tahun 2002 & juga bubble kenaikan harga property di Amerika tahun 2006, tapi rasanya ga perlu gua bahas lebih detil lagi karena sudah cukup jelas.

PS. Buat lo yang mau memahami lebih dalam bagaimana bubble kenaikan properti di Amerika menyebabkan krisis ekonomi dunia 2008 bisa lihat di artikel zenius sebelumnya.

Pada prinsipnya, semua gelembung ekonomi melewati 5 tahap sebagai berikut:

  1. Displacement          → munculnya kesempatan/tren baru
  2. Euphoria                 → melonjaknya harapan pada tren baru tersebut
  3. Mania                      → banyak orang yang membeli dengan harga yang makin tinggi, makin tinggi
  4. Distress                   → munculnya kekecewaan saat tren tersebut tampaknya mulai memudar
  5. Revulsion/discredit → harga terjun bebas, gelembung pecah

Semua gelembung ekonomi, melewati 5 tahapan itu. Pelajaran sejarah dari gelembung ekonomi ini adalah: jangan terbuai oleh tren sesaat, apalagi sampai mengeluarkan seluruh tabungan kita untuk berinvestasi pada barang/komoditas yang harganya terus naik dengan tidak wajar. Ada begitu banyak orang yang jatuh bangkrut hanya karena tidak mau belajar dari pola sejarah. Sekarang apakah lo masih mempertanyakan apa pentingnya belajar sejarah?

Pola 3: Pemerintahan dengan kontrol ekstrim, berujung pada pelanggaran HAM

Pola ke-3 yang gua ceritakan pada artikel ini terkait dengan sejarah yang lebih dekat dengan masa kini, sejarah HAM. Pada artikel Zenius sebelumnya, Glenn sudah sempat menjelaskan pengertian atau gagasan mendasar dari berbagai pandangan politik-ekonomi seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, demokrasi, liberalisme, dll. Pada dasarnya, berbagai pandangan politik ini memiliki tujuan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang ideal, hanya saja pendekatannya berbeda. Namun jika gua coba sederhanakan lagi, sebetulnya berbagai pandangn politik itu adalah sebuah gambaran kondisi di antara 2 pandangan ekstrim politik, yaitu:

  1. Full Control (Totaliter)
  2. No Control

Negara dengan kontrol ekstrim (full control) atau istilah teknisnya disebut Totaliter adalah negara yg mengatur semua segi kehidupan masyarakatnya. Dari mulai perputaran ekonomi, aliran informasi, sistem pendidikan, pembangunan infrastruktur, bahkan hal-hal paling pribadi seperti opini pribadi terkait hal apapun juga kalo bisa mau dikontrol oleh pemerintah. Negara totaliter adalah negara yg menginginkan semua warganya tunduk secara mutlak terhadap perintah negara dalam setiap sendi kehidupan mereka. Dalam kondisi seperti itu, otomatis tidak ada kebebasan berekspresi, tidak ada kebebasan berpendapat, bahkan tidak ada privasi individu dalam sebuah negara totaliter. Nah, pada negara-negara totaliter, atau setidaknya negara yang sedang dalam proses mengarah pada rezim totaliter (full-control), ada 1 pola sejarah yang terus berulang: yaitu terjadinya pelanggaran HAM.

Masih belum kebayang? Yuk kita telusuri contohnya. Beberapa contoh negara yang sempat berada dalam kondisi totaliter di era modern adalah Kamboja (rezim Pol Pot), Uni Soviet (rezim Stalin), Jerman (rezim Hitler), Korea Utara (rezim dinasti Kim). Dari contoh-contoh tersebut, kita bisa melihat bahwa walaupun dari ideologi politik-ekonomi rezim-rezim tersebut sangat berbeda (Hitler itu berideologi fasis sementara Pol Pot & Stalin berideologi sosialis-komunis). Namun ada 1 kesamaan di antara mereka yaitu sama-sama berupaya mengendalikan semua sendi kehidupan masyarakatnya. Yuk mari kita kupas contoh-contoh rezim di atas dengan lebih detil:

Rezim Totaliter Stalin di Uni Soviet

Uni Soviet adalah negara pertama yang mengusung gagasan Karl Marx untuk menciptakan masyarakat komunis, dimana (dalam gagasan idealnya) tujuan akhirnya adalah terciptanya masyarakat yang setara, tidak ada lagi kelas sosial, tidak ada lagi kepemilikan pribadi, tidak ada perdagangan. Semua orang akan mengerjakan apa yang mereka inginkan, serta saling memenuhi kebutuhan satu sama lain. 

Nah, untuk menciptakan kondisi masyarakat komunis, dibutuhkan sebuah “fase perantara” yang Marx sebut dengan sosialisme, dimana kaum pekerja akan bersatu dan mengambil alih alat-alat produksi dari para pemilik modal untuk mendayagunakan alat produksi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Dalam hal ini, revolusi Rusia yang dipimpin oleh Vladimir Lenin pada Oktober 1917, bisa dikatakan sebagai momentum berdirinya negara pertama yang berupaya mendirikan pemerintahan sosialis, yang bertujuan menciptakan masyarakat komunis.

Namun sayangnya, Lenin sang pemimpin revolusi meninggal tahun 1924, tak lama setelah lahirnya Uni Soviet. Akhirnya, kepemimpinan Soviet beralih kepada seorang bernama Joseph Stalin. Tidak seperti Lenin yang membangun dengan pendekatan intelektual, Stalin itu gaya yang sangat jauh berbeda. Satu hal yang bisa gua identikkan dengan pribadi Stalin adalah sikap paranoid, dia selalu takut dan khawatir akan segala hal. Ada banyak cara menghadapi rasa takut, Stalin memilih cara “Mengontrol segalanya, membunuh semua potensi ancaman, dan memastikan semua rakyat takut dengan dirinya”.

Di tangan Stalin, penerapan sosialisme di Soviet menjadi semakin identik dengan rezim totaliter. Dia tidak segan-segan menyingkirkan pihak-pihak yang dia anggap berbahaya bagi stabilitas negara, partai, ataupun dirinya. Saking paranoidnya, Stalin bahkan mengontrol ranah seni yang boleh dikerjakan oleh para seniman di Soviet, yaitu gaya “realisme sosialis” sebagai satu-satunya corak seni visual yang diperbolehkan. Apa jadinya jika ada seniman yang tidak menurut? Mereka dianggap membangkang cita-cita revolusi, dipenjara, bahkan dibunuh.

Salah satu lukisan potret Stalin yang beraliran realisme sosialis

Selain pelanggaran HAM terhadap seniman, Stalin juga menyita hasil panen & mengisolasi seluruh desa-desa petani di Ukraina hanya karena dianggap tidak mau diatur. Akibatnya sangat mengerikan, 7,5 juta petani mati kelaparan karena musim dingin di tahun 1931-1933. Pembantaian kontrol penuh ini berhasil: tidak ada orang di Uni Soviet yang berani melawan Stalin. Pada akhirnya, Josef Stalin membunuh sekitar 60 juta manusia selama dia berkuasa. Lebih banyak dari korban jiwa Perang Dunia 2 (Sekitar 50 juta manusia).

Rezim Totaliter Hitler di Jerman

Tidak seperti Stalin, totalitarianisme Hitler bercorak politik sayap kanan fasis. Namun sama seperti Stalin, Hitler juga mengatur semua segi kehidupan rakyatnya. Semua warga Jerman saat itu dilarang untuk mengkritik kepemimpinan Hitler, bukan cuma secara terbuka (misalnya dengan menulis artikel di koran) tapi juga di perbincangan kehidupan sehari-hari mereka! Jadi, kalau orang Jerman di tahun 1930an dan 1940an bergosip menggunjingkan Hitler atau partai Nazi di warung kopi, mereka bisa terancam dipenjara! Polisi Jerman pada era itu bukan hanya mengejar pelaku kriminal, tapi orang yang kedapatan berbeda pendapat dengan pemerintah, juga harus diadili!

Alhasil, tidak ada lagi privasi pada rezim Hitler di Jerman. Setiap tetangga kita berpotensi melaporkan kita pada polisi, yang membantah pemerintah akan berakhir di penjara atau kuburan. Pemerintah Nazi jadi identik dengan penjarahan, pemenjaraan, yang diakhiri dengan pemicu pecahnya Perang Dunia 2 hingga pembantaian besar-besaran ras Yahudi secara sistematis dan terstruktur.

PS. Jika ingin menelusuri lebih detil kehidupan Hitler hingga menjadi Fuhrer, bisa baca di sini.

Rezim Totaliter Pol Pot di Kamboja

Sama seperti cita-cita komunisme di Uni Soviet yang ingin mengubah negara mereka, Pol Pot sang pemimpin Khmer Merah juga bermimpi mengubah total masyarakat Kamboja. Sesuai dengan salah satu ciri totalitarianisme, rezim kediktatoran Pol Pot juga menghapuskan privasi masyarakatnya sampai pada tahap paling pribadi. Tidak ada barang milik pribadi, semua benda menjadi milik negara. Warga tidak bisa memilih profesi maupun tempat mereka bekerja, semua dipilih oleh pemerintah. Pol Pot yg amat membenci budaya perkotaan (urbanisme) juga memerintahkan seluruh rakyat untuk pindah ke desa.

Hal yang paling mengerikan dari rezim Pol Pot adalah kebenciannya terhadap kaum intelektual. Bagi Pol Pot, orang yang cerdas, terdidik, dan berpendidikan tinggi akan berpotensi membahayakan negara, oleh karena itu harus dibunuh. Atas dasar kebencian pada kaum intelektual, jika ditemukan seseorang yang berkacamata atau kulit tangannya halus (tanda bukan pekerja kasar), bisa jadi kena hukuman mati atau eksekusi di tempat. Gila banget ya?

Sama seperti Stalin dan Hitler, pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Pol Pot di Kamboja juga sangat mengerikan. Sejak tahun 1975-1979, diperkirakan 1,5 juta manusia atau 7/8 dari total populasi masyarakat Kamboja menjadi korban dari eksekusi, kelaparan, penyakit menular, dan perbudakan di rezim totaliter Pol Pot.

gunungan tengkorak manusia, korban genosida rezim khmer merah Pol pot di Kamboja.

Rezim Totaliter Kim di Korea Utara

Jika semua rezim totaliter di atas adalah sejarah masa lalu, apakah masih ada yang terjadi sampai hari ini? Yak, rezim totaliter masih ada di era modern, tepatnya di Korea Utara. Jangan dibayangkan kondisi Korut itu sedikit banyak mirip dengan Korea Selatan yang gemerlap dengan fashion, teknologi maju, drama K-Pop, dan semacamnya. Kondisi masyarakat di Korea Utara sangat berbeda dengan saudara serumpun mereka di selatan.

Kontrol di negara Korea Utara begitu ekstrem, sampai-sampai semua rakyatnya diwajibkan menyembah foto pemimpin mereka setiap hari begitu bangun pagi. Setiap rasa syukur dan pujian, hanya boleh ditujukan pada pemimpin mereka yaitu keluarga garis keturunan keluarga Kim (Kim Il Sung, Kim Jong Il, Kim Jong Un).

Hasil dari rezim totaliter ini serupa dengan pola-pola sebelumnya: pelanggaran HAM berat terjadi di setiap sudut negeri setiap hari, siapapun bisa disiksa dan dibunuh karena dianggap mengancam negara karena alasan-alasan sepele. Sampai hari ini, rakyat Korea Utara masih tidak punya privasi sama sekali, tidak ada internet, tidak ada jaringan telepon ke luar negeri, tidak ada akses keluar perbatasan tanpa seizin pemerintah, tidak ada informasi, tidak ada sumber hiburan, maupun ilmu pengetahuan dari dunia luar yang bisa dikonsumsi langsung oleh masyarakat Korea Utara.

Buat kamu yang penasaran, bisa juga menonton cuplikan video kesaksian dari Yeonmi Park, seorang wanita yang berhasil lolos kabur ke luar perbatasan Korea Utara:

****

Ini adalah pola sejarah yang terus terulang berkali-kali. Ironisnya, banyak masyarakat yang tidak memahami pola sejarah ini dan malah mengangkat pemimpin yang sejak awal memiliki ciri-ciri yang mengarah pada totalitarianisme. Salah satu contoh klisenya adalah terpilihnya Hitler menjadi pemimpin Jerman melalui jalan demokratis yang legal dengan mengkampanyekan jargon-jargon nasionalisme & anti-asing. Ironis kan?

Pelajaran yang bisa diambil dari sini adalah: masyarakat demokratis yang buta sejarah akan dengan mudah disetir oleh media propaganda, fitnah, dan berita palsu untuk membelokkan persepsinya terhadap kepentingan kekuasaan tertentu.

Penutup

Nah, 3 pola yang gua ceritakan di atas baru sebagian kecil dari pola-pola sejarah lain yang bisa kita pelajari dalam sejarah peradaban manusia. Pola-pola dalam sejarah ini adalah petunjuk bagi kita untuk jadi lebih bijak, lebih cerdas, & juga modal pengetahuan untuk membangun peadaban yang lebih baik di masa depan! Marilah kita belajar dari masa lalu, agar penderitaan pendahulu-pendahulu kita, kakek-nenek moyang kita tidak perlu terulang lagi. Jadi, apakah masih ada yang bingung apa pentingnya belajar sejarah?

Sumber: Amy Chua: Day of Empire Niall Ferguson: The Ascent of Money Samuel P. Huntington: The Political Orders in Changing Societies //en.wikipedia.org/wiki/Tulip_mania //en.wikipedia.org/wiki/Mississippi_Company //www.investopedia.com/ask/answers/06/debtequityswap.asp //en.wikipedia.org/wiki/Failed_state

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA