Peran dan fungsi ijtihad dalam pandemi Covid-19

JAKARTA — Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, Covid-19 menjadi pandemi global yang menyerang hampir semua negara di dunia. Dampak yang ditimbulkan sangat luas dan multi dimensi, sehingga memaksa semua negara menetapkan kebijakan khusus untuk menanggulanginya.

Menurut Wapres, di antara sektor yang terimbas cukup dalam adalah bidang ekonomi. Hampir semua negara mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan. Bahkan banyak negara berkembang yang ekonominya terdampak sangat serius sehingga membutuhkan bantuan dari negara lain.

"Pandemi Covid-19 dan segala dampaknya merupakan pengalaman baru bagi kita semua, sehingga pemerintah harus mengambil keputusan dan tindakan extraordinary untuk menanggulanginya," ucapnya saat membuka Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 Tahun 2021 secara virtual, Senin (25/10/2021).

Wapres mengatakan, dunia membutuhkan gagasan-gagasan baru untuk mengatasi tantangan pandemi Covid-19, baik dari aspek medis maupun aspek-aspek non medis yang meliputi semua bidang yang terdampak wabah ini. Di sinilah peran syariah Islam sangat diharapkan untuk memberikan solusi yang kontekstual agar kebijakan yang terbaik dapat diambil.

"Syariah Islam diletakkan untuk memastikan terwujudnya tujuan syariah dalam membangun kemaslahatan baik di dalam masalah agama maupun masalah dunia secara simultan," ucapnya.

Setiap ketentuan hukum syariah dimaksudkan untuk menjaga hal-hal yang primer (ad-dharuriyat), seperti menjaga agama (hifzh ad-din), jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-aql) dan keturunan (hifzh an-nasl), serta harta (hifzh al-maal), maupun yang sifatnya sekunder (al-haajiyat) seperti hal-hal yang menyangkut aspek muamalah yang apabila diabaikan maka akan terjadi berbagai kesempitan dan kesulitan (ad-dhaiq wal-haraj), maupun yang sifatnya melengkapi kesempurnaan hidup (tahsiniyat/tersier).

"Syariah itu ada yang sumbernya nash Al-Qur’an dan Hadis (Al-Manshushah) dan hasil ijtihad (Ijtihadiyah)," imbuhnya.

Bahkan menurut Imamul Haramain kebanyakan syariah berasal dari hasil ijtihad karena nash itu terbatas (fa inna nushusha mahdudah), sedangkan berbagai masalah kehidupan (al-masail wal waqa’i wan-nawadzir), baik yang menyangkut masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain tidak terbatas, baik yang menyangkut masalah yang baru (al-masail al-jadidah) atau merupakan masalah lama yang mengalami perubahan (al-masail al-mustajaddah).

Baca Juga : Tes PCR di Bandara Soetta Keluar dalam 3 Jam, Harganya Rp495 Ribu

"Di sinilah pentingnya peran fikih untuk merespon berbagai perubahan tersebut karena fikih merupakan solusi (makharij) untuk mengurai berbagai problema yang dihadapi setiap saat," tukasnya.

"Saya yakin fikih Islam dapat memberikan solusi dan sumbangan pemikiran untuk mengatasi pandemi Covid-19 beserta seluruh dampaknya. Saya juga merasa yakin karena fikih Islam dimaksud untuk memberikan kemaslahatan bagi semua orang. Fikih Islam tidak dimaksudkan untuk menyulitkan kehidupan, namun sebaliknya fikih Islam merupakan solusi bagi kehidupan umat manusia, termasuk solusi untuk menangani pandemi Covid-19 ini," tambah dia.

Lebih lanjut, Wapres mengatakan pandemi Covid-19 juga berdampak pada kehidupan keagamaan. Para ulama di hampir semua negara, terutama yang berpenduduk muslim, melakukan telaah ulang (i’adatu an-nadhar) terhadap pandangan keagamaannya, karena sudah tidak sesuai dan tidak relevan dengan kondisi pandemi yang ada.

"Mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan fatwa baru yang lebih relevan dengan kondisi pandemi. Fatwa baru tersebut menjadi panduan umat Islam di negara masing-masing, misalnya tentang bagaimana melaksanakan ibadah di tengah pandemi Covid-19, baik untuk tenaga medis, para penderita, ataupun umat Islam pada umumnya, tentang tata cara pemulasaraan jenazah (tajhiz al-janaiz) pasien positif Covid-19 yang sesuai protokol kesehatan, dan fatwa terkait instrumen ekonomi yang dapat digunakan sebagai mitigasi dampak pandemi Covid-19," tuturnya.

Pada dasarnya, kata Wapres, ajaran Islam diturunkan oleh Allah SWT tidak untuk menyulitkan pemeluknya. Di dalam menjalankan ibadah ada yang bisa dilakukan dengan cara yang normal (‘azimah), yaitu ketika dilakukan di situasi normal. Namun dalam kondisi tidak normal pelaksanaan ibadah bisa dilakukan dengan menyesuaikan kondisi yang ada.

Kondisi tidak normal tersebut bisa berupa masyaqqah atau dharurah syar’iyyah. Dua-duanya menjadi alasan adanya keringanan (rukhsah) dalam menjalankan ajaran Islam. Sehingga hukum Islam mempunyai fleksibilitas dalam pelaksanaannya (murunatu al-fiqh al-islami) sesuai kondisi yang ada.

Menurut Imam As-Syathibi, rukhsah ada yang sifatnya takhyir, merupakan pilihan antara hukum asal (‘azimah) dan keringanan (rukhsah). Ada pula yang disunatkan agar lebih memilih yang rukhsah dari pada yang ‘azimah, ada pula yang sifatnya mathlub (diharuskan), seperti memakan bangkai ketika tidak ada pilihan lain untuk mempertahankan hidup. Bahkan Imam As-Syathibi mengatakan apabila dia tidak mengonsumsi dan kemudian mati maka dia masuk neraka.

Dalam setiap pembahasan fikih baik yang menyangkut ibadah, muamalah, jinayah, dan lainnya selalu memuat pedoman dan memberi tuntunan yang menyangkut kemaslahatan dan terwujudnya maqashidus syariah.

Fleksibilitas fikih Islam inilah yang menjadi ruh fatwa para ulama di setiap masa, termasuk pada masa pandemi Covid-19 ini. Hal itu sejalan dengan tujuan utama diturunkannya syariah (maqashid as-syariah). Kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, menjadikan hifdzu an-nafsi (menjaga keselamatan jiwa) menjadi pertimbangan paling utama dalam menetapkan fatwa, karena tidak ada alternatif penggantinya.

Motivasi menjaga keselamatan jiwa menjadi pertimbangan utama di Indonesia dalam menetapkan kebijakan tanggap darurat untuk mengatasi pandemi Covid-19, yaitu dengan menetapkan langkah-langkah seperti mengurangi penyebaran Covid-19 dan menekan jumlah orang yang tertular dengan memberlakukan pembatasan pergerakan masyarakat, social distancing, melarang kerumunan, dan mengurangi segala bentuk kegiatan yang dapat berpotensi menularkan Covid-19.

"Dengan demikian penanggulangan Covid-19 bukan semata-mata masalah kesehatan, tetapi termasuk bagian penting dari persoalan agama, amrun diniyyun syar’iyyun hima’iyyun ikhtiraziyyun (persoalan agama yang sesuai dengan syariah yang sifatnya memberikan penjagaan dan perlindungan)," pungkasnya.

  • #fatwa
  • #Covid-19
  • #Maruf Amin

Oleh: Amri Ikhsan *)

WAJIB hukumnya untuk terlibat aktif mengikuti pemberitaan dan informasi yang terpercaya tentang perkembangan COVID-19, untuk mengambil langkah ‘non-medis’ menghindari penyebaran virus ini dan menyebar informasi tersebut kepada pihak pihak terdekat.

Ini sebuah kewajiban dan sebuah kebaikan. Tapi, jangan terperangkap dan tergoda untuk ‘menikmati’ berita hoaks atau informasi yang salah. Jangan mudah share atau membagikan informasi yang belum jelas kebenarannya. Informasi yang di-share justru akan membuat kepanikan dan menambah “ketakutan” baru.

Merebaknya wabah virus corona di berbagai belahan dunia juga diikuti dengan menyebarnya konten hoaks serta informasi yang memancing kecemasan publik. Pemberitaan tentang penyebaran covid-19 telah menjadi Tsunami informasi bagi masyarakat Indonesia. Media sosial: Google, Facebook, Youtube, Twitter, whatapps, dll. tidak dapat dihindari telah menjadi pintu masuknya informasi negatif mengenai Covid-19.

Namun, perkembangan hoaks masih tak terhindarkan. Menkominfo mengungkapkan bahwa hingga hari ini (23/3/2020), pihaknya telah mengidentifikasi 305 hoax dan disinformasi terkait Covid-19 itu. (Liputan6), dan pihak Kepolisian telah menetapkan status tersangka terhadap 51 pelaku penyebaran hoaks terkait Covid-19, dan juga telah memblokir 38 akun media sosial. (detik)

Para ahli menyatakan penyebaran hoaks terkait Covid-2019, sama cepat, atau bahkan lebih cepat, ketimbang penyebaran virus itu sendiri. WHO menyebut banjir informasi mengenai virus Corona itu sebagai “infodemik”. Infodemik dapat menghambat respons, menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan di masyarakat, menyulitkan menemukan sumber yang dapat dipercaya.

Yang sedikit mengkhawatirkan, orang yang membaca berita hoax: 1) tidak tahu sama sekali apa itu berita hoax; 2) langsung tersulut emosi sehingga pemikiran jernihnya hilang; 3) tahu bahwa berita itu hoax akan tetapi karena ia benci dengan orang dalam hoax itu, kemudian ia pun ikut menyebarkan. (Bhayangkari)

Disini rasanya perlu ijtihad, ijtihad digital. Medan jihad yang paling strategis saat ini adalah media sosial. Media sosial seperti pisau bermata dua. Jika digunakan dengan baik, maka akan menyelamatkan kita. Jika tidak, maka akan menjerumuskan kita.

Dalam literatur, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Ini adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh mencari kebenaran.

Ijtihad digital menjadi suatu keperluan mendesak khususnya dalam situasi dimana digitalisasi sudah terjadi dihampir semua lini kehidupan. Ijtihad digital bukan bermaksud untuk menghasilkan keputusan yang mutlak absolut, bersifat relatif. Ijtihad ini mengajak warganet untuk lebih toleran, sopan dan simpatik dalam berkomunikasi di dunia maya.

Oleh karena itu, ijtihad digital merupakan usaha usaha yang sangat sungguh untuk membuat komunikasi di media sosial berjalan sesuai dengan norma kehidupan, sehingga bisa diterima dan bersahabat oleh semua pihak.

Pertama, bermedia sosial sangat subjektif. Menurut kita sangat lucu, mungkin orang lain tidak. Menurut kita sangat penting, tapi bukan untuk orang lain. Menurut kita menarik, aktual, menginspirasi, tapi bagi orang lain biasa biasa saja. Menurut kita menghebohkan, menggemparkan, tapi bagi orang lain sebaliknya.

Merasa alim berdoa, photo waktu shalat, selfi waktu baca Al-Qur’an, pamer sedekah, upload photo ka’bah, dll, tapi inikah namanya riya? Oleh karena itu, sadari bahwa apa yang kita pikir, belum tentu sama yang dipikir orang lain.

Kedua, hindari menggunakan media sosial ketika emosi. Kita akan dengan sangat mudah bertindak emosional. Kendalikan diri. Sampaikan tulisan dan hargai perbedaan pendapat orang lain dengan cara yang santun. Hati-hati, Media Sosial bersifat publik. Jadi apa yang kita tuliskan di sana akan dibaca dan diketahui oleh banyak orang.

Ketiga, Di dalam berkomunikasi apalagi di medsos, harus saling menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama komunikasi akan terganggu. (Grice, 1975).

Warganet mesti menjalankan prinsip prinsip kerja sama: a) maksim kuantitas: informasi yang diberikan seinformatif mungkin. Intinya, jangan lebih dan jangan kurang. Artinya, berkomentar seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.; b) maksim kualitas: Jangan menyebarkan kebohongan. Jangan dikatakan yang tidak benar. Intinya, jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup. Jadi, katakanlah hal yang sebenarnya, jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.

Kemudian, c) maksim hubungan: Informasi harus relevan dan fokus pada persoalan yang sedang dibicarakan. Bicaralah sesuai dengan permasalahan; d) maksim tindakan: katakan dengan jelas, singkat, tidak bertele-tele. Informasinya harus sistematis. Hindarkan kabar yang tidak jelas, buat informasi sesingkat mungkin yang bermakna kabur.

Keempat, Sebaik-baiknya manusia dalam bermedsos adalah yang menggembirakan sesama. Perbanyaklah kebaikan dengan menyampaikan berita yang positif. Kalaulah tak bisa men-share berita baik, ‘tahan’ jari tidak membagi berita hoaks. Kalaulah tak mampu memberikan manfaat kepada orang lain, paling tidak jangan tebarkan kepanikan, ketakutan kepada orang lain.

Jadi, marilah mengembalikan fungsi media sosial kepada fitrahnya yang semula: menjalin silaturrahmi. Tolong pamer ‘kemesraan” bukan unjuk kepanikan.

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah Batanghari