Peristiwa revolusi Nasional dan sosial yang terjadi pada awal kemerdekaan

2. Perjuangan Diplomasi

Selain melalui perjuangan bersenjata, pemerintah Republik Indonesia juga mempertahankan kemerdekaan melalui perjuangan diplomasi. Melalui diplomasi, pemerintah Republik Indonesia mendapat pengakuan dunia internasional.

a.      Perundingan Pendahuluan di Jakarta

Perundingan pendahuluan di Jakarta terjadi selang beberapa hari setelah kedatangan tentara Sekutu di Jakarta pada akhir September 1945. Selanjutnya, pada tanggal 23 Oktober 1945 H.J. Van Mook selaku Gubernur Jendral NICA mengadakan pertemuan dengan para pemimpin Republik Indonesia di Gambir Selatan, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut Van Mook mengajukan pemikirannya untuk membangun hubungan ketatanegaraan yang baru antara Indonesia-Belanda. Van Mook menegaskan bahwa status Indonesia akan menjadi “negara dominion” dalam persemakmuran Uni Belanda. Usul tersebut ditolak oleh H. Agus Salim dan seluruh pemimpin Republik Indonesia yang hadir dalam perundingan itu.

b.      Perundingan Hoge Valuwe

Perundingan Hoge Valuwe di Belanda merupakan kelanjutan dari perundingan pendahuluan di Jakarta. Perundingan Hoge valuwe membicarakan beberapa permasalahan yang tertuang dalam “Draft Jakarta”. Beberapa unsur pokok dalam draf tersebut antara lain pengakuan de facto pemerintahan Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatra, struktur federal pada masa yang akan datang,dan kesejajaran hubungan Indonesia-Belanda.

Akhirnya, Perundingan Hoge Valuwe mengalami kegagalan dan tidak membawa hasil bagi kedua belah pihak. Meskipun demikian, Perundingan Hoge valuwe memberi kepercayaan diri bagi pemerintah Indonesia untuk membawa perkara Indonesia-Belanda di tingkat internasional.

c.       Perundingan Linggarjati

Perundingan Linggarjati diselenggarakan pada tanggal 10 November 1946 atas prakarsa Lord Killearn (Inggris). Dalam perundingan itu, delegasi Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir, Moh Roem, Susanto Tirtoprodjo, dan A.K. Gani. Sementara itu, delegasi Belanda  diwakili oleh Dr. Sshermerhorn dan H.J. Van Mook.

Setelah melalui perundingan alot, dihasilkan tujuh belas pasal ketentuan dalam Perundingan Linggarjati. Isi pokok Perundingan Linggarjati sebagai berikut.

1.  Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra.

2.  Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama membentuk RIS dengan Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagiannya.

3.    RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua.

Hasil perundingan Linggarjati tidak menguntungkan Indonesia karena wilayah Republik Indonesia justru semakin sempit. Akan tetapi, Sutan Sjahrir berpendapat Perundingan Linggarjati merupakan langkah awal yang dibutuhkan Indonesia untuk mencapai kedaulatan penuh.

d.      Perundingan Renville

Perundingan Renville dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal perang Amerika Serikat USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Pada Perundingan Renville delegasi Indonesia dipimpin Amir Syarifuddin dan delegasi Belanda dipimpin R. Abdulkadir Wijoyoatmojo. Adapun keputusan Perundingan Renville sebagai berikut. Pertama, persetujuan gencatan senjata dan pembentukan garis demarkasi van Mook. Kedua, kesediaan kedua belah pihak menyelesaikan pertikaian secara damai. Ketiga, enam pasal tambahan dari KTN yang berisi kedaulatan Indonesia berada di tangan Belanda selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan.

e.       Perundingan Roem-Royen

Perundingan antara Indonesia-Belanda berlangsung pada tanggal 14-24 April 1949 di Hotel Des Indes Jakarta. Setelah melalui perundingan berlarut-larut, akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 dihasilkan keputusan yang dikenal dengan Van Royen-Roem Statements atau dalam bahasa Indonesia disebut Persetujuan Roem-Royen. Adapun isi Persetujuan Roem-Royen sebagai berikut.

1.      Penghentian tembak-menembak.

2.      Pengembalian pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.

3.      Pembebasan para pemimpin Republik Indonesia yang ditahan Belanda.

4.      Segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Setelah penandatanganan Perundingan Roem-Royen, pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta. Meskipun demikian, hasil perundingan Roem-Royen menimbulkan berbagai penolakan dari pemerintah Republik Indonesia.

f.       Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung tanggal 23 Agustus-2 November 1949. Melalui KMB inilah,perjuangan Republik Indonesia dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda memasuki tahap akhir.

Konferensi Meja Bundar dihadiri oleh tiga pihak yaitu Republik Indonesia yang diwakili Moh. Hatta, kelompok negara federal (BFO) diwakili Sultan Hamid II, dan Belanda diwakili oleh Mr. van Marseveen. Konferensi Meja Bundar menghasilkan keputusan sebagai berikut.

1.   Belanda mengakui keberadaan RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai negara merdeka dan berdaulat. RIS terdiri atas Republik Indonesia dan lima belas negara bagian yang dibentuk Belanda.

2.  Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian setelah pengakuan kedaulatan.

3.   Corak pemerintah RIS akan diatur dengan konstitusi yang dibuat oleh delegasi Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) selama KMB berlangsung.

4.   Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang bersifat lebih longgar, berdasarkan kerjasama secara sukarela dan sederajat.

Dengan disepakatinya Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Adapun naskah pengakuan kedaulatan ditandatangani pada tanggal 27 Desember 1949.

3. Perjuangan Kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia        

Salah satu hasil Konferensi Meja Bundar adalah pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai konsekuensinya, wilayah Indonesia terdiri atas beberapa negara bagian. Bentuk negara serikat dianggap bertentangan dengan cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rakyat di setiap negara bagian RIS tetap menghendaki bentuk negara kesatuan.

Pada tanggal 7 Maret 1950 DPR RIS dengan dukungan kaum Untaris mengeluarkan undang-undang darurat yang mengatur penggabungan negara bagian dengan Republik Indonesia. Setelah undang-undang tersebut disahkan beberapa pemerintahan negara bagian yaitu Pasundan, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura bergabung dengan Republik Indonesia. Puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno membacakan Piagam Persetujuan terbentuknya NKRI. Dengan demikian, berakhirlah negara Republik Indonesia Serikat.

Revolusi Nasional yang terjadi di Indonesia pada awal kemerdekaan bertujuan mempertahankan kemerdekaan dari upaya pihak asing yang ingi berkuasa kembali di Indonesia. Melalui strategi pertempuran dan jalur diplomasi, rakyat dan pemimpin Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.

B. Revolusi Sosial Indonesia pada Awal Kemerdekaan

Keinginan menggantikan tatanan lama menjadi penyebab munculnya revolusi sosial. Revolusi sosial dapat diartikan gerakan massa secara sepontan di berbagai daerah. Revolusi sosial disebabkan persaingan yang melibatkan unsur-unsur berikut.

1.         Kelompok elite-elite alternatif.

2.         Kelompok kesukuan dan kemasyarakatan.

3.         Struktur kelas sosial yang kurang penting.

            Beberapa peristiwa yang menggambarkan revolusi sosial di Indonesia sebagai berikut.

1.Peristiwa Tiga Daerah

Penyebutan istilah tiga daerah merujuk pada lokasi terjadinya revolusi sosial, yaitu daerah Brebes, Tegal, dan Pemalang. Peristiwa Tiga Daerah muncul sebagai akumulasi kebencian rakyat terhadap pangreh praja atau elite birokrasi di tingkat kabupaten hingga tataran terendah yaitu desa. Para pangreh praja yang berasal dari kalangan pribumi sering memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi. Para pangreh praja tersebut hidup dalam kemewahan karena digaji oleh Belanda. Sementara itu, rakyat hidup serba kekurangan.

Pada bulan Oktober 1945 rakyat di daerah Brebes, Tegal, dan Pemalang melakukan serangan terhadap kalangan elite birokrasi/pangreh praja. Dalam peristiwa tersebut, muncul tokoh lokal asal Tegal yang bernama Kutil. Kutil dikenal sebagai pemimpin aksi dombreng atau aksi pengerahan masa. Sejumlah bupati dan elite birokrasi diserang dan dipermalukan di depan umum. Bahkan, warga Tionghoa dipaksa menyerahkan kekayaannya kepada rakyat.

2.Perang Cumbok di Aceh

Perang Cumbok merupakan perang antara golongan uleebalang (bangsawan) dengan golongan ulama. Di bawah pimpinan Teuku Daud Cumbok, Para uleebalang menyatakan perang terhadap kalangan ulama yang dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Dalam peperangan tersebut, pasukan Teuku Daud Cumbok berhasil menguasai Kota Sigli. Akan tetapi, keadaan segera berbalik ketika Tengku Daud Beureueh berhasil menyatukan kekuatan rakyat bersama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Selanjutnya, pasukan Teuku Daud Cumbok berhasil digempur oleh pasukan rakyat bersama ulama. Pada bulan Januari 1946 Perang Cumbok berakhir dengan penangkapan Teuku Daud Cumbok beserta pengikutnya.

3.Usaha Menggulingkan Tatanan Lama di Sumatra Timur

Melalui kontrak politik dengan Belanda, banyak pengusaha asing mendirikan perkebunan-perkebunan di wilayah Sumatra Timur. Melalui sistem ini, kalangan bangsawan dan kerajaan di Sumatra Timur hidup dalam kemewahan dari pajak yang disewakan kepada pengusaha asing. Akan tetapi, muncul kalangan baru yang paling menderita yaitu buruh perkebunan.

Pada bulan Maret 1946 pecah revolusi sosial di Sumatra Timur. Revolusi sosial di Sumatra Timur digerakkan oleh kelompok radikal dalam tubuh Persatuan Perjuangan (PP) yang mencakup Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), Barisan Harimau Liar (BHL), serta Tentara Sabilillah. Sejak 3 Maret 1946 kaum radikal mulai bergerak menggulingkan kekuasaan para raja dan bangsawan di Sumatra Timur.

Gerakan revolusi sosial di Sumatra Timur mulai mereda pada bulan April 1946. Untuk meminimalkan korban revolusi sosial, Residen Sumatra Timur, M. Joenoes Nasution mengangkat Laut Siregar sebagai mediator dengan kewenangan seluas-luasnya. Pada tanggal 11 April 1946 ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh Persatuan Perjuangan (PP) berakhir dan menyerahkan masalah penangkapan kepada pemerintah.

4.Revolusi Sosial di Yogyakarta
                 Revolusi  sosial di Yogyakarta berlangsung tanpa kekerasan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menggantikan takhta Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, mengajak rakyat Yogyakarta agar ikut serta dalam revolusi.

Setelah menduduki takhta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX melakukan beberapa pembaruan sebagai berikut.

a.       Tidak mengangkat patih baru ketika patihnya meninggal.

b.      Memperbanyak jumlah orang yang berhak memilih dewan dan kepala desa.

c.       Memberikan peranan yang lebih dan berarti kepada elite istana.

d.      Menggantikan bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi resmi.


Demikianlah berbagai peristiwa yang mewarnai masa Revolusi di Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia sering mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia mampu melewati masa Revolusi tersebut dengan baik.

Daftar Pustaka

Fauziah, Mutiara Shifa. dkk. 2015. Sejarah :Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Klaten : Intan Pariwara

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA