Ragam hias yang berbentuk gajah berasal dari

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau. Banyaknya pulau yang ada menjadikan Indonesia memiliki beragam suku yang mendiami pulau tersebut. Setiap suku pasti  memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri dalam melestarikan adat istiadat dan budayanya Salah satu hasil karya dari tiap suku adalah karya ragam hias dan ornamen.

Tentu setiap daerah akan mengembangkan ragam hias sesuai dengan latar belakang sosial budaya daerahnya. Dengan begitu, akan terbentuklah ragam hias berupa seni rupa yang lebih banyak menggunakan unsur-unsur seni daerah asalnya, seperti pada warna, rasa, dan etnik. Ragam hias yang diciptakan tidak semata hanya untuk keindahan atau hanya benda pakai yang dibuat fungsional semata. Melainkan berpadu dengan kaidah moral, adat, kepercayaan, dan sebagainya sehingga karya lebih bermakna.

Ragam hias yang berada di setiap daerah berkembang sesuai dengan adat istiadat serta kondisi lingkungan masyarakatnya. Berikut adalah ciri-ciri dan keunikan ragam hias dari beberapa daerah di Indonesia.

Ragam Hias Papua

Ragam hias Papua yang diaplikasikan pada batik mempunyai ciri khas, memilih warna-warna yang cerah dan pola hias yang asimetris. Motif yang dipilih biasanya manusia dan hewan. Makna simbolik yang terkandung pada beberapa motif Papua sebagai berikut.

  • Motif Cendrawasih Menggambarkan kekayaan,keindahan dan keanggunan alam dan fauna Papua.
  • Motif Asmat menggambarkan keunikan dan tradisi patung ukir kayu dari masyarakat Papua.
  • Motif Komoro menggambarkan kreativitas, semangat, keberanian penduduk asli Papua.
  • Motif Tifa Honai menggambarkan filosofi rumah khas masyarakat Papua yang penuh kebahagiaan.
  • Motif Prada menggambarkan kekayaan alam Papua, utamanya tambang emasnya yang melimpah di Gunung Grasberg.

Ragam Hias Bali

Kain batik Bali memiliki corak ragam hias yang sangat beragam. Biasanya, ragam hias Bali pinggiran menggunakan motif hewan. Berikut adalah motif ragam hias dari Bali.

  • Motif Batik Buketan berupa tanaman bunga yang tersusun sepanjang kain dengan hiasan tambahan kupu-kupu, burung Hong, Bangau dan juga sulur-suluran yang menambah keindahan.
  • Motif Merak Abyorhokokai, menggambarkan keindahan burung Merak sebagai poros corak utama pada kain dan dihiasi kelopak menyerupai bunga Sakura.
  • Motif Singa Barong menggambarkan seekor binatang yang tidak nyata yang ditemukan dalam kehidupan nyata. Keajaiban wujud singa tersebut dapat dilihat dari berbagai unsur yang merupakan penggabungan singa dan macan kata barong banyak terdapat pada kesenian di Jawa maupun di Bali, dimana seekor binatang yang tidak nyata ditemukan dalam realitas kehidupan.
  • Motif Pisan, maknanya adalah harapan, doa dan keselamatan. Biasanya diberikan kepada kekasih yang hendak pergi jauh harapannya agar kembali dengan selamat.

Ragam Hias Kalimantan

Baca Juga  Penanganan Temuan Kasus Positif Covid-19 di Satuan Pendidikan

Ragam Hias Kalimantan menampakan keteraturan dan ketertiban. Ragam hias dari Kalimantan sering menggunakan motif abstrak dan geometris. Istimewanya, makna dari ragam hiasnya mengandung arti dan nilai kehidupan. Berikut adalah motif ragam hias dari Kalimantan.

  • Motif Kembang Munduk, menggambarkan keterikatan hubungan manusia dengan lingkungan, hubungan saling melindungi dan memberi.
  • Motif Kembang Mengalir, menggambarkan dukungan dari lingkungan atau solidaritas keluarga akan melancarkan kehidupan masa depan atau pertunangan.
  • Motif Dayak latar Gringsing, mempunyai makna akulturasi kebudayaan yang berbeda yakni Dayak dan Jawa, bahwa dengan perbedaan itu tidak untuk saling bermusuhan tetapi saling melengkapi.

Ragam Hias Yogyakarta

Ragam Hias Yogyakarta memiliki ciri khas dari warna. Makna dari tiap motifnya lebih kepada nilai kehidupan dan berhubungan dengan alam. Berikut adalah motif ragam hias dari Yogyakarta.

  • Motif Ceplok Grompol, melambangkan harapan orang tua akan semua hal baik berkumpul seperti kebahagiaan, rejeki, hidup rukun, dan kesejahteraan untuk mempelai berdua.
  • Motif Kawung melambangkan empat arah mata angina atau sumber tenaga yang berporos pada kekuatan yakni timur, matahari terbit sumber kehidupan, utara gunung lambang tempat tinggal para dewa, barat matahari terbenam lambang turunnya keberuntungan, selatan Zenit puncak segalanya. Kawung juga berarti kesederhanaan raja, kesejahteraan dan keadilan.
  • Motif Parang disebut juga batik keris, motif ini merupakan motif paling kuat dibanding motif lainnya. Motif ini berupa garis garis tegas disusun secara diagonal paralel. Parang diartikan sebagai ombak lautan sebagai sumber tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksud adalah raja. Komposisi kemiringan pada motif ini melambangkan kewibawaan, kekuasaan, kebesaran serta gerak cepat pemakainya.

Indonesia memang kaya akan ragam hiasnya. Setiap daerah memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing. Untuk Sobat SMP yang ingin mendapatkan informasi lebih banyak mengenai ragam hias dapat mengunduh modul PJJ Gasal kelas VII pada tautan berikut ini. Yuk, lestarikan budaya kita!

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Referensi:

//ditsmp.kemdikbud.go.id/modul-pjj-gasal-seni-rupa-kelas-vii/

Terdapat lebih dari 20 motif batik yang digandrungi warga Banyuwangi, di antaranya gajah oling, paras gempal, kangkung setingkes, dan blarak semplah. Di antara motif itu, gajah oling yang paling kuno dan tidak dijumpai di daerah lain. Gajah oling serupa sulur berbentuk S terbalik ini sarat muatan sakral dan sering kali kita jumpai namanya tertoreh pada truk-truk di jalan raya.

Banyak versi tentang asal penamaan gajah oling. Ike Ratnawati, penulis buku Batik Gajah Oling sekaligus pengajar Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Malang, menyebutkan, oling berasal dari nama sejenis belut dengan ukuran lebih besar ketimbang belut biasa, karena itu disebut gajah oling.

Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, menyebut oling sebagai kata lain kecil, sedangkan gajah bermakna besar. ”Gajah besar, oling kecil, bisa jadi satu. Itu falsafahnya. Gajah oling melambangkan satu kekuatan yang luar biasa, tapi dipandang kecil. Kecil, tapi menyimpan kekuatan luar biasa. Wujud ketahanan mental dan moral orang Banyuwangi,” kata Hasnan.

Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, menyebut, gajah oling merupakan unsur dari salah satu bentuk pokok dalam ragam hias Nusantara rekalsitran atau sulur gelung yang banyak dijumpai pada arca dan relief sakral di candi Hindu dan Buddha. Menurut Dwi, gajah tetap merujuk binatang gajah yang merupakan pralambang kesuburan, sedangkan oling adalah belalainya. Bentuk gajah oling mirip belalai gajah yang melengkung di bagian atas.

”Inti sulur gelung merupakan huruf S yang dirangkai dengan unsur tanaman lain menggambarkan rangkaian tahapan kehidupan yang berlangsung dalam waktu panjang. Sering kali sulur gelung disebut dengan rekalsitran atau lengkungan yang saling berangkai serupa tanaman menjalar. Unsur ragam hias tua. Sudah hadir di Jawa setidaknya abad ketujuh dan beberapa di antaranya masih ada di ragam hias kayu dan juga tekstil sampai sekarang,” ujar Dwi.

Selain pada tekstil batik, motif sulur gelung ini antara lain masih bisa dijumpai di ukiran pintu rumah Bupati Banyuwangi Kanjeng Raden Tumenggung Pringgokusumo dari era tahun 1831 di Kampung Batik Temenggungan. ”Budaya lokalnya kuat karena isolasi alamiahnya kuat. Tidak semua daerah punya karakter dan tradisi kuat seperti Banyuwangi,” ujar Dwi.

Batik sakral

Bentuk huruf S, menurut Dwi, menunjukkan bahwa batik gajah oling merupakan bagian dari batik sakral. Sakral di sini juga bermakna penting dalam penampilan diri. Sebagai motif penting, gajah oling kini bisa dijumpai di setiap sudut Banyuwangi dalam ragam hias bangunan.

Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia Jakob Sumardjo menyatakan, huruf S adalah motif paling tua karena sudah ada pada zaman prasejarah, sebagai ragam hias pada benda perunggu bejana kerinci. ”Sangat tua dan ada di seluruh Nusantara. Bahkan, huruf S yang sakral ini ditemui di Papua di perisai mereka. Huruf S dan S terbalik ini intinya harmoni garis lurus dan lingkaran, simbol dwitunggal laki-laki dan perempuan,” katanya.

Selain huruf S, dalam visual ornamen pokok gajah oling selalu teridentifikasi 3 helai daun dilem, 3 helai bunga manggar, dan 1 bunga melati. Di atas ’plungkeran’ huruf S pada gajah oling biasanya terdapat bulatan berjumlah tujuh. Angka 7, lalu angka 5 pada jumlah kelopak bunga melati, serta angka 3 pada jumlah bunga manggar juga tergolong angka sakral.

Belum lagi, warna putih yang terkait filosofi kehadiran sang pencipta, warna hitam terkait tanah, dan merah melambangkan manusia. Dalam pembuatannya, pebatik dulunya harus berpuasa dan memilih hari baik. ”Tidak asal membuat. Ukuran juga ada aturan. Ada ritual sebelum atau sesudahnya,” kata Ike.

Ketahanan mental

Meskipun asal-usul batik gajah oling belum bisa dipastikan, motif gajah oling diperkirakan telah ada sejak masa Kerajaan Blambangan. Hasnan memperkirakan batik gajah oling sudah dipakai warga Kerajaan Blambangan ketika perang puputan bayu melawan Belanda pada 1771-1773.

Gajah oling sebagai kekuatan yang tak diperhitungkan, menurut Hasnan, menjadi bagian dari strategi perang, dipakai buat mengalihkan perhatian lawan. Untuk mengalihkan perhatian lawan pula sehingga nama gajah oling sempat banyak ditempelkan di truk-truk.

”Sekarang enggak ada lawan, sekarang yang ada kriminal. Sopir pakai gajah oling. Barangkali ada peristiwa di jalan. Dulu digunakan supaya musuh enggak merhatiin, sekarang supaya enggak diperhatikan di jalan raya,” kata Hasnan.

Dalam buku Perebutan Hegemoni Blambangan: Ujung Timur Jawa 1763-1813, pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menyebutkan, Blambangan sebagai kerajaan Hindu yang sezaman dengan Majapahit dan tetap eksis ketika Majapahit runtuh pada abad ke-15. Wilayah Blambangan terbentang dari Situbondo, Lumajang, Banyuwangi, hingga Bali. Blambangan adalah kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang bahkan bertahan sampai abad ke-18 dan memberi perlawanan habis-habisan terhadap VOC.

”Motif batik hadir jelas pada masa Kerajaan Singasari dan Majapahit. Bukan tidak mungkin, di Banyuwangi yang merupakan kekuasan Kerajaan Blambangan, motif batik sudah hadir setidaknya sejak masa Majapahit. Sumber data artefak faktual Banyuwangi sangat kurang. Karena ada dua gunung api aktif: Ijen dan Raung. Tinggalan masa lalu bukan tidak mungkin terpendam material vulkanik. Ini problema untuk menelisik akar batik banyuwangi,” kata Dwi.

Banyuwangi di utara dan barat dibatasi hutan dan gunung, sedangkan di selatan dan timur dibatasi Samudra Indonesia dan Selat Bali. Sebelum dibuka jalan darat ke Panarukan dan jalan kereta api ke barat, daerah ini cukup lama tersekat dari daerah lain. Data terjauh yang bisa didapati dari motif hias batik banyuwangi adalah data pada era Temenggungan Banyuwangi. Hingga kini pun, produk batik masih dibuat di Kampung Temenggungan dengan gajah oling tetap menjadi primadona. (MAWAR KUSUMA)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA