Sebagai pelajar apakah cita-cita anda berkaitan dengan masalah kemiskinan yang membelit bangsa kita

Semarang – Belum drastisnya penurunan angka kemiskinan di Jawa Tengah, tidak semata-mata “kegagalan” gubernur selaku kepala daerah. Namun juga menjadi tanggung jawab bersama semua pihak, termasuk bupati/ wali kota, akademisi, LSM, maupun masyarakat. 

Pemerhati masalah kemiskinan dari Unika Soegijapranata Shandy Jannifer Matitaputty SE MSi menegaskan, kemiskinan merupakan persoalan multidimensi yang tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja, yakni pemerintah. Perlu adanya kerja sama antara pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota, akademisi, LSM, dan masyarakat.

Bahkan, imbuh dia, pada kasus-kasus tertentu, terdapat kelompok-kelompok masyarakat miskin dimana mereka sangat sulit menerima aparatatau pegawai pemerintah karena ketidakpercayaan yang terlanjur terbangun, sekalipun aparat atau pegawai pemerintah itu berasal dari kelompok, suku, wilayah mereka sendiri.

“Ada masyarakat yang hanya bisa mendengarkan sesepuh di lingkungan mereka. Ada masyarakat miskin yang justru lebih percaya dengan orang luar daerah mereka yang tidak terkait dengan pemerintah, karena orang tersebut dipandang unik atau berbeda, sehingga muncul ketertarikan untuk mengetahui nilai-nilai yang dibawa oleh orang, sekelompok orang, atau lembaga luar yang datang kepada mereka,” bebernya saat diwawancarai Rabu (23/8).

Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu, peran pendidik termasuk orang tua, baik secara formal maupun informal juga sangat dibutuhkan, mengingat persoalan kemiskinan seringkali tidak sekadar terkait dengan ketidakmampuan seseorang atau sekelompok masyarakat dalam menghadapi situasi, khususnya ekonomi yang sedang terjadi. Persoalan kemiskinan seringkali juga terkait dengan pola pikir ataupun cara pandang tentang hari depan, motivasi, komitmen terhadap nilai-nilai kerja, pernikahan, tanggung jawab pribadi, cita-cita, dan sebagainya.

Shandy menyebut kemiskinan bak lingkaran setan. Untuk bisa keluar dari kemiskinan, masyarakat mesti memiliki pendidikan dan kesehatan yang baik. Sehingga mereka dapat lebih produktif dan maju, penghasilan pun bertambah. Tapi di sisi lain, jika tidak memiliki kemampuan ekonomi, mereka pun kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan dengan baik.

Dia pun mengapresiasi upaya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam memutus mata rantai kemiskinan. Seperti, memfasilitasi pendidikan anak kurang mampu melalui SMK Negeri Jawa Tengah, di mana siswanya tidak dikenakan biaya apa pun. Selain itu, ada pula layanan kesehatan untuk masyarakat kurang mampu, dan pemberdayaan UMKM melalui kredit murah atau program lainnya.

Namun, Shandy berharap berbagai program yang dilakukan disesuaikan dengan potensi daerah melalui kajian kebutuhan daerah. Jadi, tidak bisa dipukul rata antara daerah yang satu dengan lainnya. Tentunya, peran bupati/ wali kota sangat menentukan mengingat merekalah yang lebih mengerti potensi dan kebutuhan daerahnya. Termasuk, pemetaan warga miskin di masing-masing wilayah.

“Perumusan strategi yang holistik namun tetap mengakomodir ciri/ kekhasan kondisi dari masing-masing karakteristik daerah atau kelompok masyarakat miskin menjadi sangat penting. Daerah atau kelompok masyarakat yang dimaksud di sini bukan sekadar pembagian ke dalam kelompok pedesaan dan perkotaan seperti yang telah ada, namun terkait juga dengan suku, asal, yang sangat mempengaruhi filosofi dan kebiasaan hidup mereka,” ungkapnya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Dr Ir Sri Puryono KS MP menyampaikan berdasarkan data BPS jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah pada Maret 2017 sebesar 4,45 juta orang (13,01 persen). Jika dibandingkan  dengan  jumlah  penduduk  miskin  pada September 2016, selama enam bulan tersebut  terjadi penurunan jumlah  penduduk miskin sebesar 43,03 ribu orang. Sementara apabila dibandingkan dengan Maret 2016 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebanyak 56,17 ribu orang dari total 4,50 juta orang (13,27 persen).

Pemerintah provinsi pun terus berupaya keras mempercepat penurunan kemiskinan. Infrastruktur menjadi prioritas yang harus ditangani sejak awal kepemimpinan Gubernur Ganjar Pranowo. Sebab, dengan infrastruktur yang baik, akses perekonomian, pendidikan, kesehatan, dan lainnya juga semakin baik. Dengan begitu diharapkan dapat menjadi salah satu bagian memutus mata rantai kemiskinan.

Di sektor pendidikan, program sekolah gratis untuk siswa miskin melalui SMK Negeri Jawa Tengah yang saat ini sudah dikembangkan di tiga lokasi, yakni Semarang, Purbalingga, dan Pati, menjadi solusi memutus kemiskinan. Terbukti, dari siswa yang lulus, 70 persennya sudah diterima bekerja. Sisanya, ada yang meneruskan pendidikan tinggi dengan beasiswa.

Di bidang ekonomi kerakyatan, sejumlah kegiatan pemberdayaan UMKM yang menyerap banyak tenaga kerja nonformal, terus dilakukan. Mulai dari pelatihan-pelatihan, pendampingan, hingga pemberian kredit dengan bunga rendah. Bahkan bunga tujuh persen per tahun dari Bank Jateng merupakan yang terendah. Pinjaman itu pun tanpa agunan dan tanpa biaya administrasi.

Pemerintah juga terus mendorong kerja sama dengan industri, khususnya industri padat karya dengan mempermudah perizinan. Bahkan, beberapa waktu lalu, di stand PRPP, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah melayani perizinan pabrik gula baru dengan nilai investasi Rp 1,3 triliun dalam waktu tidak lebih dari tiga jam. Kerja sama dengan industri juga didorong di SMK-SMK, baik negeri maupun swasta, sehingga dapat menekan angka pengangguran setelah lulus.

Peningkatan derajat kesehatan masyarakat, juga menjadi prioritas perhatian gubernur, baik upaya preventif, promotif, maupun kuratif. Sebab dengan pelayanan kesehatan yang baik, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas masyarakat. Hasilnya, AKI dan AKB dapat diturunkan. Pada 2016, AKI sebesar 109,65 persen dan AKB sebesar 9,99 persen. Prevalensi gizi buruk pada 2016 sebesar 0,03 persen. Untuk penerima Jamkesmas sebesar 89,81 persen dan Jamkesda sebesar 10,19 persen.

Untuk bidang pertanian, pemerintah provinsi telah melaksanakan program Kartu Tani. Pada 2015, kartu tani diberikan di Kabupaten Batang untuk 15 kecamatan, 242 desa/ kelurahan, 231 Gapoktan, 865 Poktan, 54.282 petani. Pada kartu tani dibagikan di 21 kabupaten/ kota, 342 kecamatan, 4.764 desa/ kelurahan, 26.164 kelompok tani, 1.539.000 petani . Sedang pada 2017, kartu tani diberikan kepada 13 kabupaten, 216 kecamatan, 3.171 desa/ kelurahan, 3.044 Gapoktan, 16.307 Poktan.

“Masih banyak program lainnya, seperti rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH), peningkatan akses air minum dan sanitasi, penguatan peran Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), memfasilitasi pemasaran online untuk para pelaku UMKM, membangun SiHaTi (Sistem Informasi Harga dan Produk Komoditi), dan lain-lain. Artinya, pemerintah memiliki komitmen kuat untuk menurunkan kemiskinan. Tapi sekali lagi, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Butuh kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat,” tandasnya. (Diskominfo Jateng)

Tuhan tidak memberikan beban diluar kesanggupan manusia…

Mahasiswa, sebagai salah satu tulang punggung harapan bangsa tentu menjadi salah satu pihak yang paling diharapkan kiprahnya dalam mengatasi masalah kemiskinan. Selain mengandalkan aspek intelektual, jiwa sosial, kepekaan, dan sikap aktif inisiatif juga menjadi kunci bagi mahasiswa berkontribusi mengentaskan kemiskinan. Hanya saja, kecenderungan umum yang kerap menjadi salah kaprah bagi mahasiswa adalah idealismenya yang terlalu tinggi dan menerawang ke atas. Mahasiswa sering merasa cukup jika sudah melakukan demonstrasi yang isinya hanya mengkritik dan menuntut perbaikan kondisi rakyat jelata kepada pemerintah. Alih-alih melakukan aksi yang lebih riil, mahasiswa lebih senang unjuk diri di jalan-jalan sambil membawa poster buatan sendiri yang kadang awut-awutan. Sebenarnya aksi semacam itu tidak salah, tetapi menjadi kurang bernilai jika mahasiswa itu sendiri tidak berupaya melakukan sesuatu yang langsung menyentuh kelompok masyarakat miskin. Apalagi demonstrasi yang dilakukan kerap kali terkesan dipaksakan dan seadanya. Bagaimanapun juga, bentuk sumbangsih yang bisa mahasiswa lakukan sangat banyak dan bisa lebih baik dari itu

Salah satu cara mahasiswa turut berkontribusi dalam melawan kemiskinan adalah dengan mendekati lembaga-lembaga penghimpun dan penyalur zakat. Saat ini, sudah banyak lembaga-lembaga zakat, infaq, dan shodaqoh (ZIS) yang berdiri di Indonesia. Kehadiran mereka tentu menjadi angin segar bagi percepatan pengentasan kemiskinan dengan programnya masing-masing. Ada lembaga ZIS yang fokus pada pemberian beasiswa bagi anak sekolah kurang mampu, ada yang sasaran utamanya anak-anak yatim, ada yang programnya lebih ke arah pemberdayaan, dan lain sebagainya. Keanekaragaman lembaga ZIS tersebut, diharapkan akan dapat mempercepat pendistribusian zakat dan pemerataan sebarannya karena tidak “dimonopoli” oleh satu atau sedikit lembaga. Meskipun masih belum mampu menjangkau seluruh masyarakat miskin, namun kehadiran lembaga-lembaga ZIS yang semakin berkembang pesat patut mendapat apresiasi.

Peran mahasiswa, diantaranya adalah mengarahkan lembaga ZIS tersebut agar memberikan bantuan kepada masyarakat miskin di daerah A misalnya, yang selama ini memang belum tersentuh atau bisa juga mengalami situasi tiba-tiba sehingga jatuh miskin. Keberadaan lembaga ZIS yang beraneka ragam menyebabkan pendistribusian zakat menjadi tidak merata, maka mahasiswa dapat berperan sebagai pemberi informasi rekomendasi kepada lembaga ZIS mengenai lokasi pendistribusian zakat. Akan lebih baik jika mahasiswa dapat berkontribusi dengan menjadi karyawan atau relawan di dalamnya, sehingga memiliki pengalaman empirik dalam menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan zakat. Lebih dari itu, ada baiknya mahasiswa mencoba menjadi inisiator bagi suatu forum silaturahmi antar lembaga-lembaga ZIS. Tujuan daripada itu, terutama agar dapat saling berkoordinasi untuk meminimalisir penumpukan distribusi ZIS di wilayah atau struktur masyarakat miskin tertentu. Mahasiswa dapat menggagas itu melalui misalnya mengadakan seminar tentang kemiskinan, forum diskusi, atau sekadar lesehan bersama dengan mengundang tokoh-tokoh atau pimpinan lembaga-lembaga ZIS tersebut.

Sekali waktu, aksi massal turun ke jalan yang diikuti mahasiswa dan lembaga-lembaga ZIS secara bersama-sama perlu dilakukan. Bukan berarti lembaga ZIS berububah menjadi berorientasi politik, melainkan aksi tersebut lebih sekadar bersifat shock therapy kepada pemerintah agar lebih serius dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan. Untuk itu, aksi tersebut mengambil tempat di kantor pemerintah yang berhubungan dengan penanganan masalah kemiskinan. Jika dipandang terlalu demonstratif, bisa disiasati dengan model audiensi kepada lembaga atau tokoh yang benar-benar berkecimpung di bidang kesejahteraan rakyat. Jika waria dan pelacur yang tidak segan melakukan demonstrasi menuntut status legalitas demi mengisi perut merek, maka apa salahnya jika lembaga ZIS dan mahasiswa yang memiliki cita-cita mulia mengentaskan kemiskinan sekali waktu tampil menyampaikan aspirasinya secara massif dan terbuka?

Bagi mahasiswa yang tidak menjadi aktivis atau bukan tipe mahasiswa organisatoris, peran mereka dalam mengentaskan kemiskinan adalah dengan memainkan wacana. Bentuknya yang paling mudah yaitu menulis artikel bertemakan kemiskinan di media cetak, baik itu media kampus maupun di media cetak pada umumnya. Tulisan bisa mengangkat kenyataan yang belum diketahui banyak orang, semisal potret kemiskinan di daerah X dan sebagainya. Bisa juga sebagai counter wacana, misalnya penurunan angka kemiskinan bukan berarti pemerintah boleh mengendorkan program-program pengentasan kemiskinan. Meskipun terkesan sepele, jika tulisan bertema kemiskinan itu dibaca banyak orang setidaknya akan masuk ke memori otak pembaca. Memori tersebut akan tersimpan dan secara sadar atau tidak sadar dapat mengubah perilaku pembaca yang semula antipasti menjadi lebih peduli terhadap kemiskinan. Output yang terjadi mungkin saja pembaca yang semula enggan akan mau mengeluarkan zakat, berinfak, atau bersedekah. Menulis artikel meski terkesan sepele tetapi tidak bisa dianggap remeh.

Yang tidak boleh dilupakan, mahasiswa, entah itu yang aktif berorganisasi atau mengikuti kegiatan ekstra kampus maupun yang tidak pasti memiliki teman sepermainan. Ikatan solidaritas dalam jaringan pertemanan biasanya cukup kuat. Sangat disayangkan apabila hal itu tidak dimanfaatkan kepada aktivitas kebaikan. Bagi mahasiswa yang tinggal di kos, mengadakan bakti sosial yang diikuti rekan-rekan satu kos dapat menjadi sarana menumbuhkan empati. Mungkin untuk kali pertama memang dibutuhkan kesadaran dan keberanian, tetapi jika sekali sudah berjalan maka bisa jadi itu akan menjadi agenda rutin. Bagi mahasiswa yang berkecimpung di organisasi atau kegiatan ekstra kampus, mengadakan acara bakti sosial akan lebih mudah dilakukan, entah itu mengatasnamakan organisasi atau secara informal. Adapun bagi mahasiswa pada umumnya, mengajak teman-teman untuk membantu si A, atau membantu warga di daerah B yang sedang kekurangan seharusnya bukan hal yang sulit. Solidaritas ini biasanya akan tampak jika terjadi suatu bencana alam. Yang terjadi adalah mahasiswa saling berlomba-lomba untuk memberikan bantuan. Maka tinggal bagaimana potensi solidaritas sosial yang tinggi itu diarahkan, bahwa selain bencana alam ada problem riil di sekitar kita bernama kemiskinan. Dengan paparan yang meyakinkan dan benar adanya, teman-teman kita sesama mahasiswa akan tergerak hatinya untuk turut membantu sesuai kemampuannya. Artinya, mengajak teman-teman untuk peduli sebenarnya cukup mudah. Tinggal keberanian dan kemauan dalam merencanakannya.

Paparan di atas mungkin kurang fundamental baik dari sisi peran ideal mahasiswa maupun perubahan secara radikal masyarakat miskin menjadi sejahtera. Tetapi, melakukan salah satu dari hal di atas, dan tentu saja hal-hal lain yang belum terungkap di sini setidaknya akan lebih memberi arti bagi mereka yang keadaannya belum seberuntung kita. Mari membantu semampu kita!


Sebagai pelajar apakah cita-cita anda berkaitan dengan masalah kemiskinan yang membelit bangsa kita

Lihat Sosbud Selengkapnya