Sebutkan 3 cara meneladani tokoh tokoh penyeru agama Islam

Meneladani tokoh dari sisi keilmuan, pengalaman dan karya-karyanya adalah bagian dari upaya untuk menghargai dan mendesiminasikan peradaban manusia dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga mata rantainya terikat kuat dan tidak stagnan, serta justru menumbuh kembangkan nilai, falsafah serta ajaran yang terkandung di dalamnya.

Memahami pikiran dan ide para tokoh muslim dunia adalah sebuah upaya mengisi kehidupan ini dengan hal-hal yang positif yang dengannya akan lahir inspirasi dan gagasan-gagasan baru yang cermerlang.

Dalam buku yang berjudul “Mutiara Pendidikan Islam” karya Alm Dr. Imam Bahroni, M.A., M.Ls. menyajikan kepada para pembaca suatu pengalaman hidup, renungan, gagasan, ide serta releksi sosial dari para tokoh muslim dunia. Wacana kultur dan budaya ini penting kita cermati agar dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengasah kepekaan hati, jiwa dan fikiran atas apa yang terjadi pada diri kita, lingkungan dan masyarakat pada umumnya.

Dari sekian pengalaman para tokoh dunia tertuang dalam buku ini dapat menjadikan cermin kehidupan masyarakat. Realitas bangsa Indonesia dewasa ini telah menghadapi suatu krisis kultur dan budaya, yang tercermin dalam wajah dinamika sosial yang semakin beragam.

Keberagaman ini tanpa disadari telah merasuk kedalam sandi-sandi kehidupan bersama, baik pada masyarakat yang tinggal diperdesaan maupun yang ada di perkotaan. Masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan tayangan televise yang dapat merusak moral dan kepribadian generasi muda.

Prilaku-prilaku yang berbau porno, sensualitas, kekerasan dan kemusyrikan, hampir setiap saat mewarnai family entertainment kita, ketidak jujuran hamper di seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik social, budaya, tradisi,politik, perdaganagn, ekonomi, pendidikan, kesenian, hiburan maupun aspek lainnya.

Ragam peradaban itu sesungguhnya terlahir dari sebuah arus desimenasi budaya asing  yang terus mengalir sedikit demi sedikit setiap saat secara kontinyu. Dua peradaban, yaitu Barat dan Timur saling bersentuhan. Kehidupan yang berasaskan kebebasan dan kehidupan yang terlahir dari norma dan nilai keagamaan. Mengalirnya arus itu dewasa ini terasa sangat deras lagi dahsyat, sehingga dapat menghempaskna kit kedalam jurang kebobrokan dan budaya.

Masyarakat dewasa ini sudah tidak lagi puritan sebagaimana awal ia dilahirkan, sudah tidak mengenal lagi tabir peradaban yang bisa dijadikan sebagai alat untuk meminimalisasi pengaruh budaya asing yang destruktif. Fenomena kultur in kemudain membentuk wajah peradaban bangsa ini.

Masyarkat desa tidak lagi memiliki kepekaan sensorip terhadap sisi-sisi negative peradaban asing. Sensitifitas sosial pada zaman dulu sangat kental itu seakan sirna ditelan masa. Mereka tidak lagi puritan terhadap  nilai dan norma sosial yang menjadi ciri khas bangsa ini.

Dan gaya hidup ini sudah menjadi pilihan mereka, bukan tanpa kengajaan, justru sebaliknya, mereka dengan segala kesadaran menantang kebebasan hidup tanpa nilai, norma etika dan etika dengan dalih bahwa bangsa ini bukan bangsa yang terlahir dari Arab (Islam). Seolah mereka telah melupakan spirit para pejuang kemerdekaan yang dengan tulus membangun bangsa ini atas dasar norma dan nilai keagamaan.

Sementara itu masyarakat kota cenderung berperilaku dari hitung-hitungan politis, sehingga transparasi hablu-m-minannas semakin menjadi samar. Mereka mejalani kehidupan yang nafsi-nafsi, kehidupan yang kurang mempedulikan kepentingan orang lain, konsep keikhlasn dari kehidupan merekan nyaris terkikis, konsep beribadah kepada Allah menjadi tereduksi, jiwa perjuangan dan solidaritas social menjadi terabaikan. Yang terjadi adalah bagaimana mereka menjalani kehidupan atas dasar laba dan rugi.

Pengalaman hidup, fikiran serta ide-ide para tokoh muslim dunia sebagaimana tertuang dalam buku karya putra terbaik Gontor ini dapat menjadi sebuah refleksi cermin peradaban manusia, sehingga bangsa ini dapat kembali menemukan fitrahnya. Ada 48 Tokoh Muslim dunia yang terangkum jelas, padat, menuh makna dan hikmah dalam buku setebal 270 Halaman terbitan Kurnia Kalam Semesta Yogyakarta Tahun 2018.

Artikel Menarik lainnya:

Kiri-kanan: KH Ahmad Dahlan, Ahmad Surkati, KH Hasyim Asy'ari, dan Ahmad Hasan. (Betaria Sarulina/Historia).

EMPAT tokoh Islam berikut ini berperan besar dalam menjaga dan memperbarui Islam di Indonesia. Mereka mendirikan organisasi Islam sebagai sarana perubahan dalam berbagai bidang kehidupan.

KH Ahmad Dahlan Melampaui Abduh

”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, “saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan.” Bung Karno bahkan menjadi anggota Muhammadiyah dan pernah menyatakan keinginan “dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan.”

Muhammadiyah, salah organisasi Islam terpenting di Indonesia, didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912. Tujuannya, “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”. Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan, kesehatan, dan pendidikan ketimbang politik. Dari ruang gerak terbatas di Kauman, Yogyakarta, organisasi ini kemudian meluas ke daerah lain, termasuk luar Jawa.

Advertising

Advertising

Baca juga: Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan KH Ahmad Dahlan

Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dengan menyandang nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya, KH Abubakar, seorang khatib masjid besar di Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya, Siti Aminah, putri seorang penghulu. Praktis, sejak kecil, dia mendapat didikan lingkungan pesantren serta menyerap pengetahuan agama dan bahasa Arab.

Ketika menetap di Mekah, di usia 15 tahun, dia mulai berinteraksi dan tersentuh dengan pemikiran para pembaharu Islam. Sejak itu, dia merasa perlunya gerakan pembaharuan Islam di kampung halamannya, yang masih berbaur dengan sinkretisme dan formalisme. Mula-mula dengan mengubah arah kiblat yang sebenarnya, kemudian mengajak memperbaiki jalan dan parit di Kauman. Robert W Hefner, Indonesianis asal Amerika Serikat, menyebut Dahlan merupakan sosok pembaharu Islam yang luar biasa di Indonesia, bahkan pengaruhnya melampaui batas puncak pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir.

Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta pada 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta.

Ahmad Surkati Mempercepat Kemerdekaan

Dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, terjadi perdebatan antara Ahmad Surkati dari Al-Irsyad dan Semaun dari Sarekat Islam Merah. Temanya mentereng: “Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamismekah atau Komunisme?” Perdebatan berlangsung alot. Masing-masing kukuh pada pendapatnya. Toh, ini tak mengurangi penghargaan di antara mereka.

“Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunismelah tanah airnya dapat dimerdekakan,” ujar Surkari.

Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu, daerah Dunggulah, Sudan, pada 1875. Sempat mengenyam pendidikan di Al-Azhar (Mesir) dan Mekah, Surkati kemudian datang ke Jawa pada Maret 1911. Ini bermula dari permintaan Jami’at Khair, organisasi yang didirikan warga keturunan Arab di Jakarta, untuk mengajar. Karena ketidakcocokkan, dia keluar serta mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah di Jakarta pada 6 September 1914. Tanggal pendirian madrasah itu kemudian menjadi tanggal berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad. Tujuan organisasi ini, selain memurnikan Islam, juga bergerak dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan.

Baca juga: Empat Tokoh Islam di Indonesia

Sejarawan Belanda G.F. Pijper dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 memandang hanya Al-Irsyad yang benar-benar gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformis di Mesir sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha. Dengan demikian, Surkati juga seorang pembaharu Islam di Indonesia. Sukarno bahkan menyebut Surkati ikut mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia.

Ahmad Surkati wafat pada 6 September 1943. Sejak itu, perkembangan Al-Irsyad tersendat, sekalipun tetap eksis hingga kini.

Ahmad Hasan Rujukan Kajian Islam

Sekalipun kerap berpolemik, Bung Karno pernah berpolemik dan melakukan surat-menyurat dengan Ahmad Hassan, sebagaimana tersurat dalam surat-surat dari Endeh dalam buku di Bawah Bendera Revolusi. Tak heran jika Bung Karno begitu menghargai pemikiran Islam Hassan.

Nama kecilnya Hassan bin Ahmad, lahir di Singapura pada 1887 dari keluarga campuran, Indonesia dan India. Semasa remaja dia melakoni beragam pekerjaan; dari buruh hingga penulis, di Singapura maupun Indonesia. Hassan pernah tinggal di rumah Haji Muhammad Junus, salah seorang pendiri Persatuan Islam (Persis), di Bandung.

Ketika pabrik tekstilnya tutup, dia mengabdikan diri di bidang agama dalam lingkungan Persis, dan segera popular di kalangan kaum muda progresif. Di Bandung pula Hassan bertemu dengan Mohammad Natsir, kelak jadi tokoh penting Persis, yang kemudian bersama-sama menerbitkan majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Dia juga mendirikan pesantren Persis, di samping pesantren putri, untuk membentuk kader, yang kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur.

Baca juga: Sukarno Bilang Islam Sontoloyo

Persis didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh aktivis keagamaan yang dipimpin Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, keduanya pedagang. Dalam Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonsia Abad XX, Howard M. Federspiel menulis bahwa Persis adalah organisasi biasa, kecil, tak kukuh serta tak bergigi dalam percaturan politik saat itu. Namun, Persis berusaha keras memperbarui umat Islam saat itu yang mengalami stagnasi pemikiran dan penuh bid’ah, tahayul, dan khurafat.

Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nash (teks) Alquran maupun hadits. Keahliannya dalam bidang hadits, tafsir, fikih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan mantiq menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam. Dia juga ulama yang produktif menulis.

Ahmad Hassan tutup usia pada 10 November 1958 dalam usia 71 tahun.

KH Hasyim Asy'ari Menjaga Tradisi Pesantren

“Jangan kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercera-berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan... Padahal agama kita hanya satu belaka: Islam!” ujarnya dalam kongres Nahdlatul Ulama di Banjarmasin, Kalimantan, pada 1935. KH Hasyim Asy’ari sadar perlunya menghapus pertentangan antara kalangan tradisi maupun pembaharu.

Lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Nggedang-Jombang, Jawa Timur, Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama, artinya kebangkitan ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia mendirikannya bersama Kyai Wahab Chasbullah pada 31 Januari 1926 guna mempertahankan faham bermadzhab dan membendung faham pembaharuan.

Baca juga: Ketika KH Hasyim Asy'ari Serukan Jihad

Hasyim pernah belajar pada Syaikh Mahfudz asal Termas, ulama Indonesia yang jadi pakar ilmu hadis pertama, di Mekah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci. Lewat pesantren inilah Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional. Dia memperkenalkan pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, bahkan sejak 1926 ditambah dengan bahasa Belanda dan sejarah Indonesia. Dalam buku Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Zamakhsyari Dhofier manggambarkan Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang menjaga tradisi pesantren.

Di masa Belanda, Hasyim bersikap nonkooperatif. Dia mengeluarkan banyak fatwa yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Yang paling spektakuler adalah fatwa jihad: “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.

Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Dalam perjalanannya, Nahdlatul Ulama larut dalam politik praktis hingga akhirnya kembali ke khitah 1926.

Baca juga: Mengapa NU Keluar dari Masyumi?