Sebutkan beberapa pelaksanaan Bhuta Yadnya yang pernah dilaksanakan di bali

OM Awignam Astu Namo Sidham, OM Sidhirastu Tad Astu Svaha, OM Swastyastu. Umat Sedharma yang berbahagia. Dharmawacana kali ini membahas tentang “Yadnya”.

Ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan “Tiga Kerangka Dasar”. Bagian yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai tujuan tertinggi agama Hindu, yaitu: Jagadhita dan Moksa. 

Tiga Kerangka Dasar tersebut adalah: Tattwa (Filsafat), Susila (Etika), dan Yadnya (Upacara). Berdasarkan tiga hal tersebut, pembahasan kita kali ini fokus pada salah satu kerangka yaitu Yadnya.

Yadnya atau bagian dari Upacara adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/rohani dalam kehidupan ini, berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Veda). Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Umat Hindu adalah masyarakat yang religious. Hal ini dapat kita saksikan dari aktivitas kehidupan sehari-hari yang selalu menempatkan unsur kekuatan Tuhan sebagai muara konsekuensi tanggung jawab. Hal ini dapat dibuktikan dari rutinitas keagamaan melalui pelaksanaan upacara yadnya sebagai wujud pelaksanaan bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

Latar belakang timbulnya yadnya karena adanya pengidentifikasian bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa adalah penguasa semua yadnya. Maka kemudian timbul kesadaran bahwa manusia harus melaksanakan yadnya karena yadnya adalah hukum kesemestaan yang tidak dapat dihindari oleh manusia.

Dalam melaksanakan upacara yadnya, umat Hindu di Bali selalu berpegangan dengan tatanan atau nilai-nilai yang berkembang di masyarakat sebagai ciri kehidupan sosiologi dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu ciri tatanan atau teknis dalam pelaksanaan yadnya di Bali yaitu adanya pembagian tugas atau kewajiban yang dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. 

Upacara Yadnya di dalam Bagawad Gita juga disebutkan yadnya dalam makna yang tertinggi, yaitu makna psikologi dan spritual. Pencipta tertinggi (prajapati) menciptakan manusia dengan yadnya serta menghubungkan manusia untuk saling menghidupi, agar tumbuh dan berkembang dalam ikatan yang harmonis melalui yadnya. Hal ini dapat ditemukan dalam Bhagawadgita Adhyaya III Sloka 10, 14 sebagai berikut: 

“Sahayadnyah prajah srstva puro, vaca prajapatih Anena prasavisyadhvam, esha vo‟ stv istha kamandhuk”. Terjemahannya : Pada jaman dahulu kala, Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda; dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamandhuk dari keinginanmu (Dalam Mantra, 2003: 43).

Selanjutnya, disebutkan pula tentang utamanya melaksanakan yadnya yang dapat mendatangkan anugrah seperti kutipan berikut:  Annad bhavati bhutani, Parjanyad annasambhavah. Yadnyad bhavati parjanyo, yadnyah karmasamudbhavah”. Terjemahannya: Dari makanan, mahluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya lahir dari pekerjaan (Mantra, 2003: 44).

Secara ekplisit, sloka di atas menyatakan bahwa semua mahluk hidup yang ada di dunia berasal dari makanan. Makanan berasal dari hujan. Hujan disebabkan oleh yadnya. Yadnya lahir dari kerja dan kerja mempunyai pondasi kepada Brahman. Manusia dapat hidup bersama tumbuh-tumbuhan dan hewan, maka manusia wajib melakukan yadnya. Beryadnya bukan sematamata upacara agama. Yadnya harus dilanjutkan dengan langkah nyata dalam perbuatan sehari-hari, sehingga tercapai keharmonisan sesuai dengan konsep Agama Hindu adanya tiga keserasian yang disebut Tri Hita Karana dan sesuai tujuan agama Hindu yaitu Moksartham Jagad Hittaya Ca Iti Dharma.

Umat Sedharma yang berbahagia. Upakara atau bebanten pada dasarnya adalah sebagai nyasa/perwujudan dari Siwa Lingga. Dari sekian banyak keberadaan/wujud upakara atau bebanten, pada intinya adalah terdiri dari tiga bentuk, yaitu: berbentuk segitiga, berbentuk bundar/bulat, dan berbentuk segi empat. 

Kalau dari ketiga bentuk tadi kita rangkai akan menyerupai wujud Siwa-Linggam. Begitu pula dalam bentuk jajannya, dan isinya juga terdiri bahan-bahan yang terdapat di gunung, lautan dan daratan, serta nasinya dalam suatu bebanten/upakara. Berbentuk segitiga seperti Tri Kona, penyeneng dan lain-lainnya. Yang berbentuk bundar seperti sesayut, tamas, dan yang berbentuk segi empat yaitu taledan/aled, dan ceper. Berbentuk tumpeng, berbentuk penek dan berbentuk segi empat (citakan). 

Bebanten juga sebagai wujud Tri-Buwana (Bhur loka, Bwah loka, Swah loka) dan berbentuk Nada, Windu, dan Ardhacandra. Mantiga, maletik, dan manak, yaitu: maletik dari unsur tumbuh-tumbuhan, mantiga dari unsur yang telor atau ditetaskan dari telor, manak dari unsur yang dilahirkan seperti babi, sapi, dan lain-lain. 

Banten dalam Lontar Yajnya Prakerti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sangat sakral. Dalam Lontar tersebut Banten disebutkan: Sahananing Banten Pinake Ragante Tuwi, Pinake Warna Rupaning Ida Batara, Pinaka Anda Bhuwana. Dalam Lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh Banten, yaitu: 

1. Pinaka Raganta twi artinya banten adalah lambang dirimu atau diri kita, contohnya adalah Banten Tataban Alit, Banten Peras, Penyeneng dan Sesayut.  2. Pinaka Warna Rupaning Ida Batara artinya Banten merupakan Lambang Kemahakuasaan Tuhan, contohnya adalah banten dewa-dewi.

3. Pinaka Anda Bhuwana artinya banten merupakan Lambang Alam Semesta (Bhuwana Agung), contohnya adalah pebangkit, pulegembal dan lain-lain.

Kata Panca Yadnya terdiri dari dua kata, yaitu kata Panca dan Yadnya. Panca berarti Lima, Yadnya berarti persembahan suci. Kata Yadnya berasal dari Bahasa Sanskerta dari urat kata Yāj dan masuk dalam kelas kata maskulinum yang berarti orang yang berkorban.

Jadi Panca Yadnya berarti lima persembahan suci dengan tulus ikhlas.

Dalam melaksanakan sebuah Yadnya hendaknya diketahui syarat-syarat Yadnya. Adapun syarat-syarat sebuah yadnya, meliputi:

1.Harus dilandasi dengan keikhlasan yang disertai kesucian hati, 2.Didasari dengan cinta kasih yang diwujudkan dengan rasa bhakti yang tulus, cinta kepada sesama, cinta kepada binatang dan cinta kepada lingkungan, 3.Yang harus dilakukan sesuai kemampuan agar tidak menjadi beban bgi kita, 4.Beryadnya harus dilandasi perasaan beryadnya sebagai sebuah kewajiban.

Dalam praktik agama Hindu di Bali, terdapat lima jenis Yadnya yang disebut dengan Panca Yadnya, yaitu:

Dewa Yadnya

adalah yadnya yang dilakukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Rsi Yadnya

adalah yadnya yang dilakukan kepada para rsi atas jasa-jasa dia membina umat dan mengembangkan ajaran agama.

Pitra Yadnya

adalah yadnya yang dilakukan kepada para roh leluhur termasuk kepada orang tua yang masih hidup.

Manusa Yadnya

adalah yadnya yang dilakukan kepada sesama manusia.

Bhuta Yadnya

adalah yadnya yang dilakukan kepada para Bhuta Kala yang bertujuan untuk menetralisir kekuatan alam sehingga menjadi harmonis.

Yadnya yang dilaksanakan setiap hari disebut dengan Yadnya Sesa, dalam bahasa Bali disebut dengan mesaiban.

 

(searah jarum jam dari sudut kiri atas) Rishi, Pitri, Bhuta,[1] Manushya Yadnya dan (tengah) Dewa Yadnya.

Sifat pengorbanan Veda dan ritual berkembang seiring waktu, dengan perubahan besar terjadi selama milenium 1 SM, perubahan yang mempengaruhi konsep kemudian diadopsi oleh tradisi lain seperti dalam agama Budha.[2] Pengorbanan periode Veda awal melibatkan pengorbanan hewan, tetapi ritual-ritual itu secara progresif ditafsirkan kembali seiring waktu, menggantikan persembahan dan menjadikannya tanpa kekerasan atau simbolis, dengan keunggulan pengetahuan dan perayaan bunyi mantra menggantikan persembahan fisik. Pada akhirnya, ritual eksternal dirumuskan ulang dan diganti dengan "persembahan internal yang dilakukan dalam tubuh manusia".[2] Gagasan substitusi ini, evolusi dari tindakan eksternal ( karma-kanda ) ke pengetahuan internal ( jñana-kanda ), disorot dalam banyak sutra yang berhubungan dengan ritual, serta teks-teks khusus seperti Brihadaranyaka Upanishad (~800 BCE), Chandogya Upanishad, Kaushitaki Upanishad dan Pranagnihotra Upanishad.[3][4]

Teks Veda Satapatha Brahmana mendefinisikan pengorbanan sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang dianggap bernilai, seperti persembahan yang dipersembahkan kepada dewa dan “dakshina” (biaya, hadiah) yang ditawarkan selama yadnya.[2] Untuk hadiah dan biaya, teks Veda merekomendasikan memberi sapi, pakaian, kuda atau emas.[2] Persembahan yang direkomendasikan adalah susu sapi, ghee (minyak samin), biji-bijian, biji-bijian, bunga, air dan kue makanan (kue beras, misalnya). Rekomendasi serupa diulang dalam teks lain, seperti dalam kitab Taittiriya Shakha 2.10 dari Krishna Yajurveda).[1]

Tadeusz Skorupski menyatakan bahwa pengorbanan ini adalah bagian dari cara hidup ritual, dan dianggap memiliki khasiat yang melekat, di mana melakukan pengorbanan ini menghasilkan bayaran dan hasil tanpa melibatkan para imam atau dewa.[2] Gagasan Veda ini, tambah Skorupski, memengaruhi "perumusan teori kedermawanan Buddhis".[2] Gagasan-gagasan Buddhis melangkah lebih jauh, mengkritik "para Brahmana atas kemunduran dan kegagalan mereka untuk hidup sesuai dengan warisan Brahmana dari para Brahmana kuno", yang mengklaim nenek moyang Veda "hidup dalam pengekangan diri, pertapa, tidak punya ternak, tidak punya emas, dan tidak ada kekayaan ".[5] Sang Buddha berusaha untuk kembali ke nilai-nilai yang lebih kuno, kata Tadeusz Skorupski, di mana para resi Veda "belajar sebagai biji-bijian dan kekayaan mereka, menjaga kehidupan suci sebagai harta mereka, memuji moralitas, penghematan dan tanpa kekerasan; mereka melakukan pengorbanan yang terdiri dari beras, jelai dan minyak, tetapi mereka tidak membunuh sapi".[5]

Lima besar pengorbanan Veda (Mahasattra)
Nama Pengorbanan Apa yang dikorbankan?[2] Kepada[2] Frekuensi
Bhuta-yajna Kue, makanan Pengorbanan untuk makhluk hidup
(hewan, burung, dsb.)
Setiap hari[2][6]
Manushya-yajna Sedekah dan air
(layanan, amal)
Pengorbanan untuk sesama manusia Setiap hari[2][6]
Pitr-yajna Libations and water Pengorbanan untuk leluhur Setiap hari[2][6]
Deva-yajna Kayu bakar Pengorbanan untuk dewa-dewa/Tuhan Setiap hari[2][6]
Brahma-yajna Kata-kata, membaca Veda Pengorbanan untuk Brahman
(realitas tertinggi)
Jika memungkinkan[2][6]

  • Aswamedha
  • Agama Weda purba
  • Homa
  • Śrauta
  • Yajurweda
  • Wedi (altar)
  • Yajamana

  1. ^ a b Gopal, Madan (1990). K.S. Gautam, ed. India through the ages. Publication Division, Ministry of Information and Broadcasting, Government of India. hlm. 79. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m Tadeusz Skorupski (2015). Michael Witzel, ed. Homa Variations: The Study of Ritual Change Across the Longue Durée. Oxford University Press. hlm. 78–81. ISBN 978-0-19-935158-9. 
  3. ^ Deussen, Paul (1997). Sixty Upanishads of the Veda. Motilal Banarsidass. hlm. 645–651. ISBN 978-81-208-1467-7. 
  4. ^ Tadeusz Skorupski (2015). Michael Witzel, ed. Homa Variations: The Study of Ritual Change Across the Longue Durée. Oxford University Press. hlm. 79–84. ISBN 978-0-19-935158-9. 
  5. ^ a b Tadeusz Skorupski (2015). Michael Witzel, ed. Homa Variations: The Study of Ritual Change Across the Longue Durée. Oxford University Press. hlm. 86–87. ISBN 978-0-19-935158-9. 
  6. ^ a b c d e Klaus K. Klostermaier (2007). A Survey of Hinduism: Third Edition. State University of New York Press. hlm. 125–127. ISBN 978-0-7914-7082-4. 

  • Agrawala, Vasudeva Sharana. India as known to Pāṇini: a study of the cultural material in the Ashṭādhyāyī. Prithvi Prakashan, 1963.
  • Dallapiccola Anna. Dictionary of Hindu Lore and Legend. ISBN 0-500-51088-1.
  • Gyanshruti; Srividyananda. Yajna A Comprehensive Survey. Yoga Publications Trust, Munger, Bihar, India; 1st edition (December 1, 2006). ISBN 8186336478.
  • Krishnananda (Swami). A Short History of Religious and Philosophic Thought in India. Divine Life Society, Rishikesh.
  • Nigal, S.G. Axiological Approach to the Vedas. Northern Book Centre, 1986. ISBN 81-85119-18-X.
  • Prasoon, (Prof.) Shrikant. Indian Scriptures. Pustak Mahal (August 11, 2010). ISBN 978-81-223-1007-8.
  • Vedananda (Swami). Aum Hindutvam: (daily Religious Rites of the Hindus). Motilal Banarsidass, 1993. ISBN 81-20810-81-3.
 

Artikel bertopik agama Hindu ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Yadnya&oldid=19147650"