Sebutkan hal-hal yang menjadi kendala seputar isu pangan

Masyarakat diminta mencuci tangan sebelum dan sesudah mengolah makanan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Pangan Institut Pertanian Bobor (IPB) Harsi Dewantari Kusumaningrum menyebut ada empat masalah utama keamanan pangan. Salah satunya, cemaran mikroba karena rendahnya kondisi higiene dan sanitasi.

Harsi mengatakan, ada empat masalah utama keamanan pangan saat ini. "Pertama, cemaran mikroba karena rendahnya kondisi higiene dan sanitasi," katanya saat press briefing Food Safety and Sustainability, di Jakarta, Rabu (26/9).

Persoalan kedua adalah cemaran kimia karena bahan baku yang sudah tercemar. Masalah ketiga, kata dia, penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan. 

Persoalan terakhir yaitu penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) melebihi batas maksimum yang diizinkan. Karena itu, dia melanjutkan, dibutuhkan intervensi untuk mengatasi masalah utama keamanan pangan yang sering ditemukan di tengah masyarakat. 

Ia menyebutkan ada lima kunci untuk penyediaan pangan yang aman menurut organisasi kesehatan dunia (WHO). Pertama, yaitu menjaga kebersihan. Ia meminta masyarakat mencuci tangan menggunakan sabun dan air bersih sebelum memasak atau menyediakan pangan, atau sebeluk memasak dan menyiapkan pangan. 

Masyarakat juga diminta mencuci permukaan dimana bahan pangan akan diletakkan dan dimasak seperti meja dapur, lantai dengan menggunakan deterjen dan air sabun. Selain itu, masyarakat diminta membilas kembali peralatan dengan air sebelum mulai memasak. Kemudian menjaga pangan dalam keadaan tertutup. Kedua, kata dia, memisahkan pangan mentah dan pangan matang.

"Kenapa harus memisahkan pangan mentah dari pangan matang? Pangan mentah terutama daging, unggas, dan pangan asal laut mengandung mikroba berbahaya yang mungkin berpindah ke pangan lain selama persiapan dan penyimpanan pangan atau kontaminasi silang," ujarnya.

Untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang, ia berpesan masyarakat mencuci tangan setelah menangani bahan mentah. Selain itu, masyarakat diminta menggunakan peralatan terpisah untuk menangani pangan mentah dan matang.

Kemudian memisahkan daging, unggas, pangan asal laut mentag dari pangan lain. Kunci ketiga, dia melanjutkan, yaitu masaklah pangan dengan benar yaitu memasak dengan seksama sampai seluruhnya terpapar panas. Selain itu pemasakan yang tepat bisa membunuh hampir semua mikroba berbahaya. 

Kunci keempat yaitu menyimpan pangan pada suhu yang aman. Caranya, menjaga semua pangan dalam keadaan tertutup untuk menghindari hinggapnya lalat, debu, dan pencemaran.

Kunci terakhir, dia menambahkan, gunakan air dan bahan baku yang aman yaitu yang tidak berwarna dan tidak berbau. Selain itu, air harus bebas mikroba dan bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan seseoang. Kemudian ia meminta masyarakat pilih pangan segar dan utuh.

"Jangan menggunakan bahan pangan setelah tanggal kadaluarsanya," katanya. 

Baca juga, Ibu Rumah Tangga Jadi Lini Terakhir Keamanan Pangan

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Memasuki bulan ketiga semenjak ditemukannya kasus pertama Covid-19 di Indonesia, pandemi Covid-19 telah menimbulkan perubahan yang signifikan dalam beberapa sektor di tanah air, tidak terkecuali sektor pangan dan pertanian.

Masalah ketersediaan pangan hingga fluktuasi harga bahan pokok terjadi di berbagai daerah, utamanya sebagai dampak dari penerapan kebijakan penanganan Covid-19 berupa physical distancing hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

“Dampak Covid-19 tidak hanya dari penyakitnya, tetapi juga kebijakan yang diambil, ada PSBB dan sebagainya, itu berpengaruh pada aktivitas perekonomian, pertanian juga terdampak,” ucap Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Masyhuri, Jumat (8/5).

Hal ini ia sampaikan dalam diskusi bertema “Kemandirian Pangan di masa Pandemi dan Pasca Pandemi” yang diselenggarakan Dewan Guru Besar UGM.

Dampak pandemi pada sektor pertanian, papar Masyhuri, meliputi berbagai aspek, mulai dari produksi, distribusi, serta konsumsi produk pangan. Harga kebutuhan pangan pun menjadi tidak menentu.

Gula serta bawang putih adalah beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga, sebaliknya komoditas lain seperti cabai dan sejumlah produk peternakan seperti daging ayam dan telur mengalami penurunan nilai jual.

“Harga-harga seperti tak menentu, ada yang naik, tapi ada juga yang turun. Sebagian ini karena permintaan jatuh sementara persediaannya tetap, sehingga harga mulai berjatuhan,” terangnya.

Di samping itu, impor produk pertanian yang selama ini belum bisa dipenuhi dengan produksi dalam negeri pun mengalami kendala, karena perubahan kebijakan dari negara-negara eksportir yang berusaha untuk menyimpan hasil produksi untuk kebutuhan dalam negeri. Situasi ini, menurutnya, bisa semakin buruk jika pandemi Covid-19 terjadi berkepanjangan.

“Semakin lama pandemi ini berangsung, semakin kompleks masalah pangan yang dihadapi,” tuturnya.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ir. Musdhalifah Machmud, MT, mengutarakan pada April 2020 bahan makanan mengalami deflasi sebesar 0,13 persen memberikan indikasi penurunan permintaan masyarakat.

Konsumsi pangan pun mengalami penurunan sebesar 20 persen. Konsumsi daging bahkan diprediksi mengalami penurunan lebih dari 30 persen. Kondisi ini, ucapnya, diantisipasi dengan insentif untuk penguatan petani dan kebijakan penyediaan pangan bagi masyarakat.

“Kebutuhan pangan pokok masyarakat dijamin ketersediaannya oleh pemerintah, terutama pemenuhan kebutuhan selama bulan puasa dan Idul Fitri,” kata Musdhalifah.

Tantangan penyediaan pangan di tahun ini, terangnya, tidak hanya datang dari pandemi Covid-19 yang berpotensi menimbulkan gangguan pada produksi dan distribusi produk pangan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Tantangan juga datang dari adanya prediksi musim kemarau yang lebih kering yang dimulai pada bulan Juni mendatang di daerah sentra produksi pertanian, khususnya di sebagian Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Bali.

 “FAO memberi peringatan tentang potensi krisis pangan sebagai dampak dari pandemi Covid-19 dan kekeringan,” ucapnya.

Pemerintah terangnya telah menetapkan sejumlah langkah penyediaan pangan, di antaranya dengan optimalisasi penyerapan gabah atau beras petani oleh Perum Bulog untuk cadangan pemerintah sebagai instrumen stabilisasi harga dan program bantuan sosial masyarakat.

“Kementerian Pertanian dan BUMN Pangan bekerja sama dalam distribusi dan penyediaan pangan pada daerah defisit stok, serta penyerapan dan fistribusi hortikultura,” paparnya.

Penulis: Gloria
Foto: Freepik.com

IDXChannel – Direktur Utama PT Berdikari (persero) Eko Taufik Wibowo menjelaskan lima isu utama yang membuat kekuatan pangan di Indonesia kalah dengan negara lain.

Dijelaskan oleh Eko Taufik Wibowo, dalam Special Event IDX Channel bertajuk “Economy Outlook Ketahanan Pangan di Indonesia” pada Kamis (10/10), isu pertama yang memengaruhi sektor perternakan dan pertanian adalah peningkatan permintaan pangan yang berasal dari pertumbuhan jumlah penduduk.

“Kemudian meningkatnya diversifikasi produksi bidang pangan juga adalah pemicu peningkatan utang,” lanjutnya.

Isu kedua adalah urbanisasi, menurutya pertumbuhan di kota besar semakin lama semakin meningkat akibat dari perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya secara masif, dan akan memengaruhi isu pertanian.

Ketiga adalah isu meningkatnya harapan peningkatan kualitas dari pangan. Dengan adanya kemajuan teknologi dan dengan adanya kemajuan gaya hidup masyarakat adalah dua faktor yang menaikan hal terse but. Keempat adalah isu buruknya infrastruktur jalan akses ke pertanian dan peternakan sehingga akan menyulitkan petani dalam bargain terutama soal harga.

Sedangkan isu kelima adalah biaya produksi akan menjadi mahal jika produksi pangan di Indonesia masih berfokus di Pulau Jawa. “Apabila kita mencoba untuk minimal di wilayah sekitar pulau Jawa, Sumatera khususnya Lampung, kemudian di nusa Tenggara itu infrastrukturnya masih memungkinkan, misalnya untuk peternakan Sapi,” Jelas Eko.

Meski demikian, Eko berpesan agar kedepannya BUMN minimal dapat menjaga pasokan pakan ternak. Ia juga berharap upaya immunitas hukum bagi perusahaan swasta yang berusaha menguasai pangan dapat dihilangkan. (*)

Ketahanan pangan kembali menjadi perhatian dan diskusi publik, kali ini terkait dengan situasi pandemi COVID-19. Diskusi tersebut dilatarbelakangi terganggunya rantai pasokan pangan domestik dan proses produksi pangan akibat anjuran pembatasan sosial ditambah banyaknya pemutusan kerja di masa pandemi COVID-19. Kenaikan angka pengangguran berpotensi menurunkan daya beli dan meningkatkan kerawanan pangan dan gizi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah memperingatkan hal ini, termasuk menyoroti terganggunya ketersediaan pangan akibat perilaku menimbun makanan (panic buying) di Indonesia.

Menurut Kementerian Pertanian, pemerintah telah merumuskan agenda 4 Cara Bertindak (CB) untuk menjaga kebutuhan stok pangan nasional, termasuk di dalamnya pengembangan pertanian modern yang mengusung pembangunan food estate di atas lahan bekas proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Selain Kalimantan Tengah, pemerintah juga merencanakan food estate di berbagai lokasi yang dibiayai APBN.

Bukan untuk pertama kalinya tujuan ketahanan pangan dengan pendekatan food estate dilakukan. Program ini sudah berulang kali dilaksanakan dan mengalami kegagalan karena tidak berhasil mengefektifkan penggunaan lahan dan tidak menghasilkan produksi panen yang tinggi. Sejumlah contoh kegagalan food estate adalah pada era Soeharto, yakni Program Food Estate PLG, Kalteng (1996) dan pada era SBY, yakni Program Food Estate Bulungan, Kalimantan Timur (2011); Program Merauke Integrated Food and Energy Estate, Papua (2011); dan Program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat (2013).

Rencana food estate terbaru ini lantas menyisakan pertanyaan besar, apa asumsi yang melatarbelakangi keputusan food estate sebagai agenda ketahanan pangan dan gizi? Jika pilihan intervensi ini dinilai dapat meningkatkan efisiensi melalui pertanian skala besar dan meningkatkan ketersediaan pangan dalam bentuk energi atau kalori, maka ketahanan pangan dan gizi adalah penjaminan yang lebih luas daripada sekedar efisiensi dan ketersediaan pangan, sebagaimana disebut UU No. 18/2012 tentang Pangan. UU Pangan menjamin kepastian keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang bermutu dan bergizi seimbang, secara merata, sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.

Lebih lanjut, Laporan Panel Ahli Tingkat Tinggi Komite World Food Security menyatakan bahwa dimensi ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan; akses terhadap pangan secara fisik dan ekonomi; kemampuan penyerapan pangan untuk pemenuhan gizi dan kesehatan; ketersediaan dan akses terhadap pangan secara berkesinambungan; kebebasan menentukan secara independen pangan yang dimakan, diproduksi dan partisipasi dalam kebijakan pangan; serta memastikan pangan yang tersedia sekarang tidak mengorbankan pangan untuk generasi mendatang.

Oleh karena itu, upaya ketersediaan pangan jangan sampai mendorong kerawanan pangan dalam dimensi pemenuhan gizi. Misalnya, sebuah studi menemukan bahwa perubahan kendali atas tanah untuk pertanian mengubah pola makan, dimana perempuan dari rumah tangga tradisional di Kalimantan Barat mengonsumsi 30 persen lebih banyak nutrisi dalam bentuk sayuran hijau, dibandingkan dengan mereka yang berasal dari rumah tangga pekerja perkebunan.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa food estate belum menjawab agenda kebijakan ketahanan pangan dan gizi di Indonesia.

Pertama, food estate tidak menjawab permasalahan distribusi pangan

Distribusi merupakan permasalahan lama yang kemudian dipertajam dengan COVID-19. Di antaranya biaya logistik yang mahal, manajemen barang yang lemah dan panjangnya rantai pasok. Penelitian menunjukkan bahwa biaya logistik yang tinggi menambah kemiskinan dan gizi, misalnya, biaya tinggi kebutuhan pokok di Indonesia bagian timur. Lebih lanjut, pada 2019 Global Food Security Index menilai Indonesia memiliki permasalahan dalam infrastruktur pertanian, termasuk distribusi pangan. Kelemahan distribusi pangan dapat menyebabkan kekurangan pangan di banyak daerah, terutama di daerah rawan pangan.

Kedua, food estate tidak menjawab masalah akses terhadap pangan yang sehat

Pada 2018, 9 persen masyarakat Indonesia masih mengalami kelaparan kronis dan kurang gizi. Di tahun 2019, sebelum pandemi COVID-19, Indonesia berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi di bawah 10 persen. Walau kondisi ekonomi membaik, tetapi belum bisa mengatasi tiga beban malnutrisi yang masih tinggi di Indonesia. Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019 mencatat tingkat stunting pada anak menyentuh 27,67 persen. Angka tersebut masih tergolong cukup tinggi menurut standar WHO (20 persen) untuk status gizi buruk. Sementara itu, prevalensi obesitas usia di atas 18 tahun terus meningkat, dari 10,5 persen (2007) menjadi 21,8 persen (2018).

Tingginya harga pangan mempertajam kerawanan pangan akibat ketidakpastian akses karena daya beli yang lemah. Dalam sepuluh tahun terakhir harga beras di Indonesia lebih tinggi dari harga beras di pasar internasional. Pandemi telah mempertajam ketidakpastian akses masyarakat terhadap pangan. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan 1,7 juta pekerja sektor formal dan informal kehilangan pendapatan akibat pandemi. Hal ini semakin menekan daya beli masyarakat; setidaknya 38 persen rumah tangga mengurangi konsumsi mereka. Dengan tingginya harga pangan dan tanpa perbaikan aksesibilitas secara ekonomi, pembangunan food estate tidak bisa menjamin ketahanan pangan dan memperbaiki malnutrisi.

Ketiga, intervensi bagi permasalahan pangan sebaiknya tidak dilakukan dengan cara-cara yang memiliki risiko lingkungan, ekonomi dan kesehatan

Pemerintah mengestimasi dana sebesar 6 triliun rupiah selama 3-4 tahun untuk merealisasikan rencana food estate, termasuk cetak sawah. Food estate pada lahan gambut berpotensi mempertajam risiko lingkungan dan membahayakan kesehatan. Kegiatan cetak sawah yang dilakukan dengan praktik tidak ramah gambut berpotensi menimbulkan masalah serius. Sebagai contoh, kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019 sebagian besar terjadi di lahan gambut, menghasilkan kerugian ekonomi sebesar 72,95 triliun rupiah, termasuk gangguan pernafasan akibat asap dan penurunan produktivitas akibat gangguan kesehatan.

Risiko lingkungan bukan hanya dari ekosistem gambut, tetapi juga ekosistem lainnya, seperti pembukaan hutan. Peraturan Menteri KLHK No. 24/2020 yang melegalkan food estate dilakukan di kawasan hutan lindung juga menimbulkan risiko lingkungan. Memanfaatkan kawasan lindung yang rusak untuk food estate akan menimbulkan risiko yang berbeda jika dibandingkan dengan merestorasi kawasan tersebut untuk tetap difungsikan sebagai hutan.

Rekomendasi bagi ketahanan pangan dan gizi

Pandemi COVID-19 menyoroti kelemahan sistem pangan di Indonesia serta pentingnya penanganan masalah ketahanan pangan yang tidak hanya berfokus pada dimensi ketersediaan pangan. Pembangunan food estate yang mengabaikan tantangan tersebut hanya akan berpotensi mengulang kegagalan di masa lalu. Oleh karena itu, beberapa solusi yang perlu diperimbangkan:

Pertama, perlu perbaikan pada kelancaran sistem distribusi pangan agar tidak lagi terjadi kekurangan pangan yang berakibat penimbunan bagi satu kelompok konsumen dan kekurangan bagi kelompok yang lain.

Kedua, pemerintah harus bergerak dari fokus tunggal, seperti hanya pada beras, ke perubahan mendasar, dengan diversifikasi sistem pangan, pemberdayaan kelompok rentan dan terpinggirkan, serta promosi keberlanjutan di semua aspek rantai pasokan pangan dengan memperhatikan sumber daya alam dan kapasitas setempat.

Ketiga, pandemi telah mengajarkan keterkaitan antara kesehatan sistem lingkungan dan kesehatan sistem pangan. Oleh karena itu, sinergi antar sistem pangan, sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah keharusan. Ketahanan pangan Indonesia berpotensi besar untuk ditopang oleh keanekaragaman hayati dan lingkungan yang sehat tanpa risiko lingkungan yang akan berdampak pada ekonomi dan kesehatan. Misalnya, sebuah studi memperlihatkan peluang budidaya rawa (paludikultur) di lahan gambut, yang mendukung penyediaan dan ketahanan pangan, dengan komoditas yang memiliki nilai keberlanjutan, memiliki peluang pasar yang baik, serta penerimaan dari petani, seperti sagu dan tengkawang.

Momen pandemi ini bisa dijadikan kesempatan untuk menata sistem pangan Indonesia yang berkelanjutan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA