Ulama bersepakat wanita yang haram dinikahi dari segi nasab itu ada tujuh golongan. Show
Selasa , 07 Dec 2021, 05:30 WIB Pixabay Rep: Imas Damayanti Red: Muhammad Hafil REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Para ulama bersepakat bahwa wanita yang haram dinikahi dari segi nasab itu ada tujuh golongan. Kesemuanya ini ditetapkan sebagaimana yang tersebut di dalam Alquran. Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, ketujuh wanita itu yakni ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ayah (tante 1), saudara perempuan ibu (tante 2), anak perempuan saudara perempuan (keponakan 1), dan anak perempuan saudara laki-laki (keponakan 2). Para ulama juga bersepakat bahwa yang dimaksud dengan ibu di sini adalah setiap anak perempuan yang menjadi sebab kelahiran anda. Baik dari garis nasab ibu (nenek 1) maupun dari garis nasab ayah (nenek 2).Ketujuh perempuan yang terkait itu haram untuk dinikahi. Berdasarkan pendapat Ibnu Rusyd, semua ulama bersepakat atas hal ini. Dasar pengharaman tersebut adalah firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 23.Allah berfirman, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramau yang perempuan, ibu-ibumu yang sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa bagimu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang,”. Para wanita juga bersepakat bahwa wanita yang haram digauli dengan nikah, juga haram digauli karena kepemilikan sebagai budak. Baca Juga
Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...
Siapakah perempuan mahram itu? Mahram adalah perempuan yang haram untuk dinikahi dengan beberapa sebab. Siapakah perempuan mahram itu? Mahram adalah perempuan yang haram untuk dinikahi dengan beberapa sebab.
Suatu hal yang wajar apabila setiap manusia mempunyai keinginan agar semua kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, termasuk di dalamnya kebutuhan biologis (seks). Namun bukan berarti dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan hidup kemudian segala hal ditempuh tanpa memperhatikan aturan-aturan serta hukum yang terdapat dalam agama atau lainnya. Pemenuhan kebutuhan biologis dengan melalui zina bagaimanapun adalah perbuatan yang dilarang dan sangat dikutuk oleh agama,baik dia dilakukan dengan suka sama suka atau dengan pemaksaan (pemerkosaan). Dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas: وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلًا
Agama islam sebenarnya telah mengatur serta menyediakan jalan untuk menyalurkan hasrat kebutuhan biologis yang aman serta diridhai oleh Allah, yaitu dengan melalui pernikahan. Pernikahan adalah sebuah akad yang di dalamnya mencakup bolehnya mengambil kenikmatan antara kedua belah pihak menurut syariat. Lebih dari itu pernikahan merupakan sunnah Rasul. Oleh karenanya ia merupakan salah satu bentuk ibadah apabila dimotivasi oleh sunah Rasul tersebut. Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk dilakukan pernikahan, di antaranya ada mempelai laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, ada akad yang dilakukan sendiri oleh wali atau wakilnya, ada dua orang saksi dan ada mahar (maskawin). Lantas siapakah perempuan mahram itu? Mahram adalah perempuan yang haram untuk dinikahi dengan beberapa sebab. Keharaman dikategorikan menjadi dua macam, pertama hurmah mu’abbadah (haram selamanya) dan kedua hurmah mu’aqqatah (haram dalam waktu tertentu). Hurmah mu’abbadah terjadi dengan beberapa sebab yakni, kekerabatan, karena hubungan permantuan (mushaharah) dan susuan. Perempuan yang haram dinikahi karena di sebabkan hubungan kekerabatan ada 7 (tujuh), ibu, anak permpuan, saudara perempuan, anak perempuannya saudara laki-laki (keponakan), anak perempuannya saudara perempuan (keponakan), bibi dari ayah, dan yang terahir bibi dari ibu. Dalam Al-Qur'an disebutkan: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
Selanjutnya, perempuan yang haram dinikahi karena disebabkan hubungan permantuan ada 4 (empat) yaitu istri ayah, istri anak laki-laki, ibunya istri (mertua) dan anak perempuannya istri (anak tiri). Kemudian yang haram dinikahi sebab persusuan ada 7 (tujuh) yaitu, ibu yang menyusui, saudara perempuan susuan, anak perempuan saudara laki-laki susuan, anak perempuan saudara perempuan susuan, bibi susuan (saudarah susuan ayah), saudara susuan ibu dan anak perempuan susuan (yang menyusu pada istri). Apabila pernikahan dengan perempuan yang menjadi mahram tetap dilakukan maka pernikahannya menjadi batal. Bahkan apabila tetap dilanggar dan dilanjutkan akan bisa mengakibatkan beberapa kemungkinan yang lebih berat. Sumber: KH. MA. Sahal Mahfudh, "Dialaog Problematika Umat" (Surabaya: Khalista & LTN PBNU) Kumpulan Khutbah Jumat Bulan Dzulhijjah
Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah مُحْرِمٌ , mimnya di-dhammah, yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Adapun mahram bahasa Arabnya adalah ,مَحْرَمٌ mimnya di-fathah. Mahram dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram. Mereka kita bagi menjadi tiga kelompok. Yang pertama, mahram karena nasab (keturunan), kedua mahram karena penyusuan, dan ketiga mahram mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan). Kelompok yang pertama ada tujuh golongan:
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala, حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang lakilaki, dan anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan….” (an-Nisa: 23) Kelompok yang kedua juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala, وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” (an-Nisa: 23) Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan milik dia melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih[1] bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut[2]. Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti masuk di dalamnya anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, begitu pula dua anak yang disusui oleh wanita yang sama, maka ayat ini dan hadits yang marfu’, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ “Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma) Keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Ibu dari orang tua susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah. Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas. Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu, dan seterusnya ke bawah, adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya. Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur (mayoritas) dan dipilih oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullah, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia dua tahun, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (al-Baqarah: 233) Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi menerangkan bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa suatu penyusuan tidaklah mengharamkan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan. Yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan, setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan (meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali). Adapun kelompok yang ketiga maka jumlahnya 4 golongan sebagai berikut.
Golongan 1, 2, dan 3 menjadi mahram hanya dengan sekadar akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri), adapun yang keempat maka dipersyaratkan terjadinya jima’ bersama dengan akad yang sah, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati, rabibah misalnya tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya. Selain dari apa yang disebutkan di atas, bukan mahram, jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya. Begitu pula saudara perempuan istri atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan; bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, boncengan motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi, tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri sampai kalau seandainya dia dicerai atau meninggal, baru boleh dinikahi. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ“Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama).” (an-Nisa: 23) Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu muttafaqun ‘alaihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a’lam bish-shawab. (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir as-Sa’di, asy-Syarhul Mumti’, 5/168—210) Ditulis oleh al-Ustadz Abu Abdiilah Muhammad as-Sarbini [1] Istilah dalam ilmu ushul fiqih yang artinya penyebutan sesuatu yang dengannya menunjukkan kepada yang lain yang serupa hukumnya. [2] Ini adalah pendapat jumhur dan ini yang rajih (kuat). Lihat Syarah Shahih Muslim (10/18) [3] Adapun anak lelaki istri dari suami lain namanya rabib |