Sebutkan tasawuf yang diterima kaum ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah brainly


Sebelum mendiskuksikan topik di atas lebih jauh, yang perlu dijelaskan di sini adalah mengenai pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah (yang selanjutnya disingkat ASWAJA). Apa yang dimaksud Aswaja di sini adalah sebuah kelompok atau gerakan dalam sejarah, yang bisa dipahami sebagai sebuah doktrin yang telah dirumuskan (dari aspek teologis) oleh Al-Asy’ari di Bashrah, Al-Maturidi di Samarkand dan At-Thahawi di Mesir. Setidaknya inilah yang  dianggap “paling” representatif dalam menjabarkan dan mengimplementasikan ASWAJA dalam pengertian  ma ana ‘alaihhi wa ashabi sebagaimana yang disebut dalam hadis Nabi itu (meski riwayat hadis tersebut masih debatable, ikhtilaf).

Pengertian ASWAJA tersebut dalam sejarah pemikiran Islam kemudian berkembang menjadi sebuah sekte atau gerakan vis a vis Mu’tazilah maupun Syi’ah. Kalau kita telaah sejarah, bahwa kemunculan ASWAJA sebagai kelompok adalah lahir sebagai sebuah reaksi terhadap kelompok Mu’tazilah yang dianggap “sesat” karena terlalu mendewakan akal daripada wahyu. Dari benih perbedaan “peran akal” inilah yang kemudian berlanjut pada perbedaan di hampir seluruh problema teologis antara keduanya. Dan perlu diketahui, bahwa perbedaan itu berkisar pada persoalan-persoalan metafisik yang bersifat spekulatif dan relatif misalnya perbedaan tentang “apakah Tuhan itu bisa dilihat di akhirat nanti”, “apakah Tuhan punya tangan atau kekuasaan”, “apakah al-Qur’an itu qadim atau baru (hadis)”, dan seterusnya.

Itulah pengergian ASWAJA sebagai fenomena gerakan dalam sejarah pemikiran Islam. Kemudian secara spesifik lagi, NU membuat rumusan ASWAJA sebagai mazhab yang dalam berakidah mengikuti salah satu imam al-Asy’ari dan al-Maturidi; dalam ubudiyah mengikuti salah satu imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), dan dalam bidang tasawuf mengikuti salah satu imam al-Junaidi atau al-Ghazali.

Islam sebagai agama yang memuat ajaran-ajaran untuk menjadi pegangan hidup manusia  termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadis atau Sunnah Rasul. Al-Qur’an sebagai wahyu yang memuat ajaran-ajaran tidak bisa dipahami dengan baik tanpa melalui pemahaman yang baik pula. Di sini yang bisa menjelaskan dan menterjemahkan al-Qur’an secara tepat adalah Rasul itu sendiri. Oleh sebab itu pada saat Rasul masih hidup segala persoalan yang berkaitan dengan agama dapat dijelaskan oleh beliau, sebab apa yang diucapkan oleh Rasul adalah wahyu juga. Hadis atau sunnah sendiri berfungsi sebagai penjelas dan petunjuk-petunjuk yang belum termaktub dalam al-Qur’an. Tetapi begitu Rasul meninggal maka persoalan agama menjadi pekerjaan rumah umat untuk bisa memahami sendiri melalui ijtihadnya masing-masing. Persoalan-persoalan yang muncul setiap kurun sangat beragam dan bertambah kompleks sementara tidak seluruh aturan-aturan hukum bisa diketahui secara langsung dari nash al-Qur’an maupun al-Hadis atau al-Sunnah. Di sinilah maka peran ijtihad sangat penting. Tetapi karena tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, maka yang lain bisa mengikuti imam mujtahid atau aimmat al-mazhab, yaitu mengiuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh imam mujtahid atau mazhab tersebut.

Dalam tradisi NU, bermazhab itu ada dua kategori, yaitu bermazhab secara qauli dan bermazhab secara manhaji. Bermazhab seara qauli adalah mengikuti mazhab dari segi hukum yang sudah jadi (produk) dan bermazhab secara manhaji adalah mengikuti mazhab dari segi pola pikir (manhaj al-fikr), sebagai sebuah proses bukan produk.

Bermazhab scara qauli tidak selamanya bisa dipertahankan sebab pengambilan keputusan hukum (produk hukum) oleh seorang imam atau sekelompok imam mujtahid tidak lepas dari situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya (sosial, budaya, geografi, politik dst), sementara zaman terus berubah dari tahun ke tahun dan dari waktu ke waktu.

Dalam era modern seperti sekarang ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, perubahan sosial begitu cepat dan problem-problem sosial pun semakin kompleks, maka ketentuan-ketentuan hukum (baca: doktrin) yang telah dirumuskan ASWAJA yang bersifat qaul atau aqwal tidak selamanya mampu menjawab problem dan tantangan zaman tersebut, maka yang harus segera dilakukan adalah merujuk mazhab secara manhaji,  atau harus berani mencari alternatif lain dari ketentuan-ketentuan mazhab yang selama ini dijadikan frame of reference, sebab kalau tidak yang terjadi adalah kemandekan berpikir dan tidak berani mengeluarkan keputusan-keputusan hukum  baru yang menjadi tuntutan masyarakat. Tradisi me-mauquf-kan masalah hukum menjadi trend jam’iyah NU karena regiditas --untuk tidak mengatakan fanatik-- dalam mengikuti salah satu mazhab. Ini yang menyangkut masalah fiqh.

Di bidang teologi, banyak doktrin-doktrin yang kadang-kadang juga perlu kita tinjau ulang. Oleh sebab itu yang berlu kita sadari, bahwa ASWAJA itu merupakan pola pikir (manhaj al-fikr) yang sebagian relevan dan sebagian lain mungkin perlu dikaji ulang (baca: rekonstruksi). Kita tidak bisa memaksakan ASWAJA sebagai teologi kemapanan (estabilished), tetapi ia merupakan khazanah, turats yang tidak selalu benar adanya. Dengan begitu, maka ASWAJA sebagai manhaj al-fikr tidak lain adalah proses dinamika pemikiran yang terus berkembang dan tidak pernah selesai.

Kini saatnya kita mengembangkan pemikiran-pemikiran teologis yang menyentuh pada persoalan-persoalan praktis yang terjadi di masyarakat dan kepentingan umat manusia. Pemikir-pemikir teologi yang bersifat idealis dan cenderug mengusik Zat Tuhan perlu segera dibalik untuk lebih cenderung antroposentris dan populis (at-tafkir fi khalqillah la fi dzatillah). Pemikiran-pemikiran teologis klasik (Hassan Hanafi memakai istilah tradisional), baik pemikiran teologi Mu’tazilah maupun Asy’ariyah banyak disorot oleh pemikir-pemikir kontemporer seperti Iqbal, Abduh, Arkoun dan Hassan Hanafi. Misalnya konsep al-Ghazali dianggap tidak relevan lagi dengan realitas keilmuan yang  berkembang dewasa ini. Pemikiran kausalitas kalam al-Asy’ari tidak kondusif untuk menumbuhkan etos kerja keilmuan baik dalam wilayah kosmologi maupun humaniora (lihat, Amin Abdullah 1994: al-Baghdadi: 330). Seperti yang dikatakan Tolchah Hasan (1994: 6), setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian bagi pengikut mazhab, yaitu : mengikuti kebenaran ajaran, mengetahui hakikat realitas yang terjadi, dan mengadaptasikan yang satu dengan yang lain secara proporsional.

Harap maklum jika pemikiran teologis klasik begitu melambung jauh dan bersifat metafisik-spekulatif. Karena memang sumber inspirasinya berasal dari Platonis dan Neo-Platonis baik pemikiran Asy’ariyah maupun  Mu’tazilah. Oleh karena itu, Hassan Hanafi (1999:7) berbeda dengan para pemkir Islam pada umumnya, memberikan pengertian teologi bukan ilmu tentang ketuhanan yang menurut pengertian epistemologisnya terdiri dari logos dan theos, namun ia merupakan ilmu perkataan (ilmu kalam). Karena menurutnya person Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Teologi dimaknai sebagai antropologi yang berarti ilmu tentang manusia, ilmu yang merefleksikan konflik-konflik sosial politik dan sebuah masyarakat berkepercayaan.

Apa yang dikehendaki Hassan Hanafi ini  adalah sebuah obsesi untuk menjadikan teologi sebagai ilmu yang membawa nilai guna bagi umat, bukan sekadar teologi yang tak memiliki wawasan sosial. Oleh sebab itu penulis sendiri cenderung jika teologi itu dipahami sebagai ilmu agama secara umum yang juga memiliki orientasi antropo-sosiologis maupun kosmologis. Dengan demikian teologi tersebut akan selalu bermakna bagi pemecahan problem-problem kemanusiaan modern, semoga***


 

Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
<>


Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ


Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ


Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)

Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى


Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).

Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

1. Akidah.


a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli. b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam. c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.

2. Syari'ah

a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.

b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).


c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3. Tashawwuf/ Akhlak

a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.


c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

4. Pergaulan antar golongan

a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing. b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda. c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai. d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5. Kehidupan bernegara

a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa. b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah. d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan

a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama. b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.

c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).



7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT. b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas. c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

KH Muhyidin Abdusshomad
Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA