Seni berfungsi sebagai sarana ekspresi seseorang adalah termasuk

Sedikit tentang Filsafat

Seni berfungsi sebagai sarana ekspresi seseorang adalah termasuk

Apakah ekspresi itu?

Ekspresi merupakan pengungkapkan atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya)

Apakah ekspresi seni juga semacam itu?

Tidak, karena orang yang sedang marah dan sedih tak mungkin melahirkan karya seni. Seni baru muncul setelah perasaan itu menjadi pengalaman.

Jadi, ekspresi dalam seni, merupakan curahan perasaan tertentu dalam suasana perasaan gembira, perasaan marah, dan sedih. Dalam ekspresi seni juga harus dilakukan pada saat seniman sedang “tidak marah maupun sedih”. Fungsi seni sebagai alat ekspresi merupakan fungsi yang utama dari kehadirannya, pernah dalam suatu masa, fungsi ini merupakan fungsi yang sangat ditunjolkan, bahkan mutlak, tidak dapat dicampuri oleh fungsi-fungsi yang lain. Seakan-akan merupakan hal yang tabu bilamana seni itu dicampuri dengan soal dan masalah lain.

Seni sebagai suatu-satunya alat untuk mengekspresikan isi hati seniman. Agar dapat diterima oleh masyarakat penikmat, sejak kelahirannya yang pertama hingga sekarang mengalami perkembangan. Dari mula-mula yang primitf hingga sekarang seni modern. Namun fungsi utama ini tetap tidak pernah berubah, semakin terampil dan berbakat seorang seniman menggunakan seni untuk mengekspresikan isi hatinya, semakin tinggi dan bermutu seni yang ia hasilkan dan semakin besar jpula nama seniman itu.Manusia mengenal berbagai alat ekspresi . alat ekspresi yang mengandung unsur artistic itu adalah seni, sedangkan yang tidak mengandung unsur artistic adalah non seni. Berbagai alat ekspresi itu pada dasarnya adalah isyarat, isyarat. Isyarat itu dapat menggunakan badan atau diri manusia itu sendiri dan insyarat yang menggunakan peralatan. Adapaun insyarat-isyarat yang menggunakan badan manusia itu sendiri misalnya dengan mengeluarkan suara seperti bersiul, berteriak, berkata. Dengan menggerakkan badan seperti melambai, menggeleng, menginjak-injak kaki dan menari. Isyarat yang menggunakan alat misalnya memukul-mukul sesuatu, meniup sesuatu, dan sebagainya. Apabila sarana-sarana ekspresi itu disertai unsur artistic maka jadilah seni, misalnya berkata yang diserati unsur artistic akan menjadi sastra, baik secara tertulis maupun diucapkan. Berbunyi yang disertai dengan unsur artistik akan melahirkan music dan nanyi. Gerakan yang disertai unsur artistic akan melahirkan tari.

Ekspresi dalam Seni

Seni sering kali identik dengan kata ekspresi. Ekspresi semdiri memiliki pengertian yaitu, seuatu yang dikeluarkan. Seni sendiri memang merupakan ekspresi perasaan dan pikiran. Misalnya ekpresi saat marah, sedih, senang. Ekpresi ini bisa datang secara spontan dan simultan. Dalam seni, perasaan haruslah dikuasai, dijadikan objek dandiatur, dikelola, serta di wujudkan atau diekspresikan dalam karya seni. Istilah populernya, perasaan harus diendapkan dahulu. Jadi ekspresi seni adalah mencurahkan perasaan tertentu dalam suasana gembira. Perasaan marah dan sedih dalam ekspresi seni juga harus dilakukan pada waktu senimannya sedang tidak marah atau sedih. Perasaan yang diekspresikan dalam sebuah karya seni bukan lagi perasaan individual melainkan universal. Perasaan yang dapat dihayati orang lain belum tentu perasaan tersebut pernah dialami. Unsur perasaan dalam karya seni timbul karena perasaan itu merupakan respom individu terhadap sesuatu di luar dirinya yaitu lingunkungan hidupnya. Tetapi, dapat juga perasaan itu adalah respon rasa itu yang muncul dari idenya sendiri.

Dengan sendirinya tindakan mewujudkan ekspresi dalam seni itu dilakukan dengan spontanitas perasaan pula, yakni perasaan “sekarang” selama proses penciptaan. Perasaan objektif seniman lebur dalam kegembiraan ekspresi keseniannya melalui medium seni. Namun karya seni bukan semata-mata ekspresi perasaan saja, melainkan juga merupakan ekspresi nilai, bail nilai esensi (makna) nilai kognitif (pengetahuan, pengalaman) dan kualitas nilai mediumnya. Dari nilai-nilai itulah yang menentukan isi, makna, substansi dari seni karena nilai itulah ada dalam diri seniman sebagai pengalaman nilai masa lampaunya. Dengan demikian dalam ekspresi seni terjadi semacam penggabungan antara tindakan ekspresi “sekarang” dan ekspresi “nilai-nilai masa lampau”. Unsur perasaan dalam ekspresi seni dapat ditelusuri dan dicari asalnya, kemana arah nya serta tentang apa. Maka dalam seni di kenal ada objek seni, sikap seniman, dan perasaan seni.

Adanya seleksi dan penajaman perasaan terhadap suatu stimulant akan melahirkan intensitas perasaan yang diekspresikan. Prasaan tertentu dalam seni dapat begitu tajam dan menggores karena senimannya berhasil mengekspresikan pengalaman perasaan itu dengan pilihan yang tepat dan sarana yang tegas. Perasaan humor pahit dalam karya seni dapat muncul begitu mengesankan karena seniman berupaya mewujudkan pengalaman perasaannya secara efektif dan efisien.

Sampai abad ke-19, pandangan seni sebagai imitasi terus dominan. Pandangan ini baru berubah pada abad ke-19, dimana seni dan susastra dipandang sebagai ekspresi seniman. Kelahiran pandangan ini mensti dihubungkan dengan romantisme, sebuah aliran filsafat dan intelektual abad ke-18 menuju abad ke-19. Romantisme ditopang oleh ajaran filsafat Fichte, Schelling, Schopenhauer dan Nietzsche yang mengembangkan aliran pemikiran yang aslinya bersumber pada pandangan Kant mengenai “teori pengetahuan”. Kant membedakan antara dunia empiris dan dunia noumenal. Dunia empiris adalah dari alam ini, yang merupakan objek pengetahuan ilmiah. Dunia noumenal adalah dunia dibalik dunia makna-makna yang tidak bisa kita ketahui. Dunia pertama, adalah dunia empiris atau dunia pengalaman bisa kita ketahui dan kita kenal karena sturkturnya bisa dialami dan dialami oleh struktur akal budi kita. Adapun dunia noumenal, dunia benda-benda pada dirinya sendiri, tidak bisa disentuh oleh struktur akal manusia dan tetap tinggal penuh misteri dalam wajah dunia yang sensuous. Dunia noumenal, misteri, inilah yang menarik perhatian dan minat seniman-seniman, filsuf-filsuf, sastrawan abad ke-19, aura pelangi agama dan mistisme bernaung disini

Romantisme dalam dunia seni mengubah posisi/peran seniman, karya seni sendiri. Seniman dipandang sebagai penjembatan menuju ke ilmu. Berkembang pula kualitas seni Dionysian yang menekankan ketegaran/kekokohan, intens (tandas), lentur kehidupan. Namun, berkuranglah penghargaan pada seni Apollonian yang berciri tenang, menekankan keteraturan, tertib. Seni adalah ekspresi emosi (perasaan) dari penciptanya (sang seniman).

Pandangan atau teori seni sebagai ekspresi ternyata berfungsi sebagai :

  1. Usaha untuk memberi tempat pijak sentral kembali bagi seni dalam kebudayaan barat.
  2. Ketika peranan ilmu dan teknologi serta industrialisasi semakin besar dan ternyata berdampak mengurangi fungsi dan posisi seni dalam hidup kebudayaan, teori seni sebagai ekspresi mampu menunjukkan lagi fungsi pentingnya bagi masyarakat.
  3. Teori seni sebagai ekspresi perasaan si seniman ini berikhtiar untuk menghubungkan, menjembatani seni dengan hidup nyata umat manusia. Perasaan itu merupakan yang tiap orang bisa mengalaminya secara amat jelas. Bila seni adalah ekspresi dari perasaan, maka tersapalah pengalaman hidup tiap orang.
  4. Seni sebagai ekspresi berfungsi sebagai ikhtiar untuk menunjukkan kualitas emosional dari seni dan bagaimana seni bisa menggerakkan orang.

Hubungan Seni dengan Keindahan

Seni adalah kekuatan seseorang yang kreatif dan biasanya adalah bakat alamiah yang dibawa sejak lahir, akan tetapi dapat pula seni diperoleh dari lingkungan seperti pendidikan, agama, pergaulan. Sedangkan menurut zeising keindahan itu bersifat menyenangkan atau menimbulkan perasaan senang terhadap orang lain. Sedangkan keindahan dalam arti fisial hanya dapat dimengerti seseorang melalui proses keterlibatan perasaan dan penalarannya terhadap proses dan hasil karya seni itu. Kehadiran sesuatu yang indah dalam hidup seseorang akan membuat hidupnya demakin berwarna begitu juga dengan sebuah karya seni bila ada sebuah keindahan akan membuat apresiator merasa berwarna dalam menikmati karya tersebut. (sarwana09.blogspot.co.id)

Seni dan keindahan sangat erat kaitannya, seni sendiri menurut Aristoteles adalah kemampuan menciptakan suatu hal atas pikiran akal. Seni adalah tiruan dari alam, tetapi tiruan yang membawa pada kebaikan. Walaupun seni itu tiruan dari alam seperti apa adanya, tetapi merupakan hasil kreasi akal manusia. Seni harus dapat menciptakan bentuk keindahan yang sempurna, yang dapat mengantarkan manusia menuju keindahan yang mutlak. Sedangkan Keindahan sendiri menurut Aristoteles dianggap sebagai kekuatan yang memiliki berbagai unsur yang membuat sesuatu hal yang indah. Menurut Aristoteles unsur-unsur keindahan dalam alam maupun pada karya manusia adalah suatu ketertiban dan suatu besaran/ukuran tertentu. Tetapi keindahan bagi masing manusia terkadang apresiasinya tergantung bagaimana menangkap makna sebuah karya seni.

Hubungan keduanya sangat jelas terutama bila ditinjau dari sudut kebentukan karya tersebut bahwa devinisi yang sering kita dengan bahwa seni itu adalah segala keindahan yang diciptakan oleh manusia. Devinisi tersebut secara universal dilontarkan orang, karena karya seni disetiap bangsa didunia ini dari zaman prasejarah hingga kini memiliki cirri keindahan. Hal ini pulalah yang mambuat seni dan keindahan mampunyai hubungan yang begitu erat.. (iffadewi017.blogspot.co.id)

Dari devinisi tentang seni yang sering orang katakana itu membuktikan bahwa seni tak akan bias dipisahkan dari keindahan. Karena dalam penciptaan sebuah karya seni pasti para seniman sudah memperhitungkan atau memiliki pandangan kedepan bahwa karyanya harus mengandung sebuah unsure keindahan hal itu yang menurut zeising keindahan bersifat menyenangkan atau menimbulkan perasaan senang terhadap orang lain. Namun yang sudah dibilang tadi bahwa sebuah keindahan karya seni terkadang apresiasinya tergantung bagaimana menangkap makna karya tersebut. Bahwa setiap orang pasti akan berbeda dalam memaknai sebuah karya seni.

Sebagai pandangan keindahan murid Plato, Aristoteles mengemukakan beberapa pandangan yang mirip dengan ajaran sang guru, tetapi sudut pandangannya berbeda. Sudut pandang yang berbeda ini timbul karena Aritoteles menolak dunia idea Plato sebagai sumber pengetahuan. Pandangan Aristoteles tentang keindahan dan karya seni secara panjang lebar diuraikan dalam buku Poietike.

Pandangan Aristoteles tentang keindahan agak dekat dengan pandangan kedua dari Plato : Keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia.

Karya seni yang disoroti oleh Aritoteles adalah karya sastra dan karya drama. Ia membicarakan karya drama terutama dalam bentuk ‘’tragedi’’ seperti yang dipentaskan dalam peran-peran aktor dan aktris, dengan iringan musik dan tarian, yakni tragedi klasik Yunani Kuno di masa Aritoteles. Juga ada beberapa catatan tentang Seni Rupa, namun kalah menonjol dengan pandangannya tentang tragedi.

Titik tolak pandangan Aritoteles tentang karya seni mirip dengan pandangan Plato, yaitu : Karya seni adalah sebuah ‘’imitasi’’ atau tiruan, yakni tiruan dari dunia alamiah dan dunia manusia. Bagi Plato, seni adalah imitasi dan suatu kekurangan yang bijaksana, sebagai wujud perwujudan suatu idea. Sedangkan bagi Aritoteles, seni tidak hanya tiruan dari suatu benda yang ada di alam, tetapi lebih sebagai ‘’tiruan dari sesuatu yang universal’’ (imitation of something that is universal), walaupun ia tidak memiliki pengertian umum secara ilmiah, tetapi lebih seperti estetika universal yang terintuisi oleh sang artis. Aristoteles tidak setuju dengan penilaian negatif Plato atas karya seni, karena penolakannya terhadap teori idea. Kata ‘’tiruan’’ di sini tidak dimaksudkan oleh Aristoteles sebagai sekedar ‘’tiruan belaka’’. Maksud ini sudah jelas, karena minat Aristoteles pertama-tama bukanlah seni rupa, melainkan justru seni drama dan seni musik.

Menurut Aristoteles, ‘’pembuatan karya seni ‘’(pietike tekhne) itu berbeda dari tugas sejarah yang harus mencerminkan kejadian-kejadian partikular yang pernah terjadi. Karya seni seharusnya memiliki keunggulan ‘’falsafi’’, yakni bersifat dan bernada ‘’universal’’. Walaupun peran atau peristiwa yang dipentaskan itu partikular, namun ia harus melambangkan, mewakali, dan ‘’mengandung’’ unsur-unsur universal dalam ke-partikularannya, yaitu unsur yang khas manusiawi yang seolah-olah berlaku di segala zaman dan segala tempat. Dengan demikian, karya seni diharapkan dapat menjadi tombol yang maknanya dapat dikenali dan ditemukan oleh penggemar karya seni, berdasarkan pengalamannya sendiri, baik sebagai pemain maupun sebagai penonton.

Aristoteles menguraikan dan memerinci cukup panjang lebar mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar sebuah tragedi dapat diangkat menjadi sebuah karya seni. Kita tidak akan melihat semua syarat-syarat tersebut di sini. Masalah paling penting yang harus menjadi perhatian kita adalah pandangan pokok Aritoteles yang mendasari syarat-syarat tersebut, yaitu pandangannya tentang ‘’katarsis’’, artinya ‘’pemurnian’’. Menurut Aritoteles, katharsis merupakan puncak dan tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi. Berhasil tidaknya sebuah pementasan drama dapat diukur dari tingkat yang terjadi.

Segala peristiwa, pertemuan, wawancara, perenungan, keberhasilan, kegagalan, dan kekecewaan, harus disusun serta dipentaskan sedemikian rupa, sehingga sampai suatu saat secara serentak semuanya tampak ‘’logis’’, namun juga seolah-olah ‘’tak terduga’’. Nah, pada saat itulah katarsis terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga, artinya : Seolah-olah segala masalah dan kejadian yang muncul bertumpuk di dalam pengalaman peran-peran utama di panggung dan di dalam diri penonton tiba-tiba pecah atau mencair. Hal ini sering terjadi dengan cara yang sangat mengharukan.

Teori ‘’katarsis’’ Aristoteles ini sangat mempengaruhi filsafat tentang karya seni, terutama dalam teori drama. Biasanya katarsis diharapkan terjadi dalam diri penonton dan kemudian dibawanya pulang sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia, sebagai pembebasan batin dari segala pengalaman penderitaan. Dengan demikian, katarsis ini memiliki makna ‘’terapeutik’’, jika dilihat dari sisi kejiwaan, bahkan seringkali di dalamnya terdapat unsur penyesalan dan perubahan, semacam pencerahan atau pertobatan dalam pengalaman religius.

Keindahan (beauty) bukanlah nilai yang independen, melainkan lebih sebagai percikan kebenaran (splendor veritatis) dari kesempurnaan Iiahi, yakni Tuhan sendiri. Keindahan sejati berada di wilayah Tuhan, ditangkap lewat intelek atau intuisi mistik dan keindahan yang membawa ketenangan.Keindahan dirumuskan sebagai objek rasa puas yang bersesuian dengan selera. Ciri dari rasa puas ini adalah tanpa pamrih (disinterested). ‘’Selera’’ kemampuan untuk mempertimbangkan suatu objek atau berbentuk reprentasi berdasarkan rasa puas atau tidak puas yang tanpa pamrih.

Ekspresi dalam seni, merupakan curahan perasaan tertentu dalam suasana perasaan gembira, perasaan marah, dan sedih. Dalam ekspresi seni juga harus dilakukan pada saat seniman sedang “tidak marah maupun sedih”. Fungsi seni sebagai alat ekspresi merupakan fungsi yang utama dari kehadirannya, pernah dalam suatu masa, fungsi ini merupakan fungsi yang sangat ditunjolkan, bahkan mutlak, tidak dapat dicampuri oleh fungsi-fungsi yang lain. Seakan-akan merupakan hal yang tabu bilamana seni itu dicampuri dengan soal dan masalah lain. Kehadiran sesuatu yang indah dalam hidup seseorang akan membuat hidupnya demakin berwarna begitu juga dengan sebuah karya seni bila ada sebuah keindahan akan membuat apresiator merasa berwarna dalam menikmati karya tersebut.