Seorang peneliti menerapkan bioteknologi untuk meningkatkan produksi daging dan susu sapi

VIVAnews - Saat ini masalah utama pengembangan ternak sapi di Indonesia adalah terbatasnya jumlah bibit baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Problem tersebut menjadikan kebutuhan daging sapi Indonesia tidak tercukupi dan akhirnya harus mengimpor daging dari Australia.

Padahal jika mengoptimalkan penerapan teknologi peningkatan mutu genetik sapi, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

Show

Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Baharuddin Tappa, telah mengembangkan tiga model untuk meningkatkan mutu genetik sapi, yakni Inseminasi Buatan (IB), Transfer Embrio (TE) dan Sexing Sperma (Pemisahan sperma). Baharuddin mengatakan model inseminasi buatan merupakan upaya meningkatkan mutu sapi dengan memanfaatkan potensi sapi pejantan unggul.

"Ini sama dengan kawin suntik. Kemampuan kawin sapi jantan terbatas, untuk itu sperma disuntikkan ke sapi betina, " ujar Baharudin saat dihubungi VIVAnews, 18 April 2012.

Dengan model ini, sapi jantan yang biasanya hanya mampu mengawini 50 sampai 70 sapi betina per tahun, kini dapat mencapai 5 ribu sampai 10 ribu perkawinan per tahun.

"Namun saat ini banyak sapi pejantan unggul yang dijual untuk dipotong, hampir tidak ada di peternak saat ini, " kata lulusan Nippon Veterinary and Animal Science University, Tokyo, Jepang ini.

Model kedua yakni Transfer Embrio. Metode ini memanfaatkan sapi pejantan dan sapi betina dengan melakukan pembuatan di dalam rahim atau di luar rahim (bayi tabung).

"Kalau di luar rahim, embrio dititipkan ke betina lain, istilahnya induk titipan, " katanya.

Sedangkan metode yang ketiga yakni Sexing Sperma atau pemisahan sperma X dan Y. Metode peningkatan populasi dengan menentukan jenis kelamin sapi yang akan dilahirkan. "Jadi mau pilih jantan atau betina tinggal disesuaikan, harusnya yang diperbanyak yang betina, " ujarnya.

Adapun saat ini komposisi populasi sapi masing imbang, setengah betina dan setangah jantan. "Tapi jika untuk masyarakat pembibitan ya betina, tapi jika untuk masyarakat yang ingin penggemukan dibuat lahir yang jantan, " tuturnya.

Metode penentuan jenis kelamin ini menurutnya sangat signifikan, yakni dari penentuan 80 sampai 90 persen sesuai dengan keinginan.

Pengembangan mutu genetik sapi ini sudah dikembangkan sejak tahun 1999, dengan penerapan sejak 5 tahun terkahir, mengingat harus diawali dengan penelitian terlebih dahulu.

LIPI sudah menerapkan upayameningkatkan mutu genetika dan jumlah populasi ini di beberapa tempat. Salah satunya di Jawa Barat yakni Garut, Tasikmalaya dan Lembang.

Ia berharap agar pemerintah mulai serius untuk meningkatkan populasi sapi di Indonesia dengan membeli sapi unggulan baik betina ataupun jantan untuk diterapkan dengan teknologi tersebut. Ini disebabkan banyak sapi unggulan yang percuma hanya dijual dan dipotong.

"Sapi jantan unggulan banyak yang dipotong, sedangkan betina yang produktif berkurang juga, ya itulah bagaimana sekarang pemerintah kebijakannya, beli sapi-sapi itu, " katanya.
Sumber : Vivanews.com (Rabu, 18 April 2012)

Sivitas Terkait : Baharuddin Tappa

Bioteknologi merupakan cabang ilmu Biologi yang mempelajari tentang teknologi pemanfaatan makhluk hidup untuk menghasilkan produk yang memiliki nilai guna bagi manusia. Salah satu teknik dalam bioteknologi adalah melalui rekayasa genetika. Seorang peneliti akan menyisipkan potongan gen hewan atau tumbuhan ke dalam gen bakteri. Kemudian gen bakteri tersebut akan dimasukkan ke dalam gen hewan atau tanaman sehingga dihasilkan suatu produk yang disebut GMO (Genetically Modified Organism). Hasil dari rekayasa genetika ini dapat berupa varietas tanaman atau ternak dengan sifat unggul dan memiliki produktivitas yang tinggi.

Contoh dari GMO pada tanaman pangan yaitu padi hasil rekayasa genetika yang dilakukan dengan menyisipkan gen tumbuhan narsis, jagung, dan bakteri Erwinia pada kromosom padi sehingga padi tersebut mengandung provitamin A (beta-karotena) dalam jumlah tinggi. Sedangkan penerapan pada hewan ternak seperti sapi yang mampu meningkatkan produksi susu sebanyak 20% karena gen nya telah disisipi gen bakteri yang mengandung hormone BST (Bovine somatotrophin).

Meskipun memiliki banyak manfaat, namun produk GMO memiliki kontroversi dalam penggunaannya. Terdapat beberapa kalangan yang menolak GMO atas dasar beberapa alasan. Pertama alasan kesehatan, adanya kekhawatiran bahwa GMO berpotensi menimbulkan alergi pada manusia. Kedua alasan dampak lingkungan, produk transgenik dapat mengganggu keseimbangan ekosistem karena dapat membuat hama atau gulma menjadi resisten (tahan) di lingkungan tersebut. Dan ketiga yaitu aspek kehalalannya, produk GMO dikhawatirkan menjadi haram apabila gen yang disisipkan berasal dari bagian yang diharamkan, seperti tubuh manusia atau babi.

Dr. Ir. Anton Apriantono M.S. (Menteri Pertanian periode 2004-2009) mengatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam mengatur dan mengawasi agar produk hasil rekayasa genetika bisa dipastikan kehalalnya. Pemerintah memberikan rambu-rambu yang mengatur tentang penentuan halal tidaknya produk pangan bioteknologi. Maka dari itu, MUI mengeluarkan fatwa mengenai hal ini yang tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 35 Tahun 2013 tentang Rekayasa Genetika dan Produknya.

Pertama, melakukan rekayasa genetika terhadap hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme adalah mubah (boleh), dengan syarat; (a) Dilakukan untuk kemaslahatan (bermanfaat), (b) Tidak menimbulkan mudharat (bahaya) bagi manusia maupun lingkungan, (c) Tidak menggunakan gen atau bagian lain yang berasal dari tubuh manusia.

Kedua, tumbuh-tumbuhan hasil rekayasa genetika adalah halal dan boleh digunakan, dengan syarat; (a) Bermanfaat dan (b) Tidak membahayakan.

Ketiga, hewan hasil rekayasa genetika adalah halal, dengan syarat; (a) Hewannya termasuk dalam kategori ma’kul al-lahm (jenis hewan yang dagingnya halal dikonsumsi), (b) Bermanfaat dan (c) Tidak membahayakan.

Keempat, produk hasil rekayasa genetika pada produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika adalah halal dengan syarat; (a) Bermanfaat, (b) Tidak membahayakan, dan (c) Sumber asal gen pada produk rekayasa genetika bukan berasal dari yang haram.

Anton juga menjelaskan bahwa pemerintah tidak hanya memperkuat rambu-rambu dan kelembagaan, tapi juga memperkuat kemampuan laboratorium untuk mendeteksi produk hasil rekayasa genetika dan menguji kehalalannya pada bahan pangan dan produk olahan. Laboratorium harus dilengkapi dengan peralatan canggih sehingga dapat memeriksa kualitas pangan secara lebih cermat dan akurat.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan banyak kemudahan dalam mengetahui kehalalan suatu produk. Pengujian ini dapat dilakukan dengan dua macam deteksi melalui biologi molekuler yaitu deteksi Produk Rekayasa Genetika (PRG) dan uji kehalalan (kandungan babi) pada bahan pangan dan produk olahannya menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR).

Jadi, selama produk hasil rekayasa genetika tidak mengandung bahan yang diharamkan dalam syariah islam maka diperbolehkan untuk mengonsumsinya. Karena dengan mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib (baik)maka akal, jiwa, dan raga manusia akan senantiasa terjaga sehingga amal ibadah yang dilakukan bisa optimal dan diterima oleh Allah SWT.

Kontributor: Hayun Durrotul Faridah

Referensi

© 2001.   Andi  Murfi                                                                     Posted 13 June 2001  [rudyct]
Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

E-mail:

Indonesia saat ini dan beberapa tahun ke depan sangat dituntut upaya meningkatkan produksi susu. Kebutuhan susu segar dan produk susu semakin meningkat akibat pertambahan penduduk yang sangat cepat.

       Salah satu teknologi yang saat ini sedang digunakan secara  luas adalah penggunaan Bovine Somatotropin (bST).  Penggunaan bST di beberapa negara terutama  Amerika telah teruji kemampuannya dalam meningkatkan produksi susu. Akan tetapi berbagai kalangaan termasuk praktisi, peneliti maupun konsumen masih mempertanyakan dampak penggunaan bST, baik pada ternak, manusia maupun lingkungan. Sehingga penggunaan di Indonesia mungkin masih menunggu beberapa waktu lagi. Padahal dibandingkan dengan impor sapi perah yang pada saat ini yang sangat besar biayanya, penggunaan bST dapat meningkatkan produksi susu hingga 30 % tanpa harus menambah jumlah sapi perah  serta menambah fasilitas seperti kandang dan penggunaan lahan baru.

       Tulisan ini hanya merupakan beberapa review dari beberapa jurnal yang merupakan hasil penelitian baik yang dilakukan di laboratorium Pusat-pusat penelitian atau Universitas yang terkemuka (Lab) juga dan dari hasil penelitian dan penerapan di lapangan (field  study) pada beberapa perusahaan sapi perah.  Penelitian tersebut tidak hanya dilakukan di Amerika juga di Amerika  latin seperti Mexico, Brazil, Puerto Rico , daerah Eropa Timur bahkan negara tropis seperti di Zimbabwe, Kenya di Afrika dan tetangga kita Malaysia.

       Dari hasil tulisan yang sangat sederhana ini diharapkan  diperoleh imformasi mengenai penggunaan bST dan kemungkinan penggunaannya di Indonesia.

Bovine Somatotropin  (bST)

       Menurut Djojosoebagio (1990) hormon Somatotropin sapi  diketemukan oleh Li et al.  merupakan polypeptida bercabang yang mempunyai 416 asam-amino. Hormon ini mempunyai efek terhadap membran sel. Fungsi hormon ini diantaranya sebagai pemicu untuk membentuk dan meningkatkan  konsentrasi cAMP sebagai proses terjadinya utusan kedua (second messenger) yang diikuti oleh proses-proses biologis  lainnya;  meningkatkan asam-amino ke dalam otot, ginjal dan fibroplast dan juga dapat menyebabkan lypolysis pada jaringan lemak yang dibantu oleh hormon lain seperti tiroksin dan glucocorticoid.

       Mekanisme kerja Somatotropin dalam memperbaiki performans laktasi dinyatakan oleh Breier et al . (1991) yaitu dengan perubahan pembagian penyerapan zat makanan (partitioning of absorbed nutrients), pertambahan lemak dikurangi, mobilisasi lemak ditingkatkan dan penggunaan glukosa oleh jaringan peripheral dan oksidasi glukosa  dan asam-amino dikurangi . Akibatnya glukosa dan asam-amino menjadi tersedia untuk sintesis komponen susu serta cadangan lemak digunakan sebagai sumber energi. Selain itu respons ternak terhadap bST adalah peningkatan pengeluaran darah dari jantung (cardiac out put ) dan laju  aliran darah ke ambing (mammary blood flow). Respons-respons ini yang menyebabkan peningkatan pemasukan zat makanan (nutrient) ke ambing.

       Ketertarikan terhadap bST mulai  tahun 1932, ketika seorang peneliti bernama Asdell mendemonstrasikan satu respons produksi susu pada kambing betina laktasi yang diberi ekstrak  pituitary.  Pada tahun 1940 diperoleh imformasi  bahwa zat tersebut adalah ekstrak somatotropin. Pada tahun 1982 muncul suatu produk bioteknologi yang digunakan pada ternak berupa Bovine Somatotropin (bST). Sejak penemuan bST ini penelitian demi penelitian dilakukan para ahli untuk menguji sejauh mana manfaat bST secara biologis dan apa dampak penggunaan tersebut. Penelitian terutama dilakukan pada sapi perah.

       Di Amerika sendiri penggunaan bST setelah melalui penelitian yang cukup lama, akhirnya FDA (Food and Drug Administration) pada tahun 1994 resmi menyetujui penggunaan dan penyebaran bST secara komersial.  Hingga tahun 1998 pengunaan bST oleh peternak Amerika  telah melebihi 100 juta unit (Bauman et al., 1999) . Dikenal ada beberapa produk bST diantaranya Somidobove recombinant derived bST (OPTIFLEX)  dari Eli Lilly and Elanco Indianapolis IN dan Posilac dari Mosanto  Co. St Louis, Mo.

Manfaat Bovine Somatotropin

       Tidak diragukan lagi semua penelitian pemberian bST pada sapi perah memberikan hasil adanya peningkatan produksi susu, kualitas susu, memperbaiki persistensi laktasi serta meningkatkan  efisiensi konversi pakan. Peningkatan produksi susu bervariasi hingga mencapai 5.4 kg per hari (Moallem et al., 2000) , dan yang cukup fantastis 6.1 kg per hari pada sapi Holstein yang mendapat pakan yang baik (Phipps et al., 1997).

       Moallem et al. ( 2000 ), pada penelitian menggunakan dosis 500 mg Zn-Sometribove (bST) yang disuntikkan setiap 14 hari dan diberikan pada hari ke-10 hinggga   ke 150 menunjukkan bahwa produksi susu FCM (Fat Corrected Milk) meningkat 5.4 kg per hari per ekor.  Demikian juga hasil yang dilaporkan oleh Phipps et al., (1997) dan Luna-Dominguez et al. ( 2000 ) memperlihatkan produksi susu yang signifikans.

       Bauman et al. (1999) telah melakukan penelitian selama 8 tahun (1990-1999) , membandingkan 4 tahun periode sebelum bST disetujui FDA (1994) dan 4 tahun setelah disetujui. Penelitian ini dilakukan  pada 340 peternakan dan tidak kurang 200.000 ekor sapi laktasi dan telah dilakukan 2 juta test memperlihatkan respons yang konsisten 4 tahun setelah disetujui, lemak susu dan protein meningkat dan persistensi laktasi diperbaiki. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Torazon-Herrera  et al. (1999) sapi perah yang diberi 500 mg bST per 14 hari dan disertai dengan pemberian  evaporative cooling pada kondisi musim panas memperlihatkan peningkatan produksi susu, % lemak, protein serta efisiensi konversi pakan yang lebih besar dari pada yang tidak diberi bST.

       Selain manfaat di atas dilaporkan oleh Luna-Dominguez et al. ( 2000)  bahwa pemberian bST dapat memperpendek interval beranak (calving interval) tetapi tidak mempengaruhi first service conception.

       Hal ini dilaporkan oleh Dunlap et al. (2000)  bahwa bST dapat mengurangi eskresi N sapi per unit susu. Penurunan kebutuhan N pada ransum dan kehilangan N pada kotoran dapat mengurangi kelebihan N lingkungan. N2  dari usaha sapi paerah dapat berakumulasi pada tanah, udara dan air.  Dimana hal tersebut secara potensial mempunyai pengaruh lingkungan yang negatif. Pada tanah dan air akumulasi N merusak ekosistem keseimbangan nutrisi (Jikells, 1998).

Dampak Penggunaan Bovine Somatotropin

       Sampai sejauh ini belum ada peneliti yang melaporkan dapak negatif dari penggunaan bST. Kekhawatiranakan danya penurunan bobot  badan cukup beralasan terutama penggunaan bST pada awal laktasi. Hal ini berhubungan dengan kondisi sapi yang sedang mengalami keseimbangan  energi yang negatif. Penggunaan bST menyebabakan penurunaan bobot badan pada kondisi yang memprihatinkan. Karena penggunaan bST akan memobilisasi cadangan lemak tubuh. Pada awal laktasi hingga menjelang puncak laktasi, bobot badan cendrung menurun. Keadaan ini dapat diatas dengan penggunaan bST setelah puncak laktasi. Setelah 50 hari laktasi (Phipps et al., 1997, Luna-Dominguez et al.,  2000) atau dengan pemberian pakan yang baik (Moallem et al.  2000).

       Hasil penelitian Scarda dan Mader (1991) Menunjukkan penggunaan bST tidak menunjukkan gejala toxic syndrome, tidak ada perubahan tingkah laku atau gangguan penyakit metabolik. Berdasarkan rekomendasi Kementrian Pertanian dan Nutrisi dan Kementrian Kesehatan Amerika, sertifikat aman untuk somidobove 4 April 1989 telah dikeluarkan. Keamanan untuk konsumen yang mengkonsumsi produk susu dan daging dari pemberian bST pada sapi perah  berdasarkan penelitian dan pengetahuan yang ada yaitu ; 

(1)               Komposisi susu, flavor dan pertumbuhan biakan Starter asam laktat tidak dipengaruhi oleh bST,

(2)         bST tidak mempunyai aktivitas biologis pada manusia, dan sebagai susu protein bST dicerna semuanya bila dikonsumsi.

      Satu penelitian yang menunjukkan adanya indikasi terjadinya mastitis dengan meningkatnya jumlah sel somatic (SCC) pada pemberian bST. (Van Den Berg,1991).  Akan tetapi hasil penelitian Bauman. (1999) SCC tidak dipengaruhi oleh adanya pemberian bST. Dijelaskan bahwa et al umumnya mastitis dan problem penyakit yang lain sering terjadi pada 45 hari setelah beranak. Resiko peningkatan mastitis klinis meningkat seiring meningkatnya produksi susu  (Oltenacu dan Eskebo, 1994).

      Akan tetapi hasil penelitian Hoeben et al (1999) memperlihatkan bahwa pemberian bST. pada sapi yang terinfeksi oleh Streptococcus uberis dapat mencegah penurunan produksi susu, perubahan komposisi susu seperti laktosa, protein, lemak, Na+, K+ dan Cl-. Sedangkan menurut Bauman et al (1999) pada peternakan di Michigan pengobatan mastitis klinis dan culling pada sapi diberi perlakuan bST tidak terjadi.

Faktor yang Perlu Diperhatikan

       Dalam mengambil keputusan apakah kita akan menggunakan bST,  ada beberapa faktor yang perlu diperhatikann di antaranya dosis yang digunakan, kapan atau pada hari  keberapa  setelah beranak, apakah sebelum atau setelah puncak laktasi. Kemudian kondisi  atau persyaratan apa yang perlu disiapkan pada sapi seperti pakan, kondisi kesehatan, kandang dan peternak itu sendiri.

       Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan ada beberapa dosis yang digunakan, mulai 167, 250, 334, 500 dan 640 mg per 14 hari. (Phipps et al., 1997; Luna-Dominguez et al.  2000; Moallem et al.  2000 ;  Fontes JR et al., 1999  dan Torazon-Herrera et al, 1999 ). Ternyata dosis 345 dan 500 mg per 14 hari yang memberikan hasil yang terbaik. Namun penelitian Phipps et al. (1997) di Kenya dosis 354  dan 500 mg tidak memperlihatkan produksi susu yang signifikan. Hasil lain yang berbeda dilaporkan oleh peneliti Malaysia ternyata dosis 250 mg per 14 hari merupakan dosis yang paling ekonomis. Kondisi ini berbeda mungkin disebabkan adanya perbedaan berat badan (Azizah et al , 1993 ).

       Pemberian dosis per 14 hari didasarkan bahwa respons bST mulai  terjadi selama 24 jam dan respons maksimal terjadi selama satu minggu. Dengan dilakukan penyuntikan setiap dua minggu, ikut mengurangi penderitaan (stress) yang terjadi akibat penyuntikan yang dilakukan terus menerus  dalam tempo yang singkat. Hal ini sangat menjadi concern pada penyayang binatang yang berhubungan dengan Isue Animal Welfare.

       Demikian juga dalam hal kapan pemberian bST yaitu umumnya diberikan setelah puncak laktasi setelah 50 hari (Phipps et al. 1997; Fontes JR et al. , 1997;  Luna-Dominguez et al.  2000), sepanjang laktasi (Bauman et al. 1999) atau awal hingga pertengahan laktasi (10-150 hari)( Moallem et al.  2000). Ternyata pemberian  setelah laktasi  memberikan respons terbaik.  Hal ini berhubungan dengan kondisi sapi sebelum puncak laktasi yang memberikan kondisi keseimbangan energi yang negatif yang akan menimbulkan gangguan pada sapi penurunan bobot badan dan nurunnya Body Condition Score (BCS) sapi, sehingga kerentanan terhadap beberapa penyakit meningkat. Sapi pada pertengahan laktasi atau akhir laktasi keseimbangan pakannya umumnya positif.

       Kondisi lain adalah hampir semua memerlukan dukungan energi yang cukup sesuai kebutuhan sapi untuk berproduksi sesuai dengan kemampuannya.  Karena penggunaan bST meningkatkan produksi susu yang membutuhkan makanan  untuk sintesis susu tersebut. Tetapi penelitian Phipps et al. (1997) menyimpulkan bahwa penggunaan bST  tidak perlu  mengubah manajemen dan kualitas sumber pakan yang ada di daerah tersebut.

       Selain itu dari beberapa penelitian ternyata hasil yang didapat lebih baik pada sapi multiparous (beranak lebih dari satu kali) dari pada primiparous (beranak pertama kecil)  ( Luna-Dominguez et al.  2000, Rose dan Obara, 2000). Hal ini berhubungan dengan makin meningkatnya bobot badan setelah laktasi pertama. Demikian pula perlu perhatian khusus oleh peternak pada sapi yang mendapat perlakuan bST seperti kondisi kandang dan lain-lain.

Kesimpulan

Penggunaan Bovine Somatotropin (bST) dapat meningkatkan produksi susu, kualitas susu, memperbaiki persistensi laktasi dan efisiensi konversi pakan.  Sejauh ini belum ada efek buruk dari penggunaan bST.

Dari uraian diatas penggunaan bST dapat dilakukan di Indonesia. Penggunaan bST dapat dilakukan terutama pada perusahan peternakan sapi perah dan peternakan rakyat serat hanya diberikan pada sapi yang berproduksi tinggi.

Dosis yang digunakan adalah 250 mg atau 354 mg per 14 hari dan diberikan 50 hari setelah laktasi hingga kurang lebih hari ke 200, serta harus didukung dengan pakan yang cukup berkualitas. Disamping itu perlu dilakukan pengontrolan yang ketat.

Hal ini kiranya dapat mengurangi biaya apabila kita harus tetap mengimpor sapi perah.

Daftar  Pustaka

Azizah, A.R.,R.H. Phipps, I.A. Fursyith, D.L. Hard, W.E. Wan Hassan and J.A Taylor..1993.  Influence of  a prolonged release formulation of bovine somatotropin (Sometribove) on milk  production and the concentration of bovine somatotropin and insulin like growth factor-1 (IGF-1) in serum and milk of Malaysian Sahiwal x Friesian cows. Livest.Prod. Sci.  35 : 173.

Bauman, D.E., R.W. Everxett, W.H. Weiland and R.J. Collier. 1991.Production responses  to bovine somatotropin in Northeast dairy herds. J. Dairy. Sci. 82:2564-2573.

Breier, B.H./P.D. Gluckman, S.N. McCutchen and S.R. Davis. 1991. Physiological responses to somatotropin in the ruminant. J. Dairy .Sci. 74(Suppl.2):20-34.

Djojosoebogio, s. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokrin.  Vol.1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor.

Dunlap, T.F., R.A. Kohn, G.E. Dahl, M. Varner and R.A. erdman. 2000. The impact of somatotropin, milking frequency and photoperiod on dairy farm nutrient flows. J. Dairy. Sci. 83:968-976.

Fontes JR, C., V.K. Meserole, W. Mattos, R.P. Barros, Z. Wu and J.T. Huber. 1997. Response of Brazilian crossbred cows to varying doses of bovine somatotropin. J. Dairy. Sci. 80:3234-3240.

Hoeben, D., C. Burvenich, P.J. Eppard and D.L. Hard. 1999. Effect of recombinant bovine somatotropin on milk production and composition of cows with Streptococcus uberis  Mastitis. J. DairySci. 82:1671-1683.

Jikell, T.D. 1998. Nutrient biogeochemistry of coastal zone. Science 281:217-222.

Moallem, U., Y. Folman and D. Sklan . 2000. Effects of somatotropin and dietary calsium soaps of fatty acids in early lactation on milk production, dry matter intake, and energy balance of high-yielding dairy cows. J. Dairy Sci  83: 2085-2094.

Luna-Dominguez, J.E., R.M. Enns, D.V. Armstrong and R.L.Ax. 2000. Reproductive performance of Holstein cows receiving somatotropin. J. Dairy Sci. 83: 1451-1455.

Oltenacu, P.A. and I.Ekesbo. 1994. Epidemilogical Study of clinical mastitis in dairy cattle Vet. Res. 25:208.

Phipps, R.H., D.L. Hard, and F. Adriaens. 1997. Use of bovine somatotropin in the tropics: The effect of sometribove on milk production in Western, Eastern and Southern Africa. J. Dairy Sci. Vol. 13. No.2:236-243.

Torazon-Herrera, M., J.T. Huber, J. Santos, H. Mena, L.Nusso, and C. Nussio. 1999. Effects of bovine somatotropin and evaporative cooling plus shade on lactation performance of cows during summer heat-stress. J. Dairy Sci. 82:2352-2357.

Van Den Berg, G. 1991. A review of Quality and processing suitability of milk from cows treated with bovine somatotropin, J. Dairy Sci. 74(Suppl.2):2-11.