Setelah terpilih menjadi Ketua pengurus Besar Muhammadiyah kyai haji Mas mansyur kemudian menetap di

Pada tahun 1937, dalam Kongres Muhammadiyah yang ke-26 di Yogyakarta, Kiai Haji Mas Mansur yang berusia 42 tahun dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.220 Pergantian kepemimpinan ini bisa dipahami sebagai pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua ke kelompok muda. Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua ke kelompok muda dalam Pengurus Besar Muhammadiyah menunjukkan bahwa Muhammadiyah sangat demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang sangat progresif demi perkembangan dan kemajuan Muhammadiyah. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Kiai Haji Mas Mansur (1937-1942) didominasi oleh angkatan muda.221

Sebelum Kiai Haji Mas Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ada ketidakpuasan dari angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah. Ketidakpuasan ini muncul karena Pengurus Besar Muhammadiyah terlalu mengutamakan pendidikan yaitu mengurusi masalah sekolah Muhammadiyah tetapi melupakan bidang tabliq (penyiaran agama). Angkatan muda saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar

220

Djarnawi Hadikusuma, Matahari-Matahari Muhammadiyah: dari K. H. Ahmad Dahlan sampai dengan K. H. Mas Mansur, Yogyakarta, Persatuan, Tt, hlm. 41.

221

Tim Penyusun, Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, Pimpinan Pengurus Muhammadiyah, 2005, hlm. 29.

Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu Kiai Haji Hasyim (Ketua Pengurus Besar, usia 64 tahun), Kiai Haji Mukhtar (Wakil Ketua, usia 62 tahun ), dan Kiai Haji Syuja usia 58 tahun sebagai ketua majelis PKU (Penolong Kesengsaraan Umum).222

Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog, tokoh-tokoh tua bersedia mengundurkan diri.223 Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Kiai Haji Mas Mansur diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Pada awalnya Kiai Haji Mas Mansur menolak, namun setelah bermusyawarah akhirnya ia bersedia. Kesediaan Kiai Haji Mas Mansur ini dengan syarat wakil ketuanya harus Ki Bagus Hadikusuma. Akan tetapi Ki Bagus Hadikusuma tidak bersedia, ia mengusulkan H. Ahmad Badawi. Akhirnya Kiai Haji Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, dengan wakilnya H. Ahmad Badawi.224

Dengan terpilihnya sebagai Pengurus Besar Muhammadiyah, Kiai Haji Mas Mansur dan keluarganya harus pindah ke Yogyakarta, karena kantor pusat Muhammadiyah berada di kota itu. Meskipun kedudukannya sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Kiai Haji Mas Mansur tidak mendapat gaji dan tempat tinggal dari Muhammadiyah. Oleh karena itu, untuk menopang kehidupan

keluarganya, ia harus bekerja sebagai guru di Madrasah Mu’alimin

222

Djarnawi Hadikusuma, op. cit., hlm. 38. 223

Ibid., hlm. 40. (Lihat lampiran III, hal. 113) 224

Muhammadiyah, Yogyakarta.225 Kiai Haji Mas Mansur dan keluarganya tinggal di asrama yang telah disediakan oleh sekolah.

Tugas pertama Kiai Haji Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah adalah membentuk susunan Pengurus Besar yang terdiri dari Haji Ahmad Badawi sebagai wakil ketua, Haji Hasyim sebagai sekretaris, Haji Farid

Ma’ruf sebagai wakil sekretaris, Haji Abdul Hamid sebagai bendahara, Muhadi

sebagai wakil sekretaris. Sedangkan pembantu umum terdiri dari R. H. Dahlan, Abdullah Ngasem, Haji Baseran, Sastrosuwito, Haji Hisyam, Haji Wazir Nuri, dan Haji Bajuri.226

Kiai Haji Mas Mansur terkenal sebagai pemimpin yang cakap dan bisa memberi tuntunan dan contoh yang baik bagi warga Muhammadiyah, sehingga masa kepemimpinannya sebagai Pengurus Besar Muhammadiyah sering disebut

sebagai “Periode Mansur”. Selain itu, susunan Pengurus Besar yang sudah terbentuk tersebut ternyata dapat berkerjasama dengan baik. “Periode Mansur”

merupakan jaman keemasan Muhammadiyah. Pada periode ini Muhammadiyah berhasil menyusun pedoman 12 langkah Muhammadiyah dan berhasil mendirikan bank Muhammadiyah. Selain itu, kebesaran dan keluasan Muhammadiyah tampak dari jumlah anggota Muhammadiyah, yang pada tahun 1921-1942 berjumlah sebanyak 112.830 orang, memiliki 1.500 sekolah yaitu 800 buah sekolah Diniyah

225

Darul Aqsha, Kiai Haji Mas Mansur (1986-1946); perjuangan dan pemikiran, Jakarta, Erlangga, 1989, hlm. 32.

226

(keagamaan), dan 400 buah sekolah yang berdasarkan Oosters onderwijs, dan 300 buah sekolah yang berdasarkan Wester onderwijs.227

Tiap senin malam Kiai Haji Mas Mansur selalu memberi ceramah dan wejangan kepada sesama anggota Muhammadiyah terutama yang berada di daerah Kauman.228 Kursus ini diselenggarakan di sebuah gedung Sekolah Muhammadiyah yang letaknya di belakang masjid Agung. Kiai Haji Mas Mansur memang berniat hendak menekankan betapa pentingnya kedudukan seorang pemimpin. Seorang pemimpin jangan hanya menuntut haknya semata, tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajibannya. Pemimpin harus berani maju ke depan pada waktu ada marabahaya dan bila tenaga serta pikirannya diperlukan. Pemimpin haruslah mengabdi dan memberi bukannya dilayani dan diberi.229

Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Kiai Haji Mas Mansur selalu menekankan pentingnya disiplin dalam berorganisasi. Sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya, demikian juga dengan disiplin kerja dan disiplin dalam berorganisasi. Sebelum jaman Kiai Haji Mas Mansur, para tamu dari luar daerah biasanya cukup datang ke rumah pengurus saja, tanpa harus datang ke kantor. Kebiasaan seperti itu, oleh Kiai Haji Mas Mansur dinilai tidak baik bagi disiplin organisasi karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri dan memiliki karyawan yang lengkap. Segala urusan dan keperluan organisasi Muhammadiyah harus diselesaikan di kantor. Namun Kiai Haji Mas Mansur tetap bersedia menerima

227

Soebagijo I. N, K. H. Mas Mansur pembaharu Islam di Indonesia, Jakarta, Gunung Agung,1966, hlm. 6

228

Darul Aqsha, op. cit., hlm. 33. 229

silaturahmi para tamu Muhammdiyah yang datang dari luar daerah di rumahnya, tetapi dalam urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.230 Kiai Haji Mas Mansur selain sebagai seorang pergerakan, juga seorang organisator yang baik. Sejak Pimpinan Pusat Muhammadiyah berada di bawah Kiai Haji Mas Mansur, terasa sekali adanya perbaikan-perbaikan dan usaha penyempurnaan organisasi dari dalam.231

Langkah pertama yang ditempuh oleh Kiai Haji Mas Mansur dalam mengendalikan organisasi Muhammadiyah adalah dengan menanamkan disiplin waktu dan disiplin kerja di kalangan warga Muhammadiyah. Adapun program-program yang dilaksanakan oleh Kiai Haji Mas Mansur pada tahun 1937 antara lain dibentuknya komisi masjid, badan wakaf dan balai Muhammadiyah. Pada periode Kiai Haji Mas Mansur juga didirikan bank Muhammadiyah sebagai alat untuk mencapai maksud perbaikan dan susunan perekonomian kaum muslim.232

Menurut Kiai Haji Mas Mansur, Islam menghendaki jual beli yang sah, Islam menghendaki pinjam meminjam dengan dasar tolong menolong. Islam mengutamakan orang yang ditolong memberi laba yang tidak ditentukan sedikit banyaknya, Islam mengajak damai, hidup tenteram, dan saling kenal mengenal.233 Ide-ide pendirian bank Islam tidak terlepas dari keprihatinan Kiai Haji Mas Mansur ketika melihat keadaan ekonomi yang hancur, kemiskinan, dan

230

Djarnawi Hadikusuma, op. cit., hlm. 48. 231

Solichin Salam, Muhammadiyah dan Kebangunan Islam di Indonesia, Jakarta, Mega, 1965, hlm. 28.

232

Ibid., hlm. 28. 233

Amir Hamzah Wiryokarto, Kyai Haji Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar, Yogyakarta, Persatuan, 1992, hlm. 30.

kemunduran umat Islam Indonesia. Untuk itu akhirnya Kiai Haji Mas Mansur berpendapat dan bertindak alangkah baiknya apabila didirikan bank Islam.234

Pada tahun 1937 keadaan perekonomian kaum muslim sangat memprihatinkan, dan hal ini menjadi keprihatinan Muhammadiyah. Oleh karena itu, dalam Kongres Muhammadiyah pada tahun 1937 di Yogyakarta diputuskan untuk mendirikan sebuah bank Muhammadiyah. Kiai Haji Mas Mansur menyatakan bahwa bank dengan sistem bunga hukumnya haram. Akan tetapi, walaupun hukumnya haram, bisa dimanfaatkan dan diperoleh karena alasan darurat, dan tuntutan keadaan yang tidak bisa dihindarkan. Alasan ini oleh Kiai Haji Mas Mansur didasarkan pada beberapa Qaidah Fuqhiyah.235 Kiai Haji Mas Mansur menyimpulkan bahwa bank dengan sistem bunga itu memang haram hukumnya, akan tetapi diperkenankan, dimudahkan selama keadaan memaksa.

Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Kiai Haji Mas Mansur berusaha mengamati dan mengadakan penelitian tentang keadaan Muhammadiyah dan masyarakat Indonesia. Dari hasil pengamatan dan penelitiannya, ia berhasil menyusun langkah bagi kelangsungan Muhammadiyah.236 Hasil tersebut berupa kerangka pedoman yang berisi dua belas butir dan dikenal dengan sebutan Dua Belas Langkah Muhammadiyah (1938-1940).237

Proses terbentuknya Dua Belas Langkah Muhammadiyah tersebut bermula dari pengajian yang dilakukan oleh Kiai Haji Mas Mansur dengan

234

Ibid., hlm. 25. (Lihat lampiran II, hal. 112) 235

Ibid., hlm. 26. 236

Mohamad Djazman, Muhammadiyah Peran Kader Dan Pembinaannya, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 1989, hlm. 12.

237

Haedar Nasir, Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah, Yogyakarta, BPK Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1994, hlm. 45.

beberapa pengurus dan anggota Muhammadiyah. Pengajian tersebut diselenggarakan di Gedung Muhammadiyah yang berada di belakang masjid Agung Kauman Yogyakarta, dan dilaksanakan setiap malam senin.238 Dalam pengajian, ia selalu mengutarakan pemikiran-pemikiran tentang agama Islam, iman, amal, akhlak, dan lain-lain. Ide-ide Kiai Haji Mas Mansur tersebut menjadi bahan diskusi para pengurus Muhammadiyah. Kemudian pada Kongres Muhammadiyah di Malang pada tahun 1938, pemikiran Kiai Haji Mas Mansur diperbincangkan dan dirumuskan menjadi dua belas butir.239 Pada Kongres itu juga akhirnya pemikiran Kiai Haji Mas Mansur disahkan dan dijadikan sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.240

Pada tahun 1939, Muhammadiyah mengadakan Kongres yang ke-28 di Medan. Dalam Kongres tersebut Kiai Haji Mas Mansur masih tetap dipercaya untuk menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.241 Pada periode 1939, Kiai Haji Mas Mansur banyak mengadakan pendekatan dengan pemerintahan Hindia Belanda, sehingga dapat dikatakan bahwa organisasi Muhammadiyah merupakan organisasi yang mudah diajak bekerjasama.242

Pada tahun 1939, keputusan Muhammadiyah yang membuahkan hasil antara lain program perangko amal. Untuk keperluan itu, dibentuk sebuah badan yang diketuai oleh Kiai Haji Mas Mansur, sedangkan sebagai pelindungnya yaitu Sunan Paku Buwono XI di Solo, Sultan Hamengku Buwono IX di Yogyakarta,

238

Darul Aqsha, op. cit., hlm. 33. 239

Mas Mansur, Dua Belas Tafsir Muhammadiyah, Yogyakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1939, hlm. 60.

240

Soebagijo I.N, op. cit., hlm. 40. 241

Syukriyanto AR dan Abdul Munir Mukhan, Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPRESS, 1990, hlm, 173.

242

dan Prof. Dr. Hussein Jayaningrat. Perangko amal ini ditambah beberapa sen pada setiap harga penjualannya dan hasil yang diperoleh digunakan untuk membangun saranan ibadah, gedung sekolah, rumah sakit, poliklinik, dan usaha sosial lainnya.243

Selama tiga tahun terakhir Muhammadiyah menyelenggarakan Kongres, Kiai Haji Mas Mansur selalu mendapatkan kepercayaan untuk menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Hal ini karena kerja keras dan keuletan Kiai Haji Mas Mansur dalam membawa Muhammadiyah ke arah yang lebih maju. Pada tahun 1940 diselenggarakan Kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta. Kongres tahun ini merupakan Kongres paling besar, karena para utusan Muhammadiyah datang dari segala penjuru tanah air, baik dari Muhammadiyah sendiri, Aisiyah, Pemuda Muhammadiyah, Pandu Hizbul Wathan, maupun Nasyiatul Aisiyah.244

Dalam Kongres tahun 1940, Muhammadiyah semakin mamperhatikan masalah perekonomian dan ini menjadi tugas berat Pengurus Besar Muhammadiyah dalam mengentaskan kemiskinan yang melanda warga Muhammadiyah sendiri maupun umat Islam di Indonesia. Kongres Muhamadiyah yang ke-29 ini mengadakan pemilihan Ketua Pengurus Besarnya dan tidak dapat dipungkiri nama Kiai Haji Mas Mansur mendapatkan suara terbanyak. Diketahui bahwa:

1. K. H. Mas Mansur 17.351 suara

2. H. M. Faried Ma’ruf 14.826 suara

243

Ibid., hlm. 42. 244

3. R. H. Hadjid 14. 473 suara

4. Ki. Bagus Hadikusuma 13.826 suara

5. H. A. Badawi 13.339 suara

6. H. Hasjim 13.189 suara

7. H. Abdul Hamid Bkn 11.677 suara

8. H.Mh. Wazirnoerie 11.469 suara

9. H. A. Aziz 10.753 suara

10.H. M. Sudjak 8.698 suara 11.S. Tjitrosubono 6.550 suara 12.Radjab Ghani 6.006 suara 13.Sjaich Mh. Ma’some 5.349 suara

14.Hasbullah 4.892 suara245

Dari 152.398 suara, Kiai Haji Mas Mansur memperoleh 17.351 suara yang diikuti oleh 14 calon Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.246 Ia memperoleh kepercayaan untuk memimpin kembali Muhammadiyah.247

Kiai Haji Mas Mansur senantiasa aktif mengikuti perkembangan dan jalannya organisasi Muhammadiyah secara teliti, sehingga ketika ia terpilih menjadi ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ia banyak sekali melakukan pembenahan terhadap kekurangan dan hal-hal yang menimpa Muhammadiyah. Ia kemudian mencari jalan keluarnya untuk mencapai kemajuan yang lebih tinggi.248

245

Mingguan Adil, Solo, No. 16, 18 Januari 1941 246

Taufik Abdullah, Islam di Asia Tenggara, Jakarta, LRKN-LIPI, 1976, hlm. 36. 247

Ibid., hlm. 11. 248

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA