Suku terpencil di papua yang tinggal di rumah pohon ialah

VIVA Lifestyle – Portal berita Inggris, BBC, pada April 2018 membuat pernyataan kepada publik bahwa salah satu liputan mereka merupakan tayangan yang tidak benar alias rekayasa. Tayangan itu adalah seri Human Planet tentang Papua yang tayang pada 2011 lalu. Film tersebut menceritakan suku Korowai sebagai orang-orang yang masih bertempat tinggal di rumah pohon yang terletak 10 hingga 12 meter dari atas tanah.

Persoalan menjadi pelik ketika kru film lain datang ke wilayah tersebut, saat itu keadaan sudah berbeda. Rumah yang ingin diliput ternyata sudah tidak berbentuk seperti keadaan sebelumnya. Rumah itu sudah tinggal sisa-sisanya, kayu-kayu penyusunnya sebagian sudah runtuh ditiup angin dan tidak ada orang yang tinggal di sana. Sampai akhirnya orang-orang Korowai mengatakan bahwa rumah pohon itu memang sengaja dibuat untuk kepentingan tayangan televisi saja.

BBC telah mengeluarkan klarifikasi, mereka mengatakan bahwa praktik jurnalisme itu telah 'melanggar standar redaksional' mereka, mereka pun mengakui bahwa mereka sudah memperbaiki arahan redaksionalnya.

Rumah pohon tinggi dibuat hanya untuk keperluan film

Tayangan BBC yang memberitakan kejanggalan itu adalah tayangan berjudul My Year with The Tribe. Dalam proses produksi tayangan itu seorang anggota suku mengatakan pada pembawa acara, bahwa rumah pohon itu semata-mata dibuat hanya untuk keperluan membuat film.

Pembawa acara langsung menuturkan dalam tayangan berikutnya bahwa rumah pohon yang telah tayang sebelumnya adalah sepenuhnya buatan. Rumah pohon itu bukanlah tempat tinggal mereka suku Korowai ini. Rumah itu dibuat semata karena kepentingan turis dan televisi.

Suku terpencil di papua yang tinggal di rumah pohon ialah
Mengenal Suku Korowai (Foto: Instagram@indoflashlight)

Bertold Ananda Jumat, 06 Agustus 2021 - 13:19:00 WIB

JAKARTA, iNews.id - Selalu ada hal menarik dari Papua yang bisa dieksplorasi wisatawan. Papua memang terkenal memiliki pemandangan alam yang menakjubkan.

Terutama jika Anda telusuri lebih dalam, Papua juga menyimpan salah satu suku yang masih hidup di atas pohon. Ya, suku tersebut adalah Korowai.

Suku ini keberadaanya baru ditemukan pada 35 tahun yang lalu, tepatnya menjadi suku terasing yang terletak di pelosok pedalaman Papua. Jumlah penduduk setempat hanya berkisar 3.000 orang

Sejarah suku ini tercatat hidup dalam kondisi terisolasi, berbeda dari pedalaman Papua yang lainya, suku ini tidak memakai koteka untuk kesehariannya. Sampai tahun 1970, penduduk setempat hanya mengenal penduduk sekitar saja dan tidak berkontak sama sekali dengan penduduk luar.

Tidak hanya itu saja tradisi dan adat yang dianut juga unik. Ingin tahu apa saja keunikan suku Korowai yang ada di Papua? Berikut ulasannya dirangkum pada Jumat (6/8/2021).

1. Pertama kali ditemukan dan kontak pada 1978

Untuk pertama kalinya suku Korowai berkontak dengan dunia luar berawal pada 4 Oktober 1978 oleh seorang penginjil bernama Johannes Veldhuizen. Selama bertahun-tahun dia mengajarkan cara penyembuhan dan metode kesehatan yang diprogram oleh pemerintah. Tidak hanya itu saja pada 1980, gereja sempat membangun sekolah dan klinik rawat jalan

2. Tradisi dan adat yang unik

Suku Korowai terkenal dengan tradisi dan adat yang unik, serta tradisional yaitu dengan membangun rumah pohon. Semua penduduk di sana bertempat tinggal di rumah yang dibuat dari kulit pohon sagu, cabang pohon, daun hutan, tali rotan, dan tangga di pepohonan yang tinggi. Penduduk setempat juga menyebut sebagai rumah tinggi. Hal itu dikarenakan rumah yang dibangun bisa sampai setinggi 50 meter.

3. Terdapat julukan ‘Laleo’ dalam suku Korowai

Bukan tanpa alasan penduduk setempat membangun rumah sampai setinggi itu. Tujuan utamanya yaitu supaya tetap aman terlindungi dari banjir, hewan buas dan roh-roh jahat. Konon di suku ini terdapat roh iblis jahat bernama Laleo yang sering berjalan pada malam hari. Nama Laleo berartikan julukan sebagai orang asing yang bukan suku asli penduduk mereka. Penduduk juga memercayai, semakin tinggi bangunan rumah, maka akan terhindar dari roh-roh jahat Laleo.

4. Sosok wanita tua memahami spiritual dianggap sebagai tokoh

Tak hanya itu saja, penduduk dan keluarga suku Korowai sangat menyadari hal baik dan jahat. Hal itu dikarenakan penduduk sekitarnya mengerti dan memahami keseimbangan alam, kesehatan, seksualitas dan pengetahuan dunia roh. Penduduk setempat percaya, alam semesta dipenuhi dengan makhluk spiritual, roh-roh halus yang berbahaya. Maka dari itu, suku tersebut jika terdapat sosok wanita tua yang memahami dan memiliki pengetahuan spiritualitas, maka dianggap sebagai tokoh yang dihormati dan disegani.

5. Konflik

Suku Korowai memiliki konflik yang terkenal pada beberapa tahun lalu yaitu dengan pemburuan pohon gaharu. Pohon tersebut sangat diincar oleh negara asing, hal itu disebabkan karena memiliki nilai dan harga yang sangat mahal. Hingga saat ini mulai terdapat sekelompok asing yang masuk ke pedalaman tersebut untuk menguasai perdagangan besar-besaran.

6. Rumor kanibalisme

Banyak rumor yang beredar dan menjadi konflik tersendiri bagi Suku Korowai. Pasalnya, rumor tersebut sudah melekat sebagai salah satu tradisi yang menarik untuk diteliti oleh para ahli, namun sedikit menakutkan untuk dikunjungi. Namun setelah berhasil mengunjunginya, rumor itu tidak benar, sebab penduduk sekitar suku Korowai tidak mengonsumsi daging manusia. Hanya saja bila terdapat penduduk yang menggunakan ilmu sihir yang disebut dengan khuakhua maka mendapat ritual memakan daging manusia. Dan hal itu sebenarnya tidak benar dan harus dimusnahkan, sebab melanggar aturan hukum adat suku Korowai.


Editor : Vien Dimyati

TAG : destinasi destinasi wisata wisata papua Suku Korowai

Suku terpencil di papua yang tinggal di rumah pohon ialah
​ ​

Jayapura, Jubi- Orang Korowai termasuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. Dari ibukota Kabupaten Mappi, Keppi ke wilayah orang Korowai Kampung Bosman ke Distrik Kaibar lewat sungai membutuhkan waktu sekitar 10-12 jam.

“Di Kampung Basman masih perlu berjalan kaki lagi ke Dusun Muu Dua sekitar empat jam berjalan kaki,”tulis antropolog Harno Yonathan Lejitoo dalam bukunya berjudul Potret Manusia Pohon,Komunitas Adat Terpencil Suku Korowai di daerah Selatan Papua dan Tantangan Perdaban Baru.
Orang Korowai sendiri menyebut mereka sebagai Klufo Fyumanop, Klufo artinya orang. Sedangkan Fyumanop berarti jalan di atas tulang kaki. Hal ini berarti orang-orang yang suka berjalan kaki. Mereka menamakan itu hanya untuk membedakan orang Korowai dengan orang-orang dari Suku Citak Mitak.

“Orang-orang dari Citak Mitak biasanya menggunakan perahu sebagai alat transportasi sedangkan orang Klufo tidak biasa menggunakan perahu,”kata Handro Lukito mahasiswa program doktoral jurusan antropolog Universitas Indonesia.

Orang Belanda yang menyebut suku Korowai, mereka lebih gampang menyebut Klufo dengan sebutan Korowai. Orang luar membedakan orang Korowai Batu dan Korowai Besi. Koworai Batu mereka yang belum tersentuh dengan perubahan modern dan belum mengenal alat-alat potong seperti besi. Sedangkan Korowai Besi sudah mengadakan kontak-kontak dengan orang luar dan mengenal alat-alat potong yang terbuat dari besi.

Tipe Rumah Orang Korowai, terbagi atas tiga macam pertama rumah yang dibangun di atas tiang setinggi lima meter. Kedua rumah yang dibangun di atas pohon-pohon tinggi bisa mencapai sekitar 70 meter. Ketiga rumah-rumah di atas tanah berupa bivak-bivak berupa rumah sementara untuk tamu saat pesta ulat sagu yang biasanya diselenggarakan selama beberapa hari.

Rumah di atas pohon dibangun khusus untuk berhadapan denganmusuh-musuh mereka terutama suku-suku di sekitar permukiman mereka. Musuh-musuh bisa berasal dari orang Korowai sendiri maupun dari tetangga seperti Suku Citak Mitak dan Suku Kambai.

Salah seorang informan bernama Agus Kembohomi yang dikutip Handro Lukito menuturkan jika seseorang hendak membangun rumah tinggi(rumah pohon) ini karena dia ada punya niat untuk membunuh orang. Nanti dia akan menjadi kepala rombongan untuk pergi membunuh orang yang menjadi sasaran.

Sebelum melaksanakan niatnya, mereka menyiapkan bahan makanan, menebang dan menekuk bertumang-tumang (karung-karung ) sagu dan makanan lainnya sehingga ketika mereka diserang balik sudah punya persiapan makanan. Ini juga ada kaitannya dengan alasan balas dendam.
Jadi alasan sebenarnya dalam mendirikan rumah di atas pohon karena perkelahian antar kelompok, sehingga pihak yang akan membalas dendam sulit menyerang mereka. Apalagi semakin tinggi rumah pohon itu, akan merasa lebih aman. Rumah pohon hanya memiliki satu tangga sehingga setiap ada orang yang hendak menaiki tangga rumah, pasti ketahuan. Tentunya si pemilik rumah sudah bersiap menanti musuh atau pun orang yang hendak membalas dendam.

Alasan lainnya adalah untuk menghindar dari serangan binatang buas, di Papua binatang buas seperti harimau dan singa jelas tidak ada. Hanya binatang buas di kampung orang Korowai, buaya dan ular. Nyamuk dan lalat juga dianggap berbahaya karena menimbulkan penyakit dan semakin tinggi rumah dibangun tak ada nyamuk dan lalat yang bisa masuk ke dalam rumah mereka. Lalat dan nyamuk sulit menjangkau diketinggian 30 meter.

Orang-orang Korowai dalam membangun rumah pohon tak memiliki ruang kamar, hanya saja yang membedakan dalam rumah terdapat tungku api. Seandainya terdapat tiga tungku api berarti dalam rumah itu terdapat tiga keluarga inti (batih)Rumah bagi mereka untuk tempat berteduh bercengkeramah tetapi juga sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh maupun binatang buas.(Dominggus Mampioper)