Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan kesultanan Demak menduduki posisi sebagai

Sejarah Kota Demak dan Pengadilan Negeri Demak

 

Kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah Demak yang dipimpin oleh seorang Sultan bernama Sultan Raden Patah. Kerajaan tersebut juga terkenal dengan Kerajaan Bintoro;

Menurut sejarahnya konon di Demak tersebut, dahulu merupakan Daerah Lautan dan merupakan daerah perdagangan yang menghubungkan perdagangan rempah-rempah di seluruh bangsa di dunia yang pada waktu itu dikarenakan Demak merupakan dermaga besar yang banyak berlabuhnya kapal-kapal para saudagar dalam memperjualbelikan dagangannya;

Dimana Kerajaan Bintoro Demak itu terdapat 9 (sembilan) waliyullah "Walisongo" yang terkenal, masing-masing bernama :

1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) ;

2. Sunan Ampel (Raden Rahmat) ;

3. Sunan Bonang (Raden Makhdum Ibrahim) ;

4. Sunan Drajat (Raden Qasim) ;

5. Sunan Kudus (Ja'far Shidiq) ;

6. Sunan Giri (Raden Paku / Ainul Yaqin) ;

7. Sunan Kalijaga (Raden Said) ;

8. Sunan Muria (Raden Umar Said) ;

9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) .

Sebagaimana kita ketahui bahwa beberapa peninggalan dari Walisongo merupakan bukti peradaban serta penyebaran agama Islam pada masa itu. Dalam hal ini, peninggalan yang sangat nampak terdapat di Kota Demak adalah dari Sunan Kalijogo yang berupa Masjid Agung Demak dan merupakan Masjid Tertua yang ada di Pulau Jawa dan sampai dengan sekarang masih dijadikan sebagai salah satu objek wisata religi yang ada di Jawa Tengah. Kedatangan para wali tersebut merupakan awal mula berdiri dan diterapkannya suatu sistem peradilan yang berlaku di Kota Demak khususnya, yang semula bersifat kedaerahan yang hanya berdasar pada hukum yang ada pada kitab suci agama dan hukum yang berlaku di masyarakat Demak Namun seiring dengan perkembangan lebih bersifat modern yang lebih kita kenal dengan Pengadilan yangmana tidak hanya bersumber pada kitab suci agama dan hukum yang berlaku di masyarakat Demak serta dalam penerapan hukum di Pengadilan tidak terlepas dari Kitab Undang-Undang yang berasal dari penjajah yang pernah bercokol di Indonesia yang sampai sekarang masih diterapkan dalam upaya penegakan hukum di Negara Indonesia pada umumnya dan di Kota Demak khususnya ;

  

Sedangkan untuk keberadaan Pengadilan Negeri Demak, bangunan Gedung yang lama yang semula berada di Jalan Pemuda No. 71 Demak berdiri di atas tanah seluas 1.920 m2, terdiri dari 2 (dua) bangunan:

1. Gedung lama didirikan pada tahun 1901, terbuat dari kayu jati berbentuk panggung terdiri dari :

  • 1 (satu) ruang Sidang ;
  • 1 (satu) ruang Panitera Kepala ;
  • 5 (lima) ruang Kepaniteraan ;
  • 1 (satu) ruang Arsip ;
  • 1 (satu) ruang tunggu ;
  • 1 (satu) kamar mandi dan 2 (dua) WC ;

2. Pada tahun 1970/1971, dibangun Gedung baru yang terletak di depan gedung yang lama sifatnya permanent/tembok beton, terdiri dari :

  • 2 (dua) ruang Sidang ;
  • 1 (satu) ruang Ketua ;
  • 1 (satu) ruang Wakil Ketua dan para Hakim ;
  • 1 (satu) ruang Panitera Ketua ;
  • 1 (satu) ruang olahraga ;
  • 1 (satu) ruang garasi dan parkir sepeda ;
  • 1 (satu) sumur ;
  • 1 (satu) kamar mandi dan 2 (dua) WC ;

Namun seiring dengan perkembangan kota Demak, keberadaan gedung Pengadilan Negeri Demak harus menyesuaikan perkembangan Kota yakni dengan berpindahnya domisili kantor yang semula di Jalan Pemuda No. 71 Demak berpindah di Jalan Sultan Trenggono No 27 Demak dan pada tanggal 10 Agustus 1992 gedung Pengadilan Negeri Demak yang baru tersebut diresmikan.

Demikian selayang pandang tentang sejarah Demak dan Pengadilan Negeri Demak.

Sunan Kudus.

ITULAH sepenggal kisah dari kanjeng Sunan Kudus. Diketahui saat itu masyarakat Kudus banyak yang beragama Hindu. Sunan Kudus pun, dalam melakukan siar Islamnya, sampai tembus ke wilayah Sragen dan Gunung Kidul, tlatah Mataraman di wilayah Jawa Tengah yang saat itu terkenal dengan tanahnya yang tandus.

Cara dakwah yang ditempuh saat di Kudus, cukup unik sekaligus mengedepankan sikap toleran dan kompromi terhadap agama lain, yakni Hindu yang saat itu cukup dominan di Kudus. Kanjeng Sunan Kudus menghias seekor sapi, hewan itu dirias secantik mungkin laksana putri keraton dan dinamai Kebo Gumarang.

Hewan berkaki empat itu, kemudian ditambatkan pada sebuah patok di sepan masjid. Nah, saat itulah, setiap orang yang lewat menyempatkan mampir untuk melihat lantaran sapi oleh masyarakat setempat adalah satu dari sekian banyak hewan yang dikeramatkan.
Manakala orang sudah banyak yang berkumpul untuk melihat dari dekat sosok Kebo Gumarang, kanjeng Sunan Kudus mulai berdakwah dengan gaya bahasa yang santun dan mudah dipahami oleh masyarakat. Gaya dan cara berdakwah Kanjeng Sunan Kudus dengan bercerita yang dibuat dengan cara bersambung, hingga membuat masyarakat semakin terpikat untuk terus mengikuti kelanjutan sambungan dari dakwah yang disampaikan.

Ilmu agama yang dikuasainya bersumber dari banyak guru, lantaran beliau banyak berguru pada para wali yang telah lebih dulu dikenal ilmu ketauhidtannya. Di antaranya, Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan Giri dan Kanjeng Sunan Ampel. Layaknya para wali yang telah dicecep ilmunya oleh kanjeng Sunan Kudus, pada akhirnya beliau pun dikenal sebagai sosok wali yang pinunjul sekaligus menep ilmunya.
Sunan Kudus, layaknya Kalijaga, juga sangat toleran terhadap budaya lokal dan adat istiadat atau kebiasaan warga masyarakat setempat dimana beliau sedang singgah. Hingga dakwah agama yang disiarkan, lambat tapi pasti menjadi lebih diserap akan kandungan ilmu kebenarannya oleh penduduk.

Hal lain, Sunan Kudus sangat pintar memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha yang kala itu sangat kuat melekat di masyarakat. Itu tergambar dari bestek masjid Kudus, dimana bentuk menara, gerbang dan pancuran untuk berwudlu atau padasan, semua mengadopsi dari wujud candi sang Budha atau delapan jala sang Budha. Itulah bentuk kompromi dari kanjeng Sunan Kudus, terhadap Hindu dan Budha yang pengaruhnya sangat kuat di masayarakat kala itu.

PANGLIMA PERANG
Tak hanya menguasai ilmu agama, Sunan Kudus juga tercatat sebagai panglima perang di Kasultanan Demak Bintoro, sekaligus sebagai panglimanya Wali Sanga. Beliau putra pasangan Sunan Ngudung dan Nyai Syarifah, nama kecilnya Jaffar Shadiq. Adapun sang ibu, adalah adik dari kanjeng Sunan Bonang, yang dimakamkan di Tuban, Jatim.

Sunan Ngudung sendiri, ditengarai seorang putra sultan asal negeri Mesir yang berkelana hingga ke tlatah pulau Jawa hingga akhirnya diangkat sebagai panglima perang di Kasultanan Demak. Sebab itu, tidaklah heran kalau sang putra Jaffar Shadiq mengikuti jejaknya. Sunan Kudus sendiri, miliki tak kurang 1001 ilmu kesaktian. Beliau dalam suatu pertempuran, berhasil membunuh Ki Ageng pengging alias Kebo Kenonggo, murid kinasih dari Syekh Siti Jenar yang juga dikenal sebagai tokoh sakti mandraguna. Kharomah yang dimiliki Sunan Kudus, menjadikan sosok yang disegani oleh lawan-lawannya dikala itu. Demikian dengan ilmu Tauhidnya, membuat Sunan Kudus dihormati sesama ulama pada zamannya.

Saat ini, keberadaan makamnya tak pernah sepi dari peziarah yang sengaja datang dari berbagai daerah. Beragam doa yang disampaikan peziarah. Dengan harapan, lumantaran kanjeng sunan Kudus, apa yang menjadi keinginan atau nadar di hati bisa terkabul.*

  • Sunan Kudus, Panglima Perang di Demak
  • Kanjeng Sunan Muria, Pemikirannya Satukan Umat
  • Sunan Drajat, Lantunan Gending untuk Berdakwah

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA