Tentara inggris di bawah pimpinan jenderal sir philip christison adalah

Tentara inggris di bawah pimpinan jenderal sir philip christison adalah

Pada tanggal 27 Oktober 1945, pihak Sekutu menyebarkan pamflet dari udara. Bunyi pamflet yang disebarkan Sekutu di atas langit Surabaya dari pesawat Dakota yang diterbangkan dari Jakarta itu, antara lain berbunyi :

“Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris.  Barangsiapa yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak di tempat (Persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).”

Tindakan ini dijalankan di bawah instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, Panglima Divisi 23. Isi pamflet yang disebarkan di seluruh Jawa itu memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk; menyerahkan semua senjata yang mereka miliki dalam waktu 2 x 24 jam kepada perwakilan Sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris.

Meski sehari sebelumnya terdapat kesepakatan antara pejuang dengan pihak tentara Inggris di Surabaya, namun dengan tersebarnya pamflet tersebut dengan sendirinya telah menggugurkan kesepakatan di antara keduanya. Pihak tentara Inggris di Surabaya kemudian bertindak dengan dalih mengikuti perintah atasan.

Tentara Inggris mulai melakukan penahanan terhadap semua kendaraan dan menyita senjata-senjata dari pihak Indonesia. Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia. Mayor Jenderal drg. Mustopo segera berkeliling kota dengan mobil, sambil meneriakkan: “SIAAAP! SIAAAP!”

Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar kepada Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi :

“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”

Pemerintah pusat di Jakarta memang sedari awal tidak menginginkan adanya perselisihan hingga konfrontasi bersenjata antara Indonesia dan Sekutu.

Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen Sudirman tiba di Markas Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.

Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh yang menyampaikan pendirian Brigadier Mallaby mengenai seruan pamflet tersebut. Kolonel Pugh juga menegaskan bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya tanpa mendapat jawaban dari pimpinan Divisi TKR.

Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundingan sekitar setengah jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi, Yonosewoyo, dengan keputusan :

“Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.”

Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas juga berbagai pertimbangan dan perhitungan beberapa kemungkinan yang akan terjadi.

Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, maka ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris – Sekutu.

“Menyerang adalah pertahanan terbaik” (Carl von Clausewitz, Jenderal Prusia yang legendaris)

Maka, dengan suara bulat diputuskan : “Menyerang Inggris!”. Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo.

Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia.

Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah atau kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur.

Diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, yang hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan clurit, ikut dalam pertempuran selama tiga hari itu. Kebanyakan dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara Inggris.

Para perempuan ikut terjun dalam perjuangan dengan menjadi anggota Palang Merah, serta juru masak, dan ada pula yang membantu di dapur umum untuk kepentingan para pejuang. Para pejuang dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya, melainkan juga dari kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan Bandung.

Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah. Kekacauan demi kekacauan menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan hampir semua jatuh ke tangan pejuang Indonesia.

Para pejuang Indonesia akhirnya mampu memporak-porandakan kubu pertahanan tentara Inggris. Setelah dua hari tidak menerima kiriman makanan dan minuman, serta jatuhnya korban yang sangat besar, pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih (Brigjen (Purn.) Drg. Barlan Setiadijaya sempat memotret tentara Inggris yang membawa bendera putih tersebut, namun sayang klise-nya kemudian hilang) dan meminta berunding.

Mallaby sendiri kemudian menyadari, apabila pertempuran tetap dilanjutkan, bisa dipastikan bahwa tentara Inggris akan disapu bersih. Seperti tertulis dalam kesaksian Kapten R.C. Smith :

“…. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the company had been in so bad position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.”

Pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, mereka sudah menyadari bahwa, mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya.

Mallaby, sebagaimana dalam kesaksian Kapten R.C. Smith, memperhitungkan bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih). Sehingga pada malam hari tanggal 28 Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi di Surabaya.

Panglima tertinggi tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison kemudian meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai bahwa situasi di Surabaya itu sangat mengkhawatirkan mereka.

Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan bendera putih masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat tidak terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. W. Hutagalung.

Kolonel Hutagalung kemudian mem – fait accompli, dengan menyatakan: “We accept your unconditional surrender!”, dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris – setelah dilucuti – kembali ke kapal mereka di pelabuhan.

Panglima tertinggi tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison kemudian meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai bahwa situasi di Surabaya itu sangat mengkhawatirkan mereka.

Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu memang tidak menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober 1945 sore, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Hari itu juga Presiden bertemu dengan Mallaby di Gubernuran.

Sebenarnya boleh dikatakan bahwa Presiden Sukarno telah menyelamatkan Brigade 49 dari kehancuran total dengan menandatangani kesepakatan Sukarno – Hawthorn. Namun demikian, bagi para pejuang di Surabaya hal ini menimbulkan masalah yang besar. Mereka dihadapkan pada dua pilihan yang tidak enak: mengikuti permintaan Bung Karno berarti ibarat kucing melepaskan tikus yang sudah ada di mulut, tidak mematuhi berarti tidak mengakui Presiden Sukarno dan akan dianggap sebagai pasukan liar. Akhirnya, mereka tunduk pada perintah Presiden.

Menganggap gencatan senjata sebagai penanda bahwa pertempuran benar-benar berakhir, pada hari itu juga, 30 Oktober 1945, Bung Karno dan rombongan kembali ke Jakarta.

Bahan bacaan :

  • A.J.F. Doulton, The Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division, 1942-1947. Aldershot: Gale and Polden, 1951
  • Naskah R. Kadim Prawirodirdjo, Dongengan ’45. Dari Panggung Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia. (naskah)
  • Autobiografi Letkol (purn) dr. Wiliater Hutagalung, Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa. Yogyakarta : Matapadi Pressindo, 2016.
  • Bathara Hutagalung, Surabaya 10 November 1945; Latar Belakang, Akibat dan Pengaruh Agresi Militer Inggris. (naskah)