Pasal 74 menyebutkan bahwa Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat. Di dalam penjelasan, disebutkan bahwa kebutuhan pembangunan meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa. Maksud dari “tidak terbatas” adalah kebutuhan pembangunan di luar pelayanan dasar yang dibutuhkan masyarakat Desa. Sedangkan maksud dari “kebutuhan primer” adalah kebutuhan pangan, sandang, dan papan dan maksud dari “pelayanan dasar” adalah antara lain pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Selain itu, di dalam belanja Desa dapat dialokasikan insentif kepada rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW).
Pembahasan di DPR Dalam pembahasan Pasal 74 di DPR tidak ditemui polemik. Rumusan pasal yang disepakati sama dengan rumusan pasal yang diajukan oleh pemerintah. Tanggapan
Tipe ketentuan seperti ini membawa konsekuensi positif dan negatif pada saat yang bersamaan. Konsekuensi positifnya, Desa memiliki keleluasaan untuk merencanakan pengalokasian anggaran dalam rangka memenuhi kebutuhan pembangunan. Sedangkan potensi konsekuensi negatif bisa terjadi dalam bentuk rendahnya kualitas belanja dari APBDesa yang tercermin dari postur APBDesa yang lebih memenuhi kebutuhan elit desa (Kepala Desa, perangkat Desa dan BPD) dibandingkan kebutuhan warga. Dengan model ketentuan seperti ini, maka alokasi belanja di APBDesa tergantung pada dinamika politik anggaran Desa. Hal ini mengingat pada dasarnya keputusan alokasi merupakan keputusan politis dan sangat tergantung pada siapa aktor yang terlibat di dalam penyusunan APBDesa, kepentingan dari pada aktor yang terlibat dan interaksi antar aktor. Dalam teori pilihan publik (public choice theory), perilaku dari elit Desa yang perlu diwaspadai adalah budget maximizer, yaitu memaksimalkan anggaran untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa adanya ketentuan yang menetapkan batas minimal atau maksimal untuk alokasi tertentu cukup efektif mencegah perilaku budget maximizer dalam memastikan ketersediaan anggaran untuk memenuhi hak warga. Pengalaman internasional ini juga diadopsi oleh Pemerintah Indonesia yaitu ketentuan 20% anggaran pendidikan yang dicantumkan di dalam Undang-Undang Dasar dan ketentuan 5% anggaran kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan. Potensi konsekuensi positif dan negatif serta pengalaman internasional terkait penentuan batas minimal atau maksimal terkait alokasi tertentu perlu menjadi pertimbangan di dalam menyusun aturan pelaksanaan dari UU Desa ini.
Ketentuan pasal 74 ini terkait dengan ketentuan di pasal 66 yang mengatur tentang penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa yang membawa konsekuensi pengalokasian anggaran. Pasal 66 menyebutkan bahwa:
Aturan sebelumnya (Pasal 27 dan 28 PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa yang menjadi dasar praktik pemberian penghasilan untuk Kepala Desa dan Perangkat Desa. Pasal 27 menyatakan: “Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa” (ayat 1); “Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa” (ayat 2); dan “Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota” (ayat 3). Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa perangkat desa yang menerima penghasilan tetap dalam ketentuan ini tidak termasuk Sekretaris Desa yang berstatus PNS. Sedangkan Pasal 28 menyatakan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota” (ayat 1); Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat a. rincian jenis penghasilan; b. rincian jenis tunjangan; c. penentuan besarnya dan pembebanan pemberian penghasilan dan/atau tunjangan. Jika dibandingkan dengan PP No 72 Tahun 2005, maka ada beberapa materi di UU Desa yang perlu diperhatikan, yaitu:
Hal ini berbeda dengan pasal 27 PP No 72 Tahun yang secara eksplisit menyebutkan bahwa penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa yang ditetapkan dalam APBDesa, atau sama dengan makna pertama dari pasal 66 ayat 2.
2. bentuk tunjangan. Pasal 66 ayat (3) menyebutkan bahwa selain menerima penghasilan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, sedangkan pasal 66 ayat (4) menyebutkan bahwa Kepala Desa dan perangkat Desa menerima jaminan kesehatan. Pertanyaannya: (i) bentuk tunjangan apa saja yang berhak diterima oleh Kepala Desa dan perangkat Desa? (ii) Apakah jaminan kesehatan termasuk dari tunjangan ? Pertanyaan ini muncul karena tidak ada ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai tunjangan dan tidak ada tambahan informasi yang dapat diperoleh dari bagian penjelasan pasal ini. 3. penerimaan lainnya yang sah. Di bagian akhir pasal 66 ayat (4) terdapat frasa “dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah”, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, baik di pasal selanjutnya maupun di bagian penjelasan. 4. penerimaan Desa yang bersumber dari hasil tanah bengkok. Pasal 72 ayat 1 yang menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan asli Desa adalah “hasil aset” membawa konsekuensi hasil dari tanah bengkok (yang merupakan aset Desa) harus diadministrasikan sebagai penerimaan Desa di dokumen APBDesa. Di sisi lain, praktik di lapangan, hasil tanah bengkok ini merupakan sumber penghasilan dari Kepala Desa dan perangkat Desa dan praktik ini sudah dilaksanakan sejak dahulu. Bila merunut pada ketentuan UU Desa ini, maka implikasinya, penghasilan Kepala Desa dan perangkat Desa berpotensi berkurang, karena tanah bengkok tidak lagi jadi sumber sumber penghasilan yang hanya bisa dinikmati oleh Kepala Desa dan perangkat Desa saja. Kondisi ini yang perlu dipertimbangkan di dalam menyusun ketentuan lebih lanjut. 5. insentif bagi RT dan RW. Di dalam penjelasan pasal 74 ayat (1) disebutkan bahwa Desa bisa menganggarkan alokasi untuk insentif RT dan RW dengan justifikasi RT dan RW berperan dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Justifikasi ini bisa diterima, namun demikian ketentuan ini berpotensi menggerus alokasi belanja untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dalam kaitannya dengan adanya potensi perilaku budget maximizer dari elit Desa.
Daftar Isi : |