Undang-undang republik indonesia mengatur tentang pemerintahan daerah adalah

Dalam peribahasa hukum het recht hinkt achter de faiten aan yang memiliki arti bahwa hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman menujukkan bahwa pada hakikatnya hukum seharusnya mengikuti perkembangan zaman yang ada dan bukan justru sebaliknya. Hal ini dikarenakan hukum terbentuk dalam moment opname yakni momentum realitas yang tertangkap saat itu (Sidin, 2020), sehingga ketika zaman berubah maka penyesuaian perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan baik secara vertikal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku secara horizontal. peribahasa hukum atau adagium hukum yang berlaku secara universal itu pula yang juga dialami oleh Provinsi Jambi yang hingga saat ini masih menggunakan dasar hukum UU No. 61 Tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (UU No. 61 Tahun 1958) sebagai dasar pembentukannya. Pada tahun 1950, Pemerintah Republik Indonesia (Yogyakarta) menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950. Pemerintah telah membentuk Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi daerah-daerah administratif keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Seiring perkembangan baru yang terjadi dalam masyarakat, sudah tidak sesuai lagi dengan daerah-daerah yang diliputinya. Rakyat dari daerah- daerah keresidenan Jambi dan Riau pada saat itu telah mengajukan tuntutan- tuntutan dalam bentuk mosi, resolusi, dan pernyataan-pernyataan lain. Tuntutan-tuntutan ini disertai beberapa alasan tentang ketidakpuasan dari rakyat, antara lain: 1. Sulit dan jauhnya perhubungan antara ibukota-ibukota Kabupaten- kabupaten dalam keresidenan Jambi dan Riau dan ibukota Provinsi; 2. Karena sulitnya hubungan daerah-daerah yang jauh letaknya dari ibukota Provinsi ini tidak mendapatkan layanan selayaknya dari Pemerintah Provinsi; 3. Berhubung dengan itu daerah-daerah yang bersangkutan ingin berhubungan langsung dengan pemerintah pusat. Setelah Pemerintah mempelajari bahan-bahan yang diajukan dan meneliti faktor-faktor politis, sosial-ekonomis, geografis, dan lain sebagainya, maka Pemerintah berpendapat bahwa apabila tiga daerah administratif Keresidenan Sumatera Barat, Jambi, dan Riau yang mana merupakan wilayah Provinsi Sumatera Tengah lama dapat dibentuk menjadi daerah tingkat I sehingga Pemerintah mengambil kesimpulan, bahwa telah dibentuk daerah tingkat I Sumatera Barat, daerah tingkat I Jambi, dan daerah tingkat I Riau. Oleh karena itu, Pemerintah berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara menetapkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Kemudian, disahkan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (UU No. 61 Tahun 1958). UU No. 61 Tahun 1958 terdiri dari 6 BAB dan 14 Pasal. Dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 61 Tahun 1958 mengatur pembubaran daerah swatantra tingkat I Sumatera Tengah dan pembentukan tiga daerah swatantra tingkat I dengan nama dan batas-batas sebagai berikut: 1) Daerah swatantra Tingkat I Sumatera Barat, meliputi: Agam; Padang/Pariaman; Solok; Pasaman; Sawahlunto/Sijunjung; Limapuluh Kota; Pesisir Selatan/Kerinci; Tanah Datar, Bukittinggi; Padang; Sawahlunto; Padang Panjang; Solok; dan Payakumbuh. 2) Daerah Swatantra Tingkat I Jambi, meliputi: Batanghari; Merangin, dan wilayah kecamatan: Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, Kerinci Hilir, dan Kotapraja Jambi. 3) Daerah Swatantra Tingkat I Riau, meliputi: Bengkalis; Kampar; Inderagiri; Kepulauan Riau; dan Kotapraja Pekanbaru. Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat I Riau berkedudukan di Tanjung Pinang, Daerah Swatantra Tingkat I Jambi di Jambi, dan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat di Bukittinggi. Namun dalam perkembangan keadaan daerah menghendakinya, maka tempat kedudukan pemerintah daerah dapat dipindahkan ke lain tempat dalam wilayah daerahnya (Pasal 2 UU No. 61 Tahun 1958). Kewenangan daerah swatantra diatur dalam BAB II meliputi: urusan tata usaha daerah; hak menguasai benda-benda tambang; penangkapan ikan di pantai; izin yang menimbulkan gangguan; pembuatan sumur bor; dan hal penguburan mayat. Kemudian, dalam BAB III mengatur tentang Hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan, kekuasaan, campur tangan dan pekerjaan- pekerjaan yang diserahkan kepada daerah. BAB IV berisi ketentuan yang mengatur keuangan daerah. Selanjutnya BAB V memuat Ketentuan Peralihan yang masih berlaku, yang dapat dicabut, ditambah, atau diubah oleh masing- masing daerah. Secara horizontal UU No. 61 Tahun 1958 sudah tidak sinkron dengan UU No. 23 tahun 2014 yang sudah mengatur pembagian kewenangan/ pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah (desentralisasi simetris) dan hak dan kewajiban pemrintahan daerah dalam mengatur daerahnya (otonomi) yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan secara vertikal UU No. 61 Tahun 1958 tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didasarkan pada undang-undang dasar hasil amandemen yaitu Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur prinsip- prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah diantaranya yaitu: 1) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)). 2) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat (4)). 3) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5)). 4) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6)). 5) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1)). 6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang (Pasal 18A ayat (2)). Adapun kepentingan DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk membaharui undang-undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Jambi juga sejalan dengan hasil keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 13 Januari 2020, dimana salah satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang Pembentukan Provinsi, mengingat dasar hukumnya masih menggunakan UU Republik Indonesia Serikat, dimana dalam satu undang-undang masih terdapat penggabungan provinsi, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Provinsi Kalimatan Barat, Kalimatan Selatan, dan Kalimatan Tengah; 2) Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Provinsi Sumaera Barat, Provinsi Jambi, dan Provinsi Riau; dan 3) Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Provinsi NTT. Berdasarkan penelahaan hal-hal tersebut diatas dan untuk membantu tugas konstitusional dewan dibidang legislasi, Komisi II DPR RI bermaksud mengusulkan pembentukan UU tentang Provinsi Jambi dengan menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk melakukan penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Jambi. RUU tentang Provinsi Jambi ini masuk dalam Daftar Kumulatif Terbuka Prioritas Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020 menjadi dasar administratif penyusunan UU provinsi Jambi.

tirto.id - Reformasi yang terjadi pada 1998 menghasilkan sebuah keputusan untuk melakukan desentralisasi kekuasaan di Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 kemudian diamandemen, pasalnya diubah guna memperkuat otonomi pemerintah daerah.

Selain evaluasi atas 32 tahun sistem pemerintahan Soeharto, desentralisasi dan perluasan otonomi dalam amandemen UUD 1945 juga didasari oleh beberapa prinsip dasar lain.

Melansir buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMP/MTs kelas VII (2017) terbitan Kemendikbud, MPR RI menjelaskan bahwa otonomi daerah dibuat agar penyelenggaraan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan lebih leluasa. Harapannya, pelayanan publik akan lebih baik dan akuntabel.

Oleh karena itu, menukil jurnal berjudul "Harmonisasi Pemerintah Pusat dengan daerah Sebagai Efektivitas Sistem Pemerintahan" yang terhimpun dalam Jurnal Legislasi Indonesia (Vol. 16, No. 4, 2019), meskipun pemegang kekuasaan tertinggi adalah pemerintah pusat, namun sistem pemerintahan Indonesia juga menganut asas otonomi daerah dan desentralisasi.

Otonomi dan desentralisasi dimaksudkan sebagai pembagian peran pemerintah pusat dan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hubungan keduanya pun diatur dalam undang-undang.

Peraturan mengenai pemerintahan daerah di Indonesia sendiri diatur dalam pasal 18 ayat 1-7, pasal 18A, dan pasal 18B UUD 1945.

Pasal 18 UUD 1945 menjelaskan mengenai definisi pemerintah daerah dan tugas pokoknya; Pasal 18A UUD 1945 mengatur tentang hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah; Dan pasal 18B UUD 1945 mengatur mengenai pengakuan negara atas identitas dan kebudayaan tiap-tiap daerah yang khas.

Bunyi Pasal 18 UUD 1945

Sebagaimana dijelaskan di atas, pasal 18 UUD 1945 terdiri dari tujuh ayat yang menejelaskan mengenai definisi dan tugas pokok pemerintah darah.

Berikut adalah bunyi pasal 18 UUD 1945:

Pasal 18

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Bunyi Pasal 18A UUD 1945

Pasal 18A dalam UUD 1945 menjelaskan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berikut bunyinya:

Pasal 18A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Bunyi Pasal 18B UUD 1945

Dalam pasal 18B ini tertuang pengakuan negara atas keberagaman budaya, adat, dan identitas yang ada di Indonesia. Pasal ini menandakan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hukum adat diakui oleh negara.

Berikut adalah bunyi pasal 18B UUD 1945:

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Baca juga:

  • Bunyi Pasal 9 UUD 1945: Isi Penjelasan Tentang Sumpah Presiden
  • Isi Bunyi Pasal 14 UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen
  • Isi Pasal 13 UUD 1945: Bunyi Sebelum dan Setelah Amandemen

Baca juga artikel terkait UUD 1945 atau tulisan menarik lainnya Rizal Amril Yahya
(tirto.id - ray/ale)


Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Alexander Haryanto
Kontributor: Rizal Amril Yahya

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA