Upaya yang dilakukan pemerintah Uni Emirat Arab untuk meningkatkan pendapatan perkapita

  Nama Presiden Joko Widodo terpampang di jalan menuju komplek diplomatik..(Facebook KBRI Abu Dhabi)

Sejak 2013, Pemerintah Abu Dhabi melakukan perubahan nama sejumlah jalan utama di Abu Dhabi dengan nama-nama pemimpin besarnya.

Sebuah penghormatan diberikan negara Uni Emirat Arab (UEA) kepada Indonesia dalam membentuk penyematan nama satu ruas jalan utama di pusat kota Abu Dhabi, ibu kota UEA. Salah satu ruas jalan di sana dinamai Presiden Joko Widodo Street dan diresmikan pada Senin (19/10/2020) sekitar pukul 16.45 waktu setempat oleh Sheikh Khalid bin Mohammed bin Zayed Al Nahyan, anggota sekaligus Chairman Abu Dhabi Executive Office.

Penyematan nama Presiden Joko Widodo itu merefleksikan hubungan erat antara Indonesia dan Uni Emirat Arab, sekaligus bentuk penghormatan Pemerintah Uni Emirat Arab kepada Presiden Joko Widodo dalam memajukan hubungan bilateral kedua negara. "Semoga penamaan Jalan Presiden Joko Widodo di Abu Dhabi semakin memperkokoh dan meningkatkan pengeksposan positif hubungan bilateral RI-UEA yang semakin erat belakangan ini," kata Duta Besar RI untuk UEA Husni Bagir seperti dilansir dari siaran pers Kementerian Luar Negeri.

Jalan Presiden Joko Widodo terletak di salah satu ruas jalan utama, yang membelah ADNEC (Abu Dhabi National Exhibition Center) dengan Embassy Area, kawasan yang ditempati sejumlah kantor perwakilan diplomatik. Adapun nama jalan ini sebelumnya adalah Al Ma’arid Street yang menghubungkan Rabdan Street dengan Tunb Al Kubra Street. Presiden Joko Widodo melalui akun di platform media sosial Twitter dan akun Instagram miliknya @jokowi yang diunggah pada Selasa (20/10/2020) berharap, hal tersebut bisa menguatkan hubungan kedua negara. "Di balik nama jalan itu, ada harapan agar hubungan kedua negara semakin kokoh dan bermanfaat bagi rakyat," kata Presiden.

Nama-nama jalan di Abu Dhabi umumnya merupakan nama geografis yang merefleksikan sejarah daratan lokasi jalan tersebut sekaligus melestarikan budaya dan identitas pada kota kedua terbesar di UEA setelah Dubai itu. Namun, Pemerintah Abu Dhabi pada 2013 telah melakukan perubahan nama sejumlah jalan utama di Abu Dhabi dengan nama-nama pemimpin besar Abu Dhabi. Seperti nama Fatima Bint Mubarak Street, Shaikh Zayed Bin Sultan Street, Khalifa Bin Zayed Al Nahyan Street, Khalifa Bin Zayed First Street, Sultan Bin Zayed First Street, Shakhbout Bin Sultan Street, Mubarak Bin Mohammad Street, dan Salama Bint Butti Street.

Abu Dhabi selain sebagai ibu kota negara, juga menjadi bagian dari tujuh emirat di UEA, salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di kawasan Timur Tengah. Seperti dilansir dari situs Bank Dunia, pendapatan per kapita penduduk UEA pada 2019 mencapai USD43.100 (Rp629,26 juta).

Bukan Pertama Kali

Pemerintah UEA juga pernah mengubah nama jalan di Abu Dhabi dengan nama pemimpin negara sahabat. Ini pernah dilakukan pada 23 September 2019 ketika mereka meresmikan King Salman bin Abdulaziz Al Saud Street sebagai nama salah satu ruas jalan utama di Kota Abu Dhabi. Ini sebagai bentuk penghormatan atas kontribusi Raja Salman kepada dunia Islam dan untuk memperkuat hubungan bilateral UEA dan Arab Saudi.

Meski demikian, Jokowi bukan tokoh RI pertama yang diabadikan sebagai nama jalan di negeri jiran. Sebelumnya Presiden Soekarno telah diabadikan sebagai nama jalan di jantung ibu kota Maroko, Rabat. Ibu kota Mesir, Kairo pun memiliki jalan bernama Presiden Soekarno. Begitu pula di Peshawar, Afghanistan. Selain itu ada jalan bernama Wakil Presiden pertama RI Mohammad Hatta, yang diabadikan di Haarlem, Belanda. 

Lalu ada nama mantan Perdana Menteri RI Sutan Syahrir yang menjadi nama jalan di Kota Leiden dan Gouda di Negeri Kincir Angin. Nama pejuang emansipasi wanita Raden Ajeng Kartini juga menjadi nama jalan di negeri berjuluk Negeri Kincir Angin, tepatnya di Kota Venlo, Utrecht, dan Haarlem. RA Kartini berjuang ketika Indonesia saat itu masih bernama Hindia Belanda.

Nama aktivis dan mantan Direktur Eksekutif Imparsial Munir Said Thalib pun ikut diabadikan menjadi nama jalan kecil di Den Haag. Munir meninggal pada 2004 saat berada di penerbangan Garuda Indonesia menuju Bandara Schipol, Belanda.

Peresmian Jalan Joko Widodo di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.(Facebook KBRI Abu Dhabi)

Tren Positif

Hubungan antara Indonesia dan UEA makin terbangun erat sejak beberapa tahun belakangan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat sepanjang 2015-2019 nilai investasi UEA di Indonesia mengalami kemajuan. Pada 2015, UEA berinvestasi sebesar USD19,3 juta atau sebesar Rp281,76 triliun dengan kurs Rp14.600 per dolar. Investasi tersebut meningkat setahun kemudian menjadi USD55 juta (Rp803 triliun). Pada 2017 nilai investasi UEA surut ke angka USD26,6 juta (Rp388,36 triliun) sebagai dampak resesi akibat anjloknya harga minyak dan gas bumi di wilayah Timur Tengah.

Namun, pada 2018 angka itu kembali meroket ke titik USD69,9 juta (Rp1.020,54 triliun) diikuti 2019 ketika BKPM mencatat adanya investasi sebesar USD69,7 juta (Rp1.017,62 triliun), seperti dikutip dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, pada 1 Oktober 2020. Bahkan investasi UEA di Indonesia adalah yang tertinggi dibandingkan dengan negara kawasan Jazirah Arab lainnya, seperti, Arab Saudi, Qatar dan Kuwait.   

Meningkatnya hubungan bilateral dan ekonomi RI-UEA tak lepas dari upaya Presiden Jokowi dalam memanfaatkan peluang investasi yang ditawarkan UEA kepada negara-negara di dunia. Terlebih UEA dikenal gencar berinvestasi di sektor nonmigas sebagai upaya mereka melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak dan gas alam meski setiap tahunnya rata-rata menyumbang 33 persen bagi penerimaan nasional UEA. Pada 13 September 2015, Presiden Jokowi untuk pertama kali mengunjungi Abu Dhabi dan sempat blusukan di Supermarket Lulu ditemani pemiliknya, Yusuf Ali. Buah dari kunjungan itu salah satunya adalah dibukanya cabang pertama jaringan ritel Supermarket Lulu di Indonesia berlokasi di Cakung, Jakarta Timur, Mei 2016. Supermarket Lulu yang berada di bawah Lulu Group International telah membuka empat tokonya di Indonesia dan bersiap membuka cabang kelima di kawasan Cinere, Depok, atau menjadi jaringan Supermarket Lulu ke-193 di seluruh dunia.

Kemudian pada 24 Juli 2019, Presiden Jokowi menerima kedatangan Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahyan di Istana Bogor, Jawa Barat. Saat itu Presiden bahkan menjemput Sheikh Mohamed hingga tangga pesawat di Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Tak hanya sekadar berkunjung, Putra Mahkota Sheikh Mohamed juga membawa investasi senilai Rp136 triliun untuk 12 proyek di Indonesia. Selain itu, Putra Mahkota Abu Dhabi juga memberi hadiah sebuah masjid besar untuk dibangun di Kota Solo, tempat kelahiran presiden. Putra Mahkota mendesain sendiri tempat ibadah seluas tiga hektare itu dengan mencontoh Sheikh Zayed Grand Mosque Abu Dhabi, masjid terindah di dunia.

Terakhir adalah ketika Putra Mahkota Sheikh Mohamed mengundang Presiden melakukan kunjungan kenegaraan ke UEA pada Januari 2020. Seperti diberitakan www.indonesia.go.id, Sabtu (25/1/2020), Presiden menyaksikan penandatanganan kerja sama bilateral senilai lebih dari USD22,89 miliar (Rp334,194 triliun). Kerja sama itu meliputi 11 perjanjian bisnis dan 5 lainnya adalah kerja sama antarpemerintah. Tak hanya itu, Presiden juga telah meminta Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan sebagai Ketua Dewan Pengarah Pembangunan Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur.

Penulis: Anton SetiawanEditor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari

Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini

  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id

Upaya yang dilakukan pemerintah Uni Emirat Arab untuk meningkatkan pendapatan perkapita

Uni Emirat Arab merupakan negara dengan pendapatan perkapita yang sangat tinggi, namun secara klasifikasi, Uni Emirat Arab masih termasuk kedalam negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan Uni Emirat Arab masih ditopang oleh industri ekstraktif.  Industri ekstraktif yaitu industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam, dalam hal ini industri ekstraktif di negara tersebut adalah minyak bumi. Menurut klasifikasinya, industri di negara maju lebih condong ke arah industri non ekstraktif, yaitu Industri yang mengolah lebih lanjut hasil-hasil industri lain.

Jadi, jawaban yang benar adalah B.

Abu Dhabi, 1 Juli 2022 – Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Uni Emirat Arab (Indonesia–United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement, atau IUAE–CEPA) akhirnya ditandatangani hanya berselang 9 bulan sejak diluncurkan oleh menteri perdagangan kedua negara. Pencapaian ini sesuai dengan target yang diberikan oleh kedua kepala negara, yaitu terselesaikannya perundingan dalam waktu kurang dari satu tahun.

Penandatanganan IUAE–CEPA dilakukan oleh Menteri Perdagangan RI Zulkifli Hasan dan Menteri Ekonomi Uni Emirat Arab (UEA) Abdulla bin Touq Al Marri. Penandatanganan dilakukan bersamaan dengan kunjungan kerja Presiden RI Joko Widodo. Penandatanganan IUAE–CEPA menjadi momentum bersejarah karena ini kali pertama Indonesia memiliki perjanjian dagang dengan negara di Kawasan Teluk.

“Bapak Presiden RI menyambut positif penyelesaian persetujuan IUAE–CEPA. Persetujuan ini menjadi pintu masuk Indonesia ke UEA yang merupakan hub untuk meningkatkan ekspor ke negara-negara tujuan nontradisional seperti di kawasan Teluk, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan,” ungkap Mendag Zulhas.

Penyelesaian IUAE–CEPA sekaligus menjadi momentum yang tepat untuk pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. “Covid-19 membuat hampir seluruh negara di dunia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Kita harap bersama ketika IUAE–CEPA ini diimplementasikan, peningkatan kinerja sektor perdagangan dan investasi yang didorong melalui IUAE–CEPA dapat semakin mengakselerasi upaya pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 serta meningkatkan daya saing Indonesia,” imbuh Mendag Zulhas.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono menyatakan, perundingan IUAE–CEPA sangat bermanfaat bagi Indonesia. Salah satu alasannya adalah terbukanya akses pasar ke UEA melalui penurunan dan penghapusan tarif bea masuk sekitar 94 persen dari total pos tarif dengan mekanisme penurunan secara langsung maupun bertahap saat perjanjian berlaku (entry into force).

Persetujuan IUAE–CEPA mencakup pengaturan di bidang perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, hak kekayaan intelektual, ekonomi Islam, ketentuan asal barang, prosedur kepabeanan dan fasilitasi perdagangan, kerja sama ekonomi, pengadaan barang dan jasa pemerintah, usaha kecil dan menengah, perdagangan digital, serta ketentuan hukum dan isu kelembagaan.

Isu ekonomi Islam dalam IUAE–CEPA ini juga menjadi satu catatan sejarah bagi Indonesia. Untuk kali pertama, isu ekonomi Islam/syariah dimasukkan sebagai salah satu cakupan persetujuan kemitraan ekonomi komprehensif dengan negara mitra dagang Indonesia.

“Pengaturan pada bab terkait ekonomi Islam dalam IUAE–CEPA, yang merupakan terobosan unik bagi Indonesia dalam upaya pengembangan kerja sama terkait ekonomi Islam, antara lain melibatkan saling diakuinya sertifikasi halal masing-masing negara, usaha kecil dan menengah, serta ekonomi digital. Masih dalam bab yang sama, turut diatur kerja sama pengembangan sektor ekonomi Islam yang mencakup bahan mentah, makanan dan minuman, obat-obatan dan kosmetik, modest fashion, pariwisata, media dan rekreasi, serta pembiayaan Islami (Islamic finance),” ungkap Djatmiko.

Berdasarkan analisis Cost Benefit dan Prognosa IUAE–CEPA, dalam sepuluh tahun sejak entry into force (EIF), ekspor Indonesia ke UEA diproyeksikan meningkat sebesar USD 844,4 juta atau meningkat 53,90 persen. Selain itu, impor Indonesia dari UEA juga diproyeksikan meningkat sebesar 307,3 juta atau sekitar 18,26 persen. Hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengurangi defisit perdagangan dengan UEA.

Setelah ditandatangani, proses lebih lanjut adalah ratifikasi atau pengesahan IUAE–CEPA yang akan dilakukan bersama oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesa sebelum akhirnya nanti dapat berlaku dan dapat dimanfaatkan oleh para pelaku usaha kedua negara.

Sekilas Perdagangan Kedua Pihak

Total perdagangan Indonesia–UEA pada 2021 mencapai USD 4,0 miliar atau meningkat 37,88 persen dibandingkan tahun 2020 yang sebesar USD 2,9 miliar. Meskipun sempat turun pada 2019– 2020, di tengah pandemi Covid-19 ini, nilai perdagangan bilateral kembali naik signifikan.

Pada 2021, ekspor Indonesia ke UEA tercatat sebesar USD 1,9 miliar atau meningkat 52,15 persen dibandingkan ekspor tahun 2020 yang sebesar USD 1,2 miliar. Tren kenaikan ekspor Indonesia ke UEA selama 2017—2021 adalah 1,44 persen. Sementara itu, tren kenaikan total perdagangan pada periode yang sama adalah 0,44 persen.. Komoditas ekspor utama Indonesia ke UEA yaitu barang perhiasan dan bagiannya, minyak sawit dan turunannya, kendaraan bermotor, apparatus (peralatan) elektronik untuk telepon seluler, dan apparatus penerimaan untuk televisi.

Sementara itu, impor Indonesia dari UEA tahun 2021 tercatat sebesar USD 2,1 miliar atau meningkat 27,33 persen dibandingkan impor tahun 2020 yang sebesar USD 1,7 juta. Komoditas impor utama Indonesia dari UEA yaitu produk setengah jadi dari besi atau baja, alumunium tidak ditempa, emas, sulfur, dan polimer propilena.

Sumber: Kementerian Perdagangan

KEMBALI