Yang Kencing Harap disiram kalimat tersebut terdapat kesalahan yakni kesalahan dari segi

You're Reading a Free Preview
Pages 6 to 11 are not shown in this preview.

You're Reading a Free Preview
Pages 15 to 20 are not shown in this preview.

You're Reading a Free Preview
Pages 4 to 5 are not shown in this preview.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Prihatin rasanya membaca tulisan-tulisan di tempat umum yang tidak mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia yang efektif. Padahal, kita sendirilah yang mesti menjaga agar penggunaan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah, tidak justru merusak kaidah. Jika kita mau sedikit cermat dalam berbahasa, kita akan terhindar dari penggunaan bahasa Indonesia yang tidak efektif. Ketidakefektifan berbahasa Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal (jadi ingat pelajaran bahasa Indonesia di SMA, nih), misalnya karena salah nalar, penggunaan kata-kata yang berlebihan (pleonastis), bermakna ganda (ambigu), ketidaksejajaran (tidak paralel), terpengaruh struktur bahasa asing atau bahasa daerah, kalimatnya rancu (kontaminatif), dan sebagainya.

Dari sekian penyebab tersebut, kesalahan nalar dalam berbahasa masih sering kita temukan di masyarakat. Lihat saja tulisan-tulisan di spanduk-spanduk, baliho, atau di gapura menjelang peringatan hari kemerdekaan. Kita kerap membaca tulisan: Dirgahayu HUT RI ke-65 atau Dirgahayu RI Ke-65. Tulisan itu menunjukkan penggunaan bahasa yang tidak cermat dan salah nalar. Sebab, kata dirgahayu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti panjang umur atau berumur panjang. Masa kita berdoa semoga yang berumur panjang HUT-nya? Tentu tidak, karena HUT-nya hanya satu hari yaitu tanggal 17 Agustus. Yang didoakan semoga panjang umur adalah negara kita atau kemerdekaan negara kita. Adapun yang ke-65 adalah HUT-nya bukan RI-nya. Tentu tidak ada RI ke-65 karena hanya ada satu RI. Jadi, ungkapan yang tepat adalah Selamat Ulang Tahun Ke-65 Republik Indonesia, Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia atau Dirgahayu Republik Indonesia.

Selain itu, sering kita mendengar pejabat pemerintah yang begitu bersemangat mengajak kita agar menjadi bangsa yang maju, tidak tertinggal oleh bangsa lain. Pejabat itu sering mengatakan: Marilah kita bersama-sama mengejar ketertinggalan ini. Kalimat tersebut salah nalar. Marilah kita cermati. Sesuatu yang tertinggal tentu berada di belakang, sedangkan sesuatu yang kita kejar pasti berada di depan. Tidak logis jika kita mengejar sesuatu yang berada di belakang. Ketertinggalan mestinya tidak kita kejar, tetapi kita perbaiki atau kita atasi. Yang kita kejar adalah sesuatu yang berada di depan, yaitu kemajuan bangsa lain. Jadi, kalimat yang tepat adalah Marilah kita mengatasi ketertinggalan ini atau Marilah kita mengejar kemajuan bangsa lain.

Bersikap Positif dalam Berbahasa

Kalimat yang diucapkan pejabat dan ungkapan tentang HUT RI yang salah nalar di atas sebenarnya sudah sangat sering dijadikan contoh kalimat yang tidak efektif oleh guru-guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Namun, mengapa kesalahan dalam berbahasa semacam itu masih sering kita jumpai di masyarakat? Tampaknya hal ini berhubungan dengan sikap berbahasa sebagian masyarakat kita yang belum menganggap penting mencermati penggunaan kalimat agar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Tim Pusat Bahasa menyebut pemakaian bahasa sesuai dengan kaidah dan situasinya sebagai sikap positif dalam berbahasa (2003:190). Hal itu terjadi jika orang tidak asal jadi dalam berbahasa. Seandainya untuk keperluan resmi pun orang menganggap bahwa dalam berbahasa yang terpenting ialah asal kawan bicara dapat menangkap maksud pembicara, dapat dikatakan bahwa orang itu tidak bersikap positif. Sikap tidak positif terbentuk jika orang tahu atau sudah diberi tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan, tetapi enggan berusaha memperbaikinya.

Siapakah yang dapat mengubah agar masyarakat bersikap positif? Tentu tugas kita semua, bukan hanya tugas guru mapel bahasa Indonesia di sekolah atau Pusat Bahasa. Mulailah dari diri kita masing-masing. Hal ini penting. Sebab, pemakaian bahasa sehari-hari berdampak sangat besar kepada bahasa itu sendiri maupun kepada budaya masyarakat. Hal itu pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tertib alur pikiran kita. Kita tidak mau dianggap sebagai orang (atau bangsa) yang beralur pikiran kacau, bukan?

Nah, dari sedikit contoh kalimat yang sering kita jumpai di masyarakat di atas ternyata menggunakan bahasa Indonesia yang bernalar tepat tidak sulit, bukan? Marilah kita membiasakan cermat dalam berbahasa. Dengan demikian, kita pun tidak akan membaca lagi tulisan peringatan di toilet umum yang bermaksud agar orang yang kencing menyiram air kencingnya tetapi kalimatnya berbunyi: Yang Kencing Harap Disiram. Sebab, kita keburu kabur urung kencing karena takut basah kuyup. Mari kita menggunakan bahasa Indonesia agar benar-benar 100% “paling Indonesia”, tidak terkurangi lagi oleh salah nalar.

Dalam Sumpah Pemuda terdapat kalimat yang merupakan perjanjian baik (Goodwill Agreement) yaitu Berbahasa satu bahasa Indonesia. Orang Indonesia belajar bahasa Indonesia dari fase terendah setingkat TK atau SD sampai perguruan tinggi. Tetapi nilai pelajaran bahasa Indonesia, kadang lebih rendah dari pelajaran yang lain. Kewajiban moral untuk menggunakan bahasa yang baik (yang sesuai kondisi), dan bahasa yang benar (yang sesuai kaidah kebahasaan), tidak lagi menyembul ke permukaan wajah-wajah orang Indonesia. Mereka lebih bangga berbahasa gaul daripada bahasa Indonesia asli sendiri.  Padahal, pribadi seseorang bisa dinilai dari tutur bahasanya yang lemah lembut dan sopan. Dibalik kondisi tersebut, ada rasa yang membesarkan hati kita, bahwa bangsa Indonesia dinobatkan sebagai bangsa yang sopan. Sayangnya, ungkapan sopan itu banyak yang tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan. Contohnya,

”Terima kasih anda tidak merokok.”

Terima kasih anda tidak buang sampah di sini.”

Ternyata kita sudah mendapatkan ungkapan terima kasih hanya karena tidak merokok. Dengan tulisan tersebut, kita tidak dapat menyalahkan orang yang terus merokok, karena mereka tidak dilarang merokok. Mereka hanya mendapat ungkapan terima kasih saja bila tidak merokok. Ungkapan lain yang sopan diantaranya,

Maaf jangan kencing di sini!”

Ternyata, walaupun sudah ada peringatan, bau amoniak air kencing masih ada. Orang yang bersangkutan mengganti kalimat bernada kasar.

”Maaf yang kencing di sini hanya anjing gila”

Setelah ada peringatan bernada kasar, tempat tersebut tidak bau lagi. Ada untungnya anjing tidak belajar bahasa Indonesia.

          Dalam bahasa Indonesia, ada yang disebut Daiksis atau kata yang merujuk pada acuan. Ada daiksis orang, waktu, dan tempat. Masih banyak orang yang salah menuliskan kalimat daiksis tersebut. Contohnya,

Yang kencing harap disiram!”

”Yang merokok harap dimatikan!”

 Makna dari kalimat di atas adalah orang yang kencing harus disiram dan orang yang merokok harus dimatikan. Konteksnya kepada orang, bukan kepada benda. kalimat tadi jelas salah. Padahal, kalimat tadi bisa diubah menjadi : ”Kencing harap disiram!” dan ”Dilarang merokok!”

          Kesalahan menggunakan bahasa telah terlihat jelas di jalan, dan tempat umum, bahkan di tempat atau sarana pendidikan. Contoh lain,

”Anda masuk kawasan tertib lalu lintas.”

Kalimat di atas mengandung makna, anda telah memasuki daerah yang tertib berlalu lintas. Berarti daerah lain tidak tertib lalu lintas. Mengapa kalimat tersebut tidak ada di setiap daerah? Contoh lain,

SD NEGERI KUNINGAN 20

Penulisan kalimat di atas telah ambigu atau bermakna ganda. Kalau ada SD Kuningan 20, berarti Kuningan itu banyak. Karena angka 20 pada akhir kalimat menunjukan nominal Kuningan, bukan menunjukan SD. Seharusnya penulisan itu adalah SD NEGERI 20 KUNINGAN yang memiliki makna Sekolah Dasar negeri yang ke 20 di Kuningan.  Selain itu, penulisan ”Hati-hati ada galian listrik!”  Dikatakan salah karena yang digali adalah tanah yang di dalam tanah itu ada kabel listrik, jadi bukan menggali listrik.

          Pada acara-acara resmi, kita telah disuguhi oleh bahasa-bahasa indah tetapi salah. Kesalahan tersebut menjadi mutlak bagi mereka yang tidak mengerti bahasa sesungguhnya. Contoh yang sering kita dengar yaitu,

”Para hadirin sekalian, ” padahal para bermakna jamak atau banyak, hadirin juga bermakna orang banyak, dan sekalian bermakna orang banyak. Hal ini merupakan pemborosan kata. Seharusnya, cukup mengatakan ”Para Bapak/Ibu saja, atau hadirin saja tanpa kata para dan tanpa kata sekalian.

”Kepada beliau waktu dan tempat kami persilakan!”  Yang dipersilakan (bukan persilahkan) adalah  waktu dan tempat bukan orang, padahal waktu dan tempat tidak bisa berjalan. Seharusnya, waktu dan tempat kami sediakan.  Selain kesalahan berbahasa pada kalimat di atas, banyak kesalahan berbahasa yang substansial tentang pola bahasa kita, yaitu (DM) diterangkan menerangkan. Orang banyak menggunakan kalimat,

 saya mau membeli bakar ayam, goreng tempe, goreng pisang. Padahal jika merujuk pada acuan diterangkan menerangkan (DM), seharusnya ayam bakar (ayam yang dibakar), tempe goreng (tempe yang digoreng), dan pisang goreng (pisang yang digoreng), karena dalam bahasa Indonesia penyebutannya benda dahulu, tidak seperti bahasa Inggris yang berpola menerangkan diterangkan (MD). Contoh lain yang sering kita temukan adalah penamaan toko, kata kerja, kata sifat. Contohnya :

Apotik Anugerah, praktek dokter, hakekat, sekitar 500 orang, jam 10.00.

 Kata apotik seharusnya apotek, berasal dari kata apoteker.

Kata praktek seharusnya praktik,  berasal dari kata praktikum,

Kata hakekat seharusnya hakikat, berasal dari hakiki

Kata sekitar seharusnya sekira, karena perkiraan, sedangkan sekitar itu digunakan untuk sekitar rumah, sekitar halaman dll.

Kata Jam 10.00 seharusnya pukul, karena jam adalah nama alatnya, kecuali kata 10 jam. Terlanjur seharusnya telanjur, frustasi seharusnya frustrasi, otentik seharusnya autentik, naas seharusnya nahas. Narsis seharusnya narsistik, realita seharusnya realitas, tolak ukur seharusnya tolok ukur, kokoh seharusnya kukuh, saklar seharusnya sakelar, silahkan seharusnya silakan, nafas seharusnya napas, materai seharusnya meterai, coklat seharusnya cokelat, cabe seharusnya cabai, konkrit seharusnya konkret, terlantar seharusnya telantar.

          Dalam ucapan menyapa, sering kita mendengarkan kalimat apa kabar? Padahal apa itu dalam bahasa sunda berari naon. Pertanyaan apa kabar akhirnya dijawab dengan kabar adalah berita. Seharusnya kalimat sapaannya adalah Bagaimana kabar ? Jawabnya Alhamdulillah baik. Seperti dalam bahasa sunda “kumaha damang?” Bukan naon kabar yang dalam bahasa Indonesia apa kabar. Dalam soal ujian terdapat soal uraian sebutkan tiga macam ….. Jika perintah sebutkan berarti menyebut atau mengucap dan itu bukan diperintahkan menulis, sedangkan ujiannya adalah ujian tulis. Seharusnya soal tersebut :  Tuliskan tiga macam …..

Kesalahan-kesalahan berbahasa di kita banyak dilakukan oleh insan pelajar bahkan guru. Tidak pelak lagi bahasa Indonesia dianggap sepele karena penghuninya tidak ramah bahasa, tidak ramah lingkungan. Seorang Taufik ismail mengatakan dalam puisinya ”Aku Malu Jadi Orang Indonesia,” karena kondisi saat ini. Seorang pelajar lebih menyenangi bahasa gaul yang kasar yang tidak baku daripada bahasa asli Indonesia. Contohnya,

Elu, gue, engga, bokap, nyokap. Padahal, di bahasa Indonesia yang baku hanyalah ada  Kamu, saya/aku, tidak, bapak, ibu. Kata-kata yang tidak sesuai kaidah kebahasaan tadi karena terkontaminasinya bahasa oleh budaya-budaya daerah atau asing. Oleh karena itu, marilah kita lestarikan bahasa dan budaya Indonesia. Siapa lagi yang akan memajukan bahasa dan bangsa Indonesia kalau bukan kita. Wallahu A’lam bissowab.

  • More action and less talk (Banyak kerja sedikit bicara)
  • A tree is known by ist fruit (Sebatang pohon diketahui melalui buahnya)
  • There is no rose without a thorn (Tak ada mawar yang tanpa duri)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA