Alasan-alasan hukum apa yang dapat digunakan sebagai alasan peninjauan kembali

PENINJAUAN KEMBALI KEDUA

Pihak yang kalah dalam berperkara setelah berakhirnya upaya hukum biasa, hukum acara di Indonesia masih memberikan kesempatan untuk menempuh upaya hukum luar biasa yang dikenal dengan “Peninjauan Kembali”. Terlepas dari upaya hukum Peninjauan Kembali ini relatif kecil jumlahnya yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung, namun tetap banyak ditempuh. Termasuk pula permohonan Peninjauan Kembali kedua.

                 Hukum positif kita telah mengatur bahwa Peninjauan Kembali hanya untuk 1 (satu) kali diajukan baik dalam perkara pidana, perkara perdata, perkara tata usaha negara, dan perkara agama. Ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI menyatakan “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”. Juga dalam  Pasal 24 ayat (2) Undang- undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang  Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan  peninjauan kembali”. Untuk perkara pidana diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyatakan “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”.

               Ketiga pasal ini, untuk perkara perdata telah diajukan hak uji materil tetapi Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan Nomor 108/PUU-XIV/2016 jo Nomor 16/PUU-VIII/2010 tanggal 15 Desember 2010 menyatakan menolak Peninjauan Kembali lebih dari sekali.  Pertimbangan hukumnya penyelesaian perkara menjadi panjang dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan asas litis finiri oportet (bahwa setiap perkara harus ada akhirnya) dan justru menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan.

        Dengan memperhatikan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali yang membatasi Peninjauan Kembali hanya bisa dilakukan maksimal dua kali dalam perkara perdata dan perkara pidana. Lebih rinci menyatakan : “Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan PK yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan diantaranya ada yang diajukan permohonan PK agar permohonan PK tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung “.

                Selanjutnya dipertegas kembali dalam SEMA Nomor 07 Tahun 2012 sebagai rumusan Kamar Perdata menyatakan : “Pada prinsipnya PK kedua kali tidak diperkenankan, kecuali ada dua putusan yang saling bertentangan baik dalam putusan perdata, pidana, TUN maupun agama (usul review SEMA 10 Tahun 2009)”. SEMA ini memperluas lingkup jenis perkaranya dengan menambah putusan perkara TUN dan putusan perkara agama.

                SEMA Nomor 07 TAHUN 2014 tanggal 31 Desember 2014 menyatakan : “Tidak ada Peninjauan Kembali kedua atau lebih, kecuali dengan alasan terdapat berbagai putusan dalam satu obyek perkara”.  

                  Dalam perkembangan berikutnya sebagai hasil rumusan Kamar Perdata dengan SEMA Nomor 4 TAHUN 2016 yang menyempurnakan SEMA No. 10 Tahun 2009 dinyatakan : “Ketentuan terhadap angka 2 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tanggal 12 Juni 2009 dilengkapi sebagai berikut : Demi keadilan, permohonan peninjauan kembali kedua terhadap dua putusan yang berkekuatan hukum tetap, yang saling bertentangan satu dengan yang lain dan salah satu diantaranya adalah putusan peninjauan kembali, dapat diterima secara formil walaupun kedua putusan tersebut pada tingkat peradilan yang berbeda, termasuk putusan pidana, agama dan tata usaha negara”. Dengan SEMA ini Peninjauan Kembali kedua kalinya tidak harus adanya 2 (dua) putusan Peninjauan Kembali yang saling bertentangan, namun dapat pula salah satunya bukan putusan  Peninjauan Kembali, misal putusan kasasi atau putusan pengadilan tingkat pertama atau pengadilan tingkat banding yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

                Dari keempat SEMA di atas tentang Peninjauan Kembali kedua, disyaratkan sebagai berikut :

  1. adanya 2 (dua) putusan atau lebih yang saling bertentangan dan statusnya telah berkekuatan hukum tetap, baik putusan Peninjauan Kembali dengan Peninjauan Kembali maupun dengan bukan putusan Peninjauan Kembali.
  2. Menyangkut putusan perdata, putusan pidana, putusan tata usaha Negara, dan putusan agama.
  3. Obyek perkara sama.
  4. Ketua pengadilan menilai beralasan hukum dan dapat diterima atau tidak permohonan Peninjauan Kembali kedua tersebut. Apabila tidak dapat diterima maka berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung RI.

               Adanya putusan yang saling bertentangan, meskipun para pihaknya sama, mengenai soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, maka permohonan Peninjauan Kembali diajukan dengan masa tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh hari) sejak putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap diberitahukan kepada para pihak berperkara (Pasal 67 huruf e jo pasal 69 huruf d Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

               Tidak otomatis adanya 2 (dua) putusan Peninjauan Kembali yang berbeda memenuhi syarat untuk diterimanya permohonan tersebut, tetapi substasi kedua putusan tersebut diperlukan penelaahan, ada tidaknya pertentangan satu sama lain.

                Dalam praktek peradilan terdapat permohonan Peninjauan Kembali kedua diajukan oleh Pemohon terhadap obyek yang sama dengan putusan Peninjauan Kembali perkara lain. Adapun pada putusan Peninjauan Kembali yang pertama gugatan penggugat (Pemohon PK) dinyatakan tidak dapat diterima, sedangkan dalam putusan Peninjauan Kembali perkara sebelumnya para penggugat dinyatakan sebagai pemilik obyek sengketa. Dengan sudah dinyatakan secara yuridis obyek sengketa milik para penggugat dalam perkara lain dan Pemohon Peninjauan Kembali kedua tidak dinyatakan sebagai pemilik atas obyek sengketa yang sama, maka disini tidak terdapat dua putusan berkekuatan hukum tetap yang saling bertentangan sehingga permohonan Peninjauan Kembali kedua tidak dapat diterima dan tidak dikirim ke Mahkamah Agung.

               Kewenangan pengadilan tingkat pertama melakukan penilaian terhadap alasan permohonan Peninjauan Kembali kedua dapat mengurangi penumpukan perkara dan beban kerja Mahkamah Agung. Apabila perkara Peninjauan Kembali kedua yang tidak memenuhi syarat formil tetap dikirim maka akan terperiksa oleh hakim pemilah perkara, akibatnya dapat dikembalikan oleh Mahkamah Agung kepada pengadilan tingkat pertama pengaju.

                Dengan demikian pemeriksaan terhadap permohonan Peninjauan Kembali untuk kedua kalinya ini harus memenuhi unsur selektivitas dan efektivitas, bertujuan semata-mata untuk melindungi hak privat seseorang demi tegaknya keadilan dan percepatan kepastian hukum. 

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, maka terlebih dahulu perlu diperhatikan secara seksama ketentuan yang mengatur mengenai Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Pasal 67 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut :

”Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

a.            apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b.            apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c.            apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

d.            apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e.            apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

f.             apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”

Selanjutnya, Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan :

“Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :

a.      yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

b.      yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;

c.      yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

d.      yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.”

Merujuk kepada uraian dan pertanyaan yang diajukan di atas, maka jelas bahwa yang ditanyakan hanyalah terkait dengan ketentuan pada Pasal 67 huruf b jo. Pasal 69 huruf b UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Menurut M. Yahya Harahap di dalam bukunya berjudul “Kekuasaan Mahkamah Agung; Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata”, terdapat 4 (empat) bagian yang dapat dijelaskan terkait dengan Pasal 67 huruf b jo. Pasal 69 huruf b tersebut, yaitu :

1.      Penerapan alasan permohonan peninjauan kembali (PK) ini terbatas hanya pada bentuk Alat Bukti Surat.

2.      Alat Bukti Surat, yang memenuhi alasan permohonan peninjauan kembali (PK) ini, harus bersifat menentukan.

3.      Hari dan tanggal alat bukti surat itu ditemukan, harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan penjabat yang berwenang.

4.      Alat bukti surat itu telah ada sebelum proses pemeriksaan perkara.

Terhadap bagian 3 tersebut di atas, maka pada hari dan tanggal ditemukan alat bukti surat itu, pemohon PK harus menyatakan di bawah sumpah dimana :

·        pernyataan sumpah itu dibuat secara tertulis yang menjelaskan bahwa pada hari dan tanggal tersebut telah menemukan alat bukti surat in casu Akta Jual beli ataupun Sertipikat Hak Milik dengan menyebut tempat atau kantor dimana alat bukti surat itu ditemukan.

·        selanjutnya surat pernyataan sumpah itu disahkan oleh pejabat yang berwenang.

Kedua syarat ini bersifat imperatif dan kumulatif. Artinya, apabila penemuan surat itu tidak dituangkan dalam bentuk surat pernyataan di bawah sumpah, kemudian surat pernyataan sumpah itu tidak disahkan oleh pejabat yang berwenang, maka alat bukti surat itu tidak memenuhi syarat sebagai alasan permohonan PK. Sementara itu, pernyataan sumpah saja oleh Pemohon PK tanpa disahkan oleh pejabat yang berwenang juga mengakibatkan alat bukti surat tersebut tidak sah sebagai alasan permohonan PK.

Secara sederhana, pernyataan di bawah sumpah tersebut dapat langsung dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, dan pengesahannya dilakukan oleh pejabat tersebut pada surat yang bersamaan di tempat pembuatan pernyataan sumpah.

Adapun terhadap pengertian ”pejabat yang berwenang” pada Pasal 69 huruf b tersebut tidak diberikan penjelasan. Oleh karena tidak diberikan penjelasan, maka tidak terdapat pembatasan atas ”pejabat yang berwenang” dalam melakukan pengesahan atas alat bukti surat tersebut. Namun demikian, pada umumnya, jika suatu surat yang akan dijadikan novum berkaitan erat dengan pejabat tertentu, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dilakukan di hadapan dan oleh pejabat tersebut.

Dikaitkan dengan perkara ini, jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum adalah berupa akta jual beli, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh notaris. Sementara itu, jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum adalah berupa sertipikat hak milik, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).