Aliran Ahmadiyah dimunculkan oleh penguasa Inggris di India yang bertujuan untuk

Aliran Ahmadiyah dimunculkan oleh penguasa Inggris di India yang bertujuan untuk
AHMADIYAH DI PERSIMPANGAN JALAN:

(Perbedaan Antara Jemaat Ahmadiyah Indonesia [JAI] dengan

 Gerakan Ahmadiyah Indonesia [GAI] )

 B A B  I

Pendahuluan

A.Latar belakang Masalah

Gibb,[1] menyebutkan Gerakan Ahmadiyah adalah nama gerakan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) di Qadian, Punjab, India. Tiga ajarannya yang berbeda dengan kelompok Muslim lainnya adalah mengenai penyaliban Isa as., mengenai al-Mahdi dan mengenai jihad.

 Menurut pendapatnya Isa tidak meninggal di kayu salib, melainkan setelah kematian dan kebangkitannya kembali dia berhijrah ke Kasymir untuk mengajarkan Injil di negeri itu. Disitulah dia meninggal pada usia 120 tahun dan makamnya hingga sekarang masih ada di Srinagar.

Mengenai al-Mahdi, dia memproklamasikan diri sebagai Al-Mahdi yang dijanjikan itu dan sekaligus sebagai inkarnasi Isa dan Muhammad serta sebagai avatar (inkarnasi) Krishna. Menurut ajarannya, kepercayaan terhadap dirinya sebagai al-Mahdi (Messiah, Al-Masih) yang ke 2 atau yang dijanjikan termasuk salah-satu rukun iman, karena (1) kedatangannya di awal abad ke -14 H diramalkan oleh Nabi Muhammad saw sendiri dan (2) dia membuktikan dirinya menerima wahyu.

Sedangkan mengenai jihad dikatakannya bahwa ayat-ayat tentang jihad sudah dihapuskan (mansukh) dan dia datang untuk membawa perdamaian, bukan perang. Gerakan ini terbagi menjadi dua kelompok; (1) Kelompok Qadiani, yang menganggap Mirza sebagai nabi, dan (2) kelompok Lahore, yang menganggap Mirza sebagai pembaharu (mujaddid).[2]

Di Indonesia, organisasi  Ahmadiyah yang me-representasikan ajaran Ahamdiyah Qadian adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) bermarkas di Parung Bogor, sedangkan organisasi yang me-representasikan ajaran Ahmadiyah Lahore adalah Gerakan Ahmadiyah Indonesia bermarkas di Jln. Baciro, Yogyakarta.[3]

Kedua kelompok ini, pada kenyataannya sulit bagi kita untuk membedakannya. Mana yang beranggapan Mirza sebagai pembaharu, dan mana yang berkeyakinan Mirza sebagai nabi. Karena itu, sebagian besar masyarakat Indonesia selalu menyamaratakan terhadap ajaran Ahmadiyah di Indonesia.

Keyakinan diatas, di Indonesia membentuk dua mazhab. Pertama mazhab atau kelompok jogyakarta dan kedua kelompok Parung Bogor. Kedua kelompok ini tersebar keseluruh pelosok tanah air. Masyarakat awam akan sulit untuk membedakan, mana kelompok Bogor dan mana kelompok Jogyakarta.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah bagian dari Jamaah Muslim Ahmadiyah Internasional. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indinesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).[4]

Walaupun memiliki badan hukum, ajaran Ahmadiyah  ini terjadi pro dan kontra, apakah penganut ajaran Ahmadiyah termasuk bagian dari umat Islam atau sebagai agama tersendiri. Atas dasar paham yang dikemukakan diatas terjadi perselisihan paham yang berujung kepada tindakan kekerasan diantara kedua belah pihak, bahkan yang tidak berkepentingan masuk kewilayah perbedaan ini, sehingga memunculkan bentrokan fisik. Dengan dalih, atas nama kebebasan beragama, sementara yang lain atas nama penodaan terhadap agama.

Atas paparan diatas, maka munculah SKB (3 Menteri) tentang Ahmadiyah,  memuat 7 Butir SKB 3 Menteri, yaitu:

1.Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.

2.Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

3.Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan.

4.Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.

5.Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dnan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku.

6.Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.

7.Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, 09 Juni 2008.

“Ini (SKB 3 Menteri) intinya memerintahkan menghentikan seluruh kegiatan JAI,” kata Jaksa Agung Hendarman Supandji kepada wartawan seusai pengumuman SKB 3 Menteri Tentang Perintah Terhadap Penganut Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di kantor Departemen Agama (Depag), Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.[5]

MUI pernah mengeluarkan fatwa secara umum, dan tidak dikhususkan hanya kepada Ahmadiyah saja. Fatwa tersebut terkenal dengan istilah  “sepulu criteria aliran sesat”,[6] yaitu:

1)                             Mengingkari Rukun Iman dan Rukun Islam;

2)                  Meyakini/mengakui aqidah yang tidak sesuai dalil syar’i [al-Qur’an dan hadist];

3)                  Meyakini turunnya Wahyu setelah al-Qur’an;

4)                  Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an;

5)                  Melakukan penafsiran al-Qur’an yang tidak sesuai berdasarkan kaidah tafsir;

6)                  Mengingkari kedudukan hadist nabi sebagai sumber ajaran Islam;

7)                  Melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul;

8)                  Mengingkari Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir;

9)                  mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syar’iah dan;

10)              Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i.

MUI menilai SKB langkah maju, Majelis Ulama Indonesia merasa tak puas dengan isi SKB. Meski begitu SKB 3 Menteri itu dipandang sebagai langkah maju pemerintah menyikapi polemik keberadaan Ahmadiyah di tanah air.

Ketua Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin menyatakan kendati Surat Keputusan Bersama yang dikeluarkan pemerintah tidak punya kewenangan untuk membubarkan Ahmadiyah di Indonesia, tapi langkah yang diambil pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan SKB mengenai pelarangan aktivitas Ahmadiyah di Indonesia merupakan langkah maju dalam mengatasi ketidakpastian mengenai keberadaan Ahmadiyah di Indonesia selama ini. Pendapat senada disampaikan Mahendra Datta, anggota Tim Pembela Muslim.

Sementara itu Din Syamsudin, Ketua Umum PP Muhammadiyah menyatakan, sebagai warga negara Indonesia setiap orang berhak untuk mendapatkan kebebasan dalam berkeyakinan, namun tidak untuk disebarkan. Karena itu umat Islam di Indonesia harus menghormati keputusan yang telah dikeluarkan oleh Jaksa Agung, Menteri Agama serta Menteri Dalam Negeri ini.[7] Sebelum keluar SKB 3 (Menteri), MUI pernah mengeluarkan fatwa pada tahun 2005 yang menyatakan Ahmadiyah sesat.[8] Fatwa MUI tersebut segera disanggah, dengan mengeluarkan Maklumat, [9] oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) atau yang dikenal dengan Ahmadiyah aliran Lahore yang berpusat di Jogyakarta.

Salah satu fatwan MUI yang telah dikeluarkan pada tanggal 29 Juli 2005 adalah statement bawa Ahmadiyah keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. Keputusan MUI yang menyebutkan bahwa Ahmadiyah keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan, ternyata akan dapat berakibat menimbulkan ketegangan  dalam kehidupan beragama di masyarakat. Sebab arti yang terkandung dalam statemen fatwa MUI tersebut, adalah bahwa semua pengikut paham Islam Ahmadiyah kelompok manapun adalah murtad dan juga dapat berarti kafir. Pendapat bahwa pengikut paham Islam Ahmadiyah murtad atau kafir adalah sangat berbahaya. Kami yakin MUI telah khilaf dalam mengumumkan statement mengenai Ahmadiyah.[10]

B.Perumusan Masalah

Atas dasar paparan diatas, maka dalam penelitian ini akan disusun identifikasi masalah sebagai berikut dibawah ini:

1.Bagaimana proses terjadinya sebagai wali dan pembaharu Mirza Gulam Ahmad ?

2.Bagaimana proses terjadinya sebagai Imam Mahdi Mau’ud dan Messiah Mirza Ghulam Ahmad ?

3.Bagaimana tahapan pengakuan Kenabian Mirza Ghulam Ahmad ?

4.Bagaimana faktor yang mempengaruhi ajaran Ahmadiyah ?

C.Tujuan  dan Kegunaan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Untuk mengetahui  proses terjadinya sebagai wali dan pembaharu Mirza Gulam Ahmad

2.Untuk mengetahui proses terjadinya sebagai Imam Mahdi Mau’ud dan Messiah Mirza Ghulam Ahmad

3.Untuk mengetahui tahapan pengakuan Kenabian Mirza Ghulam Ahmad

4.Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi ajaran Ahmadiyah

Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Penelitian ini diharapkan dapat menawarkan format baru dalam penyelesaian kasus Ahmadiyah di Indonesia.
  2.  Penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi semua Pihak,  baik pemerintah, umat Islam dan penganut ajaran Ahmadiyah

D.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir

Seperti telah disinggung diatas, bahwa penelitian ini bertujuan untuk mempelajari “Ahmadiyah dipersimpangan Jalan: Perbedaan antara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dengan Gerakan Ahamdiyah Indonesia (GAI)”. Dengan kata lain, apakah kedua aliran Ahmadiyah yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan yang sangat fundamental dari sisi aqidah Islam, sehingga memberikan corak pula dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan  ajaran Islam.  Dalam kerangka theory ini, diajukan; definisi istilah, Grand Theory, midle theory dan aplicative.

Pertama, mengenai istilah Ahmadiyah,  adalah nama gerakan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) di Qadian, Punjab, India. Tiga ajarannya yang berbeda dengan kelompok Muslim lainnya adalah mengenai penyaliban Isa as., mengenai al-Mahdi dan mengenai jihad.[11]Akan tetapi, perbedaan yang sangat mencolok dengan Muslim lainnya adalah mengenai Kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Kedua, mengenai persimpangan jalan. Dimaksudkan, ajaran Ahmadiyah sampai hari ini menjadi kontroversi yang berkepanjangan, tak kunjung selesai. Bahkan, memicu terjadinya kekerasan akibat dari kerancuan ajaran Ahmadiyah. Amadiyah menganggap kafir diluar Ahmadiyah, sementara Muslim yang lain demikian juga mengangap sesat terhadap ajaran Ahmadiyah.

Ketiga, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dimaksudkan sebagai aliran Ahmadiyah yang  menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Aliran ini bagian dari aliran Ahmadiyah Qadiyaniyah, di Indonesia berpusat di Bogor, yang ke khalifahannya berpusat di London. Sedangkan, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang berpusat di Jogyakarta, aliran ini bagian dari aliran Lahore, aliran ini tidak memposisikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, akan tetapi diposisikan sebagai pembaharu saja.

Dalam penelitian ”Ahmadiyah dipersimpangan jalan: Perbedaan antara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), menunjukan terdapat kerancuan dalam ajaran Ahmadiyah itu sendiri. Karena itu sebagai tolok ukur dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Maka untuk mendekati masalah tersebut teori yang digunakan adalah berkenaan dengan teori Kenabian, yang merupakan pendekatan kewahyuan. Karena itu, nabi didefinisikan melalui dua pendekatan, secara bahasa dan istilah. 

Nabi secara bahasa, pertama; ”al-naba” artinya kabar, berita atau keterangan. Kedua; ”al-nabiy’u” artinya tempat yang tinggi, jalan yang terang,  Ketiga; ”al-nubuwatu ”artinya kenabian, keempat; ”al-mutanabbi’u” mengaku menjadi nabi.[12]

Nabi dalam artian yang pertama dimaksudkan adalah orang yang membawa kabar atau berita dengan keterangan-keterangan yang jelas. Sedangkan Nabi, jika dilahat dari kedudukan arti yang kedua adalah orang yang memiliki kedudukan tinggi, mulia terhormat dengan membawa atau menunjukan jalan yang terang.

Sedangkan nabi dilihat dari sudut gelar arti yang ketiga, adalah orang yang memiliki gelar kenabian, yang diberikan Allah SWT kepada hamba pilihan-Nya. Sedangkan arti yang keempat, ialah orang yang mengaku sebagai nabi, dengan mencakup tiga unsur yang pertama diatas, yaitu; membawa  kabar gembira, berita, atau keterangan. Ia termasuk orang yang dimuliakan karena kehormatannya, dengan menunjukan jalan yang terang kepada orang lain. Adanya pengakuan sebagai nabi, baik oleh dirinya atau oleh orang lain.

Arti nabi diatas, jika disebutkan “al-nabi” tanpa hamjah terambil dari nabaa, yanbuu artinya tinggi. Atau bisa juga terambil dari al-nabiy dengan mengandung arti jalan. Karena itu, nabi secara bahasa adalah sebagai washilah (perantara) dan thariq (jalan) menuju kebenaran. Terdapat hubungan yang erat antara makna bahasa dengan kalimat nabi, karena arti asal dari kalimat nabi secara bahasa adalah mulia, kedudukan terhormat, dan tinggi. Jadi, nabi adalah orang yang memiliki kehormatan dari manusia lainnya, karena kesempurnaan jasmani dan kesucian ruhani.[13]

Adapun makna nabi dengan memakai hamjah “al-nabii’u” terambil dari fi’il “naba’a” mengandung makna hobar “anbaa’a” artinya berita. Karena itu, manbaa’ –isim maf’ul- yaitu berita dari Allah SWT. Dan munabi’u –isim fa’il- yaitu berita untuk manusia.[14]

Pengertian Ini, adalah nabi dalam artian bahasa. Jika dilihat dari sudut pandang bahasa saja, maka pengertian nabi tidak terputus sampai hari ini. Atas dasar arti nabi secara bahasa yang dikemukakan diatas, maka nabi bisa juga didefinisikan sebagai “otak umat pada zamannya.”[15]

Sedangkan secara istilah, nabi  adalah; manusia, merdeka, yang memiliki kekhususan dari Allah SWT dengan menerima wahyu yang membawa hukum syar’i taklify.[16] Sedangkan makna Rasul dan Nabi, adalah setiap Rasul adalah nabi, dan tidak setiap nabi adalah Rasul.

Perbedaannya adalah Rasul diperintahkan untuk menyampaikan wahyu sedangkan nabi tidak diperintahkan menyampaikan wahyu. Karena itu, Rasul dibarengi dengan membawa atau diberi Kitab dan syari’at yang baru dan sebagai penyempurna dari syari’at sebelumnya. Disamping itu, berfungsi menghapuskan sebagian syari’at sebelumnya. Berbeda dengan nabi, ia berperan hanya melaksanakan dan mengajak dengan kitab dan syari’at sebelumnya. Seperti, nabi-nabi Bani Israel antara Musa sampai Isa.[17]

Sedangkan Muhammad saw sebagai penutup para Nabi: ”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[18]  

BAB II 

Kajian Teori

Dalam pembahasan ini peneliti bagi kedalam dua bagian, pertama; makna wali yang terkandung dalam al-Qur’an dan; kedua; makna wali dalam pemahaman umum yang berkembang di masyakat muslim.

1. Makna Wali Dalam al-Qur’an

Banyak ragam dalam al-Qur’an menyebutkan tentang wali, yang mengandung arti sebagai pelindung. Pelindung pertama dan utama adalah Allah sendiri, perhatikan beberapa Firman Allah dibawah ini:

  1. “Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” [19]
  2. .“Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.[20]
  1. “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan nabi Ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman”.[21]
  2. “Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu)”.[22]

Ayat-ayat yang dijelaskan diatas menunjukan bahwa arti “wali” adalah sebagai pelindung, yang dimaksud adalah Allah SWT sebagai pelindung bagi manusia-manusia yang beriman kepada Allah SWT. Sedangkan walinya orang-orang kafir adalah syaithan.

Kedua, makna lain dari wali, bisa juga diartikan sebagai ikutan (orang yang diikuti sebagai pemimpin), dimaksudkan adalah mengikuti para nabi.  

 “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan nabi Ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman”.[23]

Nabi dan Rasul sebagai ikutan manusia yang pertama, dan diposisikan sebagai bapak para Nabi adalah Ibrahim as. Jadi manusia yang benar adalah yang mengikuti Ibrahim as dan pengikut agamanya. Yaitu, Nabi Muhammad saw, orang-orang yang beriman dari kelompok muhajirin dan anshor, dan orang-orang yang mengikuti setelahnya. Abdullah bin Mas’ud berkata: “bahwa Rasulullah saw bersabda: Setiap Nabi adalah Wali dari para Nabi-nabi dan wali-ku diantara para nabi adalah –Ibrahim as”.[24]

Para nabi diposisikan sebagai ikutan umat yang mampu menjaga, melindungi pengikutnya, sebagaimana yang diungkapkan masyarakat Mekkah pada masa lalu.

 “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri Ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”[25].

Demikian juga, Zakaria pernah berdo’a memimta anak keturunan sebagai generasi pelanjut kepemimpinan (mawali).

 ”Dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera”[26]

Wali yang dimaksud adalah sebagai generasi penerus para nabi. Para nabi tidak mewarisi harta akan tetapi mewari ilmu. Karena itu, permintaan untuk dijadikan wali dimaksud adalah untuk melanjutkan menegakkan agama.[27]Yang dimaksud Zakaria dengan mawali ialah orang-orang yang akan mengendalikan dan melanjutkan urusannya sepeninggalnya. Yang dikhawatirkan Zakaria adalah kalau mereka tidak dapat melaksanakan urusan itu dengan baik, karena tidak seorangpun diantara mereka yang dapat dipercayainya, oleh sebab itu dia meminta agar dianugrahi seorang anak.[28]

Takwil ayat diatas menunjukan bahwa para nabi itu mewariskan, akan tetapi bukan harta yang diwariskan, melaikan ilmu dan kenabian. Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan apa yang ditinggalkannya untuk disodakahkan”. Dalam Kitab Abu Daud disebutkan: “Sesungguhnya para ulama itu adalah mewarisi dari Nabi, dan para nabi tidak mewariskan Dinar tidak juga Dirham, akan tetapi para ulama itu menerima warisan ilmu dari nabi”[29]

Dari paparan narasi ayat al-qur’an diatas, diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan wali adalah para nabi-nabi Allah yang memimpin dan mengendalikan masyarakat pada zamannya.

Ketiga, wali dalam artian ikutan umat (pemimpin) diluar nabi adalah orang-orang yang beriman kepada Allah. Dalam al-Qur’an disebutkan:

”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[30] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”.[31]

Ayat diatas, adalah larangan Allah kepada orang-orang yang beriman mengikuti jejak langkah dan atau berlindung kepada orang-orang kafir. Kecuali, bagi orang-orang yang beriman berada di berbagai negeri dan kondisi yang darurat, boleh mengikuti secara dhohir dan tidak secara batin dan niat.[32] Perhatikan penegasan Allah, bahwa orang kafir jangan dijadikan sebagai wali(pelindung atau penolong).

”(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”.[33]

”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[34]

Ayat diatas Allah mengarahkan orang-orang beriman satu-sama lain sebagai wali (penolong atau pelindung) yang saling memperingatkan diantara sesama mukmin memerintahkan kebaikan

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali[35] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?[36]

Ayat diatas larangan keras dari Allah, bahwa orang-orang kafir janganlah dijadikan sebagai wali bagi orang-orang yang beriman. Dalam beberapa ayat yang lain, Allah menegaskan larangan ini.[37]

“Wahai bapakku, Sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha Pemurah, Maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”.[38]

“ Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah”.[39]

Ayat diatas, wali diartikan sebagai kawan. Karena itu, orang-orang beriman dilarang berkawan dengan orang-orang kafir.

2. Makna Wali Secara Umum

Istilah-istilah wali yang dipaparkan diatas menunjukan orang-orang suci, orang-orang yang dekat kepada Allah, orang-orang yang selalu menjalankan ibadah kepada Allah dengan rasa ikhlas, orang-orang yang menyebarkan ajaran agama dengan kesungguhan dan keikhlasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan waliullah adalah, sahabat Allah orang yang suci dan keramat.[40]

Di Indonesia para penyebar Islam yang pertama kali, dikelompokan sebagai para wali. Maka terdapatlah sebutan para Wali Songo sebagai penyebar Islam di Nusantara khususnya di pulau jawa.

Dalam kelompok sufi terdapat juga penamaan Wali, karena ia dipandang orang yang lebih dekat kepada Allah, lantaran banyak berzikir kepada Maha Pencipta. Ia juga dianggap sebagai orang keramat, yang memimpin dari suatu aliran thariqat tasawuf.

Pada masa lalu ikutan masyarakat yang sangat ditaati adalah para wali. Para wali ini, bukan saja sebagai tokoh spiritual akan tetapi ia juga seorang tokoh yang diidolakan sebagai pemimpin yang kharismatik sebagai ikutan masyarakat, yang dianggap sebagai orang yang konsisten menjauhi larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya. Karena itu, ia dinggap orang yang paling banyak berkomunikasi dengan Tuhan.

”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalamkehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”[41]

Jadi wali itu adalah, orang-orang yang mengikuti Rasulullah, menyampaikan ajaran Allah, lebih banyak berkomunikasi dengan Allah (dalam bentuk shalat, berzikir dan amalan sholeh lainnya) yang sesuai dengan syari’at Allah dan selalu menghindar apa-apa yang diharamkan Allah dan yang dibenci Allah.[42]

Walaupun kita tidak diperintahkan mengimani para wali, dan kita tidak pernah mendapatkan nama-nama mereka di dalam Al-Qur’an maupun al-Hadist, namun kita juga dilarang untuk meremehkan mereka, apalagi memusuhi mereka. Artinya, kita tidak boleh memusuhi orang mukmin yang taqwa. Jangan-jangan dia waliyullah. Maka kalau ada dugaan seseorang atau masyarakat terhadap seseorang bahwa ia adalah wali, itu hanya dugaan atau penilaian terhadap keimanan dan ketakwaannnya kepada Allah.[43] ”Ketahuilah bahwasannya wali-wali Allah itu adalah muttaqin.”[44]

Wali-wali Allah ini biasanya diberi oleh Allah semacam karomah. ”Sesungguhnya yang paling Karomah diantara kamu sekalian adalah yang paling bertaqwa.”[45] Jadi, ketaqwaan itu melekat pada para wali. Karenanya para wali diberi Allah semacam mau’nah. Mau’nah  (pertolongan dan perhatian) dari Allah yang tanpa direkayasa terlebih dahulu, sebagai balasan atas apa yang selama ini dia lakukan (riyadlah, Mujahadah, Muhasabah) dalam tharikatnya.[46]

”Dan Tuhan kami ialah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Yang dimintai ma’unah (pertolongan)Nya.”[47]

B.Makna Imam Mahdi

Sebagaimana dikemukakan H.A.R.Gibb penulis buku “Modern  Trends in Islam” (Aliran-Aliran Modern Dalam Islam). Bahwa semua agama memiliki keyakinan tentang “Imam Mahdi.”  Mari kita telusuri keterangan tersebut sebagai berikut:

1.Imam Mahdi Dalam Agama Yahudi

Kemunculan Imam Mahdi sebagai juru penyelamat dunia. Dalam Agama Yahudi diyakini Imam mahdi akan muncul, akar gerakan ini adalah keyakinan orang Yahudi hari ini (datangnya) juru selamat) mencakup batasan waktu dari mulainya persiapan-persiapan kemunculan sang juru selamat yang dimulai sejak 1914 – yaitu tahun dimulainya Perang dunia I- sampai kembalinya bangsa Yahudi ke Palestina dan mendirikan pemerintahan yang mereka anggap merupakan tahapan diantara tahap-tahap persiapan yang penting bagi kemunculan sang juru selamat yang dijanjikan. Mereka meyakini bahwa kembalinya mereka ke Palestina adalah awal peperangan terpisah yang mencegah munculnya kejahatan di dunia. Sejak saat itu, dimulailah hukum al-malakut di bumi guna menjadikan bumi seperti surga Firdaus[48]

Sesungguhnya keyakinan akan kemunculan sang juru penyelamat merupakan pemikiran yang tertanam pada orang Yahudi dan terdapat pula  dalam kitab Taurat serta sumber-sumber agama yang diakui oleh mereka. Pembicaraan tentang keyakinan ini di kalangan orang Yahudi sangat banyak dan terperinci[49] 

Pemikiran tentang juru selamat, selanjutnya berkembang pada agama-agama samawi berikutnya. Seperti dalam agama Islam dan Nasrani. Dalam Islam, banyak cerita-cerita yang dimunculkan oleh orang-orang Yahudi masa Rasulullah dan sesudahnya, sehingga menjadi sebuah hadist. Maka, cerita tersebut yang dibingkai dalam hadist nabi dikenal dikalangan ulama Islam atau ah-lul hadist dengan sebutan “Israeliyat”. Suatu cerita yang di ada-adakan oleh mereka, Yahudi yang masuk Islam. Karena itu, Nabi Muhammad saw pernah mewanti-wanti, dengan kata-kata; ”apa yang datang dari Yahudi sebuah berita, janganlah engkau membenarkan dan jangan pula engkau mendustakan”.

Pemikiran munculnya juru selamat yang diyakini dalam agama Yahudi, merupakan mimpi yang indah akan kehadiran surga Firdaus muncul secara nyata di muka bumi. Mengapa demikian? Secara historis, perjalanan pengalaman keagamaan dan dalam kehidupan yang lain, mereka mengalami kehidupan yang penuh dengan penderitaan.[50] Karena itu, mereka mengharapkan juru selamat hadir langsung dihadapan mereka yang diutus oleh Tuhan. Dalam pandangan Yahudi, Musa dianggap sebagai juru selamat dari penindasan Fir’aun. Kejayaan Yahudi berakhir pada masa Sulaiman, setelah itu mereka terdiasporakan menjadi masyarakat yang dihadapkan kedalam, ketidak pastian dan ketidak berdayaan.[51] Mimpi ini, terulang kembali ketika Yahudi tidak memiliki apa-apa di dunia ini, (tidak memiliki tanah, negara dan bangsa) sehingga sosok juru selamat memang dibutuhkan untuk menolong mereka dari ketidak berdayaan dan ketidak pastian. Sekarang, mimpi mereka telah nyata, dan keyakinan ini mewarisi kedalam agama samawi selanjutnya ?

2. Juru Selamat Dalam Agama Nasrani

Keyakinan akan munculnya juru selamat dalam agama Nasrani, merupakan bagian  yang tak terpisahkan dalam ajaran mereka. Umat Nasrani yang percaya pada pokok pemikiran tersebut berlandaskan pada sejumlah ayat-ayat dan kabar gembira yang terdapat pada Injil dan Taurat. Para pendeta menjelaskan keimanan akan kepastian kembalinya Isa al-Masih di akhir zaman untuk memimpin manusia dalam revolusi besar dunia. Setelah itu, beliau menyelimuti dunia dengan keamanan dan keselamatan di muka bumi sebagaimana yang diucapkan Uskup Jerman, Fander, dalam bukunya Mizan al-Haqq, “sesungguhnya al-Masih membawa kekuatan dan pedang untuk mendirikan pemerintahan dunia yang adil.” Inilah keyakinan yang tersebar di berbagai kalangan Nasrani.[52]

Selanjutnya, dalam agama Nasrani, kemunculan Isa al-Masih sebagai juru selamat dunia, betul-betul mereka harapkan.

3. Imam Mahdi Dalam Ajaran Islam

Dalam al-Qur’an terdapat  kata imam (pemimpin) dan kata-kata haadi (petunjuk), jika digabungkan akan menjadi Imam Mahdi.

”Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.[53]

”Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka a,immah (pemimpin) dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”[54]

”Dan kami jadikan mereka a’immah (pemimpin-pemimpin) yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.”[55]

.”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.[56]

”Kami Telah menjadikan mereka itu sebagai aimmah (pemimpin-pemimpin) yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan Telah kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan Hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah”.[57]

 ”(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan Kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka Ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”[58]

Sedangkan kata-kata hadi yang terdapat dalam al-Qur’an diantaranya adalah;

”Orang-orang yang kafir berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tuhannya?” Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum  ada haadi (orang yang memberi petunjuk) ”.[59]

”Katakanlah: “Apakah di antara sekutu-sekuturmu ada yang yahdi (menunjuki) kepada kebenaran?” Katakanlah “Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran”. Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi yuhda (petunjuk?) Mengapa kamu (berbuat demikian)? bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”[60]

”Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi tahdi (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi yahdi (petunjuk) kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (muhtadin)”.[61]

”Dan kami jadikan di antara mereka itu aimmah (pemimpin-pemimpin) yang memberi petunjuk (yahduuna) dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami”.[62]

Dari narasi ayat diatas, kata-kata imam bila digabung dengan ayat-ayat lain yang menerangkan tentang hadi, yahdi atau muhtadin, maka akan menjadi ”imam mahdi”. Orang yang selalu memberi petunjuk kepada jalan yang benar, menegakkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Dengan demikian, dari narasi diatas untuk menjadi seorang imam mahdi tidak terbatas pada suatu kaum atau kurun tertentu sebagai mana diyakini oleh sebagian orang. Aka tetapi, imam mahdi itu akan ada sesuai dengan zamannya.

Jadi, jika para ulama pada zamannya ia mengajak masyarakat kepada kebenaran, menjelaskan tentang keadilan dan menegakkan kebenaran, maka ia disebut imam mahdi. Imam mahdi dalam ayat diatas, adalah bisa para nabi, para ulama, dan para pemimpin yang adil jujur dan menegakkan kebenaran.

 4. Imam Mahdi Pandangan Syi’ah

Dalam paparan ayat-ayat al-qur’an yang telah penulis kemukakan diatas, maka orang-orang Syi’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan imam dalam ayat tersebut adalah seseorang yang mengajak manusia di setiap zaman menuju pada jalan kebenaran atau kebatilan. Yang dimaksud imam kelompok pertama adalah imam adalah imam yang haq ditetapkan oleh Allah SWT untuk memberi petunjuk manusia dengan izin-Nya. Imam menjadi hujjah Allah atas mereka dan kelak ia akan menjadi saksi pada hari kiamat dan menjadi bukti Allah atas mereka. Baik imam tersebut adalah seorang nabi, seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad saw atau selain nabi seperti para washi.[63]

Untuk sekarang, siapa Imam Mahdi yang dimaksud kaum Syi’ah? Dalam pandangan kaum Syi’ah untuk sementara ini, menyatakan bahwa imam kita saat ini ada dalam masa kegaiban dan beliau sebatas yang diperlukan membangun bukti bagi manusia di masanya. Hal ini tanggung jawab imam meskipun dalam kegaiban.[64]

Menurut Ahmad Amin, pemahaman tentang al-Mahdi terdapat perubahan bahasa agama menjadi pengertian baru yaitu akan munculnya seorang imam yang ditunggu-tunggu, yang akan memenuhi bumi ini penuh dengan keadilan sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kecurangan. Selanjutnya ia berpendapat bahwa kelompok yang pertama-tama menggunakan pengertian yang terakhir ini adalah Syi’ah Kaisaniyah.[65]

Atas dasar itu, Imam Mahdi masih tetap ditunggu-tunggu oleh kelompok kaum Syi’ah. Masa penantian ini, mereka berdasar dari beberapa hadist nabi. Disamping itu, kemunculan Imam Mahdi suatu keniscayaan harus muncul dari ahl Bayt.

5. Imam Mahdi Pandangan Ahlussunnah

Dalam pandangan ahlussunah, pemahaman tentang Imam Mahdi terjadi polemik yang tidak menemukan titik temu. Hal ini, bukan saja untuk masa sekarang, akan tetapi sejak Islam masa lalu memperdebatkan yang tidak ada kesimpulan yang sama. Karena, hadist yang berkaitan dengan Imam Mahdi masih perlu dipertanyakan keabsahannya. Sebagaimana penulis kemukakan diatas, bisa jadi itu adalah masuk kedalam perangkap Yahudi, yang disebut dengan Israeliyat dalam hadist. Rasulullah saw selalu mewanti-wanti kepada umat Islam, untuk mewaspadai tentang; ”apa yang datang dari Yahudi jangan menyalahkan dan jangan membenarkan terlebih dahulu”.

Menurut Azyumardi Azra, hadist-hadist tentang al-Mahdi yang telah tersebar luas di kalangan umat Islam, baik itu berlatar belakang politik maupun non politik, boleh jadi adalah hasil rekayasa untuk kepentingan-kepentingan politik.[66]

C.Makna Nabi

1.  Nabi Secara Bahasa.

Nabi secara bahasa, pertama; ”al-naba” artinya kabar, berita atau keterangan. Kedua; ”al-nabiy’u” artinya tempat yang tinggi, jalan yang terang,  Ketiga; ”al-nubuwatu ”artinya kenabian, keempat; ”al-mutanabbi’u” mengaku menjadi nabi.[67]

Nabi dalam artian yang pertama dimaksudkan adalah orang yang membawa kabar atau berita dengan keterangan-keterangan yang jelas. Sedangkan Nabi, jika dilahat dari kedudukan arti yang kedua adalah orang yang memiliki kedudukan tinggi, mulia terhormat dengan membawa atau menunjukan jalan yang terang.

Sedangkan nabi dilihat dari sudut gelar arti yang ketiga, adalah orang yang memiliki gelar kenabian, yang diberikan Allah SWT kepada hamba pilihan-Nya. Sedangkan arti yang keempat, ialah orang yang mengaku sebagai nabi, dengan mencakup tiga unsur yang pertama diatas, yaitu; membawa  kabar gembira, berita, atau keterangan. Ia termasuk orang yang dimuliakan karena kehormatannya, dengan menunjukan jalan yang terang kepada orang lain. Adanya pengakuan sebagai nabi, baik oleh dirinya atau oleh orang lain.

Arti nabi diatas, jika disebutkan “al-nabi” tanpa hamjah terambil dari nabaa, yanbuu artinya tinggi. Atau bisa juga terambil dari al-nabiy dengan mengandung arti jalan. Karena itu, nabi secara bahasa adalah sebagai washilah (perantara) dan thariq (jalan) menuju kebenaran. Terdapat hubungan yang erat antara makna bahasa dengan kalimat nabi, karena arti asal dari kalimat nabi secara bahasa adalah mulia, kedudukan terhormat, dan tinggi. Jadi, nabi adalah orang yang memiliki kehormatan dari manusia lainnya, karena kesempurnaan jasmani dan kesucian ruhani.[68]

Adapun makna nabi dengan memakai hamjah “al-nabii’u” terambil dari fi’il “naba’a” mengandung makna hobar “anbaa’a” artinya berita. Karena itu, manbaa’ –isim maf’ul- yaitu berita dari Allah SWT. Dan munabi’u –isim fa’il- yaitu berita untuk manusia.[69]

Pengertian Ini, adalah nabi dalam artian bahasa. Jika dilihat dari sudut pandang bahasa saja, maka pengertian nabi tidak terputus sampai hari ini. Atas dasar arti nabi secara bahasa yang dikemukakan diatas, maka nabi bisa juga didefinisikan sebagai “otak umat pada zamannya.”[70]

Nabi semacam ini, jika ia berperan merubah keadaan zaman,  dan berfumgsi sebatas menyampaikan berita kebenaran kepada sesama manusia, maka bisa jadi,” ia hanya nabi fungsional”, derajatnya bukan nabi sebagaimana yang kita pahami secara istilah, akan tetapi memiliki derajat sebagai “wali.” Keistimewaannya, bukan atas dasar mukjizat dan wahyu, seperti Nabiullah, akan tetapi ia memiliki “karomah.”[71]

 Akan tetapi, bila berbicara nabi dalam artian dan pemahaman istilah, pintu kenabian sudah ditutup sampai kenabian Nabi Muhammad saw. Jadi tidak ada lagi nabi setelah nabi Muhammad saw.

Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyebutkan tentang kata-kata “nabi”. Untuk itu saya ambilkan beberapa contoh ayat yang menyebutkan nabi, yang maknanya bukan sebagai nabi syar’i, sebagai kenabian seperti nabi-nabi Allah yang menerima wahyu. Misalnya: 

1.“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,.”[72]

2.“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”.[73]

Ayat diatas mununjukan pengertian nabi dalam artian bahasa, yaitu ”nabi” artinya sebagai pembawa berita atau pembawa kabar. Jadi siapapun yang membawa kabar berita tentang kebenaran yang datang dari Allah, ia sebagai nabi. Arti ini, tidak dimaksudkan sebagai  nabi syar’i, seperti nabi-nabi Allah yang menerima wahyu. Jadi, nabi dalam artian bahasa ini, nabi secara umum yang membawa kabar dan atau berita tentang kebenaran.

Perhatikan kembali ayat berikut dibawah ini, yang menjelaskan tentang nabi secara bahasa.

3.“Maka tidak lama Kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini”.[74]

Dalam ayat diatas, yang berperan sebagai nabi adalah burung, karena ia berperan pembawa kabar atau pembawa berita tentang kerajaan negeri Saba. Ini menunjukan bahwa yang bisa berperan sebagai nabi, bukan saja manusia akan tetapi burungpun bisa berperan sebagai nabi. Sekali lagi harus diingat, ini adalah pengertian nabi dalam artian bahasa.

2..Nabi Secara Istilah.

Arti nabi secara istilah adalah; manusia, merdeka, yang memiliki kekhususan dari Allah SWT dengan menerima wahyu yang membawa hukum syar’i taklify.[75] Sedangkan makna Rasul dan Nabi, adalah setiap Rasul adalah nabi, dan tidak setiap nabi adalah Rasul.

Perbedaannya adalah Rasul diperintahkan untuk menyampaikan wahyu sedangkan nabi tidak diperintahkan menyampaikan wahyu. Karena itu, Rasul dibarengi dengan membawa atau diberi Kitab dan syari’at yang baru dan sebagai penyempurna dari syari’at sebelumnya. Disamping itu, berfungsi menghapuskan sebagian syari’at sebelumnya. Berbeda dengan nabi, ia berperan hanya melaksanakan dan mengajak dengan kitab dan syari’at sebelumnya. Seperti, nabi-nabi Bani Israel antara Musa sampai Isa.[76]

Perhatikan beberapa ayat dalam al-qur’an makna nabi secara istilah dibawah ini.

1.”Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain”.[77]

Ayat diatas, Allah SWT telah mengangkat sekian banyak Nabi Bani Israel, seperti Nabi Musa, Nabi Harun as dan lain-lain.[78] Nabi dalam pengertian ini dimaksudkan adalah nabi secara istilah yang diberikan kepada hamba-hamba Allah SWT pilihan.

2.”Mereka Itulah orang-orang yang telah kami berikan kitab, hikmat dan kenabian jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.”[79]

Ayat ini, menjelaskan bahwa Allah SWT memberikan penegasan sekali lagi, bahwa Nabi-Nabi yang berjumlah 18 orang itu akan mendapat hidayah Allah yang dijadikan sebagai pedoman dalam memimpin kaumnya masing-masing. Diantara mereka ada yang diberi Al-Kitab yang memuat pedoman-pedoman hidup di dalam memimpin kaumnya ke jalan yang benar serta kemampuan dalam memutuskan perkara-perkara yang terjadi diantara kaumnya, seperti Nabi Ibrahim, Musa, Isa dan Daud as.[80]

3.”Dan kami anugrahkan kepda Ibrahim, Ishak dan Ya’qub, dan kami jadikan kenabian dan Al Kitab pada keturunannya, dan kami berikan kepadanya balasannya di dunia[81]; dan Sesungguhnya dia di akhirat, benar-benar termasuk orang-orang yang saleh”.[82]

4.”Dan Sesungguhnya telah kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan kami berikan kepada mereka rezki-rezki yang baik dan kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya).”[83]

5.”Dan Sesungguhnya kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka fasik”.[84]

”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[85]

Ayat-ayat yang dikemukakan diatas, menerangkan tentang arti Nabi secara istilah atau syar’i. Dan Nabi Muhammad sebagai penutup dari Nabi-Nabi terdahulu. Jadi secara istilah tidak ada lagi manusia yang menjadi nabi, sekalipun ia termasuk orang yang sholeh, mulia memiliki kedudukan, membawa kabar, menunjuki kejalan yang lurus, benar dan terhormat. Karena pintu kenabian sudah berakhir pada Nabi Muhammad SAW.

A. Kondisi budaya dan keberagamaan

Untuk mengawali pembahasan kondisi budaya dan keberagamaan masyarakat India, lebih bijak penulis meminjam dulu ungkapan Max Muller yang dikutif oleh Huston Smith seorang sarjana yang menggeluti agama-agama manusia. Dibawah ini kami sajikan sebagai berikut:

”Jika saya ditanya, dibawah langit manakah pikiran mansia…. telah merenungkan masalah-masalah terbesar dalam kehidupan ini secara sangat mendalam, dan telah menemukan jawaban yang pantas diperhatikan mengenai beberapa masalah terbesar tersebut, bahkan oleh mereka yang telah mempelajari Plato dan Kant, saya harus menunjuk ke India. Dan jika saya  menanyakan kepada diri saya sendiri, dari sumber tulisan manakah, kita…..yang hampir secara khusus dibesarkan dalam pemikiran orang Yunani dan Romawi serta dalam pemikiran ras Semit, yaitu orang Yahudi, dapat memperoleh dasar-dasar perbaikan yang amat diperlukan untuk membuat kehidupan rohani kita lebih sempurna, lebih menyeluruh, lebih univesal, bahkan lebih merupakan hidup yang sungguh-sungguh manusiawi, bukan hanya untuk hidup sekarang saja, tetapi juga untuk hidup abadi dan yang telah diubah, sekali lagi saya harus menunjuk ke India”. [86] 

Dari narasi diatas yang diungkapkan oleh Max Muller, menunjukan bahwa India merupakan suatu ras yang subur dengan pemikiran manusia yang melahirkan; budaya. Dari budaya setempat ini, mendorong tumbuh subur suatu agama dan mitos. Agama, dalam masyarakat India akan lebih diterima, termasuk Islam. Selanjutnya agama, (agama apa saja), di masyarakat India  bercampur baur atau  terjadi sinkretisme, sehingga memunculkan wajah baru dari agama itu sendiri. Di masyarakat India, agama Samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam) hampir sulit menemukan agama samawi yang utuh. Semua agama samawi yang masuk ke India selalu tercampur baur dengan budaya lokal. Jadi, tidak heran, Ahmadiyah tumbuh subur berawal mula dari tanah India yang merupakan hasil dari proses percampuran Islam dan budaya setempat.

Penulis mengajak pembaca sejenak, mari kita melihat sejarah peradaban manusia masa lampau. India, merupakan tanah subur dari peradaban manusia. Seandainya tidak ada India, maka peradaban manusia selanjutnya akan kering dan hampa. Peradaban Yunani, yang muncul kemudian tidak terlepas dari akar peradaban India.

Plato, Aristoteles, Socrates, bahkan kalau diurut sampai ke Anaximandros dan Anaximenes mereka sangat terpengaruhi oleh budaya dan peradaban India. Karena itu, India sangat subur dengan pemikiran-pemikiran dan sekaligus penuh dengan mitos-mitos.

Agama, selanjutnya sangat diterima masyarakat India, karena penuh dengan janji dan harapan manusia, ketika manusia,”menghadapi ketidak berdayaan dan ketidak pastian”.

Agama yang terdapat di India pada masa munculnya aliran Ahmadiayah yaitu; pertama; Hindu, yang merupakan agama resmi negara, yang muncul hasil dari karsa, cipta dan rasa masyarakat India.

Kedua; Nasrani, agama yang dibawa oleh bangsa penjajah terutama Inggris. Ketiga; Yahudi, agama ini hadir di India dengan berbagai bentuk, yang menyesuaikan dengan budaya dan agama lokal, sehingga mudah diterima oleh masyarakat India. ”Di India orang-orang Yahudi banyak mengawini wanita-wanita Hindu sehingga menimbulkan Yahudi India yang berkulit coklat atau sawo matang.

 Di India, orang-orang Yahudi India banyak yang tertarik pada mistik; mereka menghimpun gerakan kebatinan Teosofi dengan pusatnya antara lain di Adyar, Madras dan Amritsar”.[87] Keempat Islam, agama ini pernah berjaya di India dengan kerajaan Mughal.

Keempat agama yang dikemukakan penulis diatas, tidak terlepas dari budaya lokal yang lebih cenderung kepada kehidupan mistik. Islam hadir di India, tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh lokal ini, sehingga masyarakat Islam India lebih cendeung kedalam kehidupan mistik. Bisa jadi, ajaran Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad, berawal dari pengaruh mistik India dan Tasawuf Islam yang berkembang saat itu.

Ini adalah baru hipotesis yang perlu dibuktikan kebenarannya. Dugaan tersebut, segera didukung dan bisa menjadi benar dari sudut pandang pengaruh tasawuf atau mistik saat itu.

Hal ini dibenarkan atas dasar hasil penelitian seorang Guru Besar Universitas Al-Azhar, ahli Agama-agama Dunia. Ia berkesimpulan salah satu penyebab lahirnya ajaran Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad adalah akibat dari pengaruh Tasawuf yang berkembang pada waktu itu. ”Untuk mengungkap faktor-faktor munculnya ajaran Ahmadiyah, terdapat pendapat beberapa ahli sarjana, salah satu diantaranya adalah, konsekwensi logis dari praktek tasawuf yang dilakukan oleh seorang Muslim sufi, yaitu Mirza Ghulam Ahmad Qodiyani”.[88]

Jadi, kondisi masyarakat India sangat memungkinkan dengan lahirnya ajaran baru, yaitu ajaran Ahmadiyah. Terdapat beberapa hal yang mendukung dalam faktor ini.

Pertama; masyarakat India yang agamis, tapi (penuh dengan sinkretis) dengan budaya lokal.

Kedua; masyarakat yang gemar terhadap mistik. Dalam ajaran Hindu terdapat ajaran tasawuf atau mistik India, dan dalam Islam-pun terdapat ajaran tasawuf. Dari masing-masing agama ini memiliki kemiripan dalam ajaran tasawuf, maka masyarakat India menggabungkan kedua ajaran ini yang dipraktekan oleh Mirza Ghulam Ahmad.

Ketiga; masyarakat India sangat menghormati atau mengidolakan seorang tokoh yang dijadikan sebagai panutan dan sekaligus dianggap sakral, karena itu, Mirza Ghulam Ahmad dianggap sosok yang cocok. Hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Thoha, ”faktor yang mendorong munculnya ajaran Ahmadiyah adalah; kondisi masyarakt India dan juga sosok idola yang dijadikan sebagai penutan masyarakat India yaitu Mirza Ghulam Ahmad” .[89]

Dari uraian diatas, diduga terdapat hubungan yang sangat signifikan antara; ”pengaruh tasawuf yang dipraktekan masyarakat India terutama yang dilakukan Mirza, terhadap berdirinya ajaran Ahmadiyah di India yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad”.

Jadi jika penulis ditanya, dari manakah ajaran Ahmadiyah yang mucul di Indonesia? Penulis harus menunjuk berawal dari India… bukan dari Mekkah, bukan dari Madinah (tanah suci umat Islam).

 Jika penulis ditanya, siapakah pendiri dan pembawa ajaran Ahmadiyah? Penulis harus menunjuk Mirza Ghulam Ahmad dari Qadiyani, bukan Muhammad SAW dari Mekkah.

Jika penulis ditanya, faktor apa yang mempengaruhi Mirza Ghulam Ahmad untuk mendirikan ajarannya, ”Ahmadiyah”? Maka, penulis segera menyebutkan faktor budaya yang penuh dengan mistik yang dikemas dengan agama. Atau bisa jadi, agama dikemas dengan mistik yang berkembang saat itu. Pembaca, boleh jadi tidak setuju dengan faktor ini.

Tapi, penulis segera menunjuk faktor lain yang bisa mempengaruhi Mirza Ghulam Ahmad untuk memproklamirkan ajarannya. Karena itu simak lagi dibawah ini yang bisa dipercaya sebagai otak di balik ajaran Ahmadiyah. Yaitu, ” Penjajahan Inggris”.

B. Penjajahan Inggris

Di atas, penulis telah kemukakan salah satu faktor munculnya ajaran Ahmadiyah, adalah pengaruh  dari spritualitas India atau pengamalan tasawuf yang dikemas dengan budaya India. Faktor lain atau faktor kedua, adalah kepentingan Barat dalam hal ini penjajah Inggris di India.

Barat, sangat berkepentingan untuk memecahkan umat Islam dan melepaskan aqidah Islam yang benar. Karena itu, Inggris sangat berkepentingan memecah umat Islam dan menyimpangkan ajaran Islam otentik. Tujuannya, demi kepentingan penjajah Inggris berkuasa di India.

Penjajahan Inggris di India, menyebabkan kemunduran dan kejumudan umat Islam dalam bidang; politik, pendidikan bahkan umat Islam India menjadi taklid buta, terpecah-pecah dan menjadi bingung dalam aqidah Islam saat itu.

Hasil penelitian (Disertasi), Iskandar  Zulkarnaen, menyebutkan:

 ”sesudah India menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap umat Islam yang sangat tradisional dan fatalistis, dengan disertai semangat anti pati dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat, menyebabkan mereka semakin terisolasi. Keadaan umat Islam India ini semakin buruk terutama sesudah terjadinya pemberontakan Mutiny tahun 1857 M. Dengan demikian, Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan pembaharuan dalam Islam, lahir di India pada akhir abad ke-19 dengan latar belakang kemuduran umat Islam India di bidang agama, politik, sosial politik, ekonomi dan bidang-bidang kehidupan lainnya terutama setelah pecahnya revolusi India tahun 1857 M yang berakhir dengan kemenangan East India Company dan dijadikan India sebagai salah satu koloni Inggris yang terpenting di Asia ”.[90]

Thoha menyebutkan, ”pada tahun 1869M. datanglah utusan Kerajaan Inggris yang terdiri dari berbagai sarjana dan ahli dalam bidang agama. Mereka datang ke India untuk mempelajari kondisi sosial kemasyarakatan India, adat istiadat, budaya dan agama yang dianut masyarakat. Setelah mempelajari, mereka kembali ke Inggris pada tahun1870 M. Dengan menyimpulkan;

”bahwa mayoritas Muslim India memiliki thabi’at sebagai muslim yang panut kepada pimpinan yang di tokohkan secara membabi buta. Kemudian kami dapatkan terdapat seorang muslim yang siap untuk dijadikan sebagai seorang tokoh yang akan diidolakan oleh mereka, dan dia siap untuk menganggap dirinya sebagai nabi, dan hal ini memungkinkan tercapainya ketamakan Inggris di India”.[91]

Untuk mendukung pernyataan Thoha diatas, penulis kemukakan lagi hasil penelitian dari Husain an-Nadwi, ia mengatakan;

”semangat keagamaan benar-benar diperhitungkan oleh pemerintah Inggris. Kemudian bangsa Inggris melihat propaganda Sayyid Jamaluddin Al-Afghani tersebar luas di dunia Islam. Kesemuanya itu dilihat dan dipelajari oleh pemerintah Inggris, dan dia mengetahui bahwa tabi’at kaum muslimin adalah tabi’at religious, agamalah yang membangkitkan tabi’at mereka, dan agama pulalah yang memingitnya; dan bahwa kaum muslimin tidaklah didatangi kecuali dari jihad aqidah dan pemuasan religious serta apa-apa yang mempunyai ciri-ciri religious. Dan akhirnya dia merasa puas bahwa tiada sesuatupun yang lebih besar pengaruhnya pada kaum muslimin dan hasrat keinginan mereka daripada bangkitnya seorang tokoh dari kalangan mereka atas nama pangkat keagamaan yang tinggi, dan menghimpun disekelilingnya kaum muslimin dan berkhidmat kepada politik Inggris, serta menyelamatkan mereka dari gangguan muslimin dan dendam kusumat mereka. Dan dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiayani orang yang berfikiran dan beraqidah kacau dan berambisi untuk mendirikan agama baru …..”.[92] 

Muhammad Ashim  mengatakan, banyak para ulama yang mendapat informasi, bahwa lelaki itu,[93] sebenarnya tidak mempunyai keinginan, kecuali untuk membuat sebuah toko semata. Andai ada orang lain yang mampu membayarnya dengan jumlah yang lebih besar, maka ia akan mendukungnya, meskipun dengan melakukan pelanggaran terhadap Islam. Dan memang seperti itulah yang dikatakan oleh para ulama. Sebab, pada waktu itu, penjajah Inggris membutuhkan orang yang dapat memporak-porandakan kekuatan kaum Muslimin. Sehingga sang penjajah ini mencari orang dari kalangan kaum Muslimin untuk diperalat. Tatkala sudah mendapatkannya, kolonial ini akan memanfaatkan semaksimal mungkin. Demikian yang terjadi dengan Mirza Ghulam Ahmad. Oleh karena itu, ia penuhi kitab volume ketiganya dengan pujian-pujian kepada kolonialis Inggris.

Perhatikan pengakuannya dalam volume tersebut, tatkala ia menghadapi penentangan dari kaum Muslimin Dia menyatakan, ada sebagian orang dari kalangan kaum Muslimin yang menulis kepadaku, mengapa engkau memuji penjajah Inggris dalam volume ketiga? Mengapa engkau berterima kasih kepada pemerintah Inggris? Sebagian kaum muslimin mencaci-maki dan mecelaku karena sanjungan ini. Hendaknya setiap orang mengetahui, bahwa aku tidak memuji pemerintah Inggris, kecuali berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. [Barahin Ahmadiyah, vol.4]

Ringkasnya, penjajah telah memanfaatkannya dengan memberikan segala yang berharga untuknya karena pengkhianatannya kepada agama dan umat Islam. Persis seperti ayahnya yang dahulu juga berkhianat, tetapi kepada negeri India dan penduduknya. [94]

Dari uraian diatas, penjajah Inggris yang didukung oleh para team ahli berhasil membuat agama baru yang merupakan sinkretisme dari Islam dan budaya lokal India, yang menjelma sebagai ajaran Ahmadiyah. Keberhasilan para team ahli tersebut diantaranya adalah:

    • Menciptakan seorang tokoh yang dianggap sebagai panutan Muslim India;
    • Berhasil menghasut kaum Hindu India, bahwa orang Islam India dianggap bukan warga India;
    • Berhasil menciptakan rasa bingung dan gelisah muslim India;
    • Berhasil menciptakan ajaran baru (Ahmadiyah);
    • Berhasil menjadikan Qodiyani sebagai tanah suci Ahmadiyah dan;
    • Berhasil menciptakan nabi baru, Mirza Ghulam Ahmad.

Dalam bagian ini, diduga terdapat beberapa versi yang melatar belakangi terhadap berdirinya ajaran Ahmadiyah. Dibawah ini penulis kemukakan, diataranya adalah:

Versi pertama, kemunduran umat Islam. Umat Islam di seluruh dunia pada waktu itu, mengalami kejumudan dalam berbagai hal. Dari segi politik, kelemahan kekhalifahan Turki Ustmani berimbas terhadap kekuatan politik Islam Mughal di India. Zulkarnaen menyebutkan, ”ketika dinasti Mughal memasuki zaman kemunduran dan umat Islam sendiri pemikirannya statis, sikap dan prilakunya konservatif. Keadaan demikian telah menggugah dan menyadarkan pemimpin-pemimpin Islam di India akan kelemahan umat Islam untuk dikaji dan dicari pemecahannya. Dan dalam situasi seperti ini, diperlukan pembaharuan dalam pemikiran”.[95]

Dari kelemahan umat Islam India ini, muncul seorang tokoh sebagai pembaharu, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Hal ini, dikemukakan oleh H.A.R. Gibb, yang menyebutkan, ”gerakan Ahmadiyah mengawali sebagai gerakan pembaharuan yang bersifat liberal dan cinta damai, dengan maksud menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam yang lama. Pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad”.[96]

Jadi dalam versi ini, pada awalnya Ahmadiyah dikelompokan kedalam gerakan pembaharu. Jika demikian, maka bukanlah sebagai sekte dalam Islam. Ia, seperti layaknya gerakan pembaharuan di negara-negara Islam lainnya. Akan tetapi, label sebagai gerakan pembaharuan ini, segera sirna ketika sang pendiri ajaran ini, ”menyatakan  dirinya tidak hanya sebagai Mahdi Islam dan Messiah (Al-Masih) bagi umat Kristen tetapi juga sebagai avatar (inkarnasi) Krishna. Setelah dia meninggal pada tahun 1908 tokoh-tokohnya yang lebih liberal memisahkan diri dan secara berangsur-angsur meninggalkan semua ciri yang membedakan mereka dari kelompok Muslim liberal yang biasa, termasuk meninggalkan mantan nabi[Mirza Ghulam Ahmad] mereka”..[97] 

Dalam versi pertama ini, dibalik ajaran Ahmadiyah, pemerintah Inggris tidak terlibat langsung sebagai otak dari pendirian ajaran Ahmadiyah. Akan tetapi yang bisa dimungkinkan adalah, justru kemunduran umat Islam dalam berbagai hal. Dan, Mirza Ghulam Ahmad dengan semangat ke-Islaman modern berhasrat mengejar ketinggalan umat Islam, dengan cara-cara yang bijak dan damai.

Versi kedua; rekaya Inggris untuk memuluskan jajahannya di India. Jadi jika ditanya, siapa yang mempersiapkan Mirza Ghulam Ahmad untuk menjadi seorang nabi…..maka kita segera menunjuk Penjajah Inggris yang berkuasa di India, untuk kepentingan pemerintah atau kerajaan Inggris. Penjajah Inggris, untuk mencapai ketamakan di negeri India, tidak hanya mempersiapkan seorang tokoh yang akan diidolakan masyarakat muslim. Akan tetapi, penjajah Inggris menyulut kaum Hindu, ”bahwa kaum muslimin di India bukanlah termasuk warga negara India. Mereka dianggap kurang memiliki rasa nasionalisme terhadap negara India. Karena orang-orang Islam secara ikatan emosional dan peradaban terikat dengan Arab, dengan memiliki seorang nabi yang berasal dari Arab, menghadap ke Mekkah (ka’bah) setiap hari lima kali, dan itu semua di luar India. Mereka melakukan haji ke Mekah bukan di India”.[98]

Karena itu, perlakuan Inggris terhadap umat Islam, berbeda dengan Hindu. Dengan alasan, ”Sebagaimana diketahui, kaum Hindu di bawah pemerintahan kolonial Inggris, lebih bersikap kooperatif daripada umat Islam, karena itu sikap non-kooperatif umat Islam saat itu semakin memojokan posisi mereka serta membawa kedalam situasi keterasingan di negeri sendiri. Selain itu mereka semakin tenggelam kedalam keterbelakangan dan perselisihan dengan sesama umat Muslim, karena khilafiah di satu pihak dan dipihak lain hubungan diantara mereka terutama mereka yang telah mendapatkan pendidikan sistem Barat, semakin jauh jarak yang memisahkannya”.[99]

Atas dasar hasutan penjajah Inggris, maka kaum muslimin India merasa jiwa tertekan, terancam oleh mayoritas Hindu India. Dalam keadaan kegelisahan dan kebingungan Muslim India, maka munculah seorang tokoh yang diidolakan. Seorang tokoh ini, telah dipersiapkan oleh penjajah Inggris. Efeknya, adalah Thoha[100] menyebutkan, ”Ahmadiyah India sekarang menganggap dirinya sebagai umat yang terpisah dan memiliki kekhususan tersendiri. Dan tidak lagi keterikatan dengan Arab. Ahmadiyah menganggap tanah Qodiyani seperti Mekah di tanah Arab, yang merupakan pusat kegiatan spritual”.

Dalam versi ini, jika ditanya siapa di balik Ahmadiyah? Segera kita jawab, “Penjajah Inggris” sangat berjasa dalam memunculkan dan memuluskan ajaran Ahmadiyah untuk berkembang. Penjajah Inggris, dengan memakai cara adu domba diantara; umat Islam India dan umat Hindu, serta intern umat Islam, maka terjadilah perpecahan yang bersifat sentimen keagamaan. Islam dianggap bukan asli dari India, dituduh sebagai pendatang yang dikategorikan tidak memiliki rasa nasionalisme ke-India-an. Karena itu, perpecahan terjadi antara Islam-Hindu. Model penjajah Inggris semacam ini, pernah dilakukan di Indonesia oleh Penjajah Belanda untuk mengadu-dombakan rakyat Indonesia, yang disebut dengan, ”de vide et impera”.

Mirza Ghulam Ahmad, dimunculkan sebagai pembawa perdamai diantara masyarakat India, sebagai pembawa solidaritas sesama manusia penganut Islam dan penganut Hindu. Karena itu, Mirza Ghulam Ahmad mengawali sebagai pembawa, ”gerakan pembaharuan yang bersifat liberal dan cinta damai.[101]

 Atas dasar perdamaian yang ditonjolkan Mirza Ghulam Ahmad, maka tidaklah heran jika ia akan selalu mengulang-ulang ucapannya. ”Mirza Ghulam Ahmad, menyatakan dirinya tidak hanya sebagai Mahdi bagi umat Islam dan Messiah [Al-Masih] bagi Kristen tetapi juga sebagai avatar (inkarnasi) Krisna,”[102] bagi umat Hindu.

Dengan berbeda-bedanya ucapan Mirza tersebut, ia mengharap tujuannya bisa tercapai. Tujuan yang dikehendaki adalah; pertama tujuan keduniaan. Dimaksudkan ia akan memperoleh segala kemewahan duniawi yang akan diberikan Pemerintah Inggris kepadanya.[103]

Kedua, tujuan dalam spritual. Dimaksudkan, ia akan segera memperoleh gelar kenabian yang ia gembor-gemborkan kesetiap yang dijumpainya, dengan kekuatan politik pemerintah Inggris, dan dukungan ilahi berupa ilham yang ia klaim.

Karena itu, pengakuan Mirza Ghulam Ahmad, ia mengatakan;

”tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan di antara hamba dan Khalik-nya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepada Allah. Dan dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama, sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang telah dilupakannya selama ini”.[104]

Dari paparan diatas, nampak jelas bahwa dibalik Mirza ada pesan yang harus disampaikan kepada umat pada waktu itu, adalah perdamaian.  Jihad Islam dianggap oleh pemerintah Inggris sebagai kekerasan yang menghambat kelancaran penjajah Inggris di India. Umat Islam, tidak perlu bertindak kekerasan dalam memanifestasikan ajarannya, berupa jihad. Akan tetapi, umat Islam hanya cukup bertindak damai dan mengadakan hubungan dengan Tuhan dengan cara yang damai pula.

Dan dirinya menganggap sebagai pembawa kebenaran. Maka, dalam hal ini, Mirza Ghulam Ahmad pernah berkata: ”berkenaan dengan itu, di dalam alam kasyaf saya melihat suatu tangan secara ghaib menyentuh tempat kediaman saya. Akibat sentuhan tangan tersebut, dari tempat kediaman itu muncul cahaya yang berbinar-binar dan menyebar ke sekeliling dan sinarnya juga menerpa tangan saya. Lalu, seseorang yang berdiri di samping saya berseru dengan suara yang membahana: ”Allah Maha Besar, binasalah sudah khaibar”. Adapun ta’biatnya ialah, yang dimaksud dengan tempat kediaman adalah hati saya, yang menjadi tempat turun dan hinggapnya nur. Dan nur itu adalah makrifat-makrifat Quraniyah.

Sedangkan yang dimaksud dengan Khaibar adalah semua agama rusak yang telah dicampuri syirik dan kebatilan, yang menempatkan seseorang manusia pada kedudukan Tuhan atau menjatuhkan sifat-sifat Tuhan dari kedudukan-kedudukannya yang kamil. Jadi, kepada saya telah diperlihatkan, setelah artikel saya tersebar luas, akan terbukalan tirai kedustaan agama-agama palsu, lalu hari demi hari kebenaran al-Qur’an akan tersebar luas ke seluruh permukaan bumi, hingga akhirnya mencapai tujuan.

Kemudian dari kondisi kasyaf itu saya dialihkan pada ilham, lalu turunlah ilham kepada saya: ”Allah beserta engkau, Allah berdiri dimana engkau berdiri.” Ini merupakan ungkapan dukukngan Ilahi”.[105]

Versi ketiga; kecemasan Inggris atas semangat jihad di dunia Islam. Semangat jihad menggelora dimana-mana. Umat Islam siap berjuang demi mempertahankan agama dan negara atas nama ”jihad”. An-Nadwi,[106] menyebutkan:

 ”telah terbukti secara historis bahwa Ahmadiyah adalah anak dari politik Inggris. Bangsa Inggris dicemaskan oleh gerakan pejuang terkenal Sayyid Imam Ahmad ibn Irfan, yang gugur sebagai sahid (1246 H) dan bagaimana ia mengobarkan api jihad dan fida’ (menuntut bela), dan meniupkan ruh semangat Islam dalam dada kaum muslimin pada perempat pertama abad ke 19 M. Dan pula bagaimana terhimpun disekelilingnya propagandis-propagandisnya beribu-ribu kaum muslimin yang menyebabkan pemerintah Inggris mengalami kesulitan yang hebat”.

Kecemasan Inggris ini, dalam menghadapi para Mujahid, dengan jihadnya kaum muslimin ditanah jajahannya. Karena itu, melalui corong Mirza Ghulam Ahmad, supaya konsep jihad dihapus dalam ajaran Islam. Ghulam Ahmad, menyebutkan dalam permohonan yang diajukan kepada Gubernur Inggris, kesetiaan dan apa yang dikerjakan buat pemerintah ini:

 ”Aku telah menggunakan sebagian besar umurku untuk mendukung dan membantu pemerintah Inggris dan pula aku telah mengarang untuk mencegah jihad dan mewajibkan ketaatan kepada penguasa Inggris kitab-kitab dan selebaran-selebaran yang sangat banyak jumlahnya yang kalau dihimpun niscayalah memenuhi 50 buah lemari, dan pula aku telah menyebar luaskan kitab-kitab ini di negara-negara Arab, Mesir, Syiria, Kabil dan Rumawi”.[107]

Mirza Ghulam Ahmad, ditempat lain ia berkata: ”sejak masa dahulu –kini aku hampir berusia 60 tahun- aku senantiasa berjuang dengan lisan dan penaku untuk memalingkan kaum muslimin kepada ikhlas dan cinta terhadap pemerintah Inggris dan aku menghapus konsep  ”jihad” yang dianut oleh sebahagian dari kaum muslimin yang tolol dan yang mencegah mereka untuk taat kepada pemerintah Inggris”.[108]

Dari keterangan diatas, nampaknya Mirza Ghulam Ahmad merupakan kaki tangan penjajah Inggris di bumi India. Kesetiaannya kepada pemerintah Inggris menghapuskan rasa idealisme ke-islaman sejati, terbukti dengan tidak ragu Mirza Ghulam Ahmad atas kenabian yang ia sandang konsep jihad dibatalkan demi pemerintah Inggris.

C. Kepribadian dan Pewahyuan Mirza Ghulam Ahmad

Jika kita ingin mengenal lebih dekat ajaran Ahmadiyah, maka kenalilah terlebih dahulu sosok dan atau kepribadian Mirza Ghulam Ahmad. Karena itu, pribahasa mengatakan, ”Kenalilah aku, niscaya kau akan mengetahui”.

Jadi, jika ingin mempelajari Ahmadiyah, maka alangkah bijaknya mengetahui kepribadian Mirza Ghulam Ahmad. Kepribadian ini, sangat mendorong munculnya ajaran Ahmadiyah.

Dari keterangan yang penulis peroleh, menurut para ahli sejarah, ”bahwa Mirza Ghulam Ahmad diketahui bukanlah asli dan berasal dari keluarga yang berketurunan India. Bukan pula yang berasal atau memiliki ikatan emosional dengan bangsa India”.[109]

Mengenai sosok asli Mirza Ghulam Ahmad para ahli sejarah berbeda pendapat, apakah ia asli India atau bukan. Terdapat sebagian para ahli mengatakan  Mirza Ghula Ahmad berasal dari Qadiyani. Muncul belakangan yang mengatakan berasal dari Persia, kemudian ada yang beranggapan berasal dari Mongolia keturunan Parlas.

 Atas dasar perbedaan tersebut diatas bisa jadi sosok dan kepribadian Mirza Ghulam Ahmad, sampai hari ini belum jelas secara pasti dari mana ia berasal. Tapi, walaupun berbeda pendapat menganai sossok Mirza Ghula Ahmad, ia tumbuh dan dewasa serta memulai menyebarkan ajarannya berawal dari tanah Qadiyani, India.

Thoha Dasuqy,[110] menyimpulkan bahwa sosok Mirza Ghulam Ahmad, sebagai berikut:

1) diketahui, bahwa keluarga Mirza Ghulam Ahmad  berasal dari ras yang bukan dari ras India, sebagaimana yang kita ketahui. Pendapat ini, tidak perlu kita perdebatkan lebih panjang lebar tentang keluarga dan kepribadiannya, sekalipun diketahui bukan berasal dari India;

2) diketahui, setelah Mirza Ghulam Ahmad mengaku mendapatkan ilham dan atau bahkan menjadi nabi, ia sangat bersemangat dan berkepentingan untuk mengakui, bahwa dirinya berasal dari keluarga yang berketurunan dari Persia asli. Mengapa demikian, terdapat kepentingan selanjutnya. Setelah diteliti secara mendalam, terdapat hadist-hadist syi’ah  maudlu yang mengabarkan bahwa Imam Mahdi yang akan muncul akhir zaman, yang akan membawa “nur dan keadilan” akan muncul dari  ras atau bangsa Persia. Jadi tidaklah heran, bahwa Mirza Ghulam Ahmad, memelintirkan hadist-hadist maudhu syi’ah untuk membangun agama atau ajaran Ahmadiyah;

3)  para ahli sejarah berpendapat, bahwa Mirza Ghulam Ahmad, diduga terdapat hubungan emosional antara keluarga Mirza dengan rakyat India, secara khusus dengan masyarakat Punjab.

 Versi lain, Mirza Ghulam Ahmad[111] menurut pengikut Ahmadiyah, pada tahun 1835, di sebuah desa bernama Qadian, di daerah Punjab, India, lahir seorang anak laki-laki bernama Ghulam Ahmad yang kemudian diagungkan sebagai seorang mujaddid dari zaman ini[112] oleh para pendukungnya. Orang tuanya Muslim dan ia tumbuh dewasa menjadi seorang Muslim yang luar biasa. Sejak awal kehidupannya, Mirza Ghulam Ahmad sudah amat tertarik pada telaah dan khidmat agama Islam. Ia sering bertemu dengan individual Kristiani, Hindu ataupun Sikh dalam perdebatan publik, serta menulis dan bicara tentang mereka. Hal ini menjadikan lingkungan keagamaan menjadi tertarik kepadanya dan ia dikenal baik oleh para pimpinan komunitas.

Mirza Ghulam Ahmad mulai menerima wahyu Ilahi[113] sejak usia muda dan dengan berjalannya waktu maka pengalaman perwahyuannya berlipat kali secara progresif. Setiap wahyu yang diterimanya kemudian terpenuhi pada saatnya, sebagian di antaranya yang berkaitan dengan masa depan masih menunggu pemenuhannya. Dakwahnya menyatakan diri sebagai Imam Mahdi[114] dan Masih Mau’ud (al Masih) dilakukan di akhir tahun 1890, dan dipublikasikan ke seluruh dunia. Pernyataannya, seperti juga halnya para pembaharu Ilahiah lainnya seperti Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW, langsung mendapat tantangan luas. Sebelum menyatakan dirinya sebagai Masih Mau’ud, Allah SWT telah menjanjikan kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui wahyu bahwa:

  “Aku akan membawa pesanmu sampai ke ujung-ujung dunia”.Mirza Ghulam Ahmad  

Wahyu ini memberikan janji akan adanya dukungan Ilahi dalam penyebaran ajaran Jemaat yang telah dimulainya di dalam Islam. Mentaati perintah Tuhan, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Al-Masih bagi umat Kristiani, sebagai Imam Mahdi bagi umat Muslim, sebagai Krishna bagi umat Hindu, dan lain sebagainya. Jelasnya, ia adalah “Nabi Yang Dijanjikan” bagi masing-masing bangsa, dan ditugaskan untuk menyatukan umat manusia di bawah bendera satu agama. Nabi Muhammad saw sebagai nabi umat Islam adalah seorang nabi yang membawa ajaran yang bersifat universal; dan sosok Mirza Ghulam Ahmad yang menyatakan diri sebagai al Masih yang dijanjikan juga menyatakan dirinya tunduk dan menjadi refleksi dari Muhammad, Khataman Nabiyin. Menjelaskan tentang tujuan diutusnya wujud Masih Mau’ud, ia menjelaskan[115]:

  “Tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan di antara hamba dan Khalik-nya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepada Allah. Dan dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama, sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang telah dilupakannya selama ini. Begitu juga aku akan menunjukkan kepada dunia makna kehidupan keruhanian yang hakiki yang selama ini telah tergeser oleh nafsu duniawi. Dan melalui kehidupanku sendiri, memanifestasikan kekuatan Ilahiah yang sebenarnya dimiliki manusia namun hanya bisa nyata melalui doa dan ibadah. Di atas segalanya adalah aku harus menegakkan kembali Ketauhidan Ilahi yang suci, yang telah sirna dari hati manusia, yang bersih dari segala kekotoran pemikiran polytheistik” (Mirza Ghulam Ahmad).

Dalam Kitab ”Al-milal wa al-Nihal”, disebutkan; Ahmadiyah disebut juga sebagai gerakan Qadiyaniyah, yang berasal dari kota Qadian, di India. Gerakan ini, disebut juga dengan ”Ahmadiyah” yang dinisbatkan kepada seorang tokoh ”Mirza Ghulam Ahmad”, yang disebut juga sebagai ”Ahmad” nabi alaihissalam. Mirza Ghulam Ahmad lahir pada tahun 1835 M di kota Qadian. Sejak kecil, ia belajar al_qur’an dan hadist, ia juga selalu befikir sesuatu yang berkaitan dengan masalah-masalah agama.[116]

Pada tahun 1344H/1897 M. Ghulam Ahmad mengirim surat kepada para ulama India dan kepada ulama-ulam negara Islam lainnya, yang isinya; ”sesungguhnya Allah telah mengutus-aku sebagai pembaharu diawal abad ini, dan aku dikhususkan untuk memperbaiki kemaslahatan umat. Aku dianugrahi ilmu-ilmu dan pengetahuan untuk memperbaiki umat ini.[117]

D. Yahudi Internasional

Barangkali, para pembaca akan meragukan bila ada pernyataan, dibalik Mirza Ghulam Ahmad itu adalah terdapat gerakan Yahudi Internasional. Untuk itu, penulis ingin mengajak pembaca melacak kebenaran tersebut.

Gerakan Yahudi Internasional berhasil menciptakan agama baru dalam rangka mencapai tujuannya. Agama dan atau ajaran yang diciptakan tersebut adalah, pertama, agama Bahaiyah dan kedua, ajaran atau agama Ahmadiyah.

Berdasarkan pengamatan Thoha Dasuqy,[118]Guru Besar Universitas Al-Azhar menyebutkan:

“bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara, gerakan Yahudi Internasional dengan ajaran Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Keinginan Yahudi yang sangat dahsyat pada waktu itu, adalah tercapainya sebuah impian mendirikan negara Israel di Palestina. Untuk mencapai hal tersebut diatas, perlu pengkaburan tentang konsep jihad yang terdapat dalam agama Islam. Pada saat itu, mereka mengatakan (Yahudi), umat Islam berkiblat ke Ka’bah di Mekkah, umat Islam memiliki satu kesatuan kaum muslimin yang dipandang oleh Yahudi sangat kuat.  Kekhalifahan Islam saat itu berpusat di Konstantin. Umat Islam sangat kuat memegang al-Qur’an dalam hati- sanubari kaum muslimin, dan orang Islam meyakini tentang nabi terakhir. Dalam pandangan Yahudi Internasional, umat Islam perlu dibuat nabi palsu, untuk mencapai tujuannya”.

 Nabi yang diciptakan mereka adalah Mirza Ghulam Ahmad, di Qadiyani, India. Yahudi Internasional sebelumnya telah berhasil menciptakan agama baru yaitu “agama Bahaiyah”. Agama ini, berawal dari sinkretisme agama dengan budaya setempat, dalam hal ini budaya Persia (Iran) sekarang. Selanjutnya, ajaran ini melepaskan secara penuh dari Islam, karena benar-benar terbukti penodaan terhadap Islam. Jika Bahaiyah didirikan di Iran, sementara Ahmadiyah didirikan di Qadiyani, India, pada abad sembilan belas.

Untuk mengetahui Bahaiyah yang direkayasa Yahudi, penulis mengajak sejenak untuk mengetahui apa itu Bahaiyah secara singkat, yaitu:

“Bahaiyah adalah lanjutan dari ajaran Babiah, didirikan oleh Husain Ali Nuri yang bergelar Abdulbaba. Ia mendakwakan dirinya sebagai inkarnasi dari Allah untuk menyatukan semua agama di dunia ini. Pada tahun1849 M. ia akan ditangkap karena terlibat pembunuhan Nasereddin Syah Iran, lalu  ia berlindung di kedutaaan Rusia di Teheran. Karena ia seorang Freemason tingkat tinggi, ia diselamatkan Kaisar Rusia Nickolivitsh  Alexander II. Kemudian ia menetap di Turki dan akhirnya di Akka Palestina. Ia menyebarkan ajarannya keseluruh dunia dengan dibantu Freemasonry Rusia, Inggris dan Amerika Serikat”.[119]

Penyatuan agama ini, merupakan nukilan dari buku yang ditulis oleh Penjajah Inggris dengan bunyi sebagai berikut:

“seruan untuk menyatukan semua umat manusia dalam keanekargaman agama, dalam satu agama. Mengikat persaudaraan antar umat manusia, rasa kecintaan yang menyatu diantara manusia, menghilangkan perbedaan agama dan lain-lain”. [120]

Terdapat kesamaan antara ajaran Ahmadiyah dengan ajaran Bahaiyah. Diantaranya:

  1. Tentang pengakuan Imam Mahdi mau’ud;
  2. Pengakuan sebagai nabi dan;
  3. Pembatalan syari’at/jihad

Penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat kesamaan tersebut, yang dijadikan landasan oleh Mirza Ghulam Ahmad (Ahmadiyah) dan oleh Bahaiyah. Uraian ini mungkin tidak lengkap, akan tetapi bisa membuka pikiran kita, ada apa dibalik Ahmadiyah dan Bahaiyah.

Pertama, tentang Imam Mahdi. Dalam ajaran Islam, sebahagian kaum muslimin mempercayai akan datangnya Imam Mahdi. Keyakinan ini bersumber dari hadist nabi yang masih dipertanyakan keshahihannya. Dari celah inilah, yang selalu dipergunakan oleh Yahudi untuk merusak ajaran Islam. Dalam ilmu hadist ada yang disebut dengan ”Israeliyat”. Keyakinan, akan datangnya Imam Mahdi yang diceritakan dalam hadsit, merupakan bagian dari israeliyat.

Mirza Ghulam Ahmad,[121] ”mengklaim dirinya, disamping sebagai Isa mau’ud juga sebagai Imam Mahdi, dalam satu waktu. Para pengikutnya sangat meyakini dan ta’at, dengan landasan argumen dari hadist nabi yang diriwayatkan dalam shoheh Bukhari, yang mengatakan,

”Bahwa sesungguhnya Mahdi akan muncul ke bumi disebelah timur di sekitar manaaraati Damaskus. Dan al-Masih sembahyang di belakangnya”.

Disamping itu,

Mirza Ghulam Ahmad memakai dalil dari hadist yang berbentuk pertanyaan,” Bagaimana denganmu dan dengan anak Maryam padamu ?”.

Menjadi pertanyaan bagi kita, apakah pengakuan Mirza Ghulam Ahmad itu merupakan keinginan sendiri atau ada rekayasa dibalik Mirza? Jika, itu merupakan rekaya gerakan Yahudi Internasional, maka dugaan sementara orang akan menjadi benar. Karena, pendahulu Mrza Ghulam Ahmad, yaitu Husain Ali Nuri yang bergelar Abdulbaba, selanjutnya menjadi agama Bahaiyah. ”Husain Ali Nur, pertama kali, mengklaim sebagai Imam Mahdi mau’ud, setelah itu banyak manusia yang mempercayainya dan mengikutinya, selanjutnya mengklaim sebagai nabi yang mendapat wahyu dari tuhan.”[122]

Kedua, pengakuan tentang nabi. Husain Ali Nuri, mengklaim sebagai nabi yang selanjutnya diikuti pula oleh Mirza Ghulam Ahmad. Jika, ajaran Bahaiyah yang didirikan Husain berada di Iran. Sementara, ajaran Ahmadiyah tumbuh subur berawal dari Qadiani, India. Keduanya, dilindungi oleh gerakan Yahudi Internasional.

Ketiga, tentang pembatalan jihad. Mirza Ghulam Ahmad, mengklaim dirinya mendapatkan wahyu. Dan ia memiliki otoritas dalam penentuan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan ajaran Islam. Diantarnya adalah pembatalan jihad. Demikian juga dalam Bahaiyyah konsep jihad dihapus dan telah diganti.

Mari kita perhatikan ajaran pokok Bahaiyah,[123] yaitu:

1)                  Kesatuan agama;

2)                  Kesatuan bahasa;

3)                  Kesatuan tanah air/bangsa;

4)                  Perdamaian nasional dan;

5)                  Persamaan antara laki-dan perempuan.

Dalam ajaran Bahaiyyah, konsep jihad telah dihapus,  demikian juga dalam ajaran Ahmadiyah. Dalam nomor empat diatas, Bahaiyah menyerukan tentang perdamaian. Menurutnya, ”perdamaian akan tercapai bila konsep jihad dihapus. Ia, mengatakan; konsep jihad telah dibatalkan dalam syari’at. Ia menyerukan perdamaian internasional, perdamaian hakiki (sebenarnya), bukanlah mengangkat senjata….” [124]

Dari uraian diatas, diketahui bahwa Bahaiyyah di Iran memiliki kesamaan ajaran dengan Ahmadiyah di Qadiani, India. Keduanya, di persiapkan oleh Yahudi Internasional. Jika, Bahaiyyah melalui Yahudi Rusia, sementara Ahmadiyah Yahudi Inggris.

        B A B III

Metode Penelitian

Penelitian tentang, “Ahmadiyah dipersimpangan Jalan: Perbedaan antara Jemaat AHmadiayah Indonesia (JAI) dengan Gerakan AHmadiyah Indonesia (GAI”, menggunakan metode deskriptif, kewahyuan dan komparasi. Dalam metode deskriptif  ini, digunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini, diperoleh langsung dari sumber referensi yang dapat dipercaya. Sumber tersebut berupa kewahyuan al-Quran dan Tadzkirah Ahmadiyah.

Dimana tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang akan diselidiki (Sudjana, 2001: 63).

Sedangkan metode kewahyuan menggunakan ayat-ayat al-quran dan atau hadist yang berhubungan dengan penelitian ini. Dan, metode komparasi dimaksudkan membandingkan antara kasus dengan kasus yang sama yang terdapat dalam aliran yang berbeda pandangan.

Pada intinya, dalam penelitian ini lebih berorientasi menggunakan metode deskriptif. Dalam pendekatan deskrptif ini, bisa muncul dua kemungkinan; pertama secara kualitatif murni, kedua bisa kuantitatif, dan ketiga bisa menggunakan pendekatan keduanya. Dalam penelitian ini peneliti bisa saja menggunaka cara ketiga, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Sedangkan, untuk mengetahui sejauh mana tingkat perbedaan dalam masalah kasus tertentu yang beraitan dengan teologis, maka peneliti harus menggunakan pendekatan kualitatif dan kewahyuan.

2.Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan digolongkan sebagai penelitian survai yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual tentang institusi yang bersangkutan (Sudjana, 2001: 65). Institusi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Gerakan AHmadiyah Inonesia (GAI), yang mewadahi para pengikut Ahmadiyah di Indonesia.

Sedangkan keterangan yang ingin diperoleh adalah melalui para pengikut Jemaat Ahmadiyah yang telah melakukan Pengabdian keagamaanya dalam aliran tersebut.

3.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui; observasi, wawancara, studi dokumentasi, studi pustaka dan kuesioner. Kemudian dianalisis sesuai dengan tahapan-tahapan yang sudah disusun dan sesuai dengan rumusan masalah yang menggambarkan sebagai objek dari penelitian  dan unit analisisnya.

4.Sumber data dan Lokasi penelitian

Sumber data terbagi kepada dua, yaitu; sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer diperoleh melalui kewahyuan, dokumentasi, kepustakaan, wawancara (bila perlu), jawaban dari kuisioner dan dokumentasi sebagai fakta aktual. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui mengkomfrontirkan dengan pengakuan dari pengikut Jemaat Ahmadiyah, dan pendapat umum yang terdapat dalam tulisan media elektronik dan media cetak. Sedangkan lokasi penelitian adalah Jemaat Ahmadiyah dan Gerakan AHmadiyah yang berada di kota Bandung.

5.Teknik Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode komparatif. Metode ini, untuk membandingkan kesamaan dan perubahan pandangan seseorang, group, atau negara terhadap kasus, peristiwa atau terhadap cara kerja (Arikunto dalam Tarmaya, 1998: 248).  Hal ini dilakukan untuk menelusuri pandanga-pandangan pengikut Jemaat AHmadiyah dan yang tidak senang terhadap AHmadiyah, mengenai permasalahan yang  fundamental, yaitu masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

 Disamping itu, setelah data-data terkumpul dianalisa dengan menggunakan instrumen kualitatif. Yang akhirnya dari data yang telah terkumpul dan setelah dianalisis akan menjadi sebuah sikap dan pendapat masyarakat Muslim.

6.Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahap dengan perincian sebagai berikut:

Tabiel .4. Tahap Penelitian

NNo

TAHAPAN

TANGGAL
11 Persiapan Bulan April
22 Pencarian data Minggu I –IV Mei 2011
33 Analisis Data Minggu I- IV Juni 2011
44 Finishing Minggu

I Juli 2011

55 Laporan

BAB IV

Hasil Penelitian dan Pembahasan

(Wali dan Pembaharu)

A.Wali dan Pembaharu Mirza Ghulam Ahmad

Thoha Dasuqy,[125] Guru Besar Universitas Al-Azhar, mengemukakan sejarah perkembangan ajaran Ahmadiyah yang berkaitan dengan keyakinan sebagai wali dan pembaharu, sebagai berikut:

  1. Pada awalnya, Mirza Ghulam Ahmad mengatakan bahwa,”Nabi Muhammad saw adalah sebagai nabi dan Rasul terakhir. Karena itu, berkeyakinan bahwa pintu kenabian telah tertutup. Barang siapa berbicara tentang nabi baru setelah kenabian Muhammad saw. Maka ia digolongkan keluar dari agama Islam, dan wajib dibunuh;
  2. Dalam langkah kedua, Mirza Ghulam Ahmad berambisi ingin jadi wali dan pembaharu. Ia memproklamirkan kepada pengikutnya dan bahkan diluar pengikutnya, menyatakan sebagai wali dan pembaharu. Ia mengakui pada fase ini menerima wahyu dan ilham. Wahyu disini dimaksudkan bukan wahyu dan ilham kenabian. Akan tetapi, dimaksudkan sebagai wahyu dan ilham wilayat.

Karena itu, dalam fase ini Mirza Ghulam Ahmad, menjelaskan,”

tidak akan ada lagi kenabian setelah Nabi Muhammad saw., tidak akan ada lagi risalah setelah risalah Nabi Muhammad saw. Ia mengatakan, sekiranya boleh muncul nabi lain setelah nabi kita saw. Maka itu menunjukan terbukanya pintu kenabian setelah tertutup pintu kenabian, hal ini adalah sesuatu yang tidak benar. Bagaimana muncul seorang nabi setelah nabi kita Muhammad saw., sementara wahyu telah tertutup dengan wafatnya Muhammad saw., Allah telah menutup pintu kenabian.[126]

Sekte ini, yaitu gerakan Ahmadiyah mengawali sebagai gerakan pembaharuan yang bersifat liberal dan cinta damai, dengan maksud menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam yang lama.[127] Dengan cara ini, banyak orang-orang bersimpati dan bahkan mengikuti sebagai pengikut setia Ahmadiyah.

Pada tahun 1344 H/1896 M.Ghulam Ahmad mengirim surat kepada para ulam India dan lainnya, seperti kenegara-negara Islam di luar India. Isi surat itu adalah;

”sesungguhnya Allah telah mengutus-aku pada awal abad ini sebagai pembaharu, untuk memperbaiki keadaan umat. Aku diberi ilmu dan pengetahuan untuk memperbaiki umat ini…..dan aku diberi ilmu yang bersih suci, pengetahuan jernih,  bersih dan suci. Dan aku diberi ilmu yang tidak diberikan kepada orang lain oleh Tuhan pada abad ini.[128]

Menurut pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, misi Ahmadiyah adalah untuk menghidupkan Islam dan menegakkan Syariah Islam. Tujuan didirikan Jemaat Ahmadiyah menurut pendirinya tersebut adalah untuk meremajakan moral Islam dan nilai-nilai spiritual. Ahmadiyah bukanlah sebuah agama baru namun merupakan bagian dari Islam. Para pengikut Ahmadiyah mengamalkan Rukun Iman yang enam dan Rukun Islam yang lima. Gerakan Ahmadiyah mendorong dialog antar agama dan senantiasa membela Islam serta berusaha untuk memperbaiki kesalah-pahaman mengenai Islam di dunia Barat. Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih dan saling pengertian diantara para pengikut agama yang berbeda; dan sebenar-benarnya percaya dan bertindak berdasarkan ajaran al Quran : ”Tidak ada paksaan dalam agama” (2:257) serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun.[129]

Sedangkan Ahmadiyah Lahore mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi nabi, sesuai keterangan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) untuk Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.[130]

Akan tetapi, pengakuan sebagai mujaddid Mirza Ghulam Ahmad tidak terlepas dari ilham yang diterimanya. Ia pernah berkata:

”bahwa sebagai mujaddid akan muncul dari Allah, yang disertai dengan ilmu pengetahuan dan ayat-ayat  samawiyah.”[131]

Sesungguhnya Allah telah mengutus aku sebagai mujaddid di awal abad ini, aku diutus sebagai hamba khusus untuk memperbaiki kemaslahatan umum. Aku diberi ilmu dan pengetahuan untuk memperbaiki umat ini. Aku diberi langsung dari Allah ilham sebagai hujah. Dan aku berbicara atas dasar ilham”.[132]

Allah menyeru dan berkata pada-ku: ”Sesungguhnya Aku mengutusmu, kepada kaum yang dilanda kefasikan, dan Aku menjadikanmu pemimpin bagi manusia.”[133]

Dalam paparan diatas, diketahui bahwa Mirza Ghulan Ahmad dalam pernyataannya  sendiri tidak memposisikan sebagai nabi. Akan tetapi, secara bertahap posisi tersebut berubah-ubah. Perubahan tersebut menurut pengakuannya adalah merupakan perintah dari wahyu Illahi. Setiap kata-kata atau ungkapan yang diucapkan oleh Mirza Ghulam Ahmad, selalu diawali dengan perintah dari Tuhan, berupa ilham dan atau wahyu yang diterimanya. Pada posisi ini, ia berkata:

“Aku tidak berkata kepada mereka, bahwa sesungguhnya aku ini adalah nabi. Akan tetapi mereka itu salah memahami apa yang aku katakana kepada mereka….dan sesungguhnya aku  mengatakan kepada manusia,  apa yang aku tulis dalam kitabku, yaitu sesungguhnya aku adalah pembaharu dan sesungguhnya Allah berbicara padaku sebagaimana berbicara sebagai pembaharu.”[134]

Posisi sebagai mujaddid, diklaim oleh dirinya-sendiri, dan bukan sebagai julukan atau gelar yang diberikan oleh orang lain padanya. Pengakuan ini tidak terlepas dari ilham. Sehingga, ia sibuk memproklamirkan sebagai mujaddid dengan cara menyebar surat keberbagai ulama baik di Timur –Tengah atau di negerinya sendiri. Klaim ini, merupakan tahap awal untuk melangkah yang lebih jauh lagi.

Sedangkan posisi wali, ia klaim;

…tingkat kewalian ini Tuhan berikan kepada orang-orang yang suci, dan diberikan Tuhan semua kepadaku, apa yang tidak diberikan kepada wali-wali lain, dan aku disucikan dan dadaku dibersihkan dan disempurnakan. Dan aku dicuci dengan cucian cintanya dan aku diberi hidayah dengan hidayah Islam dan kedamaian, dan aku dikeluarkan dari semua rintangan-rintanga yang menghalangi.[135]

Dalam kesempatan lain Mirza Ghulam Ahmad berkata:

“Kami tidak mengatakan sebagai wahyu ke-nabian, akan tetapi kami hanya mengatakan sebagai wahyu wilayat  yang biasa diterima oleh para wali-wali lain, yang masih dibawah naungan /lindungan Nabi Muhammad dan pengikutnya saw…secara kesimpulan bahwa apa yang dibicarakan disini bukanlah sebagai klaim sebagai nabi, akan tetapi kami hanya mengklaim sebagai wali dan pembaharu.”[136]

Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa Mirza Ghulam Ahmad, menurut sebahagian pengikut gerakan Ahmadiyah Lahore dikategorikan sebagai mujaddid, yang melakukan tajdid.[137] Persepsi mujaddid ini, menjadi polemik karena pengertian dan pemahaman apa itu tajdid,[138]dan siapa mujaddid itu sendiri, berbeda dengan pandangan umum kaum muslimin pada umumnya.

Pembaharuan, bisa dipahami sebagai ”revivication”, menghidupkan kembali doktrin dan praktek keagamaan, sebagaimana dilakukan oleh Imam al-Ghazali. Dalam kerangka seperti ini jasa Imam al-Ghazali adalah keberhasilannya dalam mensosialisasikan dan mengharmonisasikan antara syari’ah di satu pihak dan tasawuf di pihak lain, sehingga pada dasarnya berhasil mengakhiri konflik yang panjang antara kaum syari’ah dan kaum sufi.

Dengan melihat pengertian yang terkandung di dalam inilah ”pembaharuan” itu sendiri, dan mengkaji proses-proses sejarah, jelas bahwa pembahruan dengan berbagai dimensinya selalu terjadi sepanjang kurun sejarah Islam. Dengan demikian pembaharuan adalah keniscayaan sosiologis, kehadirannya tidak bisa ditolak.[139]

Dalam pandangan pengikut Ahmadiyah, pemahaman mujaddid menjadi sebuah doktrin yang masuk kedalam wilayah theologi yang tak terbantahkan. Bahkan, menurut Zulkarnaen, pemahaman mujaddid yang diklaim Mirza, didasarkan atas dalil al-Qur’an, yaitu:

”Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.[140]

Mari kita bandingkan, tafsiran ayat tersebut yang di kemukakan oleh para mufassirin kaum muslimin pada umumnya dengan tafsiran versi Ahmadiyah.

Versi pertama, pandangan mufassirin Ahlussunnah waljama’ah. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan menjadikan mereka kekuasaan di muka bumi akan menjadikan agama mereka, agama yang kokoh dan kuat, dan akan memberikan kepada mereka nikmat keamanan dan kesejahteraan. Itulah janji Allah dan janji itu adalah janji yang yang pasti terlaksana dengan kemenangan beruntun yang dicapai kaum Muslimin di masa Nabi saw dan di masa sahabatnya Khulafaurrasyidin. Di masa Nabi Muhammad, kaum Muslimin telah dapat menaklukan kota Mekah, Khaibar, Bahrain, seluruh jazirah Arab dan sebahagian dari wilayah kerajaan Romawi, bahkan raja Rum, Muqauqis di Mesir dan Najasy (Negus) di Ethiopia pernah mengirimkan hadiah kepada Muhammad saw.[141]

Sesudah Nabi saw wafat dan pemerintahan dikendalikan oleh para sahabat (khulafaurrasyidin) mereka selalu mengikuti jejak Rasulullah saw dalam segala urusan. Dengan demikian kekuasaan mereka meluas kemana-mana baik ke Timur, ke Barat, ke Utara dan Selatan, maka tersebrlah agama Islam dengan pesatnya serta dianut oleh penduduk negeri-negeri yang dikuasai dengan penuh kesadaran tanpa paksaan dan ancaman, dan mereka benar-benar menikmati keamanan dan kesejahteraan karena mereka benar-benar  kuat, disegani oleh kawan dan lawan.[142]

Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai isyarat tentang kekuasaan yang diraih oleh masyarakat Nabi dan keempat khalifah beliau. Kalaupun pendapat itu diterima, namun redaksinya bersifat umum, dapat mencakup semua generasi sejak masa Nabi saw., hingga akhir zaman. Janji-janji ini berkaitan dengan syarat-syaratnya yang telah menjadi hukum-hukum kemasyarakatan, sehingga kapan dan dimana pun syarat-syarat itu terpenuhi, janji ini akan terlaksana. Di sisi lain perlu dicatat bahwa tidak semua masyarakat yang meraih kekuasaan, dapat dinilai sebagai telah diridlai Allah, karena pemberian kekuasaan disamping sebagai anugerah dan ganjaran juga sebagai ujian dan cobaan.[143]

Petunjuk dan ketentuan-ketentuan di atas berkaitan dengan janji Allah memberi kekuasaan dan rasa aman, sehingga petunjuk tersebut menjadi sebab bagi itu, sehingga siapa pun yang melaksanakannya akan meraih janji itu. Dengan syarat iman, Allah mempermudah satu masyarakat melaksankan sebab-sebab keberhasilan itu, dan menghindarkan dari mereka hambatan dan halangan yang merintangi pencapaiannya.[144]

Versi kedua, Menurut tafsir Ahmadiyah Lahore bahwa dalam ayat tersebut bukan saja meramalkan berdirinya kerajaan Islam, melainkan juga kelangsungannya, sehingga perlu dibangkitkan para khalifah yang akan menggantikan Nabi Muhammad saw. Disamping itu kaum Muslimin akan dijadikan umat yang memerintah di bumi. Dan walaupun janji yang termuat dalam ayat ini ditujukan pada berdirinya kerajaan Islam dan dijadikan kaum Muslimin sebagai pengganti bangsa Israel dalam hal Tanah Suci yang dijanjikan, namun ayat ini mengisyaratkan pula janji Tuhan berupa kebangkitan para mujaddid dikalangan kaum Muslimin sebagaimana Tuhan telah membangkitkan para nabi dikalangan bangsa Israel.[145]

Bisa jadi, atas dasar tafsiran terhadap ayat tersebut diatas pengikut Ahmadiyah Lahore berkeyakinan, Mirza Ghulam Ahmad diyakini sebagai mujaddid pada masanya. Klaim Mirza Gulam Ahmad sebagai mujaddid, tidak saja berdasarkan Wahyu Allah dalam al-Qur’an, akan tetapi ia melegitimasi dengan hadist Nabi.

”Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :”Sesungguhnya Allah SWT akan mengirimkan untuk ummat ini pada permulaan setiap abad seorang Mujaddid yang akan memperbaiki keadaan ummat.”[146]

Hadist diatas menurut pemahaman penganut ajaran Ahmadiyah, hanya Mirza Ghulam Ahmad yang memiliki gelar sebagai mujaddid. Hal ini didasarkan atas pengakuan Mirza sendiri:

 ”apa yang aku tulis dalam kitabku, yaitu sesungguhnya aku adalah pembaharu dan sesungguhnya Allah berbicara padaku sebagaimana berbicara sebagai pembaharu.”[147]

Karena itu, pendiri jemaat Ahmadiyah mendakwakan dirinya sebagai Mujaddid pada akhir abad ketiga belas sebagai Mujaddid abad ke 14 Hijrah. Abad ke 14 telah berlalu, dan hanya beliaulah yang mendakwakan diri sebagai Mujaddid yang diutus oleh AllahTaala.[148]

Dari paparan diatas, penulis telah kemukakan makna wali dan mujaddid. Baik secara bahasa dan istilah yang lebih umum kita kenal. Kemudian kita telah mengetahui secara empiris makna dari wali dan mujaddid.

Jadi kalau kita katakan waliullah, berarti orang-orang yang bersahabat dengan Allah, artinya lebih dekat kepada Allah, karena ketaqwaannya.

 Jika kita katakan waliunnabi, berarti orang –orang yang melanjutkan ajaran Nabi dan Rasul, ia selalu melaksanakan sunah-sunahnya, ia selalu mengajarkan dan menyampaikan ajaran Rasul.

Jika kita katakan waliulummah, berarti ia adalah panutan masyarakat, ia  sebagai pemimpin masyarakat. Karena ia memiliki kharismatik, karena ia selalu memperhatikan dan melindungi masyarakat dengan membawa kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Mujaddid atau pembaharu, dimaksudkan adalah orang yang mengembalikan atau meluruskan ajaran Islam kepada jalan yang sebenarnya, ketika ajaran Islam itu berada dalam persimpangan yang tidak jelas.

Objek pambahruan yang harus dikembalikan kepada yang sebenarnya seperti; dalam objek kajian tauhid atau ilmu kalam, dalam bidang ibadah, muamalah, sosial, budaya, pendidikan dan bahkan dalam bidang politik. Semua ini, telah penulis kemukakan diatas.

Pertanyaanya sekarang apakah Mirza Ghulam Ahmad sudah masuk kedalam bidang-bidang yang disebutka diatas? Jika ya, maka ia berhak disebut sebagai wali dan atau ia sebagai mujaddid. Tapi kalau sebaliknyai, ia hanya merusak tatanan yang ada, bahkan merusak ajaran-ajaran Islam yang baku, maka tidaklah dikategorikan sebagai wali dan atau sebagai mujaddid.

Penilaian mengenai sosok Mirza Ghulam Ahmad sebagai wali dan sebagai Mujaddid, sepenuhnya penulis serahkan kepada para pembaca setelah, membaca dan menelaah secara kritis tentang hal ini. Ini mungkin bagi penulis lebih bijak.

B. Imam Mahdi Mau’ud

1. Imam Mahdi

Menurut sebahagian para ahli, keyakinan tentang Mahdi mau’ud dan Almasih,[149] satu rangkaian yang tidak terpisahkan dalam ajaran Ahmadiyah. Mirza Ghulam Ahmad,mengaku sebagai Messiah mau’ud dan Imam Mahdi dalam satu rangkaian dan dalam satu waktu. Pengakuan ini, tidaklah sebagai bualan saja, akan tetapi dengan cerdik ia menyitir sebuah hadist nabi, bahkan hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari. “Bahwa Imam Mahdi akan muncul di timur manaarati Damaskus, dan Masehi sembahyang dibelakangnya”. Dan ditambah lagi dengan sabda Nabi saw: “Bagaiman denganmu dan dengan Ibn Maryam padamu”.[150]

Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad diatas, diakui oleh para pengikut Ahmadiyah, yaitu paham tentang al-Mahdi tidak dapat  dipisahkan dengan masalah kedatangan kembali Isa al-Masih di akhir zaman, karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh, satu pribadi, yang kedatangannya telah dijanjikan oleh Tuhan. Ia ditugaskan Tuhan untuk membunuh Dajjal, mematahkan tiang salib, yaitu mematahkan argumen-argumen agama Nasrani dengan dalil-dalil atau bukti yang meyakinkan serta menunjukan kepada para pemeluknya tentang kebenaran Islam. Disamping itu iapun ditugaskan untuk menegakkan kembali syari’at Nabi Muhammad, sesudah umatnya mengalami kemerosotan dalam kehidupan beragama.[151] 

”Sudah dekat saatnya orang yang hidup diantara kamu, akan bertemu dengan Isya Ibnu Maryam yang menjadi Imam Mahdi dan Hakim adil.”[152] ”Tidak ada Mahdi kecuali Isa.”[153]

Menurut pengikut Jemaat Ahmadiyah, hadist ini menerangkan bahwa Imam Mahdi dan Isa yang dijanjikan itu bukan terdiri dua orang tetapi ”seorang dengan dua nama”. Tentang tugas, beliau berkenaan dengan kedua nama itu, beliau mengemukakan:

”Wahai manusia! Bangunlah untuk Tuhan dengan segera dan takutlah kepada Tuhan dan berfikirlah seperti bukan seorang musuh atau orang kafir. Bukankah sudah tiba waktunya bagi Tuhan untuk bersikap rahim terhadap makhluk-Nya ? Tidakah Dia sepatutnya melenyapkan kejahatan dan melepaskan manusia dari dahaga keras dengan hujan musim semi? Tidakkah badai kejahatan berada dipuncaknya yang tinggi? Tidakkah tepi-tepi kebodohan membentang jauh? Bukankah seluruh dunia telah rusak? Tidakkah syetan senang terhadap pengikut-pengikutnya sehingga berterimakasih kepada mereka? Bersyukurlah kamu kepada Tuhan yang ingat kepada kamu dan agamamu. Dan dia tidak mengizinkannya menjadi rusak. Dia menjaga panenmu dan ladang-ladangmu dengan rumput muda. Dia telah menurunkan hujan dan menyempurnakan ukurannya. Dan Dia telah membangkitkanAlmah-Nya untuk melenyapkan kejahatan dan MuhdiNya untuk kebaikan ummat manusia. Dia telah membawa kamu kepada suatu masa yang imannya adalah kamu sendiri, hal mana tidak demikian sebelumnya.”[154]

Klaim Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikut ajaran Ahmadiyah, mereka mensitir ayat al-Qur’an sebagai penegasan tentang dakwaan Imam Mahdi dan Masih mau’ud, dalam ayat dibawah ini.

Arti pertama, yang benar:

”Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta[197].[155]

Arti kedua, Versi Ahmadiyah:

Menurut terjemahan pengikut Jemaat Ahmadiyah, sebagai beriku:

”Maka barang siapa berbantah dengan engkau, setelah datang kepada engkau ilmu Illahi, maka katakanlah kepadanya: Marilah kita masing-masing memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, dan perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu, dan orang-orang kami dan orang-orang kamu, kemudian kita bermubahalah  kepada Allah dan kita mintakan laknat Allah atas orang-orang yang berdusta”.[156]

            Penjelasan Pertama:

            Ayat diatas menurut tafsiran pengikut ajaran Jemaat Ahmadiyah, sehubungan dengan ayat ini, Hadrat Masih Mau’ud dalam kitabnya ”Anjame Atham” halaman 65 – 67 tahun 1896 menulis: ”Orang-orang yang tidak mau mengerti dakwaanku meskipun aku telah menjelaskannya berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadist  Sahih, dan mereka tidak henti-hentinya mengkafirkan dan mendustakan aku, maka aku memanggil mereka minta untuk memanjatkan do’a mubahalah (putusan do’a). Tetapi ternyata tidak ada dari pihak musuhku yang menerima tantanganku ini.”[157]

Mirza Ghulam Ahmad berkata:

”…Dia mengutus untuk umat manusia seorang Masih Mau’ud (Promese Messiah) ke dunia ini, yang kedatangannya sangat diperlukan guna menyempurnakan bangunan Islam… Oleh akrena itu, akulah Masih yang dijanjikan itu dan tidak ada lagi yang lain. Barang siapa yang bai’at kepadaku dengan sesunguh-sungguhnya dan menjadi pengikutkudengan setulus-tulusnya dan juga membuat dirinya mabuk di dalam ketaatan kepadaku hingga meninggalkan segala keinginan–keinginan pribadinya, rohku akan memberikan syafa’at pada hari-hari

yang penuh derita.”[158] …Barang siapa yang tidak benar-benar yakin bahwa aku Masih dan Mahdi yang dijanjikan, maka ia bukan dari jemaatku.”[159]

Penjelasan Kedua:

Diriwayatkan bahwa rombongan Kristen Najran itu terdiri dari enam puluh orang dan dipimpin oleh tim yang terdiri dari tiga orang. Ketika ajakan bermubahalah itu disampaikan, mereka meminta waktu sampai esok hari untuk berfikir, dan Nabi saw setuju.

Setelah menyendiri dengan rombongan, pemimpin mereka yang bernama ’Abdul Masih, yang ditanya pendapatnya tentang ajakan Nabi saw. Itu berkata: ”Kalian tahu bahwa Muhammad adalah nabi utusan Tuhan. Tidak satu kaum pun yang berdoa untuk turunnya laknat kepada seorang nabi, kecuali punah kaum itu, sehingga tidak akan ada lagi generasi selanjutnya. Mereka memutuskan untuk menolak ajakan itu.

Adapun dari pihak nabi saw., maka keesokan harinya beliau mengajak putri beliau Fatimah bersama suaminya ’Ali Ibn Abi’ Thalib, dan al-Hasan serta al-Husain, dua orang cucu nabi saw., kesemuanya siap untuk melakukan mubahalah.[160]

2.Imam Mahdi Pandangan Ahmadiyah

Pandangan Ahmadiyah tentang Imam Mahdi tidak jauh berbeda dengan pandangan Syi’ah, sama-sama mengakui akan kemunculan Imam Mahdi yang ditungu-tunggu. Bedanya, jika Syi’ah yang dimaksud akan  munculnya Imam Mahdi itu, untuk sekarang masih dalam kegaiban. Sekalipun, yang akan hadir sebagai Imam Mahdi itu adalah dari kelompok ahlulbayt.

Sementara, pemahaman Ahamdiyah sosok Imam Mahdi itu adalah satu sosok dengan al-Masih Mau’ud dan kehadirannya muncul dari tanah India, dimaksudkan adalah Mirza Ghulam Ahmad. Sebagaimana sudah kita bahas diatas.Mereka berargumentasi dengan dalil alqur’an, sebagai berikut:

Pertama:

Klaim sebagai sebagai masih Mau’ud dan Imam Mahdi dengan argumen al-Qur’an.

Artinya:

”….semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Ny….a“[161]

  1. a.      Tafsiran menurut Ahmadiyah.

Tafsiran pengikut Ahmadiyah, pada zaman ini Allah SWT telah membangkitkan seorang utusan dan rasul untuk kemajuan rohani ummat manusia di seluruh dunia, yaitu Hadrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Masih Mau’ud dan Imam Mahdi. Banyak orang yang sudah neriman kepada beliau, tetapi sebagian besar ummat manusia dewasa ini masih belum dapat mempercayai kebenaran beliau.[162] Demikian pendapat dan keyakinan pengikut Ahmadiyah, yang dalam pandangan kita tidak seperti itu.

  1. b.      Tafsiran para Ulama pada umumnya.

Padahal tafsiran yang benar, penulis ambil dari salah satu ulama, menurut Al-Biqa’i, ia menilai ayat ini sebagai penutup surah al-Baqarah yang sangat serasi dengan pembukaannya. Disana pada pembukaan, diuraikan sifat-sifat orang mukmin yang percaya kepada kitab yang tidak mengandung sedikit keraguan pun, maka disini pun ia tutup dengan pernyataan percaya kepada apa yang diturunkan Allah  setelah menjelaskan soal nafkah yang juga merupakan uraian awal surah ini, dalam bentuk yang serasi dan berkaitan erat dengan tuntunan perintah dan larangan-Nya, serta pengungkapan sifat-sifat terpuji bagi hamba-hamba-Nya, terutama Rasul saw. Dari sini terlihat, penutup ayat ini berbicara tentang keimanan Rasul dan pengikut-pengikut beliau menyangkut kitab yang diturunkan kepada beliau dan kitab-kitab sebelumnnya serta seluruh nabi dan rasul, dan menguraikan pula ucapan-ucapan mereka yang menunjukan ketundukan dan kekhusuan mereka.[163]  Jadi, ayat diatas sama sekali tidak diarahkan kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai Masih mau’ud dan Imam mahdi.

Perbedaan muncul kembali, siapa Imam Mahdi itu? Jika dalam pandangan kaum Syi’ah Imam Mahdi itu belum muncul, karena itu mereka menyebutnya sebagai kegaiban. Sedangkan dalam keyakinan Ahmadiyah, bukan lagi kegaiban akan tetapi sudah hadir ditengah-tengah umat. Keyakinan pengikut Ahmadiyah mengatakan, ”Allah SWT mewahyukan kepada Imam Mahdi as: ”Bangkitlah ! Waktu yang ditetapkan untukmu telah tiba; dan sekarang pengikut-pengikut Muhammad tidak lama lagi akan menduduki menara yang paling tinggi, lebih kuat panjangan kakinya dari waktu-waktu yang lalu.”[164]

Kedua:

Kemudian pengikut ajaran Ahmadiyah, mereka mengklaim surah al-Jum’at ayat 3 sebagi wahyu Allah kepada Imam Mahdi.

Artinya:

”Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Berkuasa lagi Maha Bijaksana.”[165]

  1. Tafsiran menurut Ahmadiyah.

Menurut pengikut ajaran Ahmadiyah ayat diatas ditafsirkan dalam hadist Bukhari, yang artinya:

”Dari Abu Hurairah ra menerangkan. Kami sedang duduk-duduk dekat Nabi saw ketika surah Jum’ah diturunkan kepada beliau saw. Para sahabat bertanya, siapa yang dimaksud dalam ayat itu? Beliau saw tidak menjawab hingga sahabat-sahabat itu bertanya sampai tiga kali. Diantara kami terdapat seorang yang bernama Salman dari Farsi (Iran). Kemudian Rasulullah saw meletakkan tangannya ke atas pundak Salman seraya bersabda: ”Jika iman telah terbang ke bintang Tsurayya, beberapa orang laki-laki atau seorang laki-laki dari antara orang ini (asal Persia) akan mengambilnya kembali.”[166]

Menurut tafsiran pengikut Ahmadiyah, Surah Jum’ah ayat 3 diatas mereka berkeyakinan, sebagaimana Allah SWT wahyukan kepada Imam Mahdi as ialah tiada lain adalah Mirza Ghulam Ahmad. Karena nenek moyang beliau berasal dari Persia (Iran) dan tinggal di Qadiani, India. Dan beliau pulalah yang “membawa kembali iman dari bintang Tsurayya”, itu.[167]

Pembahasan mengenai sosok Mirza Ghulam Ahmad berasal dari keturunan Persia, penulis telah membahasnya  pada bab II.[168] Hadist diatas yang dipakai sebagai tafsiran terhadap surah al-Jum’ah ayat tiga, diklaim juga oleh kelompok Syi’ah bahwa Imam Mahdi yang di maksud adalah dari kelompoknya pula. Mana yang benar wallau’alam.

Selanjutnya, klaim Ahmadiyah tentang Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam terdapat dalam hadist Rasululah saw (ad-darul Qutni jilid I halaman 188:

”Sesungguhnya untuk Mahdi kami ada dua tanda yang belum pernah terjadi sejak saat langit dan bumi dicpitakan: gerhana bulan akan terjadi pada malam pertama bulan Ramadhan dan gerhana matahari akan terjadi pada pertengahannya.”   

Pengakuan pengikut Jemaat Ahmadiyah, pada tahun1890 M pendiri Jemaat Ahmadiyah mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi dan pada tahun 1894 M Allah SWT memperlihatkan gerhana bulan dan matahari dalam bulan Ramadhan untuk menyatakan kebenaran dakwaan Mirza Ghulam Ahmad.[169]

Menurut keyakinan Jemaat Ahmadiyah, bahwa manusia pada zamanya harus mengenal imamnya, hal ini di akuinya atas dasar sabda Rasulullah saw, sebagai berikut:

”Orang yang tidak mengenal Imam pada zamannya, maka kematiannya dalam keadaan jahiliyah.” (dalam Abu Daud).

”Apabila kamu melihatnya (Mahdi), maka ambil baiatnya, kendatipun engkau merangkak di gunung es, karena beliau itu Khalifah dan Mahdi dari Allah SWT.” (Musnad Ahmad jilid IV halaman 85 dan Ibnu Majah halaman 315, bab khurujul Mahdi).

Demikianlah pemelintiran sabda Nabi saw dalam rangka pengakuan sebagai imam mahdi.

  1. b.      Tafsiran Ulama pada Umumnya

Tafsiran yang benar, yang dimaksud adalah suku-suku Arab selain penduduk Mekkah dan Madinah bahkan dapat mencakup suku-suku non Arab. Makna ini diperkuat oleh riwayat Bukhari, Muslim dan Turmudzi.[170] jawaban Nabi saw.,[171] merupakan penafsiran dari kata akhirin dan penunjukan Salman serta bangsanya adalah contoh yang dapat mencakup suku dan bangsa-bangsa lain. Demikianlah yang dimaksud dengan kata akhirin jika kata minhum/dari mereka dipahami menunjuk kata Ummiyin.[172]

3. Tugas-Tugas Imam Mahdi

Pengikut ajaran Ahmadiyah berkeyakinan, terdapat beberapa tugas yang dibebankan Allah Ta’ala di pundak beliau, secara singkat adalah sebagai berikut[173]:

  1. Memperkenalkan kepada dunia tentang Tuhan Yang Maha Hidup dan Berkata-kata, seperti dahulu Dia Hidup dan Berkata-kata;
  2. Menghilangkan segala rintangan dan hambatan yang menghalangi antara Khalik dan makhluk-Nya;
  3. Memperkenalkan kepada dunia, bahwa al-Qur’an lah satu-satunya Kitab Suci dan Muhammad-lah satu-satu-satunya Nabi yang sanggup menuntun ummat manusia ke jalan kebenaran dan yang diridhai oleh Allah Taala;
  4. Membendung arus orang-orang Islam yang menyeberang ke agama Kristen dan lain-lain;
  5. Menggembalakan ummat Islam di bawah naungan seorang Imam dengan perantaraan Khalifah-khalifah pilihan Tuhan dan;
  6. Membuktikan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang hidup dan sanggup menjawab segala tantangan dan persoalan kehidupan ummat manusia di segala zaman.

C. Tentang al-Masih

Pemahaman Ahmadiyah tentang Isa al-Masih, berdasar dari pemahaman mereka, tentang surat an-Nisa ayat 157-168 dan juga surat al-Maidah ayat 117. Dan ditambah dengan beberapa hadsit nabi.

1.Penyaliban al-Masih

Dalam al-Qur’an artinya:

 Dan Karena Ucapan mereka: “Sesungguhnya kami Telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah[378]”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa..[174]

Dari ayat tersebut terdapat dua versi. Versi ulama Islam pada umumnya dan kedua versi Ahmadiyah.

a.Versi Ahmadiyah

 Versi pertama, Ahmadiyah memahami dari ayat tersebut, ma shalabuhu, itu sama sekali tidak menyangkal dinaikkannya Nabi Isa ke atas  tiang salib, tetapi dengan tegas menyangkal kematian Isa di atas tiang salib. Jadi kata ma shalabuhu artinya mereka tak menyebabkan dia mati pada kayu palang atau mereka tak menyalib dia (Isa). Disalib artinya dihukum mati dengan jalan memakukan atau mengikatnya pada kayu salib dan dibiarkannya sampai mati, yang biasanya memakan waktu lama sekali. Nabi Isa dinaikkan ke atas tiang salib hanya kira-kira tiga jam saja. Ketika diturunkan dari atas tiang salib, Nabi Isa belum mati dan hanya pingsan saja. Bukti lain bahwa Nabi Isa diselamatkan dari kematian pada tiang salib adalah dalam kitab Injil bahwa Nabi Isa hanya disalib untuk beberapa jam saja (Markus 15: 25 dan Yahya 19: 14). Dan kematian karena disalib memakan waktu agak lama (Yahya 19: 32-33). Nabi Isa pindah ke Kashmir (India) dan meninggal secara wajar dengan umur 120 tahun.[175]

b.Versi Ulama pada Umumnya.

Versi kedua, ayat tersebut (ayat 157) menerangkan, sebab-sebab orang Yahudi mendapat kutukan, dan kemurkaan Allah SWT ialah karena ucapan mereka, bahwa mereka telah membunuh Al Masih  putera Maryam, Rasul Allah, padahal mereka sebenarnya tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang disalib dan yang dibunuh itu ialah seorang yang serupa dengan Isa Al Masih bernama Yudas Iskariot bekas muridnya.[176]

Demikian juga menurut al-Maraghi, mereka itu sebenarnya tak pernah berhasil membunuh Isa, seperti pengakuan mereka, dan tak pernah menyalibnya, sekalipun berita seperti itu telah tersebar di mana-mana. Tetapi, telah terjadi kebingungan pada mereka, sehingga mereka menyangka telah menyalib Nabi Isa. Padahal, yang disalib itu orang lain.

Peristiwa kebingungan seperti ini, sebenarnya sering sekali terjadi setiap masa, lalu diceritakan cerita yang langka dan peristiwa yang sangat aneh, sekalipun sebenarnya bisa saja terjadi betul-betul.[177]

Ayat diatas, mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, menafikan pembunuhan sekaligus penyaliban. Pernyataan ini menegaskan bahwa jangankan pembunuhan, penyaliban pun tidak terjadi. Memang, boleh jadi ada seseorang yang disalib, tetapi tidak sampai dibunuh. Penyaliban terjadi dengan jalan mengikat seseorang pada satu kayu yang menjadikan ia tidak nampak bergerak.[178]

Peristiwa yang terjadi pada masa itu memang benar-benar menimbulkan kontroversi hingga kini. Hal ini karena peristiwa itu terjadi dalam kegelapan malam menjelang fajar sehingga  al-Qur’an menegaskan sebagaimana terbaca di atas: Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang Isa as. Benar-benar dalam keragu-raguan menyangkut hal itu.

Bagaimanapun juga, bagi seorang muslim, dia hanya wajib yakin dan percaya bahwa Isa as. tidak disalib, tidak pula dibunuh tetapi diselamatkan oleh Allah swt. bagaimana cara penyelamatannya juga tidak wajib dipercaya, karena pengertian firman-Nya: ”Tetapi Allah telah mengangkatnya kepada-Nya,” juga diperselisihkan caranya oleh para ulama.[179]

2.Pengangkatan al-Masih ke Langit

Terdapat perbedaan yang mendasar mengenai pengertian pengangkatan al-Masih ke langit oleh Allah SWT. Apakah arti rafa’a disini diangkat oleh Allah dalam arti secara fisik atau secara maknawi? Apakah diangkat oleh para malaikat dalam keadaan al-Masih masih hidup atau sudah meninggal? Teka-teki ini menjadi perdebatan sepanjang masa, sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran yang membawa kepada keyakinan yang berbeda. Berikut dibawah ini penulis kemukakan ayat yang diperdebatkan.

Artinya

  ”Tetapi (yang sebenarnya), Allah Telah mengangkat Isa kepada-Nya dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[180]

Sedangkan pemahaman mengenai (ayat 158) diatas, terdapat beberapa pendapat. Disini penulis akan kemukakan pendapat para mufassir yang terkenal diantaranya Imam AL-Maraghi dan tafsiran versi ulama-ulama Indonesia. Kemudian membandingkan dengan pemahaman Ahmadiyah mengenai ayat ini.

a.Versi Ahmadiyah.

Versi pertama, pemahaman tafsir Ahmadiyah, menerangkan kata rafa’a mempunyai dua arti, yakni mengangkat atau menaikkan dan meninggikaan atau memulyakan. Tetapi kata rafa’a ilallah dalam al-Qur’aan selalu mengandung arti meninggikan atau memuliakan. Jadi rafa’ahullah ilaihi artinya “Allah mengangkat dia ke hadapan-Nya”. Mengangkat artinya memuliakan, dalam hal ini derajat dan pujian, bukan tempat dan arah. Adapun uraian tentang ditinggikannya Nabi Isa, dimaksudkan sebagai jawaban terhadap kaum Yahudi yang berniat hendak membuat Nabi Isa meninggalkan terkutuk dan terhina pada tiang salib.[181]

Keyakinan pengikut ajaran Ahmadiyah, mengartikan dari kata rofiuka yang diambil dari kanzul Ummal jilid II halaman 53 terdapat keterangan sebagai berikut: ”Apabila seorang hamba merendahkan hatinya, Allah meninggikan derajatnya sampai ke langit ke tujuh”.[182] Argumen ini pula yang dijadikan sebagai landasan untuk memperkuat keyakinan pengikut ajaran Ahmadiyah, bahwa Isa as tidak diangkat kelangit secara fisik, akan tetapi mengandung makna diangkat sebagau pujian dan derajatnya saja.

b.versi Ulama pada umumnya.

Versi kedua, Al-Maraghi dengan mengutip dari Ar-Razi. Ia berpendapat, ayat diatas artinya, “Aku (Allah) mengangkat kamu (Isa) ke tampat kemuliaan-Ku.” Redaksi ayat ini memakai kata-kata Rafa’a (mengangkat), adalah untuk menyatakan kebesaran dan keagungan peristiwa tersebut.[183] Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Nabi Isa as itu diangkat atas perintah Allah oleh keempat malaikat ke langit ketiga dengan badan dan rohnya dan akan diturunkan kembali di akhir zaman sebagai pembela umat Islam dan penerus syari’at Nabi Muhammad saw pada saat umat Islam berada dalam keadaan lemah. Setelah datangnya Dajjal. Dan kejadian ini menunjukan atas kekuasaan Allah untuk menyelamatkan nabi-Nya, sesuai dengan kebijaksanaann-Nya yang  tercantum dalam firman (QS.Ali Imran:55)

‘’(ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian Hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya”.[184]

Tentang diangkatnya Nabi Isa as itu ke atas langit ada perbedaan pendapat. Menurut Jumhur ahli tafsir: diangkatnya itu dengan jasmani dan rohnya, dalam keadaan hidup sebagai suatu mukjizat pula. Maka Isa as yang diangkat ke langit dengan jasmani dan rohani, sejak diangkatnya sampai turunnya kembali kebumi, adalah sepenuhnya di tangan Allah.[185]

Para ulama berbeda pendapat tentang makna kata mengangkat kesisi-Nya itu. Asy –Syarawi menjelaskan bahwa Allah yang mengambil Isa as secara sempurna itu, mengambil ruh dan jasad beliau ke satu tempat  yang tidak dapat dijangkau oleh orang-orang kafir, yaitu di sisi-Nya. Kata di sisi-Nya, dipahami oleh banyak ulama dalam arti ke langit. Dalam komentarnya tentang ayat an-Nisa ini, asy-Syarawi menekankan bahwa tidak heran bila akhir perjalanan hidup Isa di dunia ini, tidak seperti akhir perjalanan hidup manusia lain, karena awal kehadirannya di pentas bumi pun berbeda dengan yang lain.[186]

Thabathaba’i yang menganut paham syi’ah Imamiyah juga berpendapat serupa. Dalam tafsirnya al-Mizan, dia menulis, ”Tidaklah mustahil Allah mewafatkan al-Masih dengan mengangkatnya ke sisi-Nya dan memeliharanya, atau Allah memelihara kehidupannya dalam satu cara yang tidak sama dengan kebiasaan umum yang berlaku bagi kita.[187]

3.Wafatnya Isa al-Masih

Perdebatan muncul kembali mengenai meninggalnya Nabi Isa as. Hal ini terjadi perbedaan pendapat mengenai penafsiran ayat dibawah ini.

Artinya:

”Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah Aku menjadi saksi terhadap mereka, selama Aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu”.[188]

Berikut ini penulis kemukakan penafsiran dari para ulama dan termasuk tafsir Ahmadiyah.

ayat tersebut menurut Ahmadiyah, menjadi bukti yang meyakinkan bahwa Nabi Isa mati secara wajar. Dalam ayat tersebut Nabi Isa berkata bahwa selama beliau berada ditengah-tengah muridnya, beliau menjadi saksi atas keadaan mereka, dan tidak menemukan mereka menganggap Nabi Isa sebagai Tuhan seperti yang telah menjadi doktrin agama Kristen tentang men-Tuhankan Isa setelah meninggal.[189]

Dalam ajaran Ahmadiyah mereka berkeyakinan bahwa Isa as telah wafat bukan sebagaimana diyakini oleh orang-orang muslim lainnya yang mengatakan bahwa Isa as tidak wafat akan tetapi diangkat oleh Allah SWT ke langit dan suatu saat manakala saatnya tiba maka Isa as akan turunkan kembali. Keyakinan Ahmadiyah ini berdasarkan kepada al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW dan alasan-alasan yang berdasarkan kepada akal. Keyakinan Ahmadiyah terhadap wafatnya Nabi Isa as disebabkan penghormatan Ahmadiyah terhadap keagungan Nabi besar Muhammad SAW dan karena kecintaan kepada Nabi saw.[190]

Dalam ajaran Ahmadiyah, ayat tersebut diatas, Nabi Isa as menjawab kepada Allah SWT bahwa beliau selalu berusaha agar pengikut-pengikutnya jangan sampai menyembah Tuhan selain Allah SWT. Seterusnya beliau berkata: ” tetapi setelah Engkau mewafatkan aku, aku tidak mengetahui apa-apa hal-hal yang mereka kerjakan”. Perkataan tawaffa dalam ayat itu artinya mati (kematian) sebagimana kita baca dalam surah Ali Imran ayat 194. ”Dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti”. Lebih lanjut pendiri Jemaat Ahmadiyah menjelaskan, bahwa apabila perkataan tawaffa subjeknya Allah dan objeknya makhluk yang berjiwa, maka artinya selalu ”mati”atau ”kematian”.[191]

Keyakinan ini, dalam pemahaman Ahmadiyah, didukung lagi oleh ayat lain, menurut pengikut Ahmadiyah Isa mati seperti biasa, perhatikan dalam al-Qur’an sebagai berikut dibawah ini.

”(ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian Hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya”.[192]

Pengikut Ahmadiyah Indonesia-pun berkeyakinan, bahwa kepercayaan tentang ”masih” hidupnya Nabi Isa as di langit, merupakan suatu kepercayaan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kaum Muslimin yang mempercayai, bahwa Nabi Isa as masih hidup di langit dengan jasad kasarnya, dengan tidak sadar mereka telah mendukung dan membantu suatu kepercayaan agama Kristen. Pandangan demikian berarti lebih memuliakan Nabi Isa as dari pada Nabi Besar Muhammad saw sendiri. Kaum Muslimin yang beranggapan bahwa Nabi Isa as masih hidup di langit dengan badan kasarnya, mereka telah masuk kedalam golongan orang-orang yang syirik”.[193]

b.Pandangan ulama pada umumnya.

Berbeda dengan keyakinan penganut ajaran Ahmadiyah diatas, bahwa Allah yang mengambil Isa as., secara sempurna itu, mengambil ruh dan jasad beliau kesatu tempat yang tidak dapat dijangkau oleh orang-orang kafir, yaitu disisi-Nya. Kata disisi-Ku, dipahami oleh banyak ulama dalam arti di langit.[194]

Sejalan dengan sekian banyak hadist nabi saw., yang menginformasikan bahwa Isa as., suatu ketika akan turun kembali bumi. Namun demikian, hadist-hadsit tersebut diperselisihkan nilainya, bahkan sementara peneliti berpendapat bahwa walaupun hadistnya banyak, tetapi kesemuanya bersumber dari duaorang yaitu Ka’ab al-Ahbar dan Wahb Ibn Munnabih. Sementara ulama meragukan loyalitasnya, atau paling tidak kedua tokoh itu tanpa sadar terpengaruh oleh kepercayaan orang-orang Kristen yang meyakini bahwa Isa as., hidup di langit dan satu ketika akan turun ke bumi.[195]

Kenaikan al-Masih baik dipahami dalam arti ruh dan jasad beliau, maupun hanya ruh saja, menunjukan bahwa betapa dahsyatnya dan kuasanya makhluk, dan betapa rapinya rencana untuk melenyapkan kebenaran, dan pemuka-pemukanya, tetapi hasil akhir selalu berpihak kepada kebenaran. Isa as., apa pun kepercayaan menyangkut beliau, yang jelas dan pasti bahwa beliau telah mencapai puncak kejayaan.[196] 

Ayat tersebut diatas, menerangkan bahwa, aku (Isa) tidak berkata kepada mereka mengenai perkara iman dan pokok-pokok agama, kecuali yang telah Engkau perintahkan kepadaku untuk melaksanakannya, untuk diyakini dan disampaikan kepada mereka, yaitu bahwa Engkau adalah Rabbi dan Rabb mereka, dan bahwa aku adalah salah seorang di antara hamba-hamba-Mu yang juga seperti mereka, hanya saja Engkau telah mengisimewakanku dengan mengutusku kepada mereka sebagai Rasul. Dan aku menjaga, mengawasi serta menjadi saksi atas apa yang mereka katakan dan perbuat. Aku menetapkan yang haq dan mengingkari yang bathil selama aku berada ditengah-tengah mereka.

Manakala Engkau telah mewafatkan aku, maka Engkaulah yang mengawasi mereka, bukan aku. Sebab aku dapat menyaksikan sebagian yang mereka lakukan hanya ketika aku berada di tengah-tengah mereka, sedangkan Engkau menjadi saksi atas segala sesuatu, karena tidak ada sesuatu pun yang tidak Engkau ketahui.[197]

4. al-Masih Yang di Janjikan.

Mirza Ghulam Ahmad berkata:

”sesuatu yang dikategorikan jahat, jika ada orang beranggapan bahwa Isa as tidak mati, dan itu dikategorikan syirik…Akan tetapi Isa itu mati seperti sesamanya, dan ia meninggal seperti ahli zamannya. Jika ada yang berkeyakinan diangkat ke langit dikalangan kaum muslimin, itu tercampur baur dengan keyakinan Nasraniyah”.[198]

Pendapat Mirza Ghulam Ahmad, bahwa Isa as telah mati, dan ia di kuburkan di tanah Hindi (India), dan ia akan kembali ke dunia secara ruhiyah (spritual), dan ini yang dinantikan oleh manusia, setelah kefasikan Nasrani di muka bumi, dan kaum muslimin merasa lemah untuk melawannya. Karena itu, Allah wajib membangkitkan (mengutus) Isa dari bentuk baru secara ruhiyah (spritual) untuk membersihkan, menstabilkan masyarakat, dan menegakkan keadilan.[199]

Pada akhir abad ke 19, sekitar pada  tahun 1891 M. Mirza Ghulam Ahmad, mengaku sebagai wali dan mujaddid, dan pengakuan ini adalah atas dasar dari pilihan Tuhan agar supaya menjadi seorang mujaddid dalam urusan agama. Maka pada waktu itu, akhir abad ini, Mirza Ghulam Ahmad menerima surat dari temannya Hakim Nuruddin, yang menawarkan dan membeberkan agar Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Isa al-Masih diantara masyarakat pada waktu itu. Dalam isi surat itu, sekiranya Mirza mau menerima tawaran ini, maka manusia akan menghormati dan meng-elu-elukan Mirza Ghulam Ahmad. [200]

Tawaran ini, membuat bingung dan bimbang Mirza Ghulam Ahmad pada awalnya. Ini dikemukan oleh dia sendiri. Akan tetapi kegelisahan ini berubah dengan tiga faktor:[201]

1)      Karena khayalan dan mimpi ingin dihormati;

2)      Faktor pengetahuan yang dimiliki cukup memadai dan;

3)      Adanya dorongan dari pemerintah Inggris. 

Akhirnya, Mirza Ghulam Ahmad, dengan semangat yang menyala-nyala dan keinginan yang luar biasa, ia mengklaim sebagai al-Masih al-mau’ud yang diutus Allah dalam bentuk baru untuk membasmi dunia dari kejahatan.[202] Dalam tahun 1890 beliau menulis buku yang berjudul ”Fatah Islam” yang disusul kemudian oleh karya berikutnya: ”Tauzih Maram”. Kedua buku tersebut terbit tahun 1891 M. Bersama kitab ”Izala Auham”. Di dalam buku-buku itu beliau mengumumkan bahwa berdasarkan wahyu kepada beliau Allah SWT telah menunjuk beliau sebagai Masih dan Mahdi yang dijnajikan. Pendakwaan beliau ini mengklaim ditunjang oleh banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda Suci Rasulullah saw. Kita mencatat bahwa didalam kitab ”Barahin Ahmadiyah”, beliau masih memegang pendirian yang sama seperti kebanyakan kaum muslimin tentang Nabi Isa as, yaitu masih hidup di langit. Akan tetapi dalam tahun 1891 M.ketika beliau diberitahukan dengan wahyu bahwa Nabi Isa as telah wafat, beliau mengubah pendirian itu.[203]

Perhatikan dukungan wahyu -dalam pengakuan Mirza Ghulam Ahmad- yang selalu diulang-ulang dalam setiap kali perjumpaan dengan khalayak ramai untuk pengakuan ini. Diantaranya:

1)      Artinya:”Wahai manusia, jika kamu beriman dan beragama, maka bertahmidlah pada Allah, bersujud dan bersyukurlah pada Allah. …………….”;[204]

2)      Artinya:”Demi Allah yang mengutus-ku …….Dia yang mengutusku, dan aku ini adalah Masih mau’ud”;[205]

3)      Artinya:”Aku sesungguhnya Masih Mau’ud yang telah dikabarkan dalam semua kitab Samawi, bahwa aku akan muncul pada akhir zaman”;[206]

4)      Artinya: ”Aku itu adalah cahaya, pembaharu yang diutus, hamba penolong, Mahdi Mau’ud dan Masih mau’ud”;[207]

5)      Artinya:”Ya Ahmad, kamu yang –Kumaksud dan bersama-Ku, Allah memujimu dari arsnya, dan berfirman: kamu adalah Isa yang muncul pad waktunya…”;[208]

6)       Artinya:”Allah berfirman padaku dan menyeruku, Firmannya: Sesunguhnya Aku mengutusmu kepada kaum yang penuh kefasadan, dan Aku jadikan engkau pemimpin bagi manusia, dan Aku jadikan engkau khalifah yang mulia, sebagaimana berlaku sunahku pada kaum-kaum yang awal. Dan Allah menyeruku, dengan firmanya: Sesungguhnya engkau al-Masih Ibn Maryam dan Aku utus kamu untuk menyempurnakan janji sebelum kamu…”[209]

7)      Artinya: ”Dan aku dijadikan tuhanku Isa ibn Maryam, sebgai Isa ”al-burujaat” ruhaniyah”.[210]

Atas dasar narasi-narasi Mirza Ghulam Ahmad yang penulis kemukakan diatas, menunjukan bahwa yang dimaksud dengan al-Masih yang dijanjikan adalah Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Hal ini senada dengan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian yang sangat serius yang dilakukan oleh Zulkarnaen untuk mempertahankan Disertasinya, menyimpulkan, Ahmadiyah berpendapat bahwa al-Masih yang dijanjikan yang akan datang di akhir zaman itu bukanlah Nabi Isa as yang telah wafat, melainkan seorang Islam yang mempunyai perangai atau sifat-sifat seperti Nabi Isa as yakni Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian. Pengakuan sebagai al-Masih itu ia umumkan pada tahun 1891 M.[211]

C. Kenabian Mirza Ghulam Ahmad

. Tahapan Nabi Mirza Ghulam Ahmad

Perhatikan kembali pada bab I, penjajah Inggris ikut campur merekayasa tentang “ke-nabi-an” Mirza Ghulam Ahmad. Mudah-mudahan anda masih ingat apa yang dilakukan team yang dibentuk Pemerintah Inggris yang diutus ke India, dimana team ini berhasil merekomendasikan kepada Pemerintah Inggris untuk menciptakan seorang tokoh yang diidolakan masyarakat India. Tokoh ini, diberi gelar “ke-nabia-an” yang dianggap sangat sacral oleh kaum muslimin di seluruh dunia.

Pemerintah Inggris dengan selektif, hati-hati dan penuh dengan kepastian memilih “Mirza Ghulam Ahmad” untuk menjalankan misi yang sangat penting dan penuh dengan nuansa keagamaan. Setelah melalui, tahap pertama sebagai pembaharu dan wali; tahap kedua sebagai Imam Mahdi dan Masih al-ma’ud, maka pada tahap ketiga Mirza Ghulam Ahmad setelah memperhatikan situasi dan kondisi keberagamaan masyarakat India, ia dengan lantang tanpa keraguan mengklaim sebagai nabi, bagi bangsanya.[212] Penobatan sebagai ke-nabi-an ini, segera mendapat reaksi dari berbagai kalangan ulama Islam seluruh dunia pada waktu itu.

Pengakuan nabi ini dibagi kedalam dua tahapan. Tahapan pertama sebagai nabi dhilliyah, dan kedua nabi mustaqil. Dibawah ini penulis ringkaskan yang dinukil dari kitab, “al-Qadiyaniyat wa Masyiruhaa fi al-taarih” yang ditulis oleh Thoha al-Dasuqy.

1. Nabi Dhilliyah.

Mirza Ghulam Ahmad, untuk mengklaim sebagai nabi melalui beberapa tahapan sebagaimana yang telah dikemukakan diatas; ia mengklaim sebagai wali dan pembaharu; kemudian meningkat lagi sebagai Imam Mahdi dan al-Masih dan ketiga sebagai nabi. Sampai pada bahasan ini, kita akan mendiskusikan tentang ke-nabi-an Mirza Ghulam Ahmad. Apa yang dimaksud dengan seorang nabi itu?

Proses kenabian Mirza Ghulam Ahmad, tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada agama Bahaiyah” yang muncul di Iran. Dilihat dari sudut pandang perekayasa, baik Bahaiyah ataupun Ahmadiyah adalah memilki latar yang sama, yaitu kepentingan Yahudi Internasional. Jika dilihat dari sudut pandang syari’at, sama-sama membatalkan konsep jihad dalam Islam. Dilihat dari proses tahapan-tahapan untuk mencapai puncak gelar kenabian yang suci, juga adalah sama.

Secara ringkas, penulis kemukakan proses kenabian Mirza Ghulam Ahmad, yang ditulis oleh Thoha Dasuqy. Ia menjelaskan bahwa, pengakuan nabi ini di proklamirkan pada tahun1900 M. Ia tidak mengklaim sebagai nabi yang secara jelas, shorih dan qat’i sebagai nabi. Dalam tahapan nabi dhilli ini terbagi kedalam dua proses

Pertama;[213] pada suatu hari, hari Jum’at, Maulana Abdul Karim naik mimbar, dan ia berkhutbah, dengan isi khutbahnya adalah dari awal sampai akhir sebagai pengakuan kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Dan menjelaskan kepada khalayak manusia, siapa yang tidak mengakui untuk membenarkan kenabian Mirza Ghulam Ahmad, itu adalah suatu hakikat orang yang memisahkan dengan Rasulullah. Dan orang yang memisahkan dengan Rasulullah adalah dikategorikan sebagai bertentang dengan urf a’am, yang disebut dengan kafir.

Manusia  yang mendengarkan khutbah ini mengalami kebingungan dan penuh dengan karaguan. Karaguan ini, sampai pada Jum’at berikutnya. Kemudian pada Jum’at berikutnya, seorang khotib masih yang pertama yaitu, Maulan Abdul Karim, dan isi khutbah Jum’at pun seperti semula tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad, kali ini ia mengatan bahwa pintu kenabian belum tertutup, dan ia mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.

Lantas Abdul Karim, meminta sikap dari Mirza Ghulam Ahmad tentang apa yang ia khutbahkan mengenai kenabian Mirza sendiri, dan untuk memberikan penjelasan kepada khalayak ramai. Pada kali ini, Mirza Ghulam Ahmad tidak berkomentar, hanya saja ia mengatakan: “sesungguhnya keyakinanku -diriku sendiri adalah persis seperti apa yang kau khutbahkan (Maulana Abdul Karim). Artinya, Mirza Ghulam Ahmad mengiyakan sebagai nabi.

Kedua; langkah selanjutnya adalah mengumumkan secara besar-besaran kepada umat, bahwa yang dimaksud dengan kenabian Mirza Ghulam Ahmad itu adalah, nabi yang masih dalam kerangka kenabian Muhammad saw. Artinya ia sebagai nabi tabe’ mengikuti nabi Muhammad, karena itu disebut sebagai nabi dhilliyah, yang tidak merusak terhadap kenabian terakhir Nabi Muhammad saw.  Dalam tahapan ini, tidak mengklaim sebagai nabi, seperti kenabian Nabi Muhammad dan atau seperti nabi-nabi yang lainnya. Akan tetapi, hanya sebatas nabi dhilli.[214]

Nabi Zhilli, artinya ia mendapat anugrah Allah menjadi nabi semata-mata hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga mengikuti syari’atnya. Jadi kenabian itu di bawah kenabian sebelumnya dan tidak ada syari’at baru.[215] Sampai disini, menurut paham Ahmadiyah Qadiani, hanya nabi-nabi yang membawa syari’at saja yang sudah berakhir, karena lembaga kenabian telah tertutup, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari’at akan tetap berlangsung. Dan seorang nabi tanpa membawa syari’at, baru bisa datang asal ia adalah seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad saw.[216] 

Mirza Ghulam Ahmad berkata:

“ketahuilah, bahwa keutamaan Allah ada pada diriku, dan bahwasannya ruh Allah ditiupkan pada diriku, maka tidak bisa diketahui secara rahasia dan dalamnya urusanku, kecuali Tuhanku, Dia Allah yang menurunkan padaku, dan Dia yang menjadikanku cahaya”.[217]

Mirza Ghulam Ahmad berkata[218]:

“tuduhan yang dilemparkan kepada saya ialah bahwa saya bentuk kenabian yang saya akui buat diri saya menyebabkan saya keluar dari Islam. Dengan perkataan lain saya dituduh mempercayai bahwa saya adalah nabi yang berdiri sendiri, seorang nabi yang tak perlu mengikuti al-Qur’an Suci, dan bahwa kalimah saya lain dan kiblat saya berobah. Juga saya disangkakan menghapus syariat dan memutuskan tali kesetiaan kepada Nabi Muhammad saw. Tuduhan itu sama sekali palsu. Suatu pengakuan kenabian seperti itu adalah kufur, ini jelas. Bukan hanya kini tetapi sejak hari permulaan sekali saya selalu mengemukakan dalam buku-buku saya bahwa saya tidak mengakui kenabian seperti itu untuk saya. Itu sama sekali adalah suatu tuduhan kosong dan suatu cercaan terhadap saya. Keadaan sebenarnya hanyalah ini bila saya menyebutkan diri saya seorang nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah SWT berbicara dengan saya, bahwa Dia sangat sering berkata-kata dengan saya dan mewahyukan kepada saya hal-hal gaib, dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan masa datang dan yang tidak Dia bukakan kepada seorang yang tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya Dia mengangkat saya sebagai nabi dalam arti itu”.

Jadi dari narasi diatas yang dikemukakan Mirza sendiri, ia benar-benar mengaku nabi, akan tetapi dalam tahapan ini klaim kenabiannya bukanlah nabi secara mutlak dan penuh secara syar’i sebagaimana para nabi-nabi Allah yang diturunkan dengan membawa wahyu.

Pengakuannya, ”lembaga kenabian telah tertutup, kecuali melalui dan didalam Nabi Muhammad saw. Nabi pembawa syariat tidak mungkin datang lagi. Seorang nabi tanpa syariat baru bisa datang, tetapi lebih dulu ia harus seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad saw”.[219] Ini adalah tahapan pengakuan Mirza sebagai nabi. Pada tahapan ini, ia disebut dengan nabi thabe atau nabi dhilli, yang masih taat dan tunduk terhadap al-qur’an dan hadist nabi Muhammad saw.

2. Nabi Mustaqil

Untuk mengklaim sebagai nabi mustaqil, maka pada tahun1901 M. Mirza Ghulam Ahmad, secara terus terang ia akui sebagai nabi. Ia menerima wahyu,[220] sebagai wahyu kenabian. Dan ini adalah sebagai nabi mustaqil, seperti para nabi-nabi dan Rasul-Rasul yang lainnya. Dalam hal ini, untuk memperkuat pengakuannya itu, ia kemukakan wahyu-wahyu sebagai kenabian yang ia terima dari Tuhan.[221]

Perhatikan wahyu- wahyu kenabian yang di klaim sebagai penegasan kenabian Mirza Ghulam Ahmad, diantaranya:

1)      Artinya: “Tuhan yang Maha Benar adalah Tuhan yang mengutus rasulnya di Tanah Qadiani”;[222]

2)      Artinya: “Sesunngguhnya Allah Maha Kuasa, Ia akan memelihara /melindungi Tanah Qadiani dari tha’un, sehingga banyak orang mengetahui bahwa Tanah Qadiani, sebabnya adalah di Tanah Qadiani diturunkan seorang Rasul;[223]

3)      Artinya: “Dia Allah yang telah mengutus seorang Rasul dengan membawa petunjuk dan membawa agama yang haq atas agama-agama lainnya”;[224]

4)      Artinya: “Apakah kamu perhatikan, sekiranya aku ini dari Allah, kemudian kamu sekalian mendustakannya, apakah kamu termasuk orang-orang yang mendustakan”;[225]

5)      Artinya:“Sekiranya kamu sekalian memperhatikan, bagaimana kamu menolong manusia dan murtad dari agama Allah, kemudian kamu katakan apa yang datang sebagai utusan dari Allah, bagaimana kamu menghukumi/memutuskan”;[226]

6)      Artinya: “Allah memberi nikmat, -yakni bagi umat Islam- dengan di utusnya Isa, apakah mengingkari setelahnya”;[227]

7)      Artinya: “Yakni, Allah beserta engkau. Allah berdiri dimana engkau berdiri.” Ini merupakan dukungan Ilham.”[228]

Narasi di atas diakui oleh Ahmadiyah sebagai wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad yang mengukuhkan sebagai nabi.

BAB V

Hasil Penelitian dan Pembahasan

(Kenabian Mirza Ghulam Ahmad)

A. Tahapan Nabi Mirza Ghulam Ahmad

Perhatikan kembali pada yang lalu, penjajah Inggris ikut campur merekayasa tentang “ke-nabi-an” Mirza Ghulam Ahmad. Mudah-mudahan anda masih ingat apa yang dilakukan team yang dibentuk Pemerintah Inggris yang diutus ke India, dimana team ini berhasil merekomendasikan kepada Pemerintah Inggris untuk menciptakan seorang tokoh yang diidolakan masyarakat India. Tokoh ini, diberi gelar “ke-nabia-an” yang dianggap sangat sacral oleh kaum muslimin di seluruh dunia.

Pemerintah Inggris dengan selektif, hati-hati dan penuh dengan kepastian memilih “Mirza Ghulam Ahmad” untuk menjalankan misi yang sangat penting dan penuh dengan nuansa keagamaan. Setelah melalui, tahap pertama sebagai pembaharu dan wali; tahap kedua sebagai Imam Mahdi dan Masih al-ma’ud, maka pada tahap ketiga Mirza Ghulam Ahmad setelah memperhatikan situasi dan kondisi keberagamaan masyarakat India, ia dengan lantang tanpa keraguan mengklaim sebagai nabi, bagi bangsanya.[229] Penobatan sebagai ke-nabi-an ini, segera mendapat reaksi dari berbagai kalangan ulama Islam seluruh dunia pada waktu itu.

Pengakuan nabi ini dibagi kedalam dua tahapan. Tahapan pertama sebagai nabi dhilliyah, dan kedua nabi mustaqil. Dibawah ini penulis ringkaskan yang dinukil dari kitab, “al-Qadiyaniyat wa Masyiruhaa fi al-taarih” yang ditulis oleh Thoha al-Dasuqy.

1. Nabi Dhilliyah.

Mirza Ghulam Ahmad, untuk mengklaim sebagai nabi melalui beberapa tahapan sebagaimana yang telah dikemukakan diatas; ia mengklaim sebagai wali dan pembaharu; kemudian meningkat lagi sebagai Imam Mahdi dan al-Masih dan ketiga sebagai nabi. Sampai pada bahasan ini, kita akan mendiskusikan tentang ke-nabi-an Mirza Ghulam Ahmad. Apa yang dimaksud dengan seorang nabi itu?

Proses kenabian Mirza Ghulam Ahmad, tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada agama Bahaiyah” yang muncul di Iran. Dilihat dari sudut pandang perekayasa, baik Bahaiyah ataupun Ahmadiyah adalah memilki latar yang sama, yaitu kepentingan Yahudi Internasional. Jika dilihat dari sudut pandang syari’at, sama-sama membatalkan konsep jihad dalam Islam. Dilihat dari proses tahapan-tahapan untuk mencapai puncak gelar kenabian yang suci, juga adalah sama.

Secara ringkas, penulis kemukakan proses kenabian Mirza Ghulam Ahmad, yang ditulis oleh Thoha Dasuqy. Ia menjelaskan bahwa, pengakuan nabi ini di proklamirkan pada tahun1900 M. Ia tidak mengklaim sebagai nabi yang secara jelas, shorih dan qat’i sebagai nabi. Dalam tahapan nabi dhilli ini terbagi kedalam dua proses

Pertama;[230] pada suatu hari, hari Jum’at, Maulana Abdul Karim naik mimbar, dan ia berkhutbah, dengan isi khutbahnya adalah dari awal sampai akhir sebagai pengakuan kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Dan menjelaskan kepada khalayak manusia, siapa yang tidak mengakui untuk membenarkan kenabian Mirza Ghulam Ahmad, itu adalah suatu hakikat orang yang memisahkan dengan Rasulullah. Dan orang yang memisahkan dengan Rasulullah adalah dikategorikan sebagai bertentang dengan urf a’am, yang disebut dengan kafir.

Manusia  yang mendengarkan khutbah ini mengalami kebingungan dan penuh dengan karaguan. Karaguan ini, sampai pada Jum’at berikutnya. Kemudian pada Jum’at berikutnya, seorang khotib masih yang pertama yaitu, Maulan Abdul Karim, dan isi khutbah Jum’at pun seperti semula tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad, kali ini ia mengatan bahwa pintu kenabian belum tertutup, dan ia mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.

Lantas Abdul Karim, meminta sikap dari Mirza Ghulam Ahmad tentang apa yang ia khutbahkan mengenai kenabian Mirza sendiri, dan untuk memberikan penjelasan kepada khalayak ramai. Pada kali ini, Mirza Ghulam Ahmad tidak berkomentar, hanya saja ia mengatakan: “sesungguhnya keyakinanku -diriku sendiri adalah persis seperti apa yang kau khutbahkan (Maulana Abdul Karim). Artinya, Mirza Ghulam Ahmad mengiyakan sebagai nabi.

Kedua; langkah selanjutnya adalah mengumumkan secara besar-besaran kepada umat, bahwa yang dimaksud dengan kenabian Mirza Ghulam Ahmad itu adalah, nabi yang masih dalam kerangka kenabian Muhammad saw. Artinya ia sebagai nabi tabe’ mengikuti nabi Muhammad, karena itu disebut sebagai nabi dhilliyah, yang tidak merusak terhadap kenabian terakhir Nabi Muhammad saw.  Dalam tahapan ini, tidak mengklaim sebagai nabi, seperti kenabian Nabi Muhammad dan atau seperti nabi-nabi yang lainnya. Akan tetapi, hanya sebatas nabi dhilli.[231]

Nabi Zhilli, artinya ia mendapat anugrah Allah menjadi nabi semata-mata hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga mengikuti syari’atnya. Jadi kenabian itu di bawah kenabian sebelumnya dan tidak ada syari’at baru.[232] Sampai disini, menurut paham Ahmadiyah Qadiani, hanya nabi-nabi yang membawa syari’at saja yang sudah berakhir, karena lembaga kenabian telah tertutup, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari’at akan tetap berlangsung. Dan seorang nabi tanpa membawa syari’at, baru bisa datang asal ia adalah seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad saw.[233] 

Mirza Ghulam Ahmad berkata:

“ketahuilah, bahwa keutamaan Allah ada pada diriku, dan bahwasannya ruh Allah ditiupkan pada diriku, maka tidak bisa diketahui secara rahasia dan dalamnya urusanku, kecuali Tuhanku, Dia Allah yang menurunkan padaku, dan Dia yang menjadikanku cahaya”.[234]

Mirza Ghulam Ahmad berkata[235]:

“tuduhan yang dilemparkan kepada saya ialah bahwa saya bentuk kenabian yang saya akui buat diri saya menyebabkan saya keluar dari Islam. Dengan perkataan lain saya dituduh mempercayai bahwa saya adalah nabi yang berdiri sendiri, seorang nabi yang tak perlu mengikuti al-Qur’an Suci, dan bahwa kalimah saya lain dan kiblat saya berobah. Juga saya disangkakan menghapus syariat dan memutuskan tali kesetiaan kepada Nabi Muhammad saw. Tuduhan itu sama sekali palsu. Suatu pengakuan kenabian seperti itu adalah kufur, ini jelas. Bukan hanya kini tetapi sejak hari permulaan sekali saya selalu mengemukakan dalam buku-buku saya bahwa saya tidak mengakui kenabian seperti itu untuk saya. Itu sama sekali adalah suatu tuduhan kosong dan suatu cercaan terhadap saya. Keadaan sebenarnya hanyalah ini bila saya menyebutkan diri saya seorang nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah SWT berbicara dengan saya, bahwa Dia sangat sering berkata-kata dengan saya dan mewahyukan kepada saya hal-hal gaib, dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan masa datang dan yang tidak Dia bukakan kepada seorang yang tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya Dia mengangkat saya sebagai nabi dalam arti itu”.

Jadi dari narasi diatas yang dikemukakan Mirza sendiri, ia benar-benar mengaku nabi, akan tetapi dalam tahapan ini klaim kenabiannya bukanlah nabi secara mutlak dan penuh secara syar’i sebagaimana para nabi-nabi Allah yang diturunkan dengan membawa wahyu.

Pengakuannya, ”lembaga kenabian telah tertutup, kecuali melalui dan didalam Nabi Muhammad saw. Nabi pembawa syariat tidak mungkin datang lagi. Seorang nabi tanpa syariat baru bisa datang, tetapi lebih dulu ia harus seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad saw”.[236] Ini adalah tahapan pengakuan Mirza sebagai nabi. Pada tahapan ini, ia disebut dengan nabi thabe atau nabi dhilli, yang masih taat dan tunduk terhadap al-qur’an dan hadist nabi Muhammad saw.

2. Nabi Mustaqil

Untuk mengklaim sebagai nabi mustaqil, maka pada tahun1901 M. Mirza Ghulam Ahmad, secara terus terang ia akui sebagai nabi. Ia menerima wahyu,[237] sebagai wahyu kenabian. Dan ini adalah sebagai nabi mustaqil, seperti para nabi-nabi dan Rasul-Rasul yang lainnya. Dalam hal ini, untuk memperkuat pengakuannya itu, ia kemukakan wahyu-wahyu sebagai kenabian yang ia terima dari Tuhan.[238]

Perhatikan wahyu- wahyu kenabian yang di klaim sebagai penegasan kenabian Mirza Ghulam Ahmad, diantaranya:

8)      Artinya: “Tuhan yang Maha Benar adalah Tuhan yang mengutus rasulnya di Tanah Qadiani”;[239]

9)      Artinya: “Sesunngguhnya Allah Maha Kuasa, Ia akan memelihara /melindungi Tanah Qadiani dari tha’un, sehingga banyak orang mengetahui bahwa Tanah Qadiani, sebabnya adalah di Tanah Qadiani diturunkan seorang Rasul;[240]

10)  Artinya: “Dia Allah yang telah mengutus seorang Rasul dengan membawa petunjuk dan membawa agama yang haq atas agama-agama lainnya”;[241]

11)  Artinya: “Apakah kamu perhatikan, sekiranya aku ini dari Allah, kemudian kamu sekalian mendustakannya, apakah kamu termasuk orang-orang yang mendustakan”;[242]

12)  Artinya:“Sekiranya kamu sekalian memperhatikan, bagaimana kamu menolong manusia dan murtad dari agama Allah, kemudian kamu katakan apa yang datang sebagai utusan dari Allah, bagaimana kamu menghukumi/memutuskan”;[243]

13)  Artinya: “Allah memberi nikmat, -yakni bagi umat Islam- dengan di utusnya Isa, apakah mengingkari setelahnya”;[244]

14)  Artinya: “Yakni, Allah beserta engkau. Allah berdiri dimana engkau berdiri.” Ini merupakan dukungan Ilham.”[245]

Narasi di atas diakui oleh Ahmadiyah sebagai wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad yang mengukuhkan sebagai nabi.

B. Nabi Setelah Nabi Muhammad saw.

Jemaat Ahmadiyah berkeyakinan, tentang kedatangan nabi setelah Nabi Muhammad saw dengan argumen sebagai berikut:

”Adalah sunatullah, bahwasannya apabila kegelapan dan keburukan telah sampai puncaknya, maka Dia mungutus nabi-Nya untuk menghilangkan kegelapan dan memperbaiki keburukan-keburukan itu. Dengan kedatangan mereka bertukarlah kegelapan menjadi terang dan keadaan yang buruk menjadi baik.

Dalam kalangan umat Islam sekarang timbulah satu faham, bahwa setelah wafat Nabi Muhammad saw tidak ada lagi nabi sekalipun hanya nabi yanag tidak membawa syari’at baru. Padahal Allah Taala tidak menjamin bahwa di masa yang akan datang tidak akan ada lagi keburukan dan kesesatan. Sebaliknya kita membaca khabar-khabar dan bubuwatan dari Rasul Suci Muhammad saw bahwa amanat-amanat dan kejujuran akan hilang. Bohong dan kepalsuan akan berjangkit sehebat-hebatnya, Islam akan tinggal namanya, Al-Qur’an akan tinggal tulisannya dan alim ulama seburuk-buruk manusia dibawah kolong langit. Bukankah patut disayangkan, bahwa pintu dari segala keburukan terbuka selebar-lebarnya bagu ummat, tetapi pintu nubuwat yang akan membasmi dan memperbaikinya tertutup samasekali.

Islam adalah agama yang sempurna untuk segala bangsa dan sepanjang masa tidaka akan berobah-obah sampai akhir zaman. Tetapi nabi  yang tidak membawa syariat baru, tidak merobah syariat Islam walaupu sebesar biji sawi; nabi yang seratus persen tunduk kepada aturan dan ajaran Islam serta memperkuat dan menyatakan kebenaran agama yang dibawa oleh Rasul Suci saw dan memenangkannya kembali disaat orang-orang Islam mabuk dalam keduniawian serta jauh sama sekali tindak tanduknya dalam menghidmat Islam, kita akui ada dan seterusnya aakan ada. Di berbagai tempat alqur’an Suci menjelaskan adanya Nabi yang seperti itu”.[246]

Untuk memperkuat keyakinan kedatangan nabi setelah nabi Muhammad saw pengikut ajaran Ahmadiyah berargumentasi dengan dalil-dalil al-Qur’an sebagai berikut:

Dalil pertama:

”Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”[247]

Ayat diatas terdapat perbedaan penafsiran antara pengikut ajaran Ahmadiyah dengan para Ualama pada umumnya. Mari kita perhatikan letak perbedaan tersebut.

Menurut tafsiran pengikut ajaran Ahmadiyah, ayat ke 6 dan ke 7 dari surat al-Fatihah tersebut diatas itu, Allah telah memerintahkan kepada ummat Islam supaya sebagai ummat meminta kepada-Nya agar nikmat-nikmatnya yang pernah diterima oleh ummat dahulu terutama kaum Bani Isarail (Yahudi), diberikan pula kepada ummat Islam. Adapun nikmat yang telah diberikan Allah kepada Bani Israil ialah KENABIAN dan KERAJAAN.[248]

  1. b.      Tafsiran Ualama pada umumnya.

Tafsiran menurut para ulama pada umunya,[249] dibagi kepada dua petunjuk: Pertama, petunjuk menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Misalnya dalam ayat, ”Sesungguhnya engkau (Muhammad) memberi petunjuk kejalan yang lurus”[250] atau, ”Adapun kaum Tsamud maka Kami telah memberi mereka hidayah, tetapi mereka lebih senang kebutaan (kesesatan) daripada hidayah”.[251] Kata hidayah yang pelakunya menusia adalah hidayah dalam bentuk pertama ini.

Kedua, petunjuk serta kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk. Ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah swt. Karena itu ditegaskannya bahwa, ”Sesunguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk (walaupun) orang yang engkau cintai, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya”.[252]

Sementara ayat ketujuh Surah al-Fatihah, dapat diketahui bahwa terdapat empat kelompok manusia yang telah mendapat nikmat khusus dari Allah swt., yaitu ”nikmat keagamaan”, dan jalan kelompok-kelompok itulah yang dimohonkan agar ditelusuri oleh pembaca ayat ke tujuh surah al-Fatihah ini. Secara singkat dari kelompok itu adalah;

 Pertama:  para nabi yaitu mereka yang dipilih Allah untuk memperoleh bimbingan sekaligus ditugasi untuk menuntun manusia menuju kebenaran Ilahi.

Kedua : adalah para shiddiqin yaitu orang-orang dengan pengertian apapun selalu benar dan jujur.

Ketiga :   adalah para shuhada’ yakni mereka yang bersaksi atas kebenaran dan kebajikan, melalui ucapan, dan tindakan mereka…

keempat: adalah orang-orang shaleh, yakni yang tangguh dalam kebajikan, dan selalu berusaha mewujudkannya. Kalaupun sesekali ia melakukan pelanggaran, maka itu adalah pelanggaran kecil dan tidak berarti jika dibandingkan dengan kebajikan-kebajikan mereka. [253]

Dalil Ahmadiyah kedua:

”Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain”.[254]

Tedapat perbedaan perbedaan penafsiran dlam ayat tersebut, yaitu;

  1. a.      Tafsiran menurut Ahmadiyah

Menurut tafsiran pengikut ajaran Ahmadiyah, ayat ini dengan tegas menjelaskan, bahwa umat Islam pasti akan menerima kedua macam nikmat tersebut. Nikmat yang kedua sudah sempurna yaitu sudah banyak sekali di kalangan umat Islam yang telah menjadi raja-raja dan nikmat yang pertama pasti akan sempurna pula. Ummat Islam adalah umat terbaik yang pernah muncul kedunia..

Allah menyuruh ummat Islam meminta dua nikmat besar yang pernah diperoleh ummat-umat terdahulu, yaitu nubuwat dan kerajaan. Allah pasti akan kabulkan, karena Ia menyuruh memintanya dalam setiap rakaat dalam sembahyang yang dilakukannya pada siang dan malam hari. Dan ummat Islam adalah ummat terbaik, harus mendapatkan nikmat-nikmat besar.[255]

  1. b.      Tafsiran para ulama pada Umumnya.

Tafsiran yang berbeda dengan Ahmadiyah, ayat ini memerintahkan setiap pembaca dan pendengar agar mengingat dan merenungkan aneka karunia-Nya terhadap Bani israil. Ayat ini menegaskan: Dan ingatlah ketika Nabi Musa as. Berkata kepada kaumnya menasihati mereka: ”Hai kaumku, yakni orang-orang Yahudi ingatlah dengan hati dan pikiran kamu serta sebut-sebutlah dengan lidah kamu nikmat Allah atas kamu ketika Dia mengangkat para nabi di antara kamu, yakni dari para nabi leluhur mereka yaitu Ya’qub dan anak cucunya seperti Nabi Yusuf, dan menjadikan kamu memiliki kebebasan dan kemerdekaan layaknya raja-raja, setelah sebelumnya kemu tertindas oleh Fir’aun dan rezimnya serta telah menganugrahkan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada satu pun di antara umat-umat yang lain.”[256]

Tafsiran dari ja’ala fikum anbiya/mengangkat para nabi di antara kamu, dapat dipahami dalam arti para nabi sebelum Nabi Musa as. Sejak Nabi Ibrahim as., dapat juga dipahami para Nabi Bani Israil saja, yaitu sejak Yusuf dan al-Asbath, atau nabi pada generasi mereka. Karena seperti diketahui, bahwa para nabi dikalangan Bani Israil sangat banyak, kedudukan mereka serupa dengan kedudukan ulama dikalangan umat Islam.[257]

Sedangkan tafsiran dari ayat ja’alakum mulukan/menjadikan kamu raja-raja, tidak dapat dipahami dalam arti menjadi mereka masing-masing memiliki mahkota, karena pasti – kalaupun pernah dan kelak akan ada di antara mereka yang menjadi raja atau penguasa, namun pasti tidak semua mereka demikian, padahal redaksinya menyatakan menjadikan kamu raja-raja bukan sebagaimana ketika menguraikan nikmat kehadiran para nabi mengangkat nabi-nabi di antara kamu.[258]

Sedangkan tafsiran dari ayat wa atakum maalam yu’ti ahadan min al-alamin/ serta telah menganugrahkan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain, dipahami oleh sementara ulama sebagai umat lain pada masa mereka. Tetapi, pembatasan tersebut tidak harus demikian. Ia dapat juga dipahami dalam arti anugrah-anugrah Allah kepada Bani Israil yang memang tidak diperoleh umat lain, seperti banyaknya nabi-nabi di antara mereka.[259]

Jadi dari ayat tersebut dengan tafsiran yang dikemukakan diatas, tidak dimaksudkan perintah kepada umat Islam untuk berdo’a meminta nubuwat/kenabian pada masa kini, pintu kenabian sudah selesai dan ditutup dengan berakhir pada Nabi Muhammad saw.

Dalil Ketiga

Artinya:

”Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini[254], sehingga dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya[255]. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar”.[260]

Terdapat perbedaan penafsiran antara para ulama pada umumnya, dengan pengikut Ahmadiyah, sebagai berikut dibawah ini:

Menurut tafsiran pengikuit ajaran Ahmadiyah, dalam ayat tersebut ada kalimat yatabi(memilih). Kalimat itu adalah fi’il mudhari’ (present and future tense) yang boleh diartikan dengan: sedang atau akan memilih, oleh karena waktu ayat itu turun tidak seorang Rasul sedang dipilih (karena Nabi Muhammad saw sudah lama terpilih), maka diartikan akan memilih. Kemudian Allah menyuruh supaya kita beriman kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya itu. Perintah itu kepada kita (ummat dibelakang Rasulullah saw), bukan kepada umat yang dahulu, karena orang yang sudah mati tidak perlu diperintah lagi.[261]

  1. b.      Tafsiran ulama pada umumnya.

Tafsiran yang berbeda dengan Ahmadiyah, ayat ini secara garis besar penegasan tentang masalah gaib, ayat ini juga menginformasikan tiga hal pokok, yaitu:

Pertama, Keniscayaan pemisahan antara yang baik dan buruk. Kedua, perintah beriman. Ketiga, Ketika berbicara tentang ganjaran, disebutkan syarat tambahan yaitu takwa.[262] Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman tetap di dalam keadaan sulit dan terdesak. Allah akan memisahkan orang-orang baik yaitu orang-orang yang beriman dari orang-orang jahat, yaitu orang-orang munafik. Ini termasuk hal-hal yang gaib dan tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali orang-orang pilihan yang telah ditentukan Allah swt dari rasul-rasul-Nya. Barang siapa beriman dan takwa kepada Allah, maka ia akan memperoleh pahala yang besar dan banyak.[263]

Jadi ayat diatas, bukan menjelaskan akan dipilih lagi seorang nabi setelah nabi Muhammad saw. Karena tidak ada lagi nabi setelah Nabi dan Rasulullah Muhammad saw.

Dalil Keempat:

Artinya:

”Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya”.[264]

Terdapat perbedaan penafsiran mengenai ayat diatas antara ulama pada umumnya dengan pengikut Ahmadiyah, yaitu:

Menurut tafsiran pengikuit ajaran Ahmadiyah, kalimat ”ma’a” berarti ”min” (dari), perkataan ma’a dalam ayat tersebut bukanlah berarti ”serta”, ”beserta”, tetapi berarti min (dari) atau termasuk golongan. Tegasnya ayat diatas, berarti orang-orang yang mengikuti Allah dan RasulNya akan termasuk golongan nabi-nabi, siddiq, syahid, dan shaleh. Bukanlah hanya beserta saja (tidak menjadi).

Jika ma’a diartikan dengan ”beserta”saja, maka ayat seluruhnya akan berarti, bahwa orang-orang yang mengikuti Allah dan Rasul-Nya hanya beserta nabi (bukan menjadi nabi), beserta siddiq (bukan menjadi siddiq), hanya beserta syahid (bukan menjadi syahid) dan hanya beserta shaleh (bukan menjadi shaleh). Penafsiran demikian tidak dibenarkan.[265]

Demikian menurut keyakinan Ahamdiyah yang dibangun dari tafsiran ayat diatas, yang beranggapan akan ada atau akan menjadi seorang nabi. Dalam keyakinan kita tentu tidak benar juga. Perhatikan tafsiran ulama berikut dibawah ini.

  1. Tafsiran ulama pada umumnya.

Tafsiran yang berbeda dengan Ahmadiyah. Dalam riwayat dijelaskan bahwa ayat ini turun ketika salah seorang Anshar (penduduk asli Madinah) datang menemui Nabi saw., dengan amat sedih. Nabi bertanya kepadanya, ”Mengapa engkau sedih? Dia menjawab, ”Ada sesuatu yang kupikirkan. Kami melihat wajahmu dan duduk bersamamu setiap pagi dan petang, tetapi di hari Kiamat esok, engkau akan bersama para nabi sehingga kami tidak lagi akan bersamamu.” Mendengar keluhan itu, Nabi terdiam. Tak lama kemudian, malaikat Jibril datang membawa ayat diatas, maka Nabi mengutus seseorang menyampaikan kepada sahabatnya yang sedih itu bahwa Allah telah menurunkan ayat yang menyatakan: Dan barang siapa yang menaati Allah, ……dan taat juga kepada rasul,….maka mereka yang keadaannya seperti itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahkan nikmat oleh Allah, nikmat-nikmat yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, yaitu dengan nabi-nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shaleh.[266]

Bahwa orang-orang yang taat itu bersama para nabi, tidak harus diartikan bahwa mereka pun mendapat tempat yang sama dengan para nabi itu. Dalam kehidupan dunia ini pun, kita dapat berkata bahwa si A bersama Presiden, tetapi itu tidak berarti bahwa kedudukan dan tempatnya sama. Di sisi lain, kata bersama menunjukan bahwa yang pokok dan amat terhormat adalah kelompok-kelompok yang disebut itu, sedang selain mereka hanya bersama mereka, bukan termasuk kelompok mereka.[267]

Pada ayat ini Allah mengajak dan mendorong setiap orang, supaya taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dengan menjanjikan secara pasti akan membalas keta’atan dengan pahala yang sangat besar, yaitu bukan saja sekedar masuk surga, tetapi akan ditempatkan bersama-sama dengan orang-orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Tuhan, yaitu Nabi-nabi, para siddiqin, para syuhada dan orang-orang yang shaleh.[268]

Jadi tafsiran ayat diatas, tidak menunjukan untuk menjadi nabi dari orang-orang yang shaleh setelah Nabi Muhammad saw.

Dalil Kelima:

Artinya:

”Dan sekiranya kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al Quran itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: “Ya Tuhan kami, Mengapa tidak Engkau utus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?“[269];

Artinya:

”Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. yang demikian itu Telah tertulis di dalam Kitab (Lauh mahfuzh)”.[270]

Terdapat perbedaan penafsiran dalam memahami kedua ayat diatas, sebagaimana berikut dibawah ini.

Menurut keyakinan Ahmadiyah ayat tersebut diatas, mereka berkesimpulan bahwa kedatangan rasul-rasul sebelum hari kiamat bukan mungkin saja, bahkan harus dan pasti.[271]

Dengan demikian atas dasar tafsiran ini, mereka para pengikut ajaran Ahmadiyah berkesimpulan yang mendorong menjadi sebuah  keyakinan. Pengikut ajaran Ahmadiyah berkesimpulan akan diutus seorang nabi setelah Nabi Muhammad saw., yang mengkristal menjadi keyakinan yang tidak bisa diganggu gugat. Hal ini tentu berbeda dengan keyakinan kita, sebagaimana umat Islam pada umumnya.

  1. Tafsiran ulama pada umumnya.

Tafsiran yang berbeda dengan Ahmadiyah, Thahir Ibn Asyur memahami(Thahaa:134) itu, merupakan peningkatan argumentasi yang lebih memojokan kaum musyrikin itu. Menurutnya ayat 134 di atas merupakan kecaman kepada kaum musyrikin yang menangguhkan keimanan mereka kepada Rasulullah saw., sampai datangnya bukti yang mereka usulkan, hanya kejelasannya menjadi kabur akibat ditutupi oleh adat kebiasaan dan perhatian mereka demikian besar terhadap kemusyrikan. Sebenarnya kemusrikan saja sudah cukup untuk menjadi sebab penyiksaan mereka, tetapi Allah swt., masih merahmati mereka dengan mengutus rasul guna menyingkap apa yang menyelubungi akal mereka serta menjelaskan kepada mereka kesesatan mempersekutukan Allah.[272]

Sedangkan pemahaman dari (al-Isra,17: 58.), ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah menetapkan satu ketentuan dalam konteks siksa-Nya itu, yakni tak ada suatu negeri pun yang durhaka penduduknya, melainkan Kami binasakannya dengan salah satu cara pembinasaan sebelum datangnya hari kiamat antara lain seperti yang terjadi pada Bani Israil di Bait al-Maqdis atau Kami siksa penduduknya dengan siksa yang sangat keras, walau tidak sampai pembinasaan total. Karena itu berhati-hatilah, apalagi yang demikian, yakni pembinasaan dan siksaan itu telah tertulis di dalam al-kitab,yakni lauh al-Mahfizh atau ketetapan ilmu Allah sehingga tidak dapat dibatalkan dan diubah oleh siapapun.[273]

Jadi dari narasi ayat tersebut diatas,  tidak sedikit pun menyinggung akan diutusnya seorang rasul, setelah nabi dan Rasulullah Muhammad saw.

Dalil Keenam:

Artinya:

Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat.[274]

Terdapat perbedaan penafsiran dalam memahami ayat diatas, yaitu;

Menurut tafsiran ajaran Ahmadiyah, dalam ayat ini jelas sekali pemilihan rasul-rasul akan tetap berlaku karena perkataan memilih dengan sigha mudhari’ (persent and future tense) yang harus diartikan sedang atau akan memilih, bukan telah memilih (past tense).

Oleh karena ayat ini turun setelah Rasulullah saw terpilih dan waktu Nabi itu tidak ada terjadi pemilihan Rasul lagi, maka kalimat ”YASHTAFI” (memilih) itu hanya dapat diartikan lagi dengan akan memilih (future). Mengartikan dengan telah atau sedang, adalah salah sekali. [275]

Demikian pemahaman Ahmadiyah dalam menafsirkan ayat diatas, yang dalam keyakinan umat Islam pada umumnya, pemahama seperti ini sangatat aneh sekali. Untuk lebih jelasnya perhatikan penafsiran berikut ini.

  1. Tafsiran ulama pada umumnya.

Tafsiran yang berbeda dengan Ahmadiyah, pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa Dia telah memilih beberapa orang di antara para malaikat, untuk menjadi perantara, antara-Nya dengan para Rasul yang diutus-Nya, untuk menyampaikan wahyu seperti malaikat Jibril. Demikian pula Dia telah memilih beberapa orang Rasul yang akan menyampaikan agama-Nya kepada manusia. Hal memilih para Rasul adalah hak Allah swt., tidak seorangpun yang berwenang menetapkannya selain dari Dia. Dia Maha Mendengar semua yang diucapkan oleh hamba-hamba-Nya, melihat keadaan dan mengetahui kadar kemampuan mereka. Sehingga Dia dapat menetapkan dan memilih siapa yang patut menjadi Rasul atau nabi di antara mereka.[276]

Ayat diatas, mengukuhkan para rasul utusan-Nya dengan menyatakan bahwa Allah berkehendak dan menetapkan memilih dari  jenis malaikat siapa yang dikehendaki-Nya guna menjadi utusan-utusan-Nya membawa siksa, rahmat, atau informasi dan dari jenis manusia menjadi utusan-utusan-Nya menyampaikan petunjuk kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, karena itu tidak wajar seseorang menolak utusan-Nya, apalagi kehadiran utusan-utusan itu sangat dibutuhkan manusia.[277]

Allah memilih dari malaikat dan dari manusia menjadi utusan-utusan-Nya, menunjukan bahwa risalah Ilahiah –kerasulan atau kenabian- adalah wewenang Allah semata. Ia tidak dapat diusahakan dengan cara apapun oleh makhluk. Ia adalah anugerah Allah, dan berdasar kehendak dan pilihan-Nya.[278]

Jadi, sedikitpun tidak menjelaskan tentang akan dipilih kembali seorang rasul, setelah kerasulan nabi Muhammada saw.

Dalil ketujuh:

Artinya:

”(Dialah) yang Maha Tinggi derajat-Nya, yang mempunyai ‘Arsy, yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat)”.[279]

Terdapat pemahaman yang berbeda antara umat Islam pada umumnya dengan pengikut Ahmadiyah, yaitu:

Menurut pengikut ajaran Ahmadiyah, mereka berkeyakinan bahwa, dalam ayat ini diterangkan turunnya” ruhul qudus” dan mundzir (yang memberi peringatan) dan mundzir itu ialah Nabi.[280]

 Sedangkan nabi menurut pemahaman pengikut ajaran Ahmadiyah tidak terputus pada ke-nabi-an Nabi Muhammad saw. Keyakinan semacam ini tentu menurut kita tidak dibenarkan. Karena itu, perhatikan tafsiran berikut dibawah ini.

  1. b.      Tafsiran Ulama pada umumnya.

Pemahaman yang berbeda dengan pengikut ajaran Ahmadiyah, kata ruh dugunakan al-Qur’an untuk berbagai makna. Ia antara lain bermakna sesuatu yang menjadi sumber kehidupan manusia di pentas bumi, yang kemudian berkembang menjadi segala sesuatu yang sangat bernilai. Ia juga digunakan dalam arti wahyu atau malaikat. Juga dalam arti kesempurnaan jiwa manusia sehingga pemilikinya tidak menyandang sifat-sifat kejiwaan yang buruk, dan beberapa makna yang lain.[281]

Dalam konteks ini pakar tasawuf Ibn Atha as-Sakandari berkata: ”Kehidupan hati sesuai dengan kadar yang dicampakkan kepadanya dari ruh itu. Ada yang dicampakkan kepadanya ruh risalah kerasulan, ada juga ruh kenabian, ada lagi ash shidiqqiyah serta al-kasyf (terbukanya tabir gaib) dan musyahadat (penyaksian keagungan Allah), ada juga yang dicampakkan kepadanya ruh ilmu dan ma’rifat, ada lagi ruh ibadah dan pengabdian, dan ada juga orang-orang yang tidak dicampakkan kepadanya kecuali ruh kehidupan yang menjadikan ia hanya dapat menarik dan menghembuskan nafas.[282]

Pendapat yang memahami penggalan ayat diatas sebagai berbicara tentang turunnya wahyu kepada nabi-nabi –bahkan untuk ayat ini untuk Nabi Muhammad saw.- pendapat itulah- yang lebih tepat, apalagi awal surah ini berbicara tentang diturunkannya wahyu al-Qur’an kepada nabi Muhammad saw., serta adanya penutupan ayat diatas yang menegaskan bahwa pencampakkan tersebut bertujuan agar yang dicampakkan kepadanya bertindak sebagai pemberi peringatan menyangkut hari kiamat.[283]

Jadi, ayat diatas tidak menjelaskan tentang akan adanya lagi nabi setelah nabi Muhammad saw.

Dalil kedelapan:

Artinya:

”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji[87] Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”[88]. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.[284]

Terdapat pemahaman yang berbeda antara umat Islam pada umumnya, dengan pengikut Ahmadiyah, yaitu:

Menurut pengikut ajaran Ahmadiyah, mereka menafsirkan, Allah telah menjanjikan kepada  Ibrahim as, bahwa kepada mereka akan diberikan pangkat kepemimpinan (nubuwat) untuk selama-lamanya. Tetapi (kata Tuhan) orang-orang aniaya tidak akan mendapatkannya sekalipun pangkat-pangkat yang lain menurut tingkat kesungguhan mereka masing-masing dapat mereka capai. Imamah (kepemimpinan) yang dimaksudkan, ialah nubuwat seperti yang telah dicapai Nabi Ishak as, Nabi Yakub as, Nabi Ismail as, Nabi Yusuf as dan nabi-nabi sesudahnya.[285]

  1. Tafsiran ulama pada umumnya.

Pemahaman yang berbeda dengan pengikut Ahmadiyah, ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa kepemimpinan dan keteladan harus berdasarkan keimanan dan ketakwaan, pengetahuan, dan keberhasilan dalam aneka ujian. Karena itu kepemimpinan tidak akan dapat dianugrahkan oleh Allah kepada orang-orang yang zalim, yakni berlaku aniaya.

Apa yang digariskan oleh ayat ini, merupakan salah satu perbedaan yang menunjukan ciri pandangan Islam tentang kepemimpinan, dan perbedaannya dengan pandangan-pandangan lain. Islam menilai bahwa kepemimpinan bukan hanya sekedar kontrak sosial, yang melahirkan janji dari pemimpin untuk melayani yang dipimpin sesuai kesepakatan bersama, serta janji ketaatan dari yang dipimpin kepada pemimpin, tetapi juga dalam pandangan ayat ini –harus terjalin hubungan  yang harmonis antara yang diberi wewenang memimpin dengan Tuhan, yaitu berupa janji untuk menjalankan kepeminpinan sesuai dengan nilai-nilai yang diamanatkan-Nya. Dari sini dipahami ketaatan kepada pemimpin tidak dibenarkan, jika ketaatan itu bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi.[286]

Pengikut ajaran Ahmadiyah dalam memahami ayat di atas, tidak membedakan dan tidak membatasi kepemimpinan dalan artian nubuwat dengan kepemimpinan dalalam artian secara umum. Kepemimpinan kenabian hanya diberikan Allah kepada para nabi dan dengan brerakhir pada nabi Muhammad saw., sedangkan kepemimpinan dalam artian pemimpin masyarakat masih berlanjut sampai hari ini, dan diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki.

Dalil Kesembilan:

Artinya:

”Sesungguhnya kami Telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana kami Telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir’aun”.[287]

Artinya:

Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik”.[288]

terdapat perbedaan pemahaman dalam menafsirkan kedua ayat diatas, yaitu:

Menurut pemahaman pengikut ajaran Ahmadiyah, ayat-ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Allah SWT akan meneruskan pemilihan-pemilihan khalifah dalam Islam, seperti terjadi dahulu pada Bani Israil telah terpilih pengganti-pengganti Nabi Musa as yang jumlahnya sampai puluhan itu. Maka tidak ada alasan pemilihan tidak akan dilakukan lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Sebab persamaan Nabi Muhammad dengan Nabi Musa as menghendaki supaya  dalam ummat dari Nabi Muhammad saw juga akan terpilih khalifah-khalifah.[289]

Menurut pengikut ajaran Ahmadiyah, bukankah keliru sekali jika ada pendapat yang mengatakan bahwa, dalam ummat Islam tidak akan ada nabi yang mempunyai kedudukan sebagai khalifah atau pembantu bagi Nabi Muhammad saw walau seorang.[290]  

Demikian, pemahaman pengikut Ahmadiyah dalam menafsirkan kedua ayat diatas.

  1. Tafsiran ulama pada umumnya.

Penafsiran yang berbeda dengan pengikut ajaran Ahmadiyah, pada ayat itu (QS. 73: 15), menerangkan bahwa Allah telah mengutus kepada penduduk Mekkah seorang Rasul yaitu Muhammad saw untuk membawa mereka kepada jalan yang benar dan menjadi saksi atas mereka pada hari kiamat tentang sesuatu yang berhubungan dengan sikap mereka, baik mengenai ajakan Rasul atau menolaknya, sebagaimana Allah mengutus seorang Rasul kepada Fir’aun dan kaumnya ke jalan yang benar.[291]

Sedangkan tafsiran ayat (QS. An-Nur, [24]: 55), Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi akan menjadikan agama mereka, agama yang kokoh dan kuat, dan akan memberikan kepada mereka nikmat keamanan dan kesejahteraan.[292]

Jadi, ayat diatas bukan sebagaimana yang dipahami oleh pengikut ajaran Ahmadiyah.  

Dalil Kesepuluh:

Artinya:

”Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).[293]

Tredapat pemahaman yang berbeda dalalam menafsirkan ayat diatas, yaitu;

Menurut pemahaman pengikut Ahmadiyah mereka meyakini bahwa ayat diatas yang dimaksud dengan hikmat adalah hikmat nubuwat. Sebagaimana disebutkan; ”hikmah artinya nubuwat (kenabian) dan betul-betul dalam segala urusan”.[294] Dalam pandanga pengikut ajaran Ahmadiyah, ayat tersebut jelas bahwa hikmat yang berarti nubuwat akan terus ada sampai hari kiamat.[295]

  1. Tafsiran ulama pada umumnya.

Pemahaman yang berbeda dengan pengikut ajaran Ahmadiyah, hikamh terambil dari kata hakama, yang pada mulanya berarti menghalangi. Dari akar kata yang sama dibentuklah kata yang bermakna kendali, yakni sesuatu yang fungsinya mengantar kepada yang baik dan menghindarkan dari yang buruk. Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan pengetahuan dan kemampuan menerapkannya.

Dari sini hikmah dipahami dalam arti pengetahuan tentang baik dan buruk, serta kemampuan menerapkan yang baik dan menghindar dari yang buruk.[296] Jadi ayat tersebut, jika hikmah di artikan sebagai pengetahuan, maka hikmah tersebut akan terus mengalir sampai hari kiamat. Sedangkan jika dipahami sebagai nubuwat, itu hanya untuk para nabi, dan kenabian sudah berakhir.

Dalil Kesebelas:

Artinya:

Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, Maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”[297]

Terdapat pemahaman yang berbeda antara pengikut Ahmadiyah dengan umat Islam pada umumnya, yaitu:

Menurut pengikut ajaran Ahmadiyah, ayat tersebut di atas adalah mengandung khabar suka atas kedatangan Nabi untuk memperbaiki ummat manusia. Itulah sebabnya dalam kata ”datang” ditambah huruf (nun) pakai tasdid yang menghususkan kepada masa yang akan datang.

Mereka yang sekarang  memperhatikan  ayat-ayat tersebut menganggap bahwa yang dimaksud dengan perkataan anak cucu Adam dalam ayat tersebut adalah manusia dahulu. Anggapan ini tidak betul, karena ayat ini umum dan tidak hanya tertentu kepada anak cucu Adam yang terdahulu saja sedang yang akan datang sesudah al-Qur’an tidaklah keluar dari golongan anak cucu Adam.

Jika ditinjau dari susunan ayat-ayat terdahulu, maka akan lebih jelas lagi, bahwa cucu Adam yang tersebut dalam ayat ini, ialah manusia seumumnya, tidak tertentu kepada anak cucu Adam terdahulu saja.[298]

  1. Tafsiran ulama pada umumnya.

Penafsiran yang berbeda dengan pengikut ajaran Ahmadiyah, melalui ayat ini putra-putri Adam as., diberi nasihat umum: Hai anak-anak Adam, jika satu ketika datang kepada kamu dari Allah swt., rasul-rasul yang dipilih-Nya dari jenis kami agar mereka lebih akrab dengan kamu dan kamu pun lebih akrab dengan mereka. Mereka itu ditugaskan antara lain untuk mengisahkan, yakni menyampaikan dan menjelaskan dari saat ke saat dalam bentuk berkesinambungan, rasul demi rasul hingga akhir seluruh rasul.[299]Kerasulan itu berakhir pada Nabi Muhammad saw., tidak ada lagi rasul setelahnya.

Kata imma terdiri dari kata in yang berarti jika dan ma yang berfungsi menguatkan pengandaian itu. Pengandaian ini digunakan karena -sebagaimana dikemukakan sebelumnya- ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya ditujukan kepada putra-putri Adam as., sejak putra pertama hingga putra terakhir. Tentu saja pada awal masa itu, rasul-rasul belum lagi berdatangan, karena itu sangat wajar ayat ini menggunakan kata in/jika.[300]

Ayat ini mengingatkan kepada manusia tentang kedatangan Rasul-rasul Allah. Rasul-rasul itu diutus Allah kepada tiap-tiap umat pada masa yang telah ditentukan Allah. Mereka itu adalah manusia-manusia, bukan makhluk lain. Tugas mereka menyampaikan ayat-ayat Allah yang merupakan wahyu, menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang hak dan mana yang bathil.[301] Jadi ayat ini, sama sekali tidak menjelaskan akan kedatangan lagi rasul-rasul sepanjang masa.

C.Kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Jemaat Ahmadiyah mengklaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad didasari atas dasar wahyu al-Qur’an dan Hadist. Berikut ini penulis akan beberkan dibawah ini.

Dalil Pertama:

Artinya:

”Seandainya dia,[302]mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian pasti kami potong urat nadi jantungnya”.[303]

Dari ayat diatas terdapat dua tafsiran yang berbeda, tafsiran menurut Ahmadiyah dan kedua menurut para ulama pada umumnya. Perhatikan tafsiran dibawah ini

Pertama, tafsiran pengikut Ahmadiyah, menurut ayat ini jika seseorang mengaku mendapat wahyu dari Allah SWT padahal pendusta, maka Allah SWT sendiri akan membinasakannya. Orang yang mendapat wahyu dan Ilham kemudian medakwakan dirinya sebagai nabi dan rasul, ia harus hidup sekurang-kurangnya 23 tahun (dihitung sejak menerima wahyu). (kitab Nibras halaman 444). Sejak menerima wahyu pertama (1871), Mirza Ghulam Ahmad berumur lebih dari 23 tahun, (wafat 1908).[304] Menurut Ahmadiyah ayat ini merupakan bagian dari penegasan kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

  1. b.      Tafsiran ulama pada umumnya

Kedua, tafsiran ulama pada umumnya. Ayat ini (69: 44-46),  menegaskan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar berasal dari Allah SWT, bukan buatan Muhammad, bukan syair-syair yang disusun dan bukan pula khayalan-khayalan yang berasal dari perkataan tukang tenung, karena tidak seorang makhluk pun yang sanggup membuat seperti ayat-ayat Al-Qur’an itu.[305]

Ayat ini juga  mengisyaratkan bahwa seandainya Al-Qur’an itu buatan Muhammad, pasti akan ditolak oleh manusia dan Muhammad akan gagal dalam melaksanakan dakwahnya. Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Muhammad diterima oleh orang-orang beriman karena mereka percaya akan kebenaran Al-Qur’an itu. Dan ternyata pula bahwa agama Islam semakin hari semakin berkembang.[306]

Jadi, dalam ayat tersebut diatas sama sekali bukan menjelaskan tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Demikian juga, ayat di atas tidak berhubungan dengan Mirza Ghulam Ahmad.

Dalil Kedua:

Artinya:

”Dan (Ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan Kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (akan datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad.[307] ”.[308]

Dari ayat diatas terdapat dua tafsiran yang berbeda, tafsiran menurut Ahmadiyah dan kedua menurut para ulama pada umumnya. Perhatikan tafsiran dibawah ini.

  1. a.      Tafsiran Ahmadiyah Qadian.

Pertama, versi tafsiran Jemaat Ahmadiyah, dalam ayat ini nama Ahmad adalah diperuntukkan kepada Mirza Ghulam Ahmad, karena beliau sama dengan Nabi Isa as dalam sifat-sifatnya. Sedangkan Nabi Muhammad saw sama dengan Nabi Musa as dalam sifat-sifat dan pola perjuangannya. (al-Muzzammil 15-16). Nama ”Ahmad” adalah khusus untuk pendiri jemaat Ahmadiyah,[309] dari bapaknya, begitupula nama Muhammad adalah nama khusus Rasulullah saw dari ibu dan neneknya, Abdul Mutalib.

”Ahmad” adalah nama ”jamal” (keindahan), yang pada zamannya tidak akan digunakan kekerasan terhadap penentangan-penentangannya. Sedangkan nama ”Muhammad” itu nama ”jalal” (kegagahan) yang didalam zamannya terjadi pertempuran fisik dengan musuh-musuhnya. Nabi Muhammad saw mempunyai seratus nama sifat termasuk nama Ahmad.[310]

Keyakinan ini, merupakan doktrin Ahmadiyah Qadian, yang dipelopori oleh seorang khalifah Mirza Mahmud Ahmad. Keyakinan ini, di Indonesia yang terkenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Perhatikan doktrin dari keyakinan Mirza Mahmud Ahmad adalah sebagai berikut:

  1. Bahwa seluruh Muslim yang telah bersyahadat dan menghadapkan wajahnya kekiblat ketika Shalat adalah diluar Islam
  2. Bahwa Masih Mau’ud adalah benar-benar seorang nabi dan kenabian yang sempurna bukan dalam artian nabi yang tidak sempurna atau Juz’i Nubuwwat yang bermakna seorang Muhaddats (yakni yang kepadanya Tuhan bersabda meskipun buan nabi)
  3. 3.      Bahwa ramalan yang terdapat dalam Qur’an Suci yang berbunyi Ismuhu Ahmad ditujukan kepada Hazrat Mirza Sahib (Imam Ghulam Ahmad, pen) dan bukan ditujukan Nabi Suci Muhammad saw.[311]
  1. b.      Doktrin Ahmadiyah Lahore.

Keyakinan dan doktrin diatas, berbeda dengan keyakinan Ahmadiyah Lahore, karena itu aliran Lahore menentangnya sebagai berikut:

”Seluruh doktrin tersebut adalah sumber kerusakan didalam ajaran Islam, dan merupakan tugas setiap Ahmadi untuk berdiri dan menentang doktrin tersebut.

Sekarang, segala perbedaan pendapat tersebut tidak dapat dianggap sebagai masalah kecil melainkan doktrin tersebut menghantam prinsip yang sakral dan juga merusak ajaran sejati Masih Mau’;ud.[312]

Demikian pengakuan dari kelompok Ahmadiyah Lahore, yang terkenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

Mirza Ghulam Ahmad memang menyatakan bahwa beliau adalah nabi (bahkan bila Allah menyebut demikian sekalipun) tetapi hanya dalam arti kiasan, seperti arti nabi yang terjadi  di pustaka Sufi, sebagai terminologi yang sudah umum yang dapat diterima sebagai penerima kominikasi dengan Tuhan atau hanya arti lughawiya (linguistik) saja yang artinya hanya untuk orang yang Allah berfirman (berbicara kepadanya dan dalam terminologi Islam hal tersebut disebut muhaddas.[313]

Jadi, para pembaca sekarang sebaiknya hati-hati dan membedakan antara Ahmadiyah Qadiyani dan Ahmadiyah Lahore. Di Indonesia, Ahmadiyah Qadiyani terkenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang menyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.

Sedangkan, Ahmadiyah Lahore terkenal dengan sebutan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), yang tidak meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi, Mirza hanya sebagai pembaharu.

  1. c.       Tafsiran ulama pada umumnya

Tafsiran menurut ulama pada umumnya, ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad saw menyampaikan kepada kaum Muslimin, kisah keingkaran kaum Isa as, ketika Isa as berkata kepada kaumnya, ”Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang diutus kepada kamu sekalian, aku membenarkan kitab Taurat yang dibawa Nabi Musa as, demikian pula kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para Nabi-nabi, baik yang datang sebelumku, maupun yang datang sesudahku. Dan aku menyeru kamu agar beriman pula kepada Rasul yang datang kemudian yang bernama Ahmad.”[314]

Sedangkan nama Ahmad disini dimaksudkan Nabi Muhammad saw., bukan Mirza Ghulam Ahmad, sebagaimana yang diyakini pengikut Ahmadiyah Qadian.

Dalam ayat lain ditegaskan pula bahwa isyarat kedatangan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah terakhir terdapat pula dalam Taurat dan Injil.[315] Untuk menyelesaikan kemusykilan ini, ada ulama yang menyatakan bahwa sebenarnya Nabi Muhammada saw., mempunyai banyak nama. Imam Bukhari, Muslim dan Malik meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: ”Saya mempunyai lima nama. Saya adalah Muhammad; saya adalah Ahmad; saya adalah al-Mahi (penghapus) yang dengannya Allah menghapus kekufuran; saya adalah al-Hasyir (pengumpul) yang berkumpul manusia dibawah kakiku; dan saya adalah al-Aqib”.[316]

Kata ism pada ucapan Nabi Isa as ismuhu Ahmad hendaknya tidak dipahami dalam arti nama yang menunjukan kepada sesuatu untuk membedakannya dengan yang lain, karena jika demikian ia tidak sesuai dengan kenyataan yang ada  di mana Nabi Muhammad saw. tidak pernah dinamai Ahmad, baik sebelum maupun sesudah kenabianya. Atas dasar itu, kita harus memahami kedua kata yang bergandengan itu (ismuhu Ahmad) dengan pemahaman menyeluruh sebagaimana dicakup oleh kedua kata itu.[317]

Menurut Ibn Asyur, yang dikutip M.Quraish Shihab, kata ism digunakan oleh bahasa Arab untuk tiga makna populer. Pertama, dalam arti al-musamma yakni ”sosok yang dinamai itu sendiri.” Yang kedua, dalam arti kemasyhuran dalam kebajikan, dan yang ketiga adalah nama dalam arti tanda yakni lafal yang digunakan menunjukan sesuatu untuk membedakan dengan banyak yang serupa dengannya. Ibn asyur memahami ucapan Nabi Isa as., dengan letiga makna kata ism di atas. Nabi Muhammad ismuhu Ahmad.[318]

Jadi, ayat di atas sama sekali tidak ada keterkaitan dengan Mirza Ghula Ahmad dari Qadiani, India.

Dalil Ketiga:

Artinya:

Katakanlah: “Jikalau Allah menghendaki, niscaya Aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu”. Sesungguhnya Aku Telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya[677]. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?[319]

Dari ayat diatas terdapat dua tafsiran yang berbeda, tafsiran menurut Ahmadiyah dan kedua menurut para ulama pada umumnya. Perhatikan tafsiran dibawah ini.

Pertama, versi Ahmadiyah, menurut ayat ini, orang yang mendakwakan dirinya sebagai Nabi dan Rasul haruslah orang yang suci dan tidak mempunyai keaiban sedikitpun. Begitu pulalah kehidupan pendiri Jemaat Ahmadiyah,[320] baik kawan maupun lawan yang tidak menyenangi beliau mengakui keluhuran akhlak beliau.[321]

Tafsiran menurut Ahmadiyah merupakan penafsiran yang sangat menyesatkan umat Islam.

  1. b.      Tafsiran ulama pada uumnya

Kedua, menurut tafsiran para ulama pada umumnya, ayat ini menjelaskan, apakah kamu tidak mengetahui untuk membedakan mana yang benar dan yang bathil, apakah kamu tidak memiliki akal? Karena itu ketika Raja Rumawi (Herkhol) bertanya kepada Abu Sufyan, ia berkata: ”apakah kamu menuduh dia (Muhammad) dengan kedustaan sebelum al-Quran diturunkan atau sebelum menjadi Nabi? Abu Sufyan menjawab: ”tidak, (Abu Sufyan ketika itu sebagai pemimpin kaum kafir dan kaum musyrikin. Karena itu, musuh-musuh Nabi Muhammad mengakui kebenaran Muhammad (keutamaan, kemuliaan apa yang disaksikan oleh musuh-musuhnya). Raja Rumawi berkata: ”aku mengakuinya, dia belum pernah berdusta kepada manusia dan kepada Allah.”[322]

Ayat di atas (Yunus, [10]: 16), menunjukan bahwa sebenarnya seseorang dapat mengetahui kebenaran ayat-ayat al-qur’an dengan mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad saw. Beliau adalah seorang yang sangat jujur  lagi diakui kecerdasan dan ketulusannya. Cukuplah kejujuran itu, menjadi bukti bahwa beliau tidak mungkin berbohong terhadap Allah swt. Disamping itu beliau adalah seorang yang tidak pandai membaca dan menulis, kendati demikian ayat-ayat yang disampaikannya sunguh tidak terjangkau oleh nalar dan pengetahuan manusia, bukan saja manusia masa beliau tetapi para pakar dan cendekiawan sesudah masa beliau.[323]

Jadi ayat diatas, bukan menerangkan tentang kehebatan, kebersihan, ketulusan, kemuliaan dan keluhuran akhlakMirza Ghulam Ahmad. Ayat di atas sama sekali tidak ada kaitan dengan kehebatan Mirza Ghulam Ahmad.

Dalil keempat:

Artinya:

“Maka kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahtera itu dan kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat manusia”.[324]

Dari ayat diatas terdapat dua tafsiran yang berbeda, tafsiran menurut Ahmadiyah dan kedua menurut para ulama pada umumnya. Perhatikan tafsiran dibawah ini.

Pertama, menurut pengikut ajaran Ahmadiyah dan menurut Mirza Ghulam Ahmad, dimaksudkan adalah, dimasa hidupnya Mirza Ghulam Ahmad, India dilanda musibah penyakit taun (pest). Tak terhitung banyaknya orang yang meninggal dunia akibat penyakit itu. Pendiri Ahmadiyah,[325] menerima wahyu dari Allah SWT., yang artinya: ”Aku (Allah) akan selamatkan semua orang yang ada di dalam rumahmu” (Bahtera Nuh).[326]Benarlah, sebagaimana dijanjikan oleh Allah Taala semua orang yang bernaung di rumah beliau begitu juga orang yang beriman kepada beliau dengan tulus ikhlas seorangpun tidak ada yang terserang penyakit itu.[327]

Tentu saja, tafsiran menurut Ahmadiyah sangat menyesatkan, karena kesalahan menterjemahkan tentang bahtera Nuh.

  1. b.      Tafsiran ulama pada umumnya

Kedua, tafsiran menurut ulama Islam pada umunya, yang dimaksud adalah kisah Nuh as. Maksud ayat, Kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahtera itu, yaitu orang-orang yang beriman bersama Nuh as.[328]Beliau berada ditengah kaumnya selama 950 tahun. Masa itu adalah masa beliau berdakwah di tengah kaumnya.[329] ”Dan Kami jadikan peristiwa itu pelajran bagi semua umat manusia.” Yaitu kami jadikan Perahu itu berlabuh sebagai pelajaran –secara fisik- menurut Qathadah, Perahu itu masih bisa disaksikan sampai awal Islam yang terdampar di Gunung Judi. Hal ini, dijadikan bagi manusia untuk mengingat nikmat Allah, bagaimana Tuhan menyelamatkan mereka dari Thoufan (badai).[330]

Jadi ayat diatas, bukan menerangkan sebagaimana yang diklaim pendiri jemaat Ahmadiyah (Mirza Ghulam Ahmad), yaitu penyelamat dari musibah penyakit Thaoun di India. Ayat di atas sama sekali tidak berkaitan dengan Mirza Ghulam Ahmad

Dalil Kelima:

Terjemahan versi Ahmadiyah:

”Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antarkaum laki-laki mu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Materai sekalian nabi, dan Allah itu Maha Mengetahui segala sesuatu”[331]

Terjemahan Yang Umum:

”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu [1223]., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[332]

Dari ayat diatas terdapat dua tafsiran yang berbeda, tafsiran menurut Ahmadiyah dan kedua menurut para ulama pada umumnya. Perhatikan tafsiran dibawah ini.

Mirza Ghulam Ahmad, berusaha menafsirkan ayat diatas keluar dari makna sebenarnya seperti yang dipahami umat Islam pada umumnya. Ia memaknai, khotama al-nabiyiin itu dengan arti, bahwa kenabian itu terjadi regenerasi. Ia mengajukan dua argumentasi untuk mendukung pahamnya itu.

Pertama, paham tanasukh. Dia mengaku sebagai diri Muhammad, yaitu hidup kembali dalam bentuk pribadi baru, pada diri Mirza Ghulam Ahmad. Paham Nabi Muhammad saw hidup kembali dalam hidup kedua kalinya – dan mengaku sebagai nabi- itu tidaklah bertentangan dengan khotama nabiyyiin. Muhammad sebagai Khotama nabiyyin, dipahami untuk bangsa Quraisy di Arab, dan itu pintu kenabian telah tertutup. Sedangkan khotama nabiyyin kedua, hidup kembali dalam bentuk diri Mirza Ghulam Ahmad itu adalah untuk di tanah Qadiyani, India. Menurutnya, bukan dua pribadi yang berbeda, akan tetapi satu pribadi. Maka berakhirlah risalah itu.[333]

Kedua, paham Thabi’i.Mirza Ghulam Ahmad berargumentasi, bahwa Muhammad saw sebagai khootama nabiyyiin, dipahami Muhammad telah memberikan gelar khootama dan thabi’i. Karena itu, risalah itu akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki dari umatnya.[334]Dalam hal ini dimaksudkan Mirza Ghulam Ahmad. 

Untuk lebih detailnya, mengenai penjelasan (QS.33:40), penulis akan mengemukakan secara lengkap pemahaman dari pengikut jemaat Ahmadiyah, sebagai berikut:

Penjelasan Pertama Versi Ahmadiyah:[335]

Menurut pemahaman pengikut jemaat Ahmadiyah, susunan ayat ini merupakan susunan kalimat majemuk yang terdiri dari 3 buah kalimat. Kalimat pertama: Maa kaana Muhammadun abaa ahadin min rijalikum (kalimat poko –induk kalimat). Kalimat kedua, Muhammadun Rasulullahi (walakin rasulullahi). Kalimat ketiga, Muhammadun khataman Nabiyyin (wa khotamannabiyyin).

Kalimat pertama adalah kalimat yang terpenting (kalimat pokok- induk kalimat).Kalimat kedua adalah penjelasan dari kalimat pertama (anak kalimat). Kalimat yang ketiga adalah penjelasan dari kalimat kedua (cucu kalimat). Dengan pemecahan itu teranglah, bahwa kalimat yang terpenting adalah kalimat yang pertama, yang menerangkan bahwa: ”Muhammad itu bukanlah Bapak dari laki-laki kamu sekalian”.

Jika seandainya ayat tersebut hendak menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw itu penutup segala nabi, apakah gerangan hubungannya dengan menerangkan lebih dahulu, bahwa Muhammad saw bukan bapak dari laki-laki kamu sekalian? Dengan dua kalimat yang terakhir pun sudah cukup, umpamanya dengan: ”Muhammadun Rasullahi wa khotaman nabiyyin”. Dengan lebih ditonjolkannya kalimat yang pertama, sambil disatukannya di dalam suatu susunan kalimat majemuk, sudah memberikan gambaran kepada kita, bahwa antara ketiga kalimat itu niscaya ada hubungannya satu dengan lainnya.

Demikianlah, pemahaman dan keyakinan pengikut ajaran Ahmadiyah ketika menafsirkan al-Qur’an (QS. Al-Ahzab, 33: 40) dipahami dan diyakini Muhammad saw bukan sebagai penutup para nabi.

Pemahaman ini, tentunya sangat berbeda dengan pemahaman umat Islam pada umumnya. Hal inilah yang bisa menyesatkan umat Islam.

Penjelasan Kedua Versi Ahmadiyah:[336]

Perkataan khatama menurut loghat: maa yukhtama bihi, suatu barang yang digunakan untuk mencap; jadi, alat pencap. Menurut penyelidikan yang sangat teliti, perkataan khatam apabila di idlafah-kan (digandengkan) di belakannya perkataan jamak (mervound) misalnya: al-mufassirin, al-muhaajirin, as-syu’ara, al-fuqaha, al-aulia dan sebagainya maka artinya ialah Afdhal, yang lebih mulia. Pemahaman ini didasarkan juga dengan beberapa contoh, diantaranya, sabda Nabi Muhammad saw kepada Umar ra: ”Tenangkanlah hatimu wahai Umar, sesungguhnya engkau adalah khatam orang-orang yang berhijrah, sebagaimana aku adalah khatam Nabi-nabi”.

Pengikut ajaran Ahmadiyah memahami hadist ini adalah, apakah Umar penghabisan orang-orang muhajir (yang berpindah tempat)? Tentu tidak. Jadi perkataan khatam itu diucapkan oleh Nabi saw kepada Umar ra hanya untuk menyatakan bahwa Umar ra mempunyai kelebihan dibandingkan dengan muhajir lainnya ketika itu.

Demikian salah satu contoh pemahaman pengikut Ahmadiyah ketika memhami ayat al-Qur’an (al-Ahzab, 33: 40), khataman nabiyyin, tidak dipahami sebagai akhir dari para nabi. Akan tetapi, dipahami sebagai nabi yang utama.

Dengan pemahaman ini, pengikut Ahmadiyah meyakini ada nabi setelah nabi Muhammad saw. Tentunya, pemahaman dan keyakinan ini berbeda dengan umat Islam pada umumnya.

Penjelasan ketiga Versi Ahmadiyah:[337]

Ayta al-Qur’an (al-Ahzab, 33: 40), menurut pemahaman pengikut ajaran Ahmadiyah dijelaskan ulang atau diperkuat dengan ayat lain(QS. Saba, 34: 28). Penjelasannya, Nabi Musa as diutus kepada seluruh Bani Israil, tetapi sesudah beliau Allah terus juga mengirim Rasul dan Nabi-nabi kepada mereka. Seperti Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, Nabi Isa as dan lain-lain, yang tidak sedikit bilangannya. Jadi jika Nabi Musa as diutus kepada seluruh Bani Israil dan Nabi-nabi yang diutus dibelakang beliau diutus kepad Bani Israil juga serta mereka berhukum kepada Kitab Nabi Musa juga (Taurat), maka begitu pulalah halnya dengan Muhammad saw., beliau diutus untuk semua bangsa dan tentulah Nabi yang akan datang diutus pula untuk seluruh dunia dengan tugas memenangkan Islam di atas segala agama.

Demikianlah, argumen pengikut ajaran Ahmadiyah untuk pembelaannya, bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Dan mereka tetap memahami serta meyakini Muhammad saw bukan sebagai penutup dari para nabi-nabi, sebagaimana dipahami umat Islam pada umumnya di seluruh dunia.

Para pembaca sekarang sudah mengetahui, bagaimana pengikut ajaran Ahmadiyah memahami dan meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dengan mempergunakan dalil yang sama. Akan tetapi, melahirkan sebuah  pemahaman dan keyakinan yang berbeda.

Supaya seimbang, penulis akan kemukakan disini pemahaman yang berbeda dengan keyakinan pengikut ajaran Ahmadiyah. Dengan tidak menghilangkan rasa hormat penulis kepada seluruh pengikut jamaah Ahmadiyah, perkenan penulis akan berusaha  menyajikan tulisan ini supaya; adil dan seimbang, sehingga pembaca mengetahui secara jelas, pasti dan tidak melahirkan sebuah keraguan dalam mengimplementasikan keberagamaan kita.

  1. b.      Tafsiran ulama pada umumnya

Tafsiran yang berbeda dengan pengikut Jemaat Ahmadiyah, al-Qur’an (QS.al-Ahzab, 33: 40), dipahami, kata khatam,terambil dari kata khatm yakni mencap atau menyetempel, dan memberi bekaskepada sesuatu. Ia juga digunakan dalam arti jaminan kebenaran sesuatu, serupa dengan stempel buat surat. Kata ini digunakan juga dalam arti mencapai batas akhirsepeti jika Anda berkata: ”Menghatamkan al-Qur’an” yakni mencapai batas akhir. Nabi Muhammad saw., adalah Nabi terakhir. Perjalanan Nabi sejak Adam as., mencapai batas akhirnya dengan kehadiran Nabi Muhammad saw.[338]

Penyebutan kalimat khatam an-nabiyyin/penutup para nabi dalam konteks menafikan adanya anak buat beliau – menurut Ibn Asyur – merupakan penyempurnaan dan ungkapan tentang ketinggian derajat beliau sekaligus sebagai isyarat bahwa ketiadaan anak beliau merupakan hikmah yang telah ditetapkan Allah, yakni agar beliau menjadi seperti para nabi yang lalu atau bahkan lebih utama dari mereka dalam semua keistimewaan.[339]

Ayat ini merupakan dalil yang sangat kuat yang membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw., adalah akhir para nabi. Ini sejalan dengan penegasan Nabi Muhammad saw., sendiri dalam sekian banyak hadist beliau. Antara lain yang diriwayatkan: ”Perumpamaanku dengan para nabi sebelumku adalah seperti seorang membangun bangunan. Dia telah merampungkan dan menyelesaikan bangunan itu, kecuali satu bagian tempat satu bata. Orang-orang masuk kebangunan itu dan mengaguminya dan mereka berkata:”Seandainya tempat satu bata ini (selesai dibangun niscaya sempurna keistimewaan bangunan ini). Maka akulah (yang menyelesaikan) tempat bata itu. Aku datang maka aku menutup (kedatangan) para nabi (HR. Muslim melalui Jabir ra.).

Alhasil tiada lagi nabi yang diutus Allah swt., sesudah beliau. Hakikat ini telah menjadi kesepakatan semua umat Islam sejak masa Nabi saw., hingga dewasa ini. Karena itu beberapa kelompok yang percaya adanya nabi sesudah Nabi Muhammad saw., seperti Ahmadiyah, Qadiyaniyah, al-Babiyah dan al-Bahaiyah, tidak dinilai sebagai kelompok muslim, kendati mereka mengaku keesaan Allah dan kenabian Nabi Muhammad saw.[340]

Demikian, kesimpulan umat Islam pada umumnya, baik Islam Syi’ah atau Islam Ahlussunah wa al-Jama’ah. Dua kelompok Islam ini, memahami, mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad saw., sebagai Nabi penutup dari para nabi-nabi. Tidak ada lagi kedatangan nabi setelah kenabian Nabi Muhammad saw.

Mudah-mudahan penjelasan ini memberikan wawasan kepada para pembaca. Dan sekarang, para pembaca ang budiman bisa membedakan mana tafsiran yang benar dalam memahami ayat-ayat al-qir’an dan mana yang salah. Karena itu, yang salah akan nampak salah dan yang benar akan nampak benar.

B A B VI

Hasil Penelitian dan Pembahasan

(Faktor Yang Mempegaruhi Ahmadiyah)

A. Kondisi budaya dan keberagamaan

Untuk mengawali pembahasan kondisi budaya dan keberagamaan masyarakat India, lebih bijak penulis meminjam dulu ungkapan Max Muller yang dikutif oleh Huston Smith seorang sarjana yang menggeluti agama-agama manusia. Dibawah ini kami sajikan sebagai berikut:

”Jika saya ditanya, dibawah langit manakah pikiran mansia…. telah merenungkan masalah-masalah terbesar dalam kehidupan ini secara sangat mendalam, dan telah menemukan jawaban yang pantas diperhatikan mengenai beberapa masalah terbesar tersebut, bahkan oleh mereka yang telah mempelajari Plato dan Kant, saya harus menunjuk ke India. Dan jika saya  menanyakan kepada diri saya sendiri, dari sumber tulisan manakah, kita…..yang hampir secara khusus dibesarkan dalam pemikiran orang Yunani dan Romawi serta dalam pemikiran ras Semit, yaitu orang Yahudi, dapat memperoleh dasar-dasar perbaikan yang amat diperlukan untuk membuat kehidupan rohani kita lebih sempurna, lebih menyeluruh, lebih univesal, bahkan lebih merupakan hidup yang sungguh-sungguh manusiawi, bukan hanya untuk hidup sekarang saja, tetapi juga untuk hidup abadi dan yang telah diubah, sekali lagi saya harus menunjuk ke India”. [341] 

Dari narasi diatas yang diungkapkan oleh Max Muller, menunjukan bahwa India merupakan suatu ras yang subur dengan pemikiran manusia yang melahirkan; budaya. Dari budaya setempat ini, mendorong tumbuh subur suatu agama dan mitos. Agama, dalam masyarakat India akan lebih diterima, termasuk Islam. Selanjutnya agama, (agama apa saja), di masyarakat India  bercampur baur atau  terjadi sinkretisme, sehingga memunculkan wajah baru dari agama itu sendiri. Di masyarakat India, agama Samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam) hampir sulit menemukan agama samawi yang utuh. Semua agama samawi yang masuk ke India selalu tercampur baur dengan budaya lokal. Jadi, tidak heran, Ahmadiyah tumbuh subur berawal mula dari tanah India yang merupakan hasil dari proses percampuran Islam dan budaya setempat.

Penulis mengajak pembaca sejenak, mari kita melihat sejarah peradaban manusia masa lampau. India, merupakan tanah subur dari peradaban manusia. Seandainya tidak ada India, maka peradaban manusia selanjutnya akan kering dan hampa. Peradaban Yunani, yang muncul kemudian tidak terlepas dari akar peradaban India.

Plato, Aristoteles, Socrates, bahkan kalau diurut sampai ke Anaximandros dan Anaximenes mereka sangat terpengaruhi oleh budaya dan peradaban India. Karena itu, India sangat subur dengan pemikiran-pemikiran dan sekaligus penuh dengan mitos-mitos.

Agama, selanjutnya sangat diterima masyarakat India, karena penuh dengan janji dan harapan manusia, ketika manusia,”menghadapi ketidak berdayaan dan ketidak pastian”.

Agama yang terdapat di India pada masa munculnya aliran Ahmadiayah yaitu; pertama; Hindu, yang merupakan agama resmi negara, yang muncul hasil dari karsa, cipta dan rasa masyarakat India.

Kedua; Nasrani, agama yang dibawa oleh bangsa penjajah terutama Inggris. Ketiga; Yahudi, agama ini hadir di India dengan berbagai bentuk, yang menyesuaikan dengan budaya dan agama lokal, sehingga mudah diterima oleh masyarakat India. ”Di India orang-orang Yahudi banyak mengawini wanita-wanita Hindu sehingga menimbulkan Yahudi India yang berkulit coklat atau sawo matang.

 Di India, orang-orang Yahudi India banyak yang tertarik pada mistik; mereka menghimpun gerakan kebatinan Teosofi dengan pusatnya antara lain di Adyar, Madras dan Amritsar”.[342] Keempat Islam, agama ini pernah berjaya di India dengan kerajaan Mughal.

Keempat agama yang dikemukakan penulis diatas, tidak terlepas dari budaya lokal yang lebih cenderung kepada kehidupan mistik. Islam hadir di India, tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh lokal ini, sehingga masyarakat Islam India lebih cendeung kedalam kehidupan mistik. Bisa jadi, ajaran Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad, berawal dari pengaruh mistik India dan Tasawuf Islam yang berkembang saat itu.

Ini adalah baru hipotesis yang perlu dibuktikan kebenarannya. Dugaan tersebut, segera didukung dan bisa menjadi benar dari sudut pandang pengaruh tasawuf atau mistik saat itu.

Hal ini dibenarkan atas dasar hasil penelitian seorang Guru Besar Universitas Al-Azhar, ahli Agama-agama Dunia. Ia berkesimpulan salah satu penyebab lahirnya ajaran Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad adalah akibat dari pengaruh Tasawuf yang berkembang pada waktu itu. ”Untuk mengungkap faktor-faktor munculnya ajaran Ahmadiyah, terdapat pendapat beberapa ahli sarjana, salah satu diantaranya adalah, konsekwensi logis dari praktek tasawuf yang dilakukan oleh seorang Muslim sufi, yaitu Mirza Ghulam Ahmad Qodiyani”.[343]

Jadi, kondisi masyarakat India sangat memungkinkan dengan lahirnya ajaran baru, yaitu ajaran Ahmadiyah. Terdapat beberapa hal yang mendukung dalam faktor ini.

Pertama; masyarakat India yang agamis, tapi (penuh dengan sinkretis) dengan budaya lokal.

Kedua; masyarakat yang gemar terhadap mistik. Dalam ajaran Hindu terdapat ajaran tasawuf atau mistik India, dan dalam Islam-pun terdapat ajaran tasawuf. Dari masing-masing agama ini memiliki kemiripan dalam ajaran tasawuf, maka masyarakat India menggabungkan kedua ajaran ini yang dipraktekan oleh Mirza Ghulam Ahmad.

Ketiga; masyarakat India sangat menghormati atau mengidolakan seorang tokoh yang dijadikan sebagai panutan dan sekaligus dianggap sakral, karena itu, Mirza Ghulam Ahmad dianggap sosok yang cocok. Hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Thoha, ”faktor yang mendorong munculnya ajaran Ahmadiyah adalah; kondisi masyarakt India dan juga sosok idola yang dijadikan sebagai penutan masyarakat India yaitu Mirza Ghulam Ahmad” .[344]

Dari uraian diatas, diduga terdapat hubungan yang sangat signifikan antara; ”pengaruh tasawuf yang dipraktekan masyarakat India terutama yang dilakukan Mirza, terhadap berdirinya ajaran Ahmadiyah di India yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad”.

Jadi jika penulis ditanya, dari manakah ajaran Ahmadiyah yang mucul di Indonesia? Penulis harus menunjuk berawal dari India… bukan dari Mekkah, bukan dari Madinah (tanah suci umat Islam).

 Jika penulis ditanya, siapakah pendiri dan pembawa ajaran Ahmadiyah? Penulis harus menunjuk Mirza Ghulam Ahmad dari Qadiyani, bukan Muhammad SAW dari Mekkah.

Jika penulis ditanya, faktor apa yang mempengaruhi Mirza Ghulam Ahmad untuk mendirikan ajarannya, ”Ahmadiyah”? Maka, penulis segera menyebutkan faktor budaya yang penuh dengan mistik yang dikemas dengan agama. Atau bisa jadi, agama dikemas dengan mistik yang berkembang saat itu. Pembaca, boleh jadi tidak setuju dengan faktor ini.

Tapi, penulis segera menunjuk faktor lain yang bisa mempengaruhi Mirza Ghulam Ahmad untuk memproklamirkan ajarannya. Karena itu simak lagi dibawah ini yang bisa dipercaya sebagai otak di balik ajaran Ahmadiyah. Yaitu, ” Penjajahan Inggris”.

B. Penjajahan Inggris

Di atas, penulis telah kemukakan salah satu faktor munculnya ajaran Ahmadiyah, adalah pengaruh  dari spritualitas India atau pengamalan tasawuf yang dikemas dengan budaya India. Faktor lain atau faktor kedua, adalah kepentingan Barat dalam hal ini penjajah Inggris di India.

Barat, sangat berkepentingan untuk memecahkan umat Islam dan melepaskan aqidah Islam yang benar. Karena itu, Inggris sangat berkepentingan memecah umat Islam dan menyimpangkan ajaran Islam otentik. Tujuannya, demi kepentingan penjajah Inggris berkuasa di India.

Penjajahan Inggris di India, menyebabkan kemunduran dan kejumudan umat Islam dalam bidang; politik, pendidikan bahkan umat Islam India menjadi taklid buta, terpecah-pecah dan menjadi bingung dalam aqidah Islam saat itu.

Hasil penelitian (Disertasi), Iskandar  Zulkarnaen, menyebutkan:

 ”sesudah India menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap umat Islam yang sangat tradisional dan fatalistis, dengan disertai semangat anti pati dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat, menyebabkan mereka semakin terisolasi. Keadaan umat Islam India ini semakin buruk terutama sesudah terjadinya pemberontakan Mutiny tahun 1857 M. Dengan demikian, Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan pembaharuan dalam Islam, lahir di India pada akhir abad ke-19 dengan latar belakang kemuduran umat Islam India di bidang agama, politik, sosial politik, ekonomi dan bidang-bidang kehidupan lainnya terutama setelah pecahnya revolusi India tahun 1857 M yang berakhir dengan kemenangan East India Company dan dijadikan India sebagai salah satu koloni Inggris yang terpenting di Asia ”.[345]

Thoha menyebutkan, ”pada tahun 1869M. datanglah utusan Kerajaan Inggris yang terdiri dari berbagai sarjana dan ahli dalam bidang agama. Mereka datang ke India untuk mempelajari kondisi sosial kemasyarakatan India, adat istiadat, budaya dan agama yang dianut masyarakat. Setelah mempelajari, mereka kembali ke Inggris pada tahun1870 M. Dengan menyimpulkan;

”bahwa mayoritas Muslim India memiliki thabi’at sebagai muslim yang panut kepada pimpinan yang di tokohkan secara membabi buta. Kemudian kami dapatkan terdapat seorang muslim yang siap untuk dijadikan sebagai seorang tokoh yang akan diidolakan oleh mereka, dan dia siap untuk menganggap dirinya sebagai nabi, dan hal ini memungkinkan tercapainya ketamakan Inggris di India”.[346]

Untuk mendukung pernyataan Thoha diatas, penulis kemukakan lagi hasil penelitian dari Husain an-Nadwi, ia mengatakan;

”semangat keagamaan benar-benar diperhitungkan oleh pemerintah Inggris. Kemudian bangsa Inggris melihat propaganda Sayyid Jamaluddin Al-Afghani tersebar luas di dunia Islam. Kesemuanya itu dilihat dan dipelajari oleh pemerintah Inggris, dan dia mengetahui bahwa tabi’at kaum muslimin adalah tabi’at religious, agamalah yang membangkitkan tabi’at mereka, dan agama pulalah yang memingitnya; dan bahwa kaum muslimin tidaklah didatangi kecuali dari jihad aqidah dan pemuasan religious serta apa-apa yang mempunyai ciri-ciri religious. Dan akhirnya dia merasa puas bahwa tiada sesuatupun yang lebih besar pengaruhnya pada kaum muslimin dan hasrat keinginan mereka daripada bangkitnya seorang tokoh dari kalangan mereka atas nama pangkat keagamaan yang tinggi, dan menghimpun disekelilingnya kaum muslimin dan berkhidmat kepada politik Inggris, serta menyelamatkan mereka dari gangguan muslimin dan dendam kusumat mereka. Dan dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiayani orang yang berfikiran dan beraqidah kacau dan berambisi untuk mendirikan agama baru …..”.[347] 

Muhammad Ashim  mengatakan, banyak para ulama yang mendapat informasi, bahwa lelaki itu,[348] sebenarnya tidak mempunyai keinginan, kecuali untuk membuat sebuah toko semata. Andai ada orang lain yang mampu membayarnya dengan jumlah yang lebih besar, maka ia akan mendukungnya, meskipun dengan melakukan pelanggaran terhadap Islam. Dan memang seperti itulah yang dikatakan oleh para ulama. Sebab, pada waktu itu, penjajah Inggris membutuhkan orang yang dapat memporak-porandakan kekuatan kaum Muslimin. Sehingga sang penjajah ini mencari orang dari kalangan kaum Muslimin untuk diperalat. Tatkala sudah mendapatkannya, kolonial ini akan memanfaatkan semaksimal mungkin. Demikian yang terjadi dengan Mirza Ghulam Ahmad. Oleh karena itu, ia penuhi kitab volume ketiganya dengan pujian-pujian kepada kolonialis Inggris.

Perhatikan pengakuannya dalam volume tersebut, tatkala ia menghadapi penentangan dari kaum Muslimin Dia menyatakan, ada sebagian orang dari kalangan kaum Muslimin yang menulis kepadaku, mengapa engkau memuji penjajah Inggris dalam volume ketiga? Mengapa engkau berterima kasih kepada pemerintah Inggris? Sebagian kaum muslimin mencaci-maki dan mecelaku karena sanjungan ini. Hendaknya setiap orang mengetahui, bahwa aku tidak memuji pemerintah Inggris, kecuali berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. [Barahin Ahmadiyah, vol.4]

Ringkasnya, penjajah telah memanfaatkannya dengan memberikan segala yang berharga untuknya karena pengkhianatannya kepada agama dan umat Islam. Persis seperti ayahnya yang dahulu juga berkhianat, tetapi kepada negeri India dan penduduknya. [349]

Dari uraian diatas, penjajah Inggris yang didukung oleh para team ahli berhasil membuat agama baru yang merupakan sinkretisme dari Islam dan budaya lokal India, yang menjelma sebagai ajaran Ahmadiyah. Keberhasilan para team ahli tersebut diantaranya adalah:

    • Menciptakan seorang tokoh yang dianggap sebagai panutan Muslim India;
    • Berhasil menghasut kaum Hindu India, bahwa orang Islam India dianggap bukan warga India;
    • Berhasil menciptakan rasa bingung dan gelisah muslim India;
    • Berhasil menciptakan ajaran baru (Ahmadiyah);
    • Berhasil menjadikan Qodiyani sebagai tanah suci Ahmadiyah dan;
    • Berhasil menciptakan nabi baru, Mirza Ghulam Ahmad.

Dalam bagian ini, diduga terdapat beberapa versi yang melatar belakangi terhadap berdirinya ajaran Ahmadiyah. Dibawah ini penulis kemukakan, diataranya adalah:

Versi pertama, kemunduran umat Islam. Umat Islam di seluruh dunia pada waktu itu, mengalami kejumudan dalam berbagai hal. Dari segi politik, kelemahan kekhalifahan Turki Ustmani berimbas terhadap kekuatan politik Islam Mughal di India. Zulkarnaen menyebutkan, ”ketika dinasti Mughal memasuki zaman kemunduran dan umat Islam sendiri pemikirannya statis, sikap dan prilakunya konservatif. Keadaan demikian telah menggugah dan menyadarkan pemimpin-pemimpin Islam di India akan kelemahan umat Islam untuk dikaji dan dicari pemecahannya. Dan dalam situasi seperti ini, diperlukan pembaharuan dalam pemikiran”.[350]

Dari kelemahan umat Islam India ini, muncul seorang tokoh sebagai pembaharu, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Hal ini, dikemukakan oleh H.A.R. Gibb, yang menyebutkan, ”gerakan Ahmadiyah mengawali sebagai gerakan pembaharuan yang bersifat liberal dan cinta damai, dengan maksud menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam yang lama. Pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad”.[351]

Jadi dalam versi ini, pada awalnya Ahmadiyah dikelompokan kedalam gerakan pembaharu. Jika demikian, maka bukanlah sebagai sekte dalam Islam. Ia, seperti layaknya gerakan pembaharuan di negara-negara Islam lainnya. Akan tetapi, label sebagai gerakan pembaharuan ini, segera sirna ketika sang pendiri ajaran ini, ”menyatakan  dirinya tidak hanya sebagai Mahdi Islam dan Messiah (Al-Masih) bagi umat Kristen tetapi juga sebagai avatar (inkarnasi) Krishna. Setelah dia meninggal pada tahun 1908 tokoh-tokohnya yang lebih liberal memisahkan diri dan secara berangsur-angsur meninggalkan semua ciri yang membedakan mereka dari kelompok Muslim liberal yang biasa, termasuk meninggalkan mantan nabi[Mirza Ghulam Ahmad] mereka”..[352] 

Dalam versi pertama ini, dibalik ajaran Ahmadiyah, pemerintah Inggris tidak terlibat langsung sebagai otak dari pendirian ajaran Ahmadiyah. Akan tetapi yang bisa dimungkinkan adalah, justru kemunduran umat Islam dalam berbagai hal. Dan, Mirza Ghulam Ahmad dengan semangat ke-Islaman modern berhasrat mengejar ketinggalan umat Islam, dengan cara-cara yang bijak dan damai.

Versi kedua; rekaya Inggris untuk memuluskan jajahannya di India. Jadi jika ditanya, siapa yang mempersiapkan Mirza Ghulam Ahmad untuk menjadi seorang nabi…..maka kita segera menunjuk Penjajah Inggris yang berkuasa di India, untuk kepentingan pemerintah atau kerajaan Inggris. Penjajah Inggris, untuk mencapai ketamakan di negeri India, tidak hanya mempersiapkan seorang tokoh yang akan diidolakan masyarakat muslim. Akan tetapi, penjajah Inggris menyulut kaum Hindu, ”bahwa kaum muslimin di India bukanlah termasuk warga negara India. Mereka dianggap kurang memiliki rasa nasionalisme terhadap negara India. Karena orang-orang Islam secara ikatan emosional dan peradaban terikat dengan Arab, dengan memiliki seorang nabi yang berasal dari Arab, menghadap ke Mekkah (ka’bah) setiap hari lima kali, dan itu semua di luar India. Mereka melakukan haji ke Mekah bukan di India”.[353]

Karena itu, perlakuan Inggris terhadap umat Islam, berbeda dengan Hindu. Dengan alasan, ”Sebagaimana diketahui, kaum Hindu di bawah pemerintahan kolonial Inggris, lebih bersikap kooperatif daripada umat Islam, karena itu sikap non-kooperatif umat Islam saat itu semakin memojokan posisi mereka serta membawa kedalam situasi keterasingan di negeri sendiri. Selain itu mereka semakin tenggelam kedalam keterbelakangan dan perselisihan dengan sesama umat Muslim, karena khilafiah di satu pihak dan dipihak lain hubungan diantara mereka terutama mereka yang telah mendapatkan pendidikan sistem Barat, semakin jauh jarak yang memisahkannya”.[354]

Atas dasar hasutan penjajah Inggris, maka kaum muslimin India merasa jiwa tertekan, terancam oleh mayoritas Hindu India. Dalam keadaan kegelisahan dan kebingungan Muslim India, maka munculah seorang tokoh yang diidolakan. Seorang tokoh ini, telah dipersiapkan oleh penjajah Inggris. Efeknya, adalah Thoha[355] menyebutkan, ”Ahmadiyah India sekarang menganggap dirinya sebagai umat yang terpisah dan memiliki kekhususan tersendiri. Dan tidak lagi keterikatan dengan Arab. Ahmadiyah menganggap tanah Qodiyani seperti Mekah di tanah Arab, yang merupakan pusat kegiatan spritual”.

Dalam versi ini, jika ditanya siapa di balik Ahmadiyah? Segera kita jawab, “Penjajah Inggris” sangat berjasa dalam memunculkan dan memuluskan ajaran Ahmadiyah untuk berkembang. Penjajah Inggris, dengan memakai cara adu domba diantara; umat Islam India dan umat Hindu, serta intern umat Islam, maka terjadilah perpecahan yang bersifat sentimen keagamaan. Islam dianggap bukan asli dari India, dituduh sebagai pendatang yang dikategorikan tidak memiliki rasa nasionalisme ke-India-an. Karena itu, perpecahan terjadi antara Islam-Hindu. Model penjajah Inggris semacam ini, pernah dilakukan di Indonesia oleh Penjajah Belanda untuk mengadu-dombakan rakyat Indonesia, yang disebut dengan, ”de vide et impera”.

Mirza Ghulam Ahmad, dimunculkan sebagai pembawa perdamai diantara masyarakat India, sebagai pembawa solidaritas sesama manusia penganut Islam dan penganut Hindu. Karena itu, Mirza Ghulam Ahmad mengawali sebagai pembawa, ”gerakan pembaharuan yang bersifat liberal dan cinta damai.[356]

 Atas dasar perdamaian yang ditonjolkan Mirza Ghulam Ahmad, maka tidaklah heran jika ia akan selalu mengulang-ulang ucapannya. ”Mirza Ghulam Ahmad, menyatakan dirinya tidak hanya sebagai Mahdi bagi umat Islam dan Messiah [Al-Masih] bagi Kristen tetapi juga sebagai avatar (inkarnasi) Krisna,”[357] bagi umat Hindu.

Dengan berbeda-bedanya ucapan Mirza tersebut, ia mengharap tujuannya bisa tercapai. Tujuan yang dikehendaki adalah; pertama tujuan keduniaan. Dimaksudkan ia akan memperoleh segala kemewahan duniawi yang akan diberikan Pemerintah Inggris kepadanya.[358]

Kedua, tujuan dalam spritual. Dimaksudkan, ia akan segera memperoleh gelar kenabian yang ia gembor-gemborkan kesetiap yang dijumpainya, dengan kekuatan politik pemerintah Inggris, dan dukungan ilahi berupa ilham yang ia klaim.

Karena itu, pengakuan Mirza Ghulam Ahmad, ia mengatakan;

”tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan di antara hamba dan Khalik-nya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepada Allah. Dan dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama, sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang telah dilupakannya selama ini”.[359]

Dari paparan diatas, nampak jelas bahwa dibalik Mirza ada pesan yang harus disampaikan kepada umat pada waktu itu, adalah perdamaian.  Jihad Islam dianggap oleh pemerintah Inggris sebagai kekerasan yang menghambat kelancaran penjajah Inggris di India. Umat Islam, tidak perlu bertindak kekerasan dalam memanifestasikan ajarannya, berupa jihad. Akan tetapi, umat Islam hanya cukup bertindak damai dan mengadakan hubungan dengan Tuhan dengan cara yang damai pula.

Dan dirinya menganggap sebagai pembawa kebenaran. Maka, dalam hal ini, Mirza Ghulam Ahmad pernah berkata: ”berkenaan dengan itu, di dalam alam kasyaf saya melihat suatu tangan secara ghaib menyentuh tempat kediaman saya. Akibat sentuhan tangan tersebut, dari tempat kediaman itu muncul cahaya yang berbinar-binar dan menyebar ke sekeliling dan sinarnya juga menerpa tangan saya. Lalu, seseorang yang berdiri di samping saya berseru dengan suara yang membahana: ”Allah Maha Besar, binasalah sudah khaibar”. Adapun ta’biatnya ialah, yang dimaksud dengan tempat kediaman adalah hati saya, yang menjadi tempat turun dan hinggapnya nur. Dan nur itu adalah makrifat-makrifat Quraniyah.

Sedangkan yang dimaksud dengan Khaibar adalah semua agama rusak yang telah dicampuri syirik dan kebatilan, yang menempatkan seseorang manusia pada kedudukan Tuhan atau menjatuhkan sifat-sifat Tuhan dari kedudukan-kedudukannya yang kamil. Jadi, kepada saya telah diperlihatkan, setelah artikel saya tersebar luas, akan terbukalan tirai kedustaan agama-agama palsu, lalu hari demi hari kebenaran al-Qur’an akan tersebar luas ke seluruh permukaan bumi, hingga akhirnya mencapai tujuan.

Kemudian dari kondisi kasyaf itu saya dialihkan pada ilham, lalu turunlah ilham kepada saya: ”Allah beserta engkau, Allah berdiri dimana engkau berdiri.” Ini merupakan ungkapan dukukngan Ilahi”.[360]

Versi ketiga; kecemasan Inggris atas semangat jihad di dunia Islam. Semangat jihad menggelora dimana-mana. Umat Islam siap berjuang demi mempertahankan agama dan negara atas nama ”jihad”. An-Nadwi,[361] menyebutkan:

 ”telah terbukti secara historis bahwa Ahmadiyah adalah anak dari politik Inggris. Bangsa Inggris dicemaskan oleh gerakan pejuang terkenal Sayyid Imam Ahmad ibn Irfan, yang gugur sebagai sahid (1246 H) dan bagaimana ia mengobarkan api jihad dan fida’ (menuntut bela), dan meniupkan ruh semangat Islam dalam dada kaum muslimin pada perempat pertama abad ke 19 M. Dan pula bagaimana terhimpun disekelilingnya propagandis-propagandisnya beribu-ribu kaum muslimin yang menyebabkan pemerintah Inggris mengalami kesulitan yang hebat”.

Kecemasan Inggris ini, dalam menghadapi para Mujahid, dengan jihadnya kaum muslimin ditanah jajahannya. Karena itu, melalui corong Mirza Ghulam Ahmad, supaya konsep jihad dihapus dalam ajaran Islam. Ghulam Ahmad, menyebutkan dalam permohonan yang diajukan kepada Gubernur Inggris, kesetiaan dan apa yang dikerjakan buat pemerintah ini:

 ”Aku telah menggunakan sebagian besar umurku untuk mendukung dan membantu pemerintah Inggris dan pula aku telah mengarang untuk mencegah jihad dan mewajibkan ketaatan kepada penguasa Inggris kitab-kitab dan selebaran-selebaran yang sangat banyak jumlahnya yang kalau dihimpun niscayalah memenuhi 50 buah lemari, dan pula aku telah menyebar luaskan kitab-kitab ini di negara-negara Arab, Mesir, Syiria, Kabil dan Rumawi”.[362]

Mirza Ghulam Ahmad, ditempat lain ia berkata: ”sejak masa dahulu –kini aku hampir berusia 60 tahun- aku senantiasa berjuang dengan lisan dan penaku untuk memalingkan kaum muslimin kepada ikhlas dan cinta terhadap pemerintah Inggris dan aku menghapus konsep  ”jihad” yang dianut oleh sebahagian dari kaum muslimin yang tolol dan yang mencegah mereka untuk taat kepada pemerintah Inggris”.[363]

Dari keterangan diatas, nampaknya Mirza Ghulam Ahmad merupakan kaki tangan penjajah Inggris di bumi India. Kesetiaannya kepada pemerintah Inggris menghapuskan rasa idealisme ke-islaman sejati, terbukti dengan tidak ragu Mirza Ghulam Ahmad atas kenabian yang ia sandang konsep jihad dibatalkan demi pemerintah Inggris.

C. Kepribadian dan Pewahyuan Mirza Ghulam Ahmad

Jika kita ingin mengenal lebih dekat ajaran Ahmadiyah, maka kenalilah terlebih dahulu sosok dan atau kepribadian Mirza Ghulam Ahmad. Karena itu, pribahasa mengatakan, ”Kenalilah aku, niscaya kau akan mengetahui”.

Jadi, jika ingin mempelajari Ahmadiyah, maka alangkah bijaknya mengetahui kepribadian Mirza Ghulam Ahmad. Kepribadian ini, sangat mendorong munculnya ajaran Ahmadiyah.

Dari keterangan yang penulis peroleh, menurut para ahli sejarah, ”bahwa Mirza Ghulam Ahmad diketahui bukanlah asli dan berasal dari keluarga yang berketurunan India. Bukan pula yang berasal atau memiliki ikatan emosional dengan bangsa India”.[364]

Mengenai sosok asli Mirza Ghulam Ahmad para ahli sejarah berbeda pendapat, apakah ia asli India atau bukan. Terdapat sebagian para ahli mengatakan  Mirza Ghula Ahmad berasal dari Qadiyani. Muncul belakangan yang mengatakan berasal dari Persia, kemudian ada yang beranggapan berasal dari Mongolia keturunan Parlas.

 Atas dasar perbedaan tersebut diatas bisa jadi sosok dan kepribadian Mirza Ghulam Ahmad, sampai hari ini belum jelas secara pasti dari mana ia berasal. Tapi, walaupun berbeda pendapat menganai sossok Mirza Ghula Ahmad, ia tumbuh dan dewasa serta memulai menyebarkan ajarannya berawal dari tanah Qadiyani, India.

Thoha Dasuqy,[365] menyimpulkan bahwa sosok Mirza Ghulam Ahmad, sebagai berikut:

1) diketahui, bahwa keluarga Mirza Ghulam Ahmad  berasal dari ras yang bukan dari ras India, sebagaimana yang kita ketahui. Pendapat ini, tidak perlu kita perdebatkan lebih panjang lebar tentang keluarga dan kepribadiannya, sekalipun diketahui bukan berasal dari India;

2) diketahui, setelah Mirza Ghulam Ahmad mengaku mendapatkan ilham dan atau bahkan menjadi nabi, ia sangat bersemangat dan berkepentingan untuk mengakui, bahwa dirinya berasal dari keluarga yang berketurunan dari Persia asli. Mengapa demikian, terdapat kepentingan selanjutnya. Setelah diteliti secara mendalam, terdapat hadist-hadist syi’ah  maudlu yang mengabarkan bahwa Imam Mahdi yang akan muncul akhir zaman, yang akan membawa “nur dan keadilan” akan muncul dari  ras atau bangsa Persia. Jadi tidaklah heran, bahwa Mirza Ghulam Ahmad, memelintirkan hadist-hadist maudhu syi’ah untuk membangun agama atau ajaran Ahmadiyah;

3)  para ahli sejarah berpendapat, bahwa Mirza Ghulam Ahmad, diduga terdapat hubungan emosional antara keluarga Mirza dengan rakyat India, secara khusus dengan masyarakat Punjab.

 Versi lain, Mirza Ghulam Ahmad[366] menurut pengikut Ahmadiyah, pada tahun 1835, di sebuah desa bernama Qadian, di daerah Punjab, India, lahir seorang anak laki-laki bernama Ghulam Ahmad yang kemudian diagungkan sebagai seorang mujaddid dari zaman ini[367] oleh para pendukungnya. Orang tuanya Muslim dan ia tumbuh dewasa menjadi seorang Muslim yang luar biasa. Sejak awal kehidupannya, Mirza Ghulam Ahmad sudah amat tertarik pada telaah dan khidmat agama Islam. Ia sering bertemu dengan individual Kristiani, Hindu ataupun Sikh dalam perdebatan publik, serta menulis dan bicara tentang mereka. Hal ini menjadikan lingkungan keagamaan menjadi tertarik kepadanya dan ia dikenal baik oleh para pimpinan komunitas.

Mirza Ghulam Ahmad mulai menerima wahyu Ilahi[368] sejak usia muda dan dengan berjalannya waktu maka pengalaman perwahyuannya berlipat kali secara progresif. Setiap wahyu yang diterimanya kemudian terpenuhi pada saatnya, sebagian di antaranya yang berkaitan dengan masa depan masih menunggu pemenuhannya. Dakwahnya menyatakan diri sebagai Imam Mahdi[369] dan Masih Mau’ud (al Masih) dilakukan di akhir tahun 1890, dan dipublikasikan ke seluruh dunia. Pernyataannya, seperti juga halnya para pembaharu Ilahiah lainnya seperti Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW, langsung mendapat tantangan luas. Sebelum menyatakan dirinya sebagai Masih Mau’ud, Allah SWT telah menjanjikan kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui wahyu bahwa:

  “Aku akan membawa pesanmu sampai ujung-ujung dunia”.Mirza Ghulam Ahmad  

Wahyu ini memberikan janji akan adanya dukungan Ilahi dalam penyebaran ajaran Jemaat yang telah dimulainya di dalam Islam. Mentaati perintah Tuhan, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Al-Masih bagi umat Kristiani, sebagai Imam Mahdi bagi umat Muslim, sebagai Krishna bagi umat Hindu, dan lain sebagainya. Jelasnya, ia adalah “Nabi Yang Dijanjikan” bagi masing-masing bangsa, dan ditugaskan untuk menyatukan umat manusia di bawah bendera satu agama. Nabi Muhammad saw sebagai nabi umat Islam adalah seorang nabi yang membawa ajaran yang bersifat universal; dan sosok Mirza Ghulam Ahmad yang menyatakan diri sebagai al Masih yang dijanjikan juga menyatakan dirinya tunduk dan menjadi refleksi dari Muhammad, Khataman Nabiyin. Menjelaskan tentang tujuan diutusnya wujud Masih Mau’ud, ia menjelaskan[370]:

  “Tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan di antara hamba dan Khalik-nya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepada Allah. Dan dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama, sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang telah dilupakannya selama ini. Begitu juga aku akan menunjukkan kepada dunia makna kehidupan keruhanian yang hakiki yang selama ini telah tergeser oleh nafsu duniawi. Dan melalui kehidupanku sendiri, memanifestasikan kekuatan Ilahiah yang sebenarnya dimiliki manusia namun hanya bisa nyata melalui doa dan ibadah. Di atas segalanya adalah aku harus menegakkan kembali Ketauhidan Ilahi yang suci, yang telah sirna dari hati manusia, yang bersih dari segala kekotoran pemikiran polytheistik” (Mirza Ghulam Ahmad).

Dalam Kitab ”Al-milal wa al-Nihal”, disebutkan; Ahmadiyah disebut juga sebagai gerakan Qadiyaniyah, yang berasal dari kota Qadian, di India. Gerakan ini, disebut juga dengan ”Ahmadiyah” yang dinisbatkan kepada seorang tokoh ”Mirza Ghulam Ahmad”, yang disebut juga sebagai ”Ahmad” nabi alaihissalam. Mirza Ghulam Ahmad lahir pada tahun 1835 M di kota Qadian. Sejak kecil, ia belajar al_qur’an dan hadist, ia juga selalu befikir sesuatu yang berkaitan dengan masalah-masalah agama.[371]

Pada tahun 1344H/1897 M. Ghulam Ahmad mengirim surat kepada para ulama India dan kepada ulama-ulam negara Islam lainnya, yang isinya; ”sesungguhnya Allah telah mengutus-aku sebagai pembaharu diawal abad ini, dan aku dikhususkan untuk memperbaiki kemaslahatan umat. Aku dianugrahi ilmu-ilmu dan pengetahuan untuk memperbaiki umat ini.[372]

D. Yahudi Internasional

Barangkali, para pembaca akan meragukan bila ada pernyataan, dibalik Mirza Ghulam Ahmad itu adalah terdapat gerakan Yahudi Internasional. Untuk itu, penulis ingin mengajak pembaca melacak kebenaran tersebut.

Gerakan Yahudi Internasional berhasil menciptakan agama baru dalam rangka mencapai tujuannya. Agama dan atau ajaran yang diciptakan tersebut adalah, pertama, agama Bahaiyah dan kedua, ajaran atau agama Ahmadiyah.

Berdasarkan pengamatan Thoha Dasuqy,[373]Guru Besar Universitas Al-Azhar menyebutkan:

“bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara, gerakan Yahudi Internasional dengan ajaran Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Keinginan Yahudi yang sangat dahsyat pada waktu itu, adalah tercapainya sebuah impian mendirikan negara Israel di Palestina. Untuk mencapai hal tersebut diatas, perlu pengkaburan tentang konsep jihad yang terdapat dalam agama Islam. Pada saat itu, mereka mengatakan (Yahudi), umat Islam berkiblat ke Ka’bah di Mekkah, umat Islam memiliki satu kesatuan kaum muslimin yang dipandang oleh Yahudi sangat kuat.  Kekhalifahan Islam saat itu berpusat di Konstantin. Umat Islam sangat kuat memegang al-Qur’an dalam hati- sanubari kaum muslimin, dan orang Islam meyakini tentang nabi terakhir. Dalam pandangan Yahudi Internasional, umat Islam perlu dibuat nabi palsu, untuk mencapai tujuannya”.

 Nabi yang diciptakan mereka adalah Mirza Ghulam Ahmad, di Qadiyani, India. Yahudi Internasional sebelumnya telah berhasil menciptakan agama baru yaitu “agama Bahaiyah”. Agama ini, berawal dari sinkretisme agama dengan budaya setempat, dalam hal ini budaya Persia (Iran) sekarang. Selanjutnya, ajaran ini melepaskan secara penuh dari Islam, karena benar-benar terbukti penodaan terhadap Islam. Jika Bahaiyah didirikan di Iran, sementara Ahmadiyah didirikan di Qadiyani, India, pada abad sembilan belas.

Untuk mengetahui Bahaiyah yang direkayasa Yahudi, penulis mengajak sejenak untuk mengetahui apa itu Bahaiyah secara singkat, yaitu:

“Bahaiyah adalah lanjutan dari ajaran Babiah, didirikan oleh Husain Ali Nuri yang bergelar Abdulbaba. Ia mendakwakan dirinya sebagai inkarnasi dari Allah untuk menyatukan semua agama di dunia ini. Pada tahun1849 M. ia akan ditangkap karena terlibat pembunuhan Nasereddin Syah Iran, lalu  ia berlindung di kedutaaan Rusia di Teheran. Karena ia seorang Freemason tingkat tinggi, ia diselamatkan Kaisar Rusia Nickolivitsh  Alexander II. Kemudian ia menetap di Turki dan akhirnya di Akka Palestina. Ia menyebarkan ajarannya keseluruh dunia dengan dibantu Freemasonry Rusia, Inggris dan Amerika Serikat”.[374]

Penyatuan agama ini, merupakan nukilan dari buku yang ditulis oleh Penjajah Inggris dengan bunyi sebagai berikut:

“seruan untuk menyatukan semua umat manusia dalam keanekargaman agama, dalam satu agama. Mengikat persaudaraan antar umat manusia, rasa kecintaan yang menyatu diantara manusia, menghilangkan perbedaan agama dan lain-lain”.[375]

Terdapat kesamaan antara ajaran Ahmadiyah dengan ajaran Bahaiyah. Diantaranya:

  1. Tentang pengakuan Imam Mahdi mau’ud;
  2. Pengakuan sebagai nabi dan;
  3. Pembatalan syari’at/jihad

Penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat kesamaan tersebut, yang dijadikan landasan oleh Mirza Ghulam Ahmad (Ahmadiyah) dan oleh Bahaiyah. Uraian ini mungkin tidak lengkap, akan tetapi bisa membuka pikiran kita, ada apa dibalik Ahmadiyah dan Bahaiyah.

Pertama, tentang Imam Mahdi. Dalam ajaran Islam, sebahagian kaum muslimin mempercayai akan datangnya Imam Mahdi. Keyakinan ini bersumber dari hadist nabi yang masih dipertanyakan keshahihannya. Dari celah inilah, yang selalu dipergunakan oleh Yahudi untuk merusak ajaran Islam. Dalam ilmu hadist ada yang disebut dengan ”Israeliyat”. Keyakinan, akan datangnya Imam Mahdi yang diceritakan dalam hadsit, merupakan bagian dari israeliyat.

Mirza Ghulam Ahmad,[376] ”mengklaim dirinya, disamping sebagai Isa mau’ud juga sebagai Imam Mahdi, dalam satu waktu. Para pengikutnya sangat meyakini dan ta’at, dengan landasan argumen dari hadist nabi yang diriwayatkan dalam shoheh Bukhari, yang mengatakan,

”Bahwa sesungguhnya Mahdi akan muncul ke bumi disebelah timur di sekitar manaaraati Damaskus. Dan al-Masih sembahyang di belakangnya”.

Disamping itu,

Mirza Ghulam Ahmad memakai dalil dari hadist yang berbentuk pertanyaan,” Bagaimana denganmu dan dengan anak Maryam padamu ?”.

Menjadi pertanyaan bagi kita, apakah pengakuan Mirza Ghulam Ahmad itu merupakan keinginan sendiri atau ada rekayasa dibalik Mirza? Jika, itu merupakan rekaya gerakan Yahudi Internasional, maka dugaan sementara orang akan menjadi benar. Karena, pendahulu Mrza Ghulam Ahmad, yaitu Husain Ali Nuri yang bergelar Abdulbaba, selanjutnya menjadi agama Bahaiyah. ”Husain Ali Nur, pertama kali, mengklaim sebagai Imam Mahdi mau’ud, setelah itu banyak manusia yang mempercayainya dan mengikutinya, selanjutnya mengklaim sebagai nabi yang mendapat wahyu dari tuhan.”[377]

Kedua, pengakuan tentang nabi. Husain Ali Nuri, mengklaim sebagai nabi yang selanjutnya diikuti pula oleh Mirza Ghulam Ahmad. Jika, ajaran Bahaiyah yang didirikan Husain berada di Iran. Sementara, ajaran Ahmadiyah tumbuh subur berawal dari Qadiani, India. Keduanya, dilindungi oleh gerakan Yahudi Internasional.

Ketiga, tentang pembatalan jihad. Mirza Ghulam Ahmad, mengklaim dirinya mendapatkan wahyu. Dan ia memiliki otoritas dalam penentuan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan ajaran Islam. Diantarnya adalah pembatalan jihad. Demikian juga dalam Bahaiyyah konsep jihad dihapus dan telah diganti.

Mari kita perhatikan ajaran pokok Bahaiyah,[378] yaitu:

6)                  Kesatuan agama;

7)                  Kesatuan bahasa;

8)                  Kesatuan tanah air/bangsa;

9)                  Perdamaian nasional dan;

10)              Persamaan antara laki-dan perempuan.

Dalam ajaran Bahaiyyah, konsep jihad telah dihapus,  demikian juga dalam ajaran Ahmadiyah. Dalam nomor empat diatas, Bahaiyah menyerukan tentang perdamaian. Menurutnya, ”perdamaian akan tercapai bila konsep jihad dihapus. Ia, mengatakan; konsep jihad telah dibatalkan dalam syari’at. Ia menyerukan perdamaian internasional, perdamaian hakiki (sebenarnya), bukanlah mengangkat senjata….” [379]

Dari uraian diatas, diketahui bahwa Bahaiyyah di Iran memiliki kesamaan ajaran dengan Ahmadiyah di Qadiani, India. Keduanya, di persiapkan oleh Yahudi Internasional. Jika, Bahaiyyah melalui Yahudi Rusia, sementara Ahmadiyah Yahudi Inggris.

BAB VII

Simpulan dan Saran

A. Simpulan

Pada bab terakhir ini peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut dibawah ini:

Mirza Ghulam Ahmad, pada awalnya Ia memproklamirkan kepada pengikutnya dan bahkan diluar pengikutnya, menyatakan sebagai wali dan pembaharu. Ia mengakui pada fase ini menerima wahyu dan ilham. Wahyu disini dimaksudkan bukan wahyu dan ilham kenabian. Akan tetapi, dimaksudkan sebagai wahyu dan ilham wilayat.

Selanjutnya sekte ini, yaitu gerakan Ahmadiyah mengawali sebagai gerakan pembaharuan yang bersifat liberal dan cinta damai, dengan maksud menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam yang lama. Dengan cara ini, banyak orang-orang bersimpati dan bahkan mengikuti sebagai pengikut setia Ahmadiyah.

  1. Imam Mahdi Mau’ud dan Messiah

Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad diatas, diakui oleh para pengikut Ahmadiyah, yaitu paham tentang al-Mahdi tidak dapat  dipisahkan dengan masalah kedatangan kembali Isa al-Masih di akhir zaman, karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh, satu pribadi, yang kedatangannya telah dijanjikan oleh Tuhan. Ia ditugaskan Tuhan untuk membunuh Dajjal, mematahkan tiang salib, yaitu mematahkan argumen-argumen agama Nasrani dengan dalil-dalil atau bukti yang meyakinkan serta menunjukan kepada para pemeluknya tentang kebenaran Islam. Disamping itu iapun ditugaskan untuk menegakkan kembali syari’at Nabi Muhammad, sesudah umatnya mengalami kemerosotan dalam kehidupan beragama.

  1. Tahapan Kenabian Mirza Ghulam Ahmad

Mirza Ghulam Ahmad, untuk mengklaim sebagai nabi melalui beberapa tahapan sebagaimana yang telah dikemukakan diatas; ia mengklaim sebagai wali dan pembaharu; kemudian meningkat lagi sebagai Imam Mahdi dan al-Masih dan ketiga sebagai nabi.

Langkah selanjutnya adalah mengumumkan secara besar-besaran kepada umat, bahwa yang dimaksud dengan kenabian Mirza Ghulam Ahmad itu adalah, nabi yang masih dalam kerangka kenabian Muhammad saw. Artinya ia sebagai nabi tabe’ mengikuti nabi Muhammad, karena itu disebut sebagai nabi dhilliyah, yang tidak merusak terhadap kenabian terakhir Nabi Muhammad saw.  Dalam tahapan ini, tidak mengklaim sebagai nabi, seperti kenabian Nabi Muhammad dan atau seperti nabi-nabi yang lainnya. Akan tetapi, hanya sebatas nabi dhilli.

Untuk mengklaim sebagai nabi mustaqil, maka pada tahun1901 M. Mirza Ghulam Ahmad, secara terus terang ia akui sebagai nabi. Ia menerima wahyu, sebagai wahyu kenabian. Dan ini adalah sebagai nabi mustaqil, seperti para nabi-nabi dan Rasul-Rasul yang lainnya.

Salah satu contoh wahyu kenabian yang di klaim sebagai penegasan kenabian Mirza Ghulam Ahmad, diantaranya:

15)  Artinya: “Tuhan yang Maha Benar adalah Tuhan yang mengutus rasulnya di Tanah Qadiani”;[380]

16)  Artinya: “Sesunngguhnya Allah Maha Kuasa, Ia akan memelihara /melindungi Tanah Qadiani dari tha’un, sehingga banyak orang mengetahui bahwa Tanah Qadiani, sebabnya adalah di Tanah Qadiani diturunkan seorang Rasul;[381]

  1. Faktor Yang Mempengaruhi Ahmadiyah

Dalam bahasan ini, peneliti  menyimpulkkan latar belakang lahirnya ajaran Ahmadiyah. Munculnya ajaran Ahmadiyah tidak berdiri sendiri, akan tetapi didorong oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah pertama, faktor kondisi keberagamaan masyarakat India pada waktu itu; kedua, Penjajahan Inggris; faktor ketiga, kepribadian dan keluarga Mirza Gulam Ahmad itu sendiri; dan keempat, lingkungan tempat lahir dan dibesarkan Mirza Gulam Ahmad.

B.Saran

Semoga penelitian yang  berkaitan dengan Ahmadiyah ini bermanfaat bagi peneliti sendiri dan juga bagi peneliti selanjutnya untuk dikembangkan lagi lebih mendalam dan lebih tajam.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Al-Dasuqy habistaty, Thoha.  Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taariih, (Al-Qahirah: Daar althabaa’at al-mahmudiyah, 1989).

An-Nadwi, Abul Hasan dkk, Ahmadiyah: Pemberontakan terhadap Kenabian Muhammad dan Islam[ter.], (Jogyakarta: Horison Press, 1972).

Al-Hiwary, Hasan. Al-Bahaiyah, ( Al-Qahirah: matba’at al-Husaein al-Islamiyah, 1989).

Assembly, Tim The Ahl ul Bayt Word . Imam Mahdi [ter.], (Jakarta: Al-Huda, 2007).

Ahmad, Mirza Ghulam  ditulis pada tanggal 21, Desember 1896 di Qadiani. (lihat dalam Filsafat Ajaran Islam, hal. Xi).

Al-Qurthubi. Tafsir al-Qurtubi. Jilid 6.

Abu Daud. Miskaweh.

Ahmad bin Hambal, Musnad, Jilid I.

Al-Maraghi. Tafsir AL-Marghi (ter), (Semarang: Thoha Putra, 1987), Jilid. VI.

Ahmadi Djajasugita, F. Benarkah Ahmadiyah Sesat?, (Jakarta: Qutubil Islamiyah, 2005).

Ahmad, Warson Munawwir. Kamus Arab-Indnesia, (Jogyakarta: Pustaka Progressif, 1997). Hal. 1375.

Anwar, Haamid isya, Muhammmad. Qadhaayaa a’qaaidiyat, al-Qahiraah: Alshofaa, 1988), hal.7

Ahmadiyah. Ayat-ayat pilihan dari al-Qur’an, Published by Islam International Publications Limited. (Tanpa TAhun).

Bukhari. Jilid III.Hal. 135.

Depag, al-Qur’an dan terjemahnya.

Elfauzi, Syafru. Respon Umat Islam Terhadap Aliran Ahmadiyah Indonesia. Tesis: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Gibb, H.A.R. Aliran-aliran Modern Dalam Islam (ter), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).

Huston, Smith, Agama-agama Manusia [ter], (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985).

Iskandar, Nanang RI. Fatwa MUI dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia. (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2005).

Jemaat Amadiyah Indonesia, Team. Kami Orang Islam ,(Tanpa Kota: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1985).

Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir, jilid I.

Kafie, Jamaluddin. Tasawuf Kontemporer, (Jakarta: Republika, 2003).

Majah, Ibnu bab ayidatuzzaman

Mardedeq, A.D. EL. Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan PerkembangnnyaHingga ke Indonesia, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media, 2005).

Syathani, Tsara. Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Daar so’ab, 1986).

Shihab, M.Qirasih. Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).

Tsalthut, Mahmud. Al-Islam Aqidah wa al-Syari’ah, (al-Qahirah: Daar al-Suruuq, 1992/1412 H).

Poewadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1976), hal. 1147.

UII, Team. AL-Qur’an dan Tafsirnya. (Yigyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), jilid II. Hal. 417.

Zulkarnaen, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, [Disertasi], (Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000).

Media Elektronik:

htt://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

Media Cetak:

Kompas, 6 Juni 2008.

Republika, 4 Juni 2008).

Republika, Ahmadiyah dianggap berpotensi menimnulkan konflik, Rabu,

September 2010. Hal. 12.

Republika, Rabu, 1 September 2010. Hal.2.

Republika, Rabu, 1 September 2010. Hal.2.

Nara Sumber:

1) Prof. DR. Abdul Rozak.

 2) Abdul Wahab;

3) M.Eqi..

[1] H.A.R. Gibb. Aliran-aliran Modern Dalam Islam (ter), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.18-19.

[2] Bandingkan dengan, F. Ahmadi Djajasugita, Benarkah Ahmadiyah Sesat?, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007), hal. iv.

[5] Senin (9/6/2008/detikcom ).

[6] Republika, 7 November 2007.

[7] Iwan Munandar/Surnata/Sup, indosiar.com, 11-Jun-2008.

[8] Fatwa MUI 29 Juli 2005. Lengkapnya lihat dalam lampiran

[9] Maklumat dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia, lihat dalam lampiran

[10]Nanang RI Iskandar. Fatwa Majlis Ulama Indonesia dan Gerakan   Ahmadiyah Indonesia, (Jakarta: Darul Qutubul Islamiyah, 2005).

[11] H.A.R. Gibb. Aliran-aliran Modern Dalam Islam (ter),  hal.18-19.

[12] Ahmad Warson Munawwir. Kamus Arab-Indnesia, (Jogyakarta: Pustaka Progressif, 1997). Hal. 1375.

[13]Muhammmad Anwar Haamid isya. Qadhaayaa a’qaaidiyat, al-Qahiraah: Alshofaa, 1988), hal.70.

[15]Demikian pendapat Prof. DR. H. Abdul Razak, Guru Besar pada Facultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. (Ia mengemukakan pada penulis, pada tanggal 30 Desember 2008).

[16]Muhammmad Anwar Haamid isya. Qadhaayaa a’qaaidiyat, hal.73.

[18]QS.Al-Ahzab, [33]: 40.

[19] Lihat, QS. Al-Baqarah, [2]: 107, 120, dan 257; (QS. 3:6 8); (4: 45) dan ayat lain.

[20] QS. Al-Baqarah, [2]: 257

[21] QS. Ali Imran, [3]: 68

[22] QS. An nisa, [4]: 45.

[23] QS. Ali Imran, [3]: 68

[24] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, hal. 291.

[27] Al-Qurthubi. Tafsir al-Qurtubi. Jilid 6. hal.4117.

[28] Depag, al-Qur’an dan terjemahnya, hal. 462.

[29] Lihat dalam, Tafsir Qurtubi, jilid 6. Hal. 4117.

[30]Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.

[31] QS.Ali Imran, [3]: 28.

[32] Lihat Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir, jilid, I. Hal. 276.

[33] QS.An nisa,[4]: 139.

[35]wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pelindung atau penolong.

[37] QS. 5: 51; 57; 81. (QS.7: 3; 27; 30). (QS.9: 23); QS.4:90; QS.4: 89;

[38] QS. Maryam, [19]: 45.

[39] QS. Annisa, [4]: 76.

[40] W.J.S. Poewadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1976), hal. 1147.

[42]Mahmud Tsalthut. Al-Islam Aqdah wa al-Syari’ah, (al-Qahirah: Daar al-Suruuq, 1992/1412 H), hal. 40.

[43] Jamaluddin Kafie. Tasawuf Kontemporer, (Jakarta: Republika, 2003), hal. 156.

[46] Jamaluddin Kafie. Tasawuf Kontemporer, hal. 137.

[48] Tim The Ahl ul Bayt Word Assembly. Imam Mahdi [ter.], (Jakarta: Al-Huda, 2007), hal. 17.

[50]Nasib malang menimpa Bani Israel, penindasan-demi penindasan, mereka lalui dalam kehidupan. Walau demikian penderitaan yang mereka lalui,  tidak pernah berhenti untuk bangkit. Penderitaan Yahudi awal ini meliputi penderitaan secara; fisik, secara psikologis, secara sosiologis, secara theologies, ekonomis, dan secara politis. (Lihat, Mulyana. Agama Dan Politik:Telaah atas agama Yahudi dan Islam.Missi, Fungsi, Sejarah Ideologi dan Pemikiran, (Bandung: Pusat Penelitian UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2007), hal. 42.   

[52] Tim The Ahl ul Bayt Word Assembly. Imam Mahdi [ter], Hal. 18.

[54]QS.Al-Qashash, [28]:5.

[55]QS. AL-Qashash, [28]: 41.

[56]QS. Al-Baqarah, [2]: 124.

[58] QS.Al-Isra, [17]: 71

[61]QS.Al-Qashash,[28]: 56.

[62]QS. Al-sjdah, [32]: 24.

[63]Tim The Ahl ul Bayt Word Assembly. Imam Mahdi [ter.], hal. 64.

[64]Ibid., hal. 69.

[65]Ahmad Amin dalam  Zulkarnaen. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, hal. 125.

[66]Azyumardi Azra dalam Zulkarnaen. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, hal. 127.

[67] Ahmad Warson Munawwir. Kamus Arab-Indnesia, (Jogyakarta: Pustaka Progressif, 1997). Hal. 1375.

[68]Muhammmad Anwar Haamid isya. Qadhaayaa a’qaaidiyat, al-Qahiraah: Alshofaa, 1988), hal.70.

[70]Demikian pendapat Prof. DR. H. Abdul Razak, Guru Besar pada Facultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. (Ia mengemukakan pada penulis, pada tanggal 30 Desember 2008).

[71]Prof. DR. H. Abdulul Rozak membagi nabi kedalam dua kelompok.: Kelompok pertama, nabi Fungsional, yang berfungsi sebagai otak pada zamannya. Kedua, nabi struktural, nabi jabatan yaitu Nabi-Nabi Allah yang menerima wahyu dari Allah pada zaman tertentu.

   Sedangkan Karomah, AL-Ghazali menyebutkan karomah, adalalah; sesuatu yang disebut dengan khorikul aadat (memmiliki keistimewaan yang luar biasa), hal semacam ini Allah menampakkannya kepada hamba Allah yang shaleh atau yang disebut dengan wali, dengan tanpa mengklaim sebagai Nabi. Nampaknnya, terdapat kesamaan antara Karomah dengan Mukjizat. Keduanya sama-sama memiliki khorikul aadat dan yang menampakannya adalah Allah. Hanya saja, Karomah, adalah Allah memberikannya kepada para wali karena kedekatannya kepada Allah SWT, sebagai pemberian Allah karena kehormatannya, yang setia mengikuti jejak Rasulullah dan menjelaskan  agama yang benar. (Muhammad al-abwar HAmid Isya. Qadhaayaaa a’qa’idiyah, hal. 100).

[72] QS.AlHijr, [15]: 49.

[73] QS. AL-Maidah, [5]: 27.

[74]QS. An naml, [27]: 22.

[75]Muhammmad Anwar Haamid isya. Qadhaayaa a’qaaidiyat, hal.73.

[78]Team UII. AL-Qur’an dan Tafsirnya. (Yigyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), jilid II. Hal. 417.

[79]QS. Al-An am, [6]:89.

[80]Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. III. Hal. 204.

[81]yaitu dengan memberikan anak cucu yang baik, kenabian yang terus menerus pada keturunannya, dan puji-pujian yang baik.(lihat dalam UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya.

[82]QS. Al-Ankabut, [29]: 27.

[83]QS. Al-Jaasiyah, [45]: 16.

[84]QS. Al-HAdid, [57]: 26.

[85]QS.Al-Ahzab, [33]: 40.

[86]Huston Smith, Agama-agama Manusia [ter], (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal. 16.

[87]A.D. El. Mardedeq, Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan PerkembangnnyaHingga ke Indonesia, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media, 2005), hal. 7.

[88]Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taariih, (Al-Qahirah: Daar althabaa’at al-mahmudiyah, 1989), hal. 11 

    Thoha Al-Dasuqy, merupakan guru penulis sewaktu kuliah di al-Azhar University.

[90]Iskandar Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, [Disertasi], (Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), hal. 79.

[91] Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, Hal. 22

[92]Abul Hasan An-Nadwi dkk, Ahmadiyah: Pemberontakan terhadap Kenabian Muhammad dan Islam[ter.], (Jogyakarta: Horison Press, 1972), hal. 5-6.

[93] Yang dimaksud adalah Mirza Ghulam Ahmad, dalam pandangan Ulama India pada waktu itu.

[94]  Empi MUSLION JB’lOç  atau dalam http://www.almanhaj.or.id

[95] Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, hal. 71

[96] H.A.R.Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam [ter.], (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 104.

[98] Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, Hal. 29.

[99]Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, hal. 70.

[100]Thoha Al-Dasuqy habistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, Hal. 30.

[101] H.A.R.Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam [ter.], hal. 104.

[103]Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, Hal. 32

[104] Mirza Ghulam Ahmad. http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah

[105]Ini adalah pernyataan Mirza Ghulam Ahmad, di Qadian, 21 Desember 1896. Pernyataan ini, diterbitkan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebelum Konferensi Agama-agama di Lahore pada tanggal 26-28 Desember 1896. Pernyataan ini dinukil dari Filsafat Ajaran Islam yang ditulis oleh Mirza Ghulam Ahmad sendiri dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Mukhlis Ilyas. Diterbitkan oleh “Jamaat Ahmadiyah Indonesia. Jln. Raya Parung- Bogor 27, PO Box 33/Pru-Parung Bogor- 16330. Lihat tadzzkirah?

[106] Abul Hasan An-Nadwi dkk, Ahmadiyah: Pemberontakan terhadap Kenabian Muhammad dan Islam[ter.], hal. 5.

[107] Ghulam Ahmad, Taryatul Qulub, dikutif Assayid An-Nadwi, Ahmadiyah Pemberontakan Terhadap Kenabian Muhammad dan Islam [ter.], hal. 7.

[108] (Lampiran Kitab ”Syahadatul Qur’an cet.6. dalam Annadwi, hal. 7

[109] Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, hal. 33.

[111] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah

[112]Mengenai Mujaddid (pembaharu agama) akan dibahas dalam bahasan berikut.

[113] Terdapat beda pengertian dan pemahaman mengenai wahyu yang selalu diungkpkan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Karena itu, pengertian wahyu segera akan penuilis bahas dalam bab berikut.

[114] Mengenai Imam Mahdi dalam kalangan umat Islam berbeda pendapat. Tapi penulis akan berusahan untuk menjelaskan kepada pembaca dalam bab berikut.

[115] htt://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah

[116] Lihat Tsahrasyathani, Al-Milal wa al-Nihal, juz II,hal. 57.

[118] Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, hal. 36.

[119] A.D. El. Mardedeq, Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan PerkembangnnyaHingga ke Indonesia, hal. 52.

[120]Hasan Al-Hiwary, Al-Bahaiyah, ( Al-Qahirah: matba’at al-Husaein al-Islamiyah, 1989), hal. 71.

[121] Lihat Tsahrasyathani, Al-Milal wa al-Nihal, juz II,hal. 58.

[122] Hasan Al-Hiwary, Al-Bahaiyah, hal. 40.

[125]Thoha Al-Dasuqy H. Al-Qadiyaniyat wa Masyiruha fi al-tariih, 1989, (Al-Qahirah: Daar al-thabaat al-Mahmudiyah), hal. 121-122.

[127] H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam [ter.], (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 104.

[128] Tsahra syathani, Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Daar so’ab, 1986), hal.58.

[129] Lihat, Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

[130] http://id.wikipedia.org/wikip/Ahmadiyyah

[131] Thoha AL-Dasuqy H. Al-Qadiyaniyat wa Masyiruha fi al-tariih, hal. 123.

[132] Tsahra syathani, Al-Milal wa al-Nihal,hal. 58.

[134]Mirza Ghulam Ahmad.Himamatu al-Basyar y (dalam:Thoha AL-Dasuqy H. Al-Qadiyaniyat wa Masyiruha fi al-tariih, hal. 119.

[135] Tsahra syathani, Al-Milal wa al-Nihal,hal. 58.

[136]Mirza Ghulam Ahmad, Tablig Risalah, hal.302 (dalam: Thoha AL-Dasuqy H. Al-Qadiyaniyat wa Masyiruha fi al-tariih, hal. 123.

[137]Padahal, gerakan pembaharuan yang telah terjadi didunia Islam dalam perjalan sejarah kaum Muslimin yaitu; pertama, tajdid al-a’qidah, seperti yang dilakukan oleh Muhammad  Abdul Wahab (1115 H – 1206 H) di Jazirah Arab.  Kedua,  tajdidi Tsamil, yang dilakukan oleh (Jamaluddin al-afghani dan yang lainnya Abduh dan Rasyid Ridla) yang lebih berorientasi dalam gerakan politik melawan penjajah, disamping pembaharuan dalam masalah keagamaan. Ketiga, tajdid Dzati, yang dilakukan Muhammad Iqbal di Pakistan, lebih banyak berorientasi dalam masalah, social, budaya, filsafat dan agama. Keempat, tajdid ilmu kalam, hal ini terjadi ketika Turki Utsmani mengalami Negara sekuler, dengan munculnya doktrin: 1) Turki harus melepaskan dari Islam; 2) membatalkan ke khalifahan Turki Utsmani; 3) harus memegang dustur sekuler dan melepaskan dustur agama yang berdasarkan Islam. Muncul  Said al-Nursyi, berusaha mengembalikan kegalauan yang terjadi pada masa itu. Kelima, tajdid tsumuli haraki, apa yang pernah dilakukan Hasan al-Banna (1905-1949 M), membentuk generasi baru yang bermadzhab Islam harakah, yang mengurai Islam dalam seluruh aspek kehidupan. (lihat, Muhsin Abdul Hamid, Tajdidu al-fikri al-Islamiy, [Misr: Daar al-shohwah, 1985].

[138]Kaum orientalis, yang sejak lama mengadakan studi tentang Islam dan umat Islam, mempelajri perkembangan modern tersebut. Hasil penyelidikan itu pada mulanya mereka siarkan dalam bentuk artikel di majalah-majalah ilmiah seperti Muslim Word, Studia Islamica, Revue du Monde Musulman, Die Welt des Islam, dan sebagainya, dan kemudian dalam bentuk buku, seperti Islam and Modernism inEgypt, yang dikarang oleh C.C. Adams di tahun 1933, Modern Islam in India, yang ditulis oleh W.C. Smith di tahun 1943, Modern Trend in Islam, yang disusun oleh H.A.R. Gibb di tahun 1946, dan sebagainya.

Hasil penyelidikan kaum orientalis Barat ini segera melimpah ke dunia Islam. Kaum terpelajar Islam mulailah pula memusatkan perhatian pada perkembangan modern dalam Islam dan kata modernisme pun mulai diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa yang dipakai dalam Islam seperti al-tajdid dalam bahasa Arab dan pembaharuan dalam bahasa Indonesia. (Lihat, Harun Nasution. Pembahruan Dalam Islam: Sejarah, pemikiran dan Gerakan: [Jakarta: Bulan Bintang, 1975], hal. 12.

[139]Iskandar Zulkarnaen. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Sahid, 2000), hal. 132.

[140] QS. Annur, [24]: 55.

[141]Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990), hal. 660.

[143]M.Qirasih Shihab. Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 9. Hal. 391.

[145] Maulana Muhammad Ali. Qur’an Suci, hal. 904. (Dinukil dari Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, hal. 129).

[146] HR Abu Daud. Miskaweh, hal. 36.

[147]Mirza Ghulam Ahmad.Himamatu al-Basyar y (dalam:Thoha AL-Dasuqy H. Al-Qadiyaniyat wa Masyiruha fi al-tariih, hal. 119.

[148]Team Jemaat Amadiyah Indonesia. Kami Orang Islam,(Tanpa Kota: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1985), hal. 67. Pembaharu Islam yang dikenal dikalangan masyarakat Muslim pada umumnya adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam foot note (lihat foot note nomor 42 dan 43). Dalam bab ini.

[149]H.A.R.Gibb, mengomentari, konsep [imam] Mahdi dalam Islam atau Messiah dalam Krsiten, dan juga Millenarian dalam istilah Barat, bisa memiliki makna keagamaan, kepercayaan dan politik. Walaupun perumusannya bisa berbeda-beda, makna essensial konsep tersebut boleh dikatakan sama, yakni harapan atau keyakinan bahwa pada suatu saat akan muncul tokoh kuat yang akan mengatasi segala permasalahan di dunia yang sudah kacau ini. Konsep ini selain dikenal dikalangan sebagian umat Muslim (syi’ah Isna asyariah, Ahmadiyah, dan sebagainya) juga dikenal dikalangan umat Yahudi, Krsiten, Zoroaster, dan lain-lain.

[150] Tsahra syathani, Al-Milal wa al-Nihal, jilid II, hal.58.

[151] Lihat, Iskandar Zulkarnae, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, (Disertasi: IAIN Srarif Hidayatullah jakarta, 2000), hal. 112-113.

[152]Musnad Ahmad bin Hambal Jilid II halaman 156.

[153] Ibnu Majah, bab ayidatuzzaman.

[154] Mirza Ghula Ahmad, Khutbah Ilhamiyah, 13 April 1900 M (dalam Jemaat Ahmadiyah Indonesia, hal 67-68.

[155]QS. Ali Imran,[3]: 61. [197]  Mubahalah ialah masing-masing pihak diantara orang-orang yang berbeda pendapat mendoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la’nat kepada pihak yang berdusta. nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan Ini menjadi bukti kebenaran nabi Muhammad s.a.w.

[156]Jemaat AHmadiyah Indonesia. Kami Orang Islam, (penerbit, jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1985), hal. 66.

[158]Mirza Ghula Ahmad, Meri Ta’lime,(dalam Syafru Elfauzi. Respon Umat Islam Terhadap Aliran Ahmadiyah Indonesia. Tesis: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, hal. 44.

[160]M.Quraish Shuhab. Tafsir Al-Misbah,(Jakarta: Lentera Hati, 20022), vol. 2. Hal, 112. 

[161]QS.Al-Baqarah, [2]: 285.

[162]Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Kami Orang Islam(Jemaat Ahmadiyah: 1985), hal. 62.

[163]M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah,vol. 1. hal. 616.

[164]Jemaat Ahmadiyah. Kami Orang Islam, (Penerbit: Jemaat Ahmadiyah, cetakan V, 1985), hal. 35.

[165] QS. Al-Jumu’ah,[62]: 3.

[166] Bukhari. Jilid III.Hal. 135

[167]Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Kami Orang Islam, hal. 65.

[168]diketahui, setelah Mirza Ghulam Ahmad mengaku mendapatkan ilham dan atau bahkan menjadi nabi, ia sangat bersemangat dan berkepentingan untuk mengakui, bahwa dirinya berasal dari keluarga yang berketurunan dari Persia asli. Mengapa demikian, terdapat kepentingan selanjutnya. Setelah diteliti secara mendalam, terdapat hadist-hadist syi’ah  maudlu yang mengabarkan bahwa Imam Mahdi yang akan muncul akhir zaman, yang akan membawa “nur dan keadilan” akan muncul dari  ras atau bangsa Persia. Jadi tidaklah heran, bahwa Mirza Ghulam Ahmad, memelintirkan hadist-hadist maudhu syi’ah untuk membangun agama atau ajaran Ahmadiyah.

[170]M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah,vol. 14. hal. 222. (Perhatikan foot note nomor 36. Hadistnya adalah sama, seperti yang dipakai sebagai argumen oleh pengikut ajaran Ahmadiyah. Hadist sama pemahaman yang berbeda. Ayat al-Qur’annya juga adalah sama penafsiran yang bebeda).

[171]Perhatikan kembali hadist yang dipakai sebagai argumentasi pengikut Ahmadiyah, yang diklaim bahwa hadist tersebut sebagai penunjukan kepada Salman al-Farisi, yang di akui sebagai wahyu Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad, sebagai penunjukan dirinya yang membawa kembali iman dari bintang Tsurayya. Bandingkan dengan  pemahaman ulama pada umumnya, nampak berbeda.

[172]M.Quraish Shuhab. Tafsir Al-Misbah,vol. 14. hal. 222.

[173]Ibid., hal. 24. (Dan bandingkan dalam buku Victory of Islam, hal. 30).

[174] QS.An-Nisa, [4]: 157.[378]  mereka menyebut Isa putera Maryam itu Rasul Allah ialah sebagai ejekan, Karena mereka sendiri tidak mempercayai kerasulan Isa itu..

[175]Maulana Muhammad Ali. Qur’an Suci, (dinukil dari Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, hal. 119).

[176]Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990), hal. 660.

[177]Al-Maraghi. Tafsir AL-Marghi (ter), (Semarang: Thoha Putra, 1987), Jilid. VI. Hal. 19.

[178]M.Quraish Shuhab. Tafsir Al-Misbah,vol. 2. hal. 649.

[179]M.Quraish Shuhab. Tafsir Al-Misbah,vol. 2. hal. 651.

[180]QS.AN-Nisa, [4]: 158. Ayat ini adalah sebagai bantahan terhadap anggapan orang-orang Yahudi, bahwa mereka telah membunuh nabi Isa a.s.

[181]Maulana Muhammad Ali. Qur’an Suci, (dinukil dari Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, hal. 120).

[182]Jemaat Ahmadiyah. Kami orang Islam. (tanpa kota: Penerbit Jemaat Amadilla Indonesia, 1985), hal. 37.

[183] AL-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (ter), jilid. VI. Hal. 23.

[184] QS.Ali Imran, [3]: 55.

[185]Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya, hal. 347. Jilid. II.

[186]asy-Syarawi, dalam M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, hal. 651-652.

[187]Thabathaba’i, dalam M. Qurasih Shihab. Tafsir al-Misbah, hal. 652.

[188]QS.Al-Maidah,[5]: 117.

[189]Maulana Muhammad Ali. Qur’an Suci, (dinukil dari Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, hal. 121).

[190]Syafru Alfauzi. Respon Ormas Islam Terhadap Aliran Ahmadiyah Di Indonesia.(Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), hal. 44-45.

[191]Jemaat Ahmadiyah. Kami Orang Islam,  hal. 36

[192]QS. Ali Imran, [3]: 55. Perhatikan Versi terjemahan Ahmadiyah akan nampak sebagai berikut: “Ingatlah ketika Allah berfirman: Hai Isa, sesungguhnya Aku akan mematikan engkau secara biasa dan akan meninggikan derajat engkau di sisi-Ku dan akan membersihkan engkau dari tuduhan orang-orang yang ingkar dan akan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau diatas orang-orang yang ingkar hingga hari kiamat”.

[194]Asy- Sua’rawi dalam M.Quarsih Shihab. Tafsir al-Misbah, volume 2. Hal. 104.

[195]M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, Volume 2. Hal. 105.

[197]Al-MArghi. Tafsir al-Marghi (ter.), hal 104-105. Jilid VII.

[198]Mirza Ghulam Ahmad. Hakikat Wahyu. Hal.39.(Dinukil dariThoha AL-Dasuqy H. Al-Qadiyaniyat wa Masyiruha fi al-tariih, (Al-Qahirah: Daar al-thabaat al-Mahmudiyah, 1989), hal. 125.

[203]Jemaat Ahmadiyah. Kami Orang Islam, , hal. 24.

[204]Fathu Islam, hal 57 (dinukil dari Thoha Dasuqy, hal 130). Cocokan dengan Tadzkirah

[205]Ini adalah merupakan pernyataan Mirza Ghulam Ahmad sendiri, terdapat dalam “Tablig Risalah” hal. 110. Dan dalam al-Qadiyaniyah Ihsan illahi dhohir, hal. 119 (dinukil dari Thoha Dasuqy, hal.130). Cocokan dengan Tadzkirah

[206]Pernyataan Ghulam Ahmad  ini terdapat dalam tuhpat kulurat, hal 195. Dan cocokan engan Tadzikrah

[207]Khutbah Ilhamiyah Mirza Ghulam Ahmad, hal. 51. (Dinukil dari Thoha Dasuqy, hal 130) dan cocokan dengan Tadzkirah

[208]Tsahra syathani, Al-Milal wa al-Nihal, jilid II, hal.59. Cocokan dalam Tadzkirah

[209] Ibid., hal. 59.  Dan cocokan Tadzkirah, telampir ¡!!!

[210] Ibid., hal. 62. Terlampir!!!!!!

[211] Iskandar Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, hal. 121.

[212] Thoha AL-Dasuqy H. Al-Qadiyaniyat wa Masyiruha fi al-tariih,, hal. 140-141.

[215] Iskandar Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, hal. 138.

[216] Ibid., hal. 138. (Lihat dalam, Ahmad Tajalliyat Illahiyah).

[217]Tsahra syathani, Al-Milal wa al-Nihal, jilid II, hal.62. Cocokan dalm Tadzkirah

[218]Jemaat Ahmadiyah. Kami Orang Islam, (penerbit: Jemaat Ahmadiyah, cetakan V, 1985), hal. 27. (Ini adalah pengakuan pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang dinukilkan dari “Akhbar Am. Lahore, 26 Mei 1908, halaman 7).

[220]Terdapat perbedaan pemahaman mengenai menerima wahyu. Dalam pengakuan pengikut Ahmadiyah, dimaksudkan menerima wahyu disini adalah wahyu wilayat. Terminologi ini, dalam ajaran Islam pada umumnya belum dikenal. Sehingga, terjadi kesalah pahaman yang tidak kunjung selesai. Nampaknya, pengikut Ahmadiyah mencampur baurkan istilah-istilah keagamaan yang sakral yang menempel pada Nabi, kemudian diterapkan istilah tersebut kepada selain Nabi.

[222] Mirza Ghulam Ahmad. Daafi al-balaa, hal. 11 (dinukil dari Thoha Dasuqy. Hal. 151.

[224]Ibid., 152. Terdapat dalam Mirza Ghulam Ahmad. I’zaj Ahmadi. Hal. 7. Ayat ini MIrza Ghulam Ahmad mengakunya sebagai ayat-ayat Allah yang diturunkan kepadanya sebagai wahyu dari Allah.

[228]Mirza Ghulam Ahmad, ditulis pada tanggal 21, Desember 1896 di Qadiani. (lihat dalam Filsafat Ajaran Islam, hal. Xi).

[229] Thoha AL-Dasuqy H. Al-Qadiyaniyat wa Masyiruha fi al-tariih,, hal. 140-141.

 [230]Ibid., hal. 143.

[232] Iskandar Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, hal. 138.

[233] Ibid., hal. 138. (Lihat dalam, Ahmad Tajalliyat Illahiyah).

[234]Tsahra syathani, Al-Milal wa al-Nihal, jilid II, hal.62. Cocokan dalm Tadzkirah

[235]Jemaat Ahmadiyah. Kami Orang Islam, (penerbit: Jemaat Ahmadiyah, cetakan V, 1985), hal. 27. (Ini adalah pengakuan pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang dinukilkan dari “Akhbar Am. Lahore, 26 Mei 1908, halaman 7).

[237]Terdapat perbedaan pemahaman mengenai menerima wahyu. Dalam pengakuan pengikut Ahmadiyah, dimaksudkan menerima wahyu disini adalah wahyu wilayat. Terminologi ini, dalam ajaran Islam pada umumnya belum dikenal. Sehingga, terjadi kesalah pahaman yang tidak kunjung selesai. Nampaknya, pengikut Ahmadiyah mencampur baurkan istilah-istilah keagamaan yang sakral yang menempel pada Nabi, kemudian diterapkan istilah tersebut kepada selain Nabi.

[239] Mirza Ghulam Ahmad. Daafi al-balaa, hal. 11 (dinukil dari Thoha Dasuqy. Hal. 151.

[241]Ibid., 152. Terdapat dalam Mirza Ghulam Ahmad. I’zaj Ahmadi. Hal. 7. Ayat ini MIrza Ghulam Ahmad mengakunya sebagai ayat-ayat Allah yang diturunkan kepadanya sebagai wahyu dari Allah.

[245]Mirza Ghulam Ahmad, ditulis pada tanggal 21, Desember 1896 di Qadiani. (lihat dalam Filsafat Ajaran Islam, hal. Xi).

[246]Jemaat Ahmadiyah. Kami Orang Islam, (Penerbit Jamaat Ahmadiyah Indonesia, 1985), hal. 41.

[247]QS. AL-Fatihah, [1]: 6-7. Pejelasan yang benar adalah:” ]  yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

 [248]Tafsiran menurut pengikut Jamaat Ahmadiyah, dalam buku pembelaannya “Kami Orang Islam” jilid V, tahun 1985. Hal. 41.

[249]Bisa dilihat secara lengkap dalam Tafsir Al-Misbah, karya M. Quraish Shihab, (Jakarta: Lentera Hati, 2007).Volume I. Hal. 64-65.

[250] QS.Asy-Syura[42]: 52

[251]QS.Fushilat [41]: 17.

[252](QS. Al-Qashhash [28]: 56.

[253]M. Quraish Shihab Tafsir Al-Misbah,  volume I. Hal. 71-72.

[254]QS. AL-Maidah, [5]: 20.

[255]Tafsiran menurut pengikut Jamaat Ahmadiyah, dalam buku pembelaannya “Kami Orang Islam” jilid V, tahun 1985. Hal. 43.

[256]M. Quraish Shihab Tafsir Al-Misbah,  volume 3. Hal. 61.

[260]QS. Al-Imran, [3[: 179. Menurut Jumhur ulama ahlussunah waljamaah, [ 254]  yaitu: keadaan kaum muslimin bercampur baur dengan kaum munafikin. [255]  di antara rasul-rasul, nabi Muhammad s.a.w. dipilih oleh Allah dengan memberi keistimewaan kepada beliau berupa pengetahuan untuk menanggapi isi hati manusia, sehingga beliau dapat menentukan siapa di antara mereka yang betul-betul beriman dan siapa pula yang munafik atau kafir.

[261]Tafsiran menurut pengikut Jamaat Ahmadiyah, dalam buku pembelaannya “Kami Orang Islam” jilid V, tahun 1985. Hal. 43.

[262]M. Quraish Shihab Tafsir Al-Misbah,  volume 2. Hal. 292.

[263]Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. II. Hal. 91.

[264]QS. An nisaa, [4]: 69. Menurut Jumhur ulama Ahlussunnah waljama’ah,[314]  ialah: orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yangi min (dari) atau termasuk golongan. tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.

[265]Tafsiran menurut pengikut Jamaat Ahmadiyah, dalam buku pembelaannya “Kami Orang Islam” jilid V, tahun 1985. Hal. 44.

[266]M. Quraish Shihab Tafsir Al-Misbah,  volume 2. Hal. 501.

[268]Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. II. Hal. 223.

[269]QS. Thaahaa, [20]: 134.

[270]QS.al-Isra,[17]: 58.

[271]Tafsiran menurut pengikut Jamaat Ahmadiyah, dalam buku pembelaannya “Kami Orang Islam” jilid V, tahun 1985. Hal. 45.

[272]M.Qurasih Shihab. Tafsir al-Misbah, Volume. 8. Hal. 406.

[273]Ibid., Volume. 7. Hal.503.

[274]QS. Al-hajj, [22]: 75.

[275]Jemaat Ahmadiyah. Kami Orang Islam, hal 46.

[276]Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. IV. Hal. 475.

[277]M.Qurasih Shihab. Tafsir al-Misbah, Volume. 9. Hal. 128.

 [278]Ibid., Volume. 9. Hal. 128. 

[279]QS. Al-mu’min, [40]: 15.

[280]Jemaat Ahmadiyah. Kami Orang Islaam, hal 46.

[281]M.Qurasih Shihab. Tafsir al-Misbah, Volume. 12. Hal. 300.

[284]QS. Al-Baqarah, [2]: 124. [87]  ujian terhadap nabi Ibrahim a.s. diantaranya: membangun Ka’bah, membersihkan ka’bah dari kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismail, menghadapi raja Namrudz dan lain-lain.

[88]  Allah Telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim a.s., Karena banyak di antara rasul-rasul itu adalah keturunan Nabi Ibrahim a.s.

[285]Jemaat Ahmadiyah. Kami Orang Islaam, hal 47.

[286]M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, volume 1. Hal. 318.

[288]QS. An-Nur, [24]: 55.

[289]Jemaat Ahmadiyah. Kami Orang Islaam, hal 47.

[291]Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. X. Hal. 440.

[292]Ibid., jilid VI. Hal. 660.

[293]QS.Al-Baqarah,[2]: 269.

[294]Al-Jarqani sarah al-mawahab aldiniyah jilid I, Hal. 61 (dalam Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Kami Orang Islam, hal 49).

[296]M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, volume 1. Hal. 581.

[297]QS. Al-a’raf, [7]: 35.

[298]Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Kami Orang Islam, hal 49.

[299]M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, volume 5. Hal. 86.

[301]Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. III. Hal. 407.

[302]Dia, maksudnya (Muhammad), ini menurut para ulama dan demikian juga dalam terjemahan Departemen Agama. Terjemahan versi Ahmadiyah di atas tidak dimaksudkan pada Nabi Muhammad, akan tetapi dimaksudkan kepada Mirza Ghulam Ahmad. Perhatikan tejemahan versi Ahmadiyah diatas dan bandingkan dengan terjemahan Departemen Agama, nampak akan berbeda.

[303]Surah al-Haqqah,[69]:  44-46

[305]Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. X. Hal. 354.

[306] Ibid., hal. 354, jilid X.

[307]Ahmad maksudnya ádalah Nabi Muhammad saw. Nampak dalam terjemahan versi Ahmadiyah, tidak dimaksudkan kepada Muhammad saw., akan tetapi yang dimaksud oleh pengikut Jemaat Ahmadiyah adalah Mirza Ghulam Ahmad. Bandingkan dengan terjemahan, Departemen Agama, nampak berbeda.

[308]Surah Ashshaf[ 61]: 6.

[309]Yang dimaksud, menurut pengikut Jemaat Ahmadiyah nama Ahmad dalam (QS.61 6) adalah Mirza Ghulam Ahmad dari Qadiani, India. Bukan Nabi Muhammad saw., sebagiman keyakinan kaum Muslimin pada umumnya. Padahal yang benar Ahamad dalam ayat tersebut dimaksudkan Nabi Muhammad saw.

[310]Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Kami Orang Islam, hal 65-66.

 [311] F.Ahmadi Djajasugita. Benarkah AHmadiyah Sesat?, (Jakarta: Qutubil Islamiyah, 2005), hal. x-xi.

[314] Team UII. Al-Qur’an dan Tafsirnya,hal 65-66.

[315]Dalam ( QS. Al-a’raf [7]: 157. Artinya:”(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul , Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapat tertulis dalam Taurat dan Injil yang ada pada sisi mereka.”

[316]M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, volume 14. Hal. 200.

[319] Surah Yunus [10]: 16. [677]  Maksudnya: sebelum Al Quran diturunkan.

[320]Pengikut ajaran Ahmadiyah meyakini yang dimaksud memiliki akhlak mulia dan keluhuran adalah Mirza Ghulam Ahmad dari Qadiani, India.

[321]Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Kami Orang Islam, hal 62.

[322]Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir, jilid.II. Hal. 187.

[323]M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, volume 6. Hal. 42.

[324] QS. Al-Ankabut, [ 29]: 15.

[325]Yaitu Mirza Ghulam Ahmad dari Qadiani.

[326]Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Kami Orang Islam, hal 63. (Lihat dalam Tazkirah).

[328]Ibn Katsir. Tafsir Ibn Katsir, jilid 3. Hal. 31.

[329]M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, volume 10. Hal. 458.

[330]Ibn Katsir. Tafsir Ibn Katsir, jilid 3. Hal. 31.

[331] Lihat dalam ayat-ayat pilihan dari al-Qur’an, Published by Islam international Publications Limited.

[332] QS.Al-Ahzab, [33]: 40.  [1223]  Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. bukanlah ayah dari salah seorang sahabat, Karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.

 [333]Thoha AL-Dasuqy H. Al-Qadiyaniyat wa Masyiruha fi al-tariih,, hal. 160.

[335]Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Kami Orang Islam, hal 50.

 [336]Ibid., hal.152.

[338]M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, volume 11. Hal. 286.

[339]M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, volume 11. Hal. 286.

[340] Ibid., hal. 287.  [Sayangnya, M.Quraish Shihab, tidak menjelaskan kelompok Ahmadiyah mana yang tidak dinilai sebagai kelompok muslim. Sebagaimana kita sudah tahu, bahwa Ahmadiyah terdiri dari dua kelompok; pertama kelompok Qadianiyah dan kedua; kelompok Lahore. Di Indonesia, kelompok Qadianiah disebut dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dan kelompok Lahore disebut dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Yang tersebut pertama, berpusat di Parung, Bogor dan yang tersebut kedua berpusat di Yogyakarta.

[341]Huston Smith, Agama-agama Manusia [ter], (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal. 16.

[342]A.D. El. Mardedeq, Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan PerkembangnnyaHingga ke Indonesia, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media, 2005), hal. 7.

[343]Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taariih, (Al-Qahirah: Daar althabaa’at al-mahmudiyah, 1989), hal. 11 

    Thoha Al-Dasuqy, merupakan guru penulis sewaktu kuliah di al-Azhar University.

[345]Iskandar Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, [Disertasi], (Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), hal. 79.

[346] Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, Hal. 22

[347]Abul Hasan An-Nadwi dkk, Ahmadiyah: Pemberontakan terhadap Kenabian Muhammad dan Islam[ter.], (Jogyakarta: Horison Press, 1972), hal. 5-6.

[348] Yang dimaksud adalah Mirza Ghulam Ahmad, dalam pandangan Ulama India pada waktu itu.

[349]  Empi MUSLION JB’lOç  atau dalam http://www.almanhaj.or.id

[350] Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, hal. 71

[351] H.A.R.Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam [ter.], (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 104.

[353] Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, Hal. 29.

[354]Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, hal. 70.

[355]Thoha Al-Dasuqy habistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, Hal. 30.

[356] H.A.R.Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam [ter.], hal. 104.

[358]Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, Hal. 32

[359] Mirza Ghulam Ahmad. http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah

[360]Ini adalah pernyataan Mirza Ghulam Ahmad, di Qadian, 21 Desember 1896. Pernyataan ini, diterbitkan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebelum Konferensi Agama-agama di Lahore pada tanggal 26-28 Desember 1896. Pernyataan ini dinukil dari Filsafat Ajaran Islam yang ditulis oleh Mirza Ghulam Ahmad sendiri dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Mukhlis Ilyas. Diterbitkan oleh “Jamaat Ahmadiyah Indonesia. Jln. Raya Parung- Bogor 27, PO Box 33/Pru-Parung Bogor- 16330. Lihat tadzzkirah?

[361] Abul Hasan An-Nadwi dkk, Ahmadiyah: Pemberontakan terhadap Kenabian Muhammad dan Islam[ter.], hal. 5.

[362] Ghulam Ahmad, Taryatul Qulub, dikutif Assayid An-Nadwi, Ahmadiyah Pemberontakan Terhadap Kenabian Muhammad dan Islam [ter.], hal. 7.

[363] (Lampiran Kitab ”Syahadatul Qur’an cet.6. dalam Annadwi, hal. 7

 [364] Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, hal. 33.

[366] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah

[367]Mengenai Mujaddid (pembaharu agama) akan dibahas dalam bahasan berikut.

[368] Terdapat beda pengertian dan pemahaman mengenai wahyu yang selalu diungkpkan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Karena itu, pengertian wahyu segera akan penuilis bahas dalam bab berikut.

[369] Mengenai Imam Mahdi dalam kalangan umat Islam berbeda pendapat. Tapi penulis akan berusahan untuk menjelaskan kepada pembaca dalam bab berikut.

[370] htt://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah

[371] Lihat Tsahrasyathani, Al-Milal wa al-Nihal, juz II,hal. 57.

[373] Thoha Al-Dasuqyhabistaty, Al-Qaadiyaaniyata wa masyiruhaa fii al-taarii, hal. 36.

[374] A.D. El. Mardedeq, Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan PerkembangnnyaHingga ke Indonesia, hal. 52.

[375]Hasan Al-Hiwary, Al-Bahaiyah, ( Al-Qahirah: matba’at al-Husaein al-Islamiyah, 1989), hal. 71.

[376] Lihat Tsahrasyathani, Al-Milal wa al-Nihal, juz II,hal. 58.

[377] Hasan Al-Hiwary, Al-Bahaiyah, hal. 40.

[380] Mirza Ghulam Ahmad. Daafi al-balaa, hal. 11 (dinukil dari Thoha Dasuqy. Hal. 151.