Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki

Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki

Pertanyaan:

بسم الله الرحمن الر حيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, ada seorang teman yang bertanya katanya dia merasa kalau Allāh itu sudah memilih dari awal siapa orang – orang yang akan beruntung (diberikan rahmat) dan siapa orang – orang yang tidak beruntung (tidak diberikan Rahmat). Karena banyak dalam Al-Qur’an di sebutkan jika Allāh menghendaki dia, maka akan diberi petunjuk. Apakah itu benar?

Dia juga bertanya maksud dari hadits dibawah ini? Apakah orang yang dipilih itu telah ditentukan seperti apa kriterianya?

Disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan lainnya [1] , bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻌﺒﺪ ﺧﻴﺮﺍ ﺍﺳﺘﻌﻤﻠﻪ ﻗﻴﻞ : ﻣﺎ ﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ؟ ﻗﺎﻝ : يفتح ﻟﻪ ﻋﻤﻼ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻱ ﻣﻮﺗﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺮﺿﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺣﻮﻟﻪ

“Apabila Allāh menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allāh jadikan ia beramal”. Lalu para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dijadikan dia beramal?” Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dibukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya, sehingga orang – orang yang berada di sekitarnya ridha kepadanya.”

جَزَاكَ الله خَيْرًا

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ditanyakan oleh Sahabat BiAST08 G-01

Jawaban:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ الله

Alhamdulillāhi rabbil ālamīn

Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi waman tabi’ahum bi ihsānin Ilā yaumil Qiyāmah. Amma ba’du

Afwan Wajazākallāh  khairan katsiran atas pertanyaan dan do’a yang antum sampaikan, dan kita memohon taufiq serta pertolongan kepada Allah.

Benar sekali, Allāh telah menetapkan siapa yang akan menjadi penduduk surga dan neraka, Allāh pun saat ini tahu, kita akan masuk surga atau neraka, karena keilmuan Allāh yang sangat luas dan tidak ada tandingan atau yang semisal dengannya.

Misalkan ada seorang guru kelas 6 SD, dia selama setahun mengajar kelas tersebut, selama itu dia tahu mana saja murid-murid yang cerdas, bodoh, sedang-sedang saja, yang jika diberi soal jenis A, atau B atau C atau jenis lainnya, murid pertama akan lulus, murid kedua tidak akan lulus, murid ketiga akan lulus dengan nilai yang sedang-sedang saja dan sebagainya.

Jika dalam hal dunia, ada seseorang yang bisa memprediksi seperti ini, maka Allāh dengan ilmunya yang luas, bukan hanya bisa memprediksi, tapi Allāh tahu dengan pasti siapa saja hambanya yang akan masuk surga dan siapa hambanya yang akan menjadi penghuni neraka, karena Allah lah yang telah menciptakan mereka.

Namun karena kita tidak tahu, kita akan menjadi penduduk surga atau penduduk neraka, maka yang wajib bagi kita dalam menjalankan peran kita sebagai hamba di dunia ini adalah beramal dengan baik. Jika kita ingin menjadi penduduk surga, mari kita pilih jalan menuju surga, bagi yang ingin masuk neraka, silahkan tempuh jalan menuju neraka.

Jika Allāh menghendaki kebaikan kepada kita, Allāh akan mudahkan jalannya, (semoga Allāh masukan kita pada golongan ini). Namun jika Allāh tidak menghendaki kebaikan kepada kita, pasti Allāh akan buat kita jauh dari agama, (kepada Allāh kita berlindung).

Thalabul ilmi (mencari ilmu) misalkan merupakan jalan untuk menuju surga.

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

Siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allāh akan mudahkan baginya jalan menuju surga.
Jadi siapa yang dimudahkan thalabul ilmu (menuntut ilmu) berarti Allāh telah mudahkan kepadanya jalan menuju surga.

Jadi selama kita masih hidup didunia ini kita tidak tahu, apakah kita penduduk surga atau penduduk neraka, Tapi Allāh telah memberikan jalannya, dan petunjuknya, yaitu dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah,

Siapa yang mengikuti keduanya maka ia berhak untuk mendapatkan hidayah, petunjuk dan pertolongan Allāh untuk menuju surga, dan siapa yang tidak mengikuti keduanya mungkin dia adalah salah satu penduduk neraka, wal’iyaadzu billah.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :

عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: كُنَّا فِي جَنَازَةٍ فِي بَقِيعِ الْغَرْقَدِ، فَأَتَانَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدَ وَقَعَدْنَا حَوْلَهُ، وَمَعَهُ مِخْصَرَةٌ فَنَكَّسَ فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِمِخْصَرَتِهِ، ثُمَّ قَالَ: مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ، إِلَّا وَقَدْ كَتَبَ اللهُ مَكَانَهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ، وَإِلَّا وَقَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً» قَالَ فَقَالَ رَجَلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا نَمْكُثُ عَلَى كِتَابِنَا، وَنَدَعُ الْعَمَلَ؟ فَقَالَ: «مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ، فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ، فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ» فَقَالَ: «اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ، أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ، وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ»، ثُمَّ قَرَأَ: {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى، وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى، وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى، وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى} [الليل: 6]

Adab Para Sahabat Dengan Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dari ‘Ali dia berkata ; “Kami pernah menguburkan jenazah di pemakaman Baqi Al Gharqad. Tak lama kemudian, Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami. Lalu beliau duduk dan kami pun duduk mengelilingi beliau.

Kabar Dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam.  Setelah itu Rasulullah memegang sebuah batang kayu pendek dan beliau menggaris-gariskan dan memukul-mukulkannya diatas tanah seraya berkata: ‘Tidaklah seseorang diciptakan melainkan Allāh telah menentukan tempatnya di surga ataupun di neraka, serta ditentukan pula sengsaranya atau bahagianya.’

Kenapa Kita Tidak Berserah Diri Saja? Ali bin Abu Thalib berkata ; ‘Kemudian seseorang bertanya ; ‘Ya Rasūlullāh , kalau begitu apakah sebaiknya kami berdiam diri saja tanpa harus berbuat apa-apa? ‘

Petunjuk Dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam Untuk Tetap Beramal. Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Barang siapa termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung, maka ia pasti akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sebaliknya barang siapa termasuk dalam golongan orang-orang yang sengsara, maka ia pasti akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.’

Masing-Masing Dipermudah Sesuai Takdirnya Selanjutnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Berbuatlah! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat sesuai dengan ketentuan sengsara dan bahagianya. Orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang berbahagia akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Dan orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang sengsara akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.’

Dalil Dari Al-Qur’an. Setelah itu Rasūlullāh pun membacakan ayat Al Qur’an : “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allāh dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” (Qs. A1-LaiI (92): 5-10)
(HR. Al-Bukhari dan Muslim, Dan lafaldz ini adalah lafaldz imam Muslim dengan No. 2647)

Kemudian Hadits yang ditanyakan dengan lafaldz :

 ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻌﺒﺪ ﺧﻴﺮﺍ ﺍﺳﺘﻌﻤﻠﻪ ﻗﻴﻞ : ﻣﺎ ﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ؟ ﻗﺎﻝ : يفتح ﻟﻪ ﻋﻤﻼ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻱ ﻣﻮﺗﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺮﺿﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺣﻮﻟﻪ

“Apabila Allāh menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allāh jadikan ia beramal.” Lalu para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dijadikan dia beramal?” Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dibukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya ridha kepadanya.”

Hadits dengan lafadz seperti ini merupakan hadits riwayat Imam Ahmad dengan no 21.949 dan diriwayatkan oleh yang lainnya, seperti Imam Tirmidzi dengan lafadz yang mirip dan untuk yang riwayat At-Tirmidzi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dan yang riwayat Imam Ahmad dinyatakan shahih oleh pentahqiq Musnad Ahmad.

Wallohu A’lam,
Wabillahittaufiq.

Dijawab dengan ringkas oleh: 👤 Team Tanya Jawab Bimbingan Islam

📆 Selasa, 03 Rabi’uts Tsani 1440 H / 11 Desember 2018 M

Baca Juga:  Penggalangan Dana Di Jalan Bagi Wanita

HIDAYAH HANYA MILIK ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Oleh
Abu Nida` Chomsaha Sofwan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ٨:٥٦

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [Al Qashash/28 : 56]

Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan meninggalnya Abu Thalib dalam keadaan tetap memeluk agama Abdul Muththalib (musyrik). Hal ini sebagaimana ditunjukkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Al Musayyab, bahwa bapaknya (Al Musayyab) berkata: ‘Tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam bergegas mendatanginya. Dan saat itu, ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai, pamanku. Ucapkanlah la ilaha illallah; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu di hadapan Allah,’. Akan tetapi, ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal menimpali dengan ucapan : ‘Apakah engkau (Abu Thalib) membenci agama Abdul Muththalib?’. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi sabdanya lagi. Namun mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap di atas agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La ilaha illallah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”. Lalu Allah menurunkan firmanNya:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ٩:١١٣

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”. [At Taubah/9 : 113]

Adapun mengenai Abu Thalib, Allah berfirman:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki”. [Al Qashash/28 : 56].

Dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dapat dipetik beberapa manfaat dan pelajaran, sebagaimana akan kami sebutkan berikut ini.

Pertama : Dalam kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh menukil perkataan Ibnu Katsir rahimahullah tentang tafsir ayat ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada RasulNya, ‘Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau kasihi,’ artinya, (memberi hidayah atau petunjuk) itu bukan urusanmu. Akan tetapi, kewajibanmu hanyalah menyampaikan, dan Allah akan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia-lah yang memiliki hikmah yang mendalam dan hujjah yang mengalahkan. Hal ini sesuai dengan kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: ‘Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat hidayah, akan tetapi Allah-lah yang memberi hidayah (memberi taufiq) kepada siapa yang Dia kehendaki. (Al Baqarah : 272). Begitu juga firmanNya: Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf:103).”

Dalam kitab At Tamhid Li Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh berkata: ‘Hidayah yang dinyatakan oleh Allah tidak dimiliki oleh Rasulullah Shllallahu ‘alaihi wa sallam di sini ialah hidayah taufik, ilham dan bantuan yang khusus. Hidayah inilah yang disebut oleh ulama sebagai hidayah at taufiq wal ilham. Yaitu, Allah Subhanahu w Ta’ala menjadikan dalam hati seorang hamba kemudahan secara khusus untuk menerima petunjuk; sebuah bantuan kemudahan yang tidak diberikan kepada orang selainnya. Jadi, hidayah taufik ini, secara khusus diberikan Allah kepada orang yang Dia kehendaki, dan pengaruhnya orang tersebut akan menerima petunjuk dan berusaha meraihnya. Oleh karena itu, memasukkan hidayah ini ke dalam hati seseorang bukanlah tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab hati hamba berada di tangan Allah, Dia yang membolak-balikannya sesuai dengan kehendakNya. Sehingga orang yang paling Beliau cintai sekalipun, tidak mampu Beliau jadikan menjadi seorang muslim, yang mau menerima petunjuk”.

Meskipun Abu Thalib merupakan kerabat Nabi yang banyak berjasa kepadanya, namun Beliau tidak mampu memberinya hidayah taufik.

Adapun jenis hidayah yang kedua, berkaitan dengan hamba yang mukallaf, yaitu hidayah ad dilalah wal irsyad (memberi penjelasan dan bimbingan). Allah menetapkan jenis hidayah ini ditetapkan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus, seluruh nabi dan rasul, dan setiap dai yang menyeru manusia kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ ۖ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi hidayah”. [Ar Ra‘d/13 : 7].

Baca Juga  Kedudukan Ilham Dalam Islam

Dan Allah berfirman tentang diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ صِرَاطِ اللَّهِ

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah”. [Asy Syura/42 : 52-53]

Makna “engkau memberi hidayah” di sini ialah, engkau memberi petunjuk dan bimbingan ke jalan yang lurus dengan beragam petunjuk dan bimbingan, dengan didukung oleh sejumlah mukjizat dan bukti yang menunjukkan kejujuran dan kebenaran Beliau sebagai seorang pemberi petunjuk dan bimbingan.

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata dalam catatan kakinya terhadap kitab Fathul Majid: “Kata hidayah, dipakai untuk makna memasukkan petunjuk ke dalam hati, dengan mengubah haluannya dari kesesatan, kekufuran dan kefasikan, menuju petunjuk, keimanan dan ketaatan, dan membuatnya tetap lurus, teguh di atas jalan Allah. Hidayah seperti ini, khusus hanya dimiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang berkuasa membolak-balikkan hati dan mengubahnya, serta memberi hidayah atau menjadikan tersesat jalan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Berdasarkan ayat ini diketahui, bahwa petunjuk semacam ini tidak terdapat pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi orang selain Beliau. Orang-orang yang mengaku memiliki petunjuk ini, misalnya para tokoh sufi dan semacamnya yang mengaku dapat memasuki hati murid-muridnya, dapat mengetahui isinya, serta dapat mengendalikan sesuai keinginannya, maka semua itu merupakan kedustaan dan penyesatkan. Orang yang mempercayai klaim seperti ini, berarti ia sesat dan menganggap Allah RasulNya dusta.

Adapun petunjuk menuju ilmu, dalil, keterangan Al Qur`an dan lainnya untuk menempuh jalan keselamatan dan kebahagiaan, maka para hamba mampu melakukan petunjuk ini, sebagaimana telah ditetapkan pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. [Asy Syura : 52].

Allah telah mewajibkan para ahli ilmu untuk melaksanakan tugas ini, yaitu memberikan petunjuk dengan cara amar makruf dan nahi munkar ke jalan Allah yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak dapat membedakan antara kedua jenis petunjuk ini. Sebagian melewati batas dan sebagian lainnya meninggalkan amar makruf nahi mungkar, berdalih dengan ayat “Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi”. Yang demikian ini merupakan kebodohan dan kesesatan”.

Kedua : Berkenaan dengan tafsir surat At Taubah ayat 113, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh berkata: ‘Artinya, memintakan ampunan untuk orang musyrik, tidaklah pantas dilakukan para nabi. Ini adalah kalimat yang bentuknya khabar (berita), yang mengandung pengertian larangan. Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Abu Thalib, sebagaimana disinyalir dari lafazh hadits yang menyebutkan kalimat fa anzala (lalu Allah menurunkan) setelah kalimat ucapan Rasulullah la astaghfiranna laka ma lam unha ‘anhu’ (sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu selama hal itu tidak dilarang) yang mengisyaratkan sebagai kelanjutannya.

Di dalam Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata: Kalimat ma kana atau la yanbaghi dan semisalnya, jika datang dalam Al Qur`an, maksudnya, perkara yang disebutkan tersebut terlarang (tertolak) dengan larangan yang keras. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala“Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Mahasuci Dia” (Maryam : 35). Demikian juga firmanNya “Dan tidak layak lagi Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (Maryam : 92). Dan firmanNya “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yasin : 40). Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Sesungguhnya Allah tidak tidur, dan tidak layak bagiNya untuk tidur”. [HR Muslim].

Kemudian firmanNya “mereka memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik”, maksudnya, mereka (dilarang) memohon pengampunan untuk orang-orang musyrik.

Sedangkan firmanNya “walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya”, maksudnya, sekalipun orang-orang musyrik itu adalah karib kerabat mereka sendiri. Karena itulah, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah lalu melewati kuburan ibunya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamk meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan kepadaNya untuk ibunya, namun Allah tidak mengizinkan. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin menziarahi kuburan ibunya, dan Allah pun mengizinkannya. Maka Beliau pun menziarahinya untuk mengambil pelajaran.

Allah melarang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan ampunan untuk orang-orang musyrik, karena orang-orang musyrik tersebut tidak berhak untuk dimintakan ampunan. Jika engkau berdoa kepada Allah agar melakukan sesuatu yang tidak layak bagiNya, maka itu merupakan pelanggaran dalam berdoa.

Di bagian lain Syaikh ‘Utsaimin berkata: ‘Dan termasuk perkara yang keliru dari sebagian ucapan manusia, yaitu menyebut tokoh-tokoh kafir yang meninggal dengan almarhum (yang pasti dirahmati Allah). Penyebutan seperti ini haram, karena bertentangan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, haram menampakkan kesedihan atas kematian mereka dengan cara berkabung atau selainnya; karena orang-orang yang beriman sepatutnya merasa senang dengan kematian mereka. Bahkan seandainya orang-orang beriman itu memiliki kemampuan dan kekuatan, niscaya akan memerangi orang-orang kafir itu agar agama seluruhnya milik Allah.

Baca Juga  Sikap Ahlus Sunnah Dalam Masalah Nama Dan Sifat Allah

Syaikh Shalih bin Abdulaziz Alu Asy Syaikh berkata,”Jika kita telah mengetahui kalimat ‘ma kana’ (tidak selayaknya) datang dalam Al Qur`an dengan kedua makna ini (makna larangan dan penafian), maka yang dimaksud di sini (ayat 113 surat At Taubah) adalah larangan. Yaitu larangan meminta pengampunan untuk siapapun dari orang-orang musyrik. Maka apabila Allah telah melarang para rasul, para nabi dan para wali, serta selain mereka dari kalangan orang-orang shalih; melarang mereka saat masih hidup dari meminta ampun kepada Allah untuk orang-orang musyrik tersebut, maka ini menunjukkan, kalaulah dianggap mereka mampu memintakan pengampunan dalam kehidupan mereka di alam barzakh, pastilah mereka tidak mau memintakan ampun untuk orang-orang musyrik, dan tidak akan mau memohon kepada Allah untuk orang-orang yang datang kepada mereka -saat mereka telah mati itu- untuk meminta syafaat, memohon ighatsah, atau ibadah-ibadah lainnya. Wallahu a‘lam.”

Ketiga : Sebuah masalah sangat penting lainnya, yaitu tentang penafsiran sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ucapkanlah la ilaha illallah”, berbeda dengan yang dipahami oleh orang-orang yang mengaku berilmu.

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata: Banyak orang mengaku berilmu, tetapi tidak mengerti makna kalimat “la ilaha illallah”, sehingga setiap orang yang mengucapkan kalimat itu, dianggapnya telah Islam, meskipun nyata-nyata melakukan kekufuran. Misalnya dengan beribadah kepada kuburan, kepada orang-orang yang sudah mati, kepada berhala-berhala, menghalalkan yang jelas-jelas diharamkan agama, memutuskan suatu perkara dengan landasan selain yang telah diturunkan Allah, dan menjadikan para rahib atau pendetanya sebagai tuhan selain Allah. Seandainya mereka mempunyai hati untuk memahami kalimat itu, tentu mereka akan mengetahui, makna la ilaha illallah ialah berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, dan memenuhi perjanjian dengan melaksanakan hak Allah dalam peribadatan. Ini ditunjukkan oleh firman Allah “Barangsiapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang teguh dengan tali yang amat kuat ” [Al Baqarah : 256]” .

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri menyatakan, golongan Khawarij banyak yang melakukan shalat, puasa, membaca Al Qur`an dan dilandasi dengan la ilaha illallah, namun demikian beliau mengatakan, bahwa mereka kafir, jauh dari agama sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya. Beliau bersabda,”Seandainya aku bertemu dengan mereka, tentulah aku akan memerangi dengan peperangan yang dahsyat”. Demikianlah disebutkan dalam Ash Shahihain.