Apa itu konsep kesinambungan dalam sejarah?

TEMA kampanye pemilihan presiden belakangan ini banyak berkisar tentang perubahan. Perubahan jelas menarik bagi jutaan rakyat yang masih melarat. Dalam istilah perubahan itu terkandung nuansa makna "harapan ". Harapan akan terjadi keadaan yang lebih baik daripada sekarang. Itulah yang dinantikan masyarakat.

Dalam perspektif sejarah, perubahan itu dikontraskan atau disandingkan dengan kesinambungan (kontinuitas). Bahkan, sejarah pada hakikatnya adalah ilmu yang membahas tentang kesinambungan dan perubahan. Sejarah mencatat apa-apa yang tetap (berkelanjutan) dan apa-apa yang berubah. Ribuan bahkan jutaan buku sejarah yang telah terbit dari dulu sampai sekarang mengulas tema ini dengan berbagai variannya.

Jatuhnya Soeharto 1998 lalu telah memutuskan kesinambungan selama Orde Baru. 1998 adalah tonggak sejarah yang penting karena sejak saat itu pemerintahan yang otoriter telah tumbang dan kita memasuki era transisi menuju demokrasi. Di lain pihak juga disadari, peralihan kekuasaan dari Soeharto kepada penerusnya ditandai krisis ekonomi yang sangat parah. Pertanyaan yang paling penting, dapatkah demokrasi ditegakkan dalam keadaan rakyat masih lapar

Itulah yang dicoba dijawab oleh tiga presiden pasca-Soeharto dengan berbagai cara dan gaya mereka masing-masing. Saya tidak mengelaborasi aspek tersebut dalam tulisan ini. Namun yang jelas kesinambungan yang dibawa dari rezim Orde Baru masih tetap ada walaupun berbagai perubahan telah dijalankan. Bagian berikut ini lebih banyak tertuju kepada syarat-syarat agar perubahan itu berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat.

Syarat perubahan

Pertama, harus ada prioritas dalam melakukan perubahan. Menurut hemat saya, perubahan UUD 1945 yang pertama menyangkut pembatasan masa jabatan presiden hanya dua periode (maksimal dua kali lima tahun) adalah perubahan sangat signifikan dan perlu. Pada era Orde Baru perubahan itu tidak dimungkinkan dan UUD 1945 disalahgunakan justru untuk melanggengkan kekuasaan. Perubahan-perubahan selanjutnya bukan prioritas dalam masa transisi ini. Hendaknya ini disadari oleh pemerintah, DPR, dan masyarakat.

Kedua, perubahan itu agar dilakukan secara gradual, sistematis dalam konteks jangka panjang. Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan juga dari penyelenggaraan pemerintahan kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka itu tentu ada tahap-tahap yang perlu dilalui. Hendaknya ini tergambar dalam program yang dijalankan pemerintah.

Salah satu contoh yang menyimpang dari kriteria di atas dapat ditemui pada bidang pendidikan. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional terkesan tidak terarah dan tanpa tujuan yang jelas. Penggantian nama SMU menjadi SMA adalah contoh nyata. Dewasa ini pendidikan masih belum merata di Tanah Air kita. Seyogianya pemerataan itu yang didahulukan misalnya dengan membuat wajib belajar sembilan tahun itu berhasil.

Ketiga, kesediaan untuk mengoreksi perubahan. Perubahan besar terjadi pada otonomi daerah. Kita menyadari bahwa pada era Orde Baru sentralisme memang menjadi momok bagi daerah. Otonomi daerah itu diberlakukan sebagai obat untuk mengurangi sentralisasi oleh pemerintah pusat dan memberdayakan pemerintah serta masyarakat daerah.

Sekali lagi diingatkan bahwa asumsi untuk memberlakukan UU Otonomi Daerah itu adalah keadaan sudah normal di seluruh Indonesia. Padahal, untuk menerapkannya diperlukan kondisi tertentu yang perlu dipertimbangkan. Saya tidak bicara tentang siap atau tidak siapnya daerah melakukan otonomi, namun otonomi itu hendaknya secara gradual.

Bila dalam pelaksanaan otonomi daerah itu dirasakan sesuatu yang tidak tepat, secepatnya dilakukan koreksi. Pertanyaan mendasar, apakah otonomi daerah itu sebaiknya pada daerah kabupaten/kota atau daerah provinsi Selama ini otonomi daerah difokuskan pada daerah kabupaten/kota karena trauma sejarah masa lalu.

Kalau otonomi diberikan pada tingkat provinsi mungkin terjadi pemberontakan atau pemisahan provinsi itu dari Indonesia. Padahal, daerah provinsi yang lebih siap dari segi SDM, SDA, untuk melakukan otonomi ketimbang daerah kabupaten/kota. Provinsi lebih berpeluang menjalin kemitraan dengan negara asing dibanding kabupaten.

Selama reformasi terjadi perubahan kepemimpinan daerah, yaitu dengan penambahan jabatan wakil gubernur, wakil bupati, wakil wali kota. Kebijakan ini perlu ditinjau kembali karena tidak berguna. Coba bayangkan, berapa banyak biaya dan anggaran yang dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya untuk menggaji wakil gubernur (tiga puluhan), wakil wali kota, dan wakil bupati yang jumlahnya ratusan. Masing-masing mereka memiliki rumah dinas, mobil dinas, gaji, dan fasilitas lainnya yang mahal. Seyogianya pada masa datang, cukup ada satu gubernur, satu bupati, satu wali kota tanpa wakil-wakil yang mubazir itu.

Keempat, perubahan itu harus berpihak kepada rakyat. Saya ambil contoh lagi pada bidang pendidikan. Kebijakan testing sejak SD sampai SMA itu merepotkan dan membuka peluang lebih banyak untuk KKN. Dulu sistem rayonisasi, rangking berdasarkan NEM sudah berjalan relatif baik. Selain itu, kini setiap tahun ajaran baru, sekolah-sekolah termasuk sekolah negeri memungut uang pembangunan yang sangat memberatkan.

Sebagai orang tua murid, saya menyaksikan bahwa pembangunan itu sengaja diada-adakan. Setelah kelas diberi AC, maka tahun berikutnya pelataran parkir diaspal dan tahun selanjut dibangun tambahan kakus untuk guru, murid laki-laki dan perempuan secara terpisah. Pengaspalan tempat parkir dan penambahan kakus itu tidak mendesak serta tidak usah dibebankan kepada orang tua dari murid baru.

Kebijakan Depdiknas beberapa tahun belakangan ini menyusahkan jutaan orang tua murid, berarti menyusahkan jutaan warga negara Indonesia. Orang tua yang putranya lebih dari satu mengeluh, buku pelajaran sang kakak tidak bisa dipakai adiknya, karena guru menyuruh beli buku yang baru. Mudah-mudahan kesemrawutan ini bukan kesengajaan, maklum politik itu berarti "seni tentang sesuatu yang mungkin ".

Sekarang di mana-mana universitas negeri memungut uang jutaan kepada mahasiswa. Seharusnya perguruan tinggi negeri ini lebih kreatif mencari uang dengan kerja sama dengan pihak swasta bukan merobek kantong orang tua.

Siapa pun presiden di masa mendatang, maka menteri pendidikan itu adalah pejabat yang sangat diharapkan oleh rakyat. Menteri pendidikan yang akan datang seharusnya bukan menteri yang menyusahkan jutaan orang tua.

Sejak zaman penjajahan para pemimpin kita termasuk Soekarno sangat sering berpidato tentang perubahan. Tentang masa lampau nan cemerlang (the golden past), hari ini yang pahit (the dark present), dan masa depan yang menjanjikan (the promising future). Itu berlaku pada masa penjajahan. Kita pernah mengalami kejayaan pada masa lampau dan kini (pada era kolonial) terasa kepahitan hidup. Namun masa yang akan datang yaitu setelah merdeka diharapkan keadaan jadi lebih baik.

Untuk itu memang diperlukan perubahan. Bila dikaitkan dengan kondisi sekarang, maka perubahan itu seyogianya dalam kerangka di atas yaitu; memiliki prioritas, dilakukan secara gradual, sistematis dan dalam konteks jangka panjang, ada kesediaan untuk mengoreksi perubahan bila terjadi hal yang tidak diharapkan, serta yang terpenting adalah perubahan itu memihak kepada rakyat. Itu yang menjadi tantangan bagi presiden mendatang.

Penulis : Asvi Warman Adam (LIPI) Sumber : Media Indonesia (14 September 2004)

https://unsplash.com/@grianghraf - konsep waktu dalam sejarah

Pada kehidupan yang kita jalani, ada istilah mengenai konsep waktu dalam sejarah. Konsep waktu dalam sejarah tidak bisa lepas dari perubahan. Perubahan ini mencakup berbagai bidang, mulai dari sosial, ekonomi, budaya, hingga politik.

Dalam buku Konsep Dasar IPS untuk SD/MI, Yulia Siska, 2016, dijelaskan bahwa konsep waktu dalam sejarah ini bersifat mutlak, karena suatu peristiwa sejarah akan selalu memiliki unsur waktu yang menjelaskan kapan peristiwa itu terjadi.

4 Konsep Waktu dalam Sejarah

Konsep waktu memiliki dua makna di dalamnya, yaitu makna denotatif atau makna sebenarnya dan makna konotatif atau makna subyektif. Makna denotatif berarti kesatuan waktu seperti detik, menit, jam dan lainnya sesuai fakta apa adanya. Sedangkan konotatif adalah waktu sebagai konsep.

Contohnya adalah zaman Belanda, dalam makna denotatif zaman Belanda berarti pada 1800 hingga kemerdekaan Indonesia. Namun secara konotatif, zaman Belanda bisa berarti zaman dulu yang sudah sangat lampau. Konsep waktu dalam mempelajari sejarah berarti sejarah saling terhubung atau bisa berulang.

https://unsplash.com/@_staticvoid

Menurut Kuntowijoyo, konsep waktu dalam sejarah terdiri atas 4 tahapan jenis. Konsep waktu dalam sejarah dapat menjelaskan secara konkret perkembangan manusia. Suatu peristiwa yang menjadi sejarah, tidak dapat lepas dari struktur waktu yang menyertainya. Oleh karena itu, konsep waktu dalam sejarah sangat esensial.

Masyarakat yang berkembang akan membawa bentuk baru yang lebih relevan dengan kondisi zaman. Perkembangan ini bertujuan untuk memperbarui segala sesuatu yang sudah dianggap tidak efektif bagi kelangsungan hidup masyarakat.

Contohnya adalah demokrasi Amerika yang semakin berkembang akibat dari perkembangan struktur kota yang semakin kompleks.

Kecenderungan masyarakat dalam mengadopsi cara-cara lama, menjadi dasar kesinambungan sejarah dari masa lalu. Meskipun ada beberapa poin yang berbeda, namun tidak merubah pola dan esensi dari sistem sebelumnya.

Contohnya adalah sistem-sistem partai yang menyerupai sistem kerajaan masa sebelumnya, dalam lingkup yang hampir sama.

Peristiwa yang sama terulang kembali di masa berikutnya. Hal ini sering terjadi, sehingga muncul jargon "Sejarah terulang kembali".

Contohnya pada peristiwa lengsernya presiden Soekarno dan Soeharto yang dilatarbelakangi aksi demonstrasi dari para mahasiswa.

Peristiwa perubahan terjadi dalam masyarakat secara besar-besaran dalam kurun waktu yang singkat. Hal ini biasanya terjadi karena adanya pengaruh yang kuat dari luar. Contohnya adalah gerakan 30 S/PKI terjadi akibat paham komunis dari China dan Rusia.

Uraian mengenai 4 konsep waktu dalam sejarah ini diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap sejarah. Perkembangan, kesinambungan, pengulangan, dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat menjadi fokus perhatian dalam mempelajari sejarah. (DNR)