Apa makna Gereja Kristen yang esa dalam pencapaian Oikumene

PENGERTIAN OIKUMENE

            Oikumene umumnya dipahami secara terbatas yaitu sebagai suatu istilah yang dipakai untuk perkumpulan lintas denominasi berupa kegiatan-kegiatan atau ibadah bersama, tanpa menekankan tata cara peribadatan atau liturgi dan doktrin gereja tertentu. Kata Oikumene sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu Oikos yang berarti “rumah” dan Monos yang berarti ‘satu”.  Yang dimaksud “rumah” adalah dunia ini, sehingga kata oikumene berarti dunia yang didiami oleh seluruh umat manusia.[1]

            Manusia yang berada di dalam dunia yang sama, memiliki latar belakang budaya dan agama yang berbeda-beda (majemuk), karena itu oikumene menjadi dasar pendekatan bagi hubungan persekutuan dalam kemajemukan tersebut.  Disini budaya dan agama tertentu tidak lebih menonjol dan lebih utama, tetapi kemajemukan itu secara bersama-sama memberi tempat bahkan mengupayakan apa yang menjadi kepentingan bersama/umum.

            Dalam kekristenan, oikumene dapat dimaknai sebagai upaya untuk mempersatukan orang-orang Kristen lintas denominasi di dalam satu kesatuan tubuh Kristus untuk secara bersama-sama melaksanakan misi Tuhan bagi dunia.

DASAR DAN TUJUAN GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA

            Gerakan oikumene di Indonesia berawal dari pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) pada tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta dalam Konperensi Pembentukan DGI tanggal 22-28 Mei 1950 di Jakarta. DGI kemudian berganti nama menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sejak Sidang Raya DGI di Ambon (1984) dengan pertimbangan bahwa “persekutuan” lebih mencerminkan kesatuan lahir batin, lebih mendalam, lebih gerejawi daripada nama “dewan”. Pembentukan organisasi ini bertujuan untuk mewujudkan gereja kristen yang esa di Indonesia.[2]

Signifikansi gerakan oikumene di Indonesia adalah karena melihat keadaan gereja-gereja yang sering diwarnai perkelahian dan perpecahan. Harus diakui bahwa persoalan perbedaan pandangan teologis dan ambisi memiliki andil dalam perpecahan tersebut. Munculnya banyak denominasi di dunia dan terus ke Indonesia justeru mengkotak-kotakkan umat-umat Tuhan. Dan tidak jarang satu denominasi merasa lebih benar, lebih baik dan layak dibandingkan yang lain. Karena itu perlu dicarikan solusi dari keadaan ini melalui gerakan oikumene dengan melihat kepentingan terbesar dari semua kepentingan denominasi yaitu misi Tuhan di emban dengan penuh tanggung jawab oleh gereja-gereja.  Dengan gerakan oikumene diharapkan terjalin komunikasi dan interaksi diantara umat-umat Tuhan dan denominasi-denominasi dapat meninggalkan sikap isolasinya. Demikianlah cita-cita oikumene dalam kekristenan diharapkan, bahwa denominasi-denominasi secara bersama-sama membangun persekutuan yang kuat dalam satu kesatuan sebagai tubuh Kristus tanpa menonjolkan dogma/doktrin masing-masing

Doa Tuhan Yesus yang ditulis oleh Yohanes di Yoh.17:21 “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”, menjadi dasar alkitab beroikumenenya gereja. Yesus merindukan supaya orang-orang Kristen sebagai tubuh Kristus bersatu menjadi saksi-saksi Kristus.

Dalam perkembangannya gerakan oikumene di Indonesia juga semakin berkembang. Setelah PGI, kemudian lahirlah organisasi-organisasi lokal yang oikumenis antara lain :

  1. Sinode Am Gereja-gereja Sulawesi Utara/Tengah (SAG SULUTTENG).
  2. POUK (Persekutuan Oikumene Umat Kristen) di tempat-tempat seperti pemukiman, perusahaan dll di mana umat Kristen dari berbagai gereja bertemu. POUK ini bukan gereja karena itu anggota POUK tetap menjadi anggota gereja masing-masing.
  3. BK3 (Badan Kerjasama Kegiatan Kristen).
  4. BKSAG (Badan Kerjasama Antar Gereja).
  5. Forum Komunikasi Antar Gereja. Forum tidak melembaga, hanya merupakan pertemuan untuk membahas masalah-masalah atau maksud-maksud lain. Wadah-wadah ini tumbuh dari prakarsa gereja-gereja setempat. Anggotanya tidak terbatas pada gereja-gereja anggota PGI

TANTANGAN OIKUMENE

Setidaknya ada 3 masalah utama yang menghambat usaha-usaha penyatuan gereja dan upaya oikumene yaitu:

  1. Masalah baptisan. Ada gereja-gereja yang menyetujui baptisan anak dan ada yang menolaknya.
  2. Masalah perjamuan kudus. Menurut Roma Katolik dan Gereja Ortodoks, dalam Perjamuan Kudus terjadi transubstansiasi. Artinya, roti dan anggur berubah menjadi daging dan darah Yesus. Gereja-gereja Protestan menganggap bahwa roti dan anggur itu merupakan lambang dari tubuh dan darah Yesus.
  3. Masalah jabatan. Gereja RK, Ortodoks dan Anglikan berpendapat bahwa uskup sebagai pejabat gereja adalah pengganti rasul Petrus. Gereja-gereja Protestan berpendapat bahwa rasul tidak diganti.

Seringkali hal-hal ini menjadi perdebatan antara gereja-gereja yang tidak sepaham. Anggapan yang lain tidak alkitabiah dalam pengajaran atau doktrin menjadi penghalang utama terjadinya oikumene.

KEESAAN GEREJA

            Sebagaimana disebutkan bahwa tujuan pendirian DGI/PGI adalah mewujudkan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Pada awalnya digumulkan suatu kemungkinan gereja-gereja di Indonesia menjadi satu gereja nasional dengan nama “Sinode Oikumene Gereja-gereja di Indonesia”, disingkat SINOGI. Pendekatan untuk mewujudkan SINOGI ini ialah dengan menyatukan pengakuan iman dan tata gereja. Ternyata gagasan ini ditolak dalam sidang raya di Makassar tahun 1967.

Pada sidang raya PGI pada tahun 1971 di Pematang Siantar pendekatan keesaan gereja itu ditekankan pada soal fungsi gereja. Sidang tiba pada suatu kesimpulan yaitu “keesaan dalam kepelbagaian”. Kepelbagaian gereja-gereja diakui tetapi dengan satu ikatan yaitu melalui PGI. Gereja-gereja melaksanakan tugas panggilannya masing-masing.

Menurut Suara GKYE Peduli Bangsa 2002, Hal 5-29, yang dikutip oleh Pdt. Bahtera untuk diktat mata kuliah oikumene STT BASOM, Keesaan gereja bermakna:

  1. Keesaan gereja itu berlawanan dengan perpecahan (keterpisahan) dan keseragaman. Didalam keesaan gereja terkandung: keutuhan, sinergi dan kemajemukan atau pluralitas. Ketiga aspek ini berinteraksi secara dinamis dan berkelanjutan.
  2. Dasar keesaan gereja adalah Tuhan Yesus Kristus yang mengasihi secara sempurna yaitu Dia menjadi manusia sampai mati disalib. Dengan kasih-Nya memerintah melalui Roh-Nya di dalam hati setiap orang percaya, setiap gereja.
  3. Keesaan gereja yang majemuk dan sinergi, mempunyai potensi menjadi berkat secara efektif bagi masyarakat di dunia yang memerlukannya. Keesaan gereja adalah jawaban iman terhadap doa Tuhan Yesus dan jawaban akan panggilan gereja menjadi berkat bagi bangsa Indonesia.

Gereja bukanlah gereja yang sempurna dalam arti sempurna dalam segala aspek. Setiap gereja mempunyai keunikan, kekuatan dan keterbatasan masing-masing. Oleh karena itu dibutuhkan keterbukaan berkomunikasi, saling menghargai dan kerja sama, maka akan terjadi kesatuan dalam hal fungsi.

Tidak mungkin orang kristen bisa berperan aktif dalam memikirkan solusi-solusi permasalahan-permasalahan yang ada di tengah-tengah gereja dan bangsa, apalagi  memikirkan langkah-langkah kongkrit bagi kemajuan gereja dan bangsa apabila gereja sendiri tidak bisa hidup harmonis, rukun dan terbuka. Karena itu keesaan dalam fungsi yang berpijak pada dasar dan tujuan yang sama yaitu Yesus Kristus adalah mutlak.

OIKUMENE GEREJA BAGI PERSATUAN NKRI

Jika ditelusuri sejarah kebangsaan Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa negara Republik Indonesia ini terbentuk melalui perjuangan seluruh komponen bangsa. Baik sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan RI maupun pada masa sekarang ini, keterlibatan umat kristen dalam perjuangan dan pembangunan nasional selalu di inspirasikan dan dimotivasi semangat kekristenan yang okumenis dan Injili serta rasa memiliki dan semangat perjuangan sebagai bagian dari bangsa.

Yeremia 29:7 ”Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”.  Nats ini mengindikasikan bahwa umat Tuhan tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan dan masyarakat dimana dia berada.  Meskipun kondisi umat Tuhan sedang dalam pembuangan di Babilonia, dimana mereka berada dalam tekanan dan penderitaan, tapi mereka diperintahkan Tuhan untuk mengusahakan kesejahteraan kota itu. Tentu perintah ini mempunyai alasan karena mereka sendiri hidup di kota itu. Kesejateraan yang tercipta di kota dimana mereka berada akan merimbas kepada mereka.

Orang kristen di Indonesia bukan saja hanya tinggal di Indonesia tetapi juga merupakan bagian dan pemilik negeri ini. Karena itu orang kristen mutlak harus memikirkan kesejahteraan negeri ini. Mengusahakan kesejahteraan Indonesia merupakan tanggung jawab orang kristen baik sebagai warga negara terlebih sebagai utusan Tuhan.

Memang sekarang ini tantangan bagi umat Tuhan semakin berat karena maraknya persoalan yang mencabik-cabik rasa persatuan dan kesatuan ditengah anak bangsa. Penghargaan terhadap perbedaan/pluralisme budaya, suku terlebih agama seakan tidak lagi mendapat tempat dihati kebanyakan orang. Istilah minoritas dan mayoritas yang diwariskan orde baru untuk pemuluk agama di Indonesia secara tidak langsung telah juga mengkotak-kotakkan warga negara. Merasa lebih berhak karena lebih mayoritas bagi pemeluk salah satu agama di Indonesia berimplikasi pada tindakan dan keputusan-keputusan yang merendahkan hak-hak setiap warga negara.  Keputusan demokratis atas dasar jumlah suara terbanyak di dalam masyarakat, lembaga-lembaga negara, legislatif akhirnya lebih memihak pada kepentingan mayoritas. Maka muncullah berbagai perundangan yang tidak mencerminkan semangat kebersamaan.

            Kondisi ini diperparah dengan sikap pemerintah yang tampaknya kurang tegas dalam menyikapinya. Berbagai kasus anti pluralisme berupa pelanggaran hak, kekerasan dan konflik yang timbul tidak ada penyelesaian yang memadai. Dalam pandangan Pdt.Dr.W.J. Hendriks,[3] bahwa sampai sekarang belum melihat adanya pemimpin yang punya integritas nasional, malah kecenderungan pemimpin sekarang memanfaatkan situasi untuk mengokohkan kedudukan dan kepentingannya.  Padahal bangsa Indonesia yang majemuk ini memerlukan seorang pemimpin yang mempunyai integritas nasional yang tinggi dan mencintai rakyatnya sehingga kebijakan-kebijakannya bermuara kepada kepentingan rakyat bukan kepentingan kelompok tertentu saja. Adanya semangat identitas keagamaan yang berlebihan pada kelompok masyarakat tertentu dengan kecenderungan mengenyahkan pihak lain yang berbeda pandangan dan tafsir agama juga memperparah keadaan.

            Ditengah kondisi-kondisi Indonesia yang semakin retak akibat lunturnya rasa kebangsaan dan penghargaan pluralisme yang semakin kandas, apa yang harus dilakukan oleh gereja untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI? Ini menjadi pertanyaan penting yang mau tidak mau harus dijawab oleh umat Tuhan, sehubungan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan sebagai pengemban misi Tuhan seperti yang dimaksudkan pada Yohanes 17:21 yaitu ”bersatu menjadi saksi” dan Yeremia 29:7 ”mengusahakan kesehteraan kota”.

Dalam kaitan gerakan oikumene dalam dinamika pluralisme agama di negara republik Indonesia, menurut Elga J. Sarapung[4] bahwa gereja memiliki 2 tugas panggilan:

  1. Gereja dipanggil untuk mengembangkan hubungan positif, kreatif, realistis dan trasnformatif dengan pemerintah dan semua pihak di masyarakat.
  2. Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam mewujudkan perdamaian, keadilan (bagi seluruh rakyat dan tanah tumpah darah Indonesia) dan keutuhan ciptaan di Indonesia.

Menurutnya bahwa permasalahan yang terjadi di negeri ini tidak semata-mata kesalahan dari pemerintah tatapi juga karena gereja belum mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan maksimal.

Gereja dalam hal ini tidak boleh tinggal diam. Gereja baik secara sendiri-sendiri dan bersama-sama (oikumene) perlu terus menyuarakan dan mengingatkan bahwa keadaan yang ada sekarang ini merupakan ancaman yang serius terhadap NKRI di masa depan. Gereja perlu berupaya agar usaha-usaha penggantian ideologi Pancasila menjadi ideologi yang lain tidak menjadi kenyataan, karena ideologi Pancasila sudah final yang mampu menjadi perekat bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Pancasila lahir dari wawasan kebangsaan dan kebersamaan yang kuat.

Pdt. Fince Sopamena Latumahina, Ketua GKSS  dalam artikelnya[5] mengatakan bahwa gereja harus berjuang besatupadu dengan semua orang yang berjuang untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. Gereja berjuang bersama dengan mereka yang memiliki keprihatinan yang sama terhadap nasib NKRI.

Eksistensi gereja sebagai terang dan garam harus lebih nyata bagi Indonesia dan dunia. Eklusifisme harus dikikis dari kehidupan gereja. Gereja yang hidup adalah gereja yang dinamis, gereja yang menjadi berkat bagi sekelilingnya. Selama ini peran gereja sebagai terang sepertinya semakin melemah.  Mungkin ini disebabkan karena gereja sudah lebih banyak melayani diri sendiri, pelayanan yang bersifat internal saja, dan puas dengan ritual-ritual keagamaan.

Gereja sebagai elemen bangsa tidak boleh tinggal diam dengan semua permasalahan yang ada. Persoalan politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain haruslah disikapi dengan bijak dan dicarikan solusinya. Gereja perlu aktif berperan dalam melakukan transformasi menuju Indonesia yang lebih baik ke depan.

Dalam hal kemiskinan misalnya, gereja harus berperan. Pdt Dr A.A Yewangoe menyatakan harapannya agar gereja juga peka dan ikut serta mengatasi problematika kehidupan berbangsa, khususnya menyangkut masalah kemiskinan, karena gereja juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.  “Kemiskinan bukanlah sebuah sebab, tetapi lebih kepada akibat ketidakadilan dan korupsi. Gereja tidak dapat bekerja sendiri dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan,” tegasnya.[6]

Gereja harus semakin menyatu dengan keadaan dalam arti dapat melihat dan merasakan persoalan bangsa, dan berperan nyata terhadap persoalan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Gereja dipanggil bukan semata-mata mengurus dirinya sendiri tetapi melayani sesama tanpa pandang bulu.

Jemaat-jemaat gereja harus di dorong dan diajar untuk perduli terhadap orang-orang miskin.  Jemaat bisa diberdayakan dengan saling membantu untuk memperhatikan keadaan ekonomi anggota-anggota jemaat dan masyarakat. Salah satu upaya kecil yang mungkin dilakukan adalah dengan memberi pelatihan untuk membuat kerajianan tangan, bercocok tanam, melatih memanfaatkan lahan sempit, dll.

Dalam mengatasi masalah kemiskinan yang kompleks,  gereja juga perlu bekerja sama dengan umat agama lainnya dan dengan rendah hati bersama tanpa membedakan suku, agama dan ras.

Jadi, melihat realitas yang ada, harapan yang dimiliki, tugas panggilan Allah bagi gereja untuk bangsa dan dunia, maka umat Tuhan perlu terus beroikumene, bekerja sama menyuarakan suara kenabian bagi bangsa Indonesia, memikirkan dan mengupayakan terjadinya persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat dalam NKRI.