Apa pendapatmu mengenai pandangan xenophanes tentang tuhan

Apa pendapatmu mengenai pandangan xenophanes tentang tuhan

Berbicara tentang gagasan ‘Tuhan’ (biasanya) tidak akan terlepas dari konteks agama. Misalnya, Allah dalam agama Islam, Trinitas dalam agama Kristen dan dewa-dewa dalam agama Hindu. Gagasan-gagasan Tuhan mengenai kehidupan manusia pun hanya bisa dibaca melalui agama. Sehingga kehadiran agama bertujuan untuk mengenalkan Tuhan, yang kemudian akan menjadi sumber dari kekuatan manusia dalam kehidupannya. Demikian sudut pandang paling mendasar manusia pada umumnya ketika berbicara tentang Tuhan.



Dalam keadaan yang lain—saat melihat realitas umumnya, manusia merasa takut dan khawatir akan masa depan. Sebab realitas yang mereka lihat begitu kompleks dan berubah-rubah. Setiap kali tertimpa musibah, tak jarang dari mereka yang memilih lari, menjauh dan mencari jalan lain agar terhindar dari cobaan tersebut. Besarnya kekhawatiran telah membuat mereka kehilangan akal, sehingga tidak tahu bahwa jalan pelarian yang mereka pilih sebenarnya kembali pada kehidupan mereka lagi. Lari dan menjauh dari tantangan, sebenarnya telah melupakan mereka pada satu hal; hikmah dibalik adanya cobaan. Demikian kehidupan manusia yang begitu kompleks.

Dua kata inti dari paragraf prolog di atas; kehadiran Tuhan dan kompleksitas kehidupan. Keduanya tergambar melalui kaca mata kehidupan modern kini, yang menjelaskan dua model fenomena masyarakat; agamis dan pesimistis. Namun, bagaimana ketika dua hal tersebut kita tarik mundur lebih dari 25 abad yang lalu. Yaitu di masa Yunani, bagaimana sesosok filsuf melihat fenomena tersebut? Benarkah sudah ada pemikiran tentang Tuhan saat itu? Padahal belum ada agama. Dalam tulisan sederhana ini, penulis menghadirkan dua filsuf Yunani yang sedang berusaha mencari identitas ajaran filsafatnya di tengah arus masyarakat Yunani yang beraneka ragam. Ialah Xenophanes dan Herakleitos.    

          Lahir di Kolophon kira-kira pada 570 SM. Dalam sebuah fragmen—sejak usianya yang ke-25, ia meninggalkan kota asalnya dan mulai mengembara ke pelbagai negeri Yunani. Ia tidak memiliki ajaran filsafat sistematis seperti para filsuf sebelumnya (yang memiliki ajaran yang sistematis berdasarkan prinsip-prinsip tertentu). Xenophanes hanyalah seorang penyair kritis yang berkenalan dengan pikiran-pikiran filsafat pada waktu itu. Kritiknya lebih tampak dalam bidang agama.

          Xenophanes hidup pada saat mitologi Yunani menjadi kegandrungan masyarakat. Kegandrungan ini akibat keberadaan beberapa penyair hebat seperti Homeros dan Hesiodos yang juga memiliki kewibawaan besar dalam masyarakat Yunani. Namun, Xenophanes sangat menyayangkan syair-syair mereka yang banyak menceritakan perbuatan-perbuatan memalukan para dewa. Seperti mencuri, zina dan penipuan satu sama lain. Sebab bagi Xenophanes seorang penyair mempunyai tugas mendidik rakyat, di samping keterampilan mereka dalam bersastra. Akan tetapi, faktanya tidak demikian. Para penyair menghadirkan kepercayaan aneh dalam syair-syair mereka yang memiliki pengaruh terhadap keyakinan masyarakat pada saat itu.

          Hal inilah yang mendorong Xenophanes menentang serta mengkritik syair-syair mitologi Yunani kala itu. Selain persoalan syair, Xenophanes juga menentang keyakinan masyarakat Yunani yang cenderung mengarah pada paham antropomorfisme; menyamakan Tuhan dengan makhluk hidup. Mereka berpikir bahwa tuhan-tuhan juga dilahirkan seperti halnya manusia, pun mempunyai pakaian, suara, dan rupa seperti layaknya manusia. Kritik Xenophanes menjadi lebih pedas ketika kita lihat perkataannya dalam sebuah fragmen:

“kalau seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan bisa menggambar seperti manusia, tentunya kuda akan menggambarkan dewa-dewa menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan dewa menyerupai sapi dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada dewa-dewa seperti terdapat pada diri mereka sendiri”(Diels fr. 15)

Dengan demikian, sebenarnya gagasan apakah yang ingin diketengahkan Xenophanes dalam bidang keagamaan? Bisa disimpulkan bahwa Xenophanes ingin membawa ajaran universalisme dalam bidang keagamaan. Hal yang lazim dilakukan bagi setiap orang yang menolak antropomorfisme. Namun, paham ini belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat Yunani. Kenyataannya, masih banyak praktik-praktik masyarakat Yunani yang menjadikan polis sebagai tempat ibadah. Dan tiap-tiap polis memiliki tuhan masing-masing yang berbeda-beda. Barulah pada masa kejayaan Alexander Agung, polis tidak lagi menjadi tempat ibadah dan universalisme religius bisa diterima oleh masyarakat Yunani.

Apa pendapatmu mengenai pandangan xenophanes tentang tuhan


Universalisme religius bisa dipahami sebagai upaya pelembagaan praktik keagamaan yang juga mencakup keyakinan-keyakinan masyarakat secara komunal. Xenophanes menginginkan masyarakat Yunani memiliki paham yang satu dalam bidang agama, tidak terpisah atau tercerai-berai satu sama lainnya.

Xenophanes sendiri meyakini keesaan Tuhan, hal ini membuat ia menolak keyakinan akan adanya banyak dewa yang diajarkan dalam mitologi Yunani. Ia berkata “Tuhan itu satu adanya, yang terbesar di antara dewa-dewa dan orang-orang manusia, tidak serupa dengan makhluk insani dan tidak pula berpikiran seperti mereka” (Diels fr. 23). Dari sini, kita melihat sebuah dasar ajaran monoteisme. Pendasaran keyakinan yang paling murni; berangkat dari realita yang mendorong keyakinan seorang Xenophanes.

Namun menurut K. Bertens, kesimpulan ini terlalu berlebihan. Ajaran monoteisme Xenophanes tentu belum bisa disamakan dengan keyakinan orang Islam saat mereka mengatakan “Allah yang Maha Esa”. Sebab di masa selanjutnya, ajaran ini tidak ada yang mengangkat dan mengembangkannya lebih jauh. Dalam arti masalah “monoteisme dan politeisme” tidak muncul dalam alam pikiran Yunani. Lebih-lebih dalam perkataan Xenophanes, ia mengatakan “Dewa-dewa”, yang hal ini mengarah pada paham tradisional masyarakat Yunani, politeisme.

Aristoteles mencantumkan ajaran Xenophanes dalam bukunya Metaphysica,  “Dengan menunjuk kepada seluruh dunia, ia mengatakan bahwa yang Satu adalah Tuhan.” Dari sini, Aristoteles menganggap pendirian Xenophanes sebagai ajaran panteisme; penyamaan Tuhan dengan alam semesta. Pendapat Aristoteles ini berbanding lurus dengan ajaran filsafat Ionia sebelumnya—seperti dalam ajaran Anaximandros to apeiron yang mempunyai ciri-ciri ilahi. Namun, anggapan Aristoteles ini terkesan terburu-buru, di samping sebab Aristoteles menganggap Xenophanes sebagai pendiri mazhab Elea, juga diperkuat dengan pernyataan Xenophanes sendiri dalam sebuah fragmen “Ia melihat seluruhnya, Ia berpikir seluruhnya, Ia mendengar seluruhnya” (Diels fr. 24).

Dalam beberapa fragmen lain, Xenophanes memberikan ciri-ciri personal Tuhan yang ia yakini, “Senantiasa Ia menetap pada tempat yang sama, tanpa gerak apa pun; dan tidak pantas baginya berkeliling sana-sini” (Diels fr. 26). Namun dalam fragmen ini, Xenophanes bermaksud mengkritik syair Homeros. Yang di dalam Ilias dan Odyssea diceritakan para dewa berlarian dari satu tempat ke tempat yang lain dengan begitu cepat.

Pada akhirnya, kita akan tetap menemui kesulitan dalam menerka ajaran Xenophanes tentang Tuhan yang belum bisa diselaraskan dengan istilah modern; seperti monoteisme, politeisme, panteisme dan lain-lain. Lebih-lebih Xenophanes sendiri mengalami kesulitan dalam merumuskan konsep ketuhanannya, hingga membuat ia mengakui bahwa pengetahuan manusia tentang Tuhan tidak pernah pasti.

 Kehadiran Xenophanes atas nama pemikiran filsafat telah menjadi gambaran utuh proses perpindahan dari mitos ke logos dalam religeositas masyarakat Yunani. Meski pendirian Xenophanes belum utuh, namun ia telah mempunyai pandangan luhur tentang Tuhan—yang menjadikannya istimewa. Dengan bukti bahwa ia menganggap ajaran metologi Yunani tidak layak untuk disandarkan pada Tuhan.

Herakleitos hidup di Ephesos, Asia Kecil sekitar 500 SM. Ia adalah kawan sewaktu Pythagoras dan Xenophanes, namun ia lebih muda usianya dari pada mereka. Herakleitos sendiri lebih tua usianya dari pada Parmenides (filsuf Mazhab Elea setelahnya yang melontarkan kritik padanya).

          Ketika melihat alam semesta, Herakleitos berkeyakinan bahwa tiap benda terdiri dari hal-hal yang saling berlawanan dan ia mempunyai kesatuan. Menurutnya, yang satu adalah banyak dan yang banyak adalah satu. Sehingga, keberadaan musim panas baginya mempunyai arti yang spesifik—karena sebaliknya, dengan keberadaan musim dingin. Siang pun seakan-akan ‘menjadi’ siang karena ada malam. Oleh karena itu, Herakleitos serentak mengatakan “perang adalah bapak dari segala-galanya”. Perang di sini berarti “pertentangan” dan serentak juga mengatakan “pertentangan adalah keadilan”. Perkataan yang terakhir ini, agaknya dimaksudkan sebagai kritik terhadap Anaximandros.     

Apa pendapatmu mengenai pandangan xenophanes tentang tuhan

          Kalau kita boleh merumuskan ajaran Herakleitos dengan memakai terminologi modern, kita dapat mengatakan bahwa semuanya merupakan sintesis dari hal-hal yang beroposisi. Dengan artian, keberadaan segala sesuatu mempunyai struktur yang berdasar pada ketegangan antara hal-hal yang berlawanan tadi. Herakleitos sendiri membandingkan keadaan tersebut dengan sebuah busur dan alat musik, yang talinya direnggangkan antara dua ujung yang bertentangan. Tetapi busur adalah busur dan alat musik adalah alat musik. Hemat penulis, sesuatu dapat dikenal melalui sebuah pertentangan.  Sehingga pertentangan yang menjadi awal pengenalan segala sesuatu.

Heraklitos tidak sepakat dengan pendapat para filsuf Miletos akan ketetapan sesuatu di alam semesta ini. Baginya, tidak ada sesuatu apapun yang tetap atau mantap—sebagai sebuah konskuensi atas pendiriannya. Dalam salah satu fragmen, ia mengatakan “yang sama adalah hidup dan mati, tidur dan terjaga, muda dan tua, karena yang pertama sesudah perubahan merupakan yang kedua, dan yang kedua sesudah perubahan merupakan yang pertama”. Dalam fragmen lain, dia mengatakan “kita ada dan kita tidak ada” dalam bentuk paradoks. Pendirian yang lain, bisa dirumuskan juga dengan mengatakan bahwa perubahan merupakan satu-satunya kemantapan. Secara lebih prinspil, bahwa menurut Herakleitos tidak ada sesuatupun yang betul-betul ada, semuanya  menjadi.

 Menurut Herakleitos, dalam membayangkan proses perubahan itu ada dua cara. Pertama, ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir. Kedua, ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan adalah api. Arus sungai sebagai lambang perubahan terdapat dalam suatu fragmen yang terkenal “Engkau tidak bisa turun dua kali ke dalam sungai yang sama”. Artinya, sungai akan selalu mengalir, sehingga air sungai senantiasa baharu. Orang yang turun dua kali, tidak akan turun dalam arus sungai yang sama seperti semula. Semuanya mengalir dan tidak ada apapun yang tinggal mantap. Pendapat ini dirumuskan dengan istilah panta rhei, semuanya mengalir.

Dalam terma kosmologi, Herakleitos berkeyakinan bahwa api adalah asas (arkhe) alam semesta. Yang menurut Thales adalah air, Anaximenes adalah udara, maka Herakleitos mengutamakan Api. Menurut Herakleitos, “Dunia ini tidak dibuat oleh Tuhan maupun manusia, ia adalah api abadi, dulu, sekarang dan untuk selanjutnya. Padam disusul menyala. Dan menyala disusul padam”. Menurutnya, api (sebenarnya) bukan merupakan suatu anasir yang dapat memenangkan kemantapan di belakang perubahan-perubahan alam, melainkan api melambangkan perubahan itu sendiri. Sebab menurutnya, nyala api senantiasa memakan bahan bakar yang baru. Dan bahan bakar itu senantiasa berubah menjadi abu dan asap. Namun api itu tetap api yang sama. Oleh sebab itu api itu cocok sekali untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan. Menurut Herakleitos, terdapat suatu pertukaran dalam benda, seakan ia ditukar dengan api dan api ditukar dengan benda, seperti barang dengan emas dan emas dengan barang.

Sebagai ganti istilah ‘Tuhan’, Herakleitos menggunakan istilah Yunani logos, yang berarti akal atau rasio. Meskipun manusia tidak selalu berpikir sama atau mempunyai tingkatan akal yang sama, Herakleitos yakin bahwa ada semacam ‘akal universal’ yang menuntun segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. ‘Akal universal’ atau ‘hukum universal’ ini adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia dan sesuatu yang menjadi penuntun setiap orang. Namun, karena kebanyakan manusia hidup dengan akal mereka masing-masing, membuat Herakleitos merendahkan rekan-rekannya. Baginya, pendapat mayoritas orang seperti mainan bayi.

Apa pendapatmu mengenai pandangan xenophanes tentang tuhan


Oleh karena itu, ketika segala perubahan dan pertentangan terus menerus terjadi di alam semesta, maka ada satu kekuatan besar yang sanggup mengatur, menguasai segala-galanya dan merupakan sumber dari segala entitas di dunia ini. Ialah Tuhan atau yang Herakleitos sebut sebagai logos.

Mengenai ajarannya tentang jiwa, Herakleitos menaruh perhatian khusus kepada jiwa manusia. Ia berkata “saya telah menyelidiki diriku sendiri”. Dalam fragmen yang lain, ia mengatakan “Pada perjalananmu engkau tidak dapat menemui batas-batas jiwa, jalan manapun yang engkau tempuh, begitu mendalam logosnya”. Tetapi di lain pihak, Herakleitos juga membicarakan jiwa dalam konteks kosmologis. Ia mengatakan bahwa kosmos selalu berubah; dari api menjadi air, lalu menjadi api lagi. Hal inilah yang dimaksud dalam fragmen  “Jalan ke atas dan jalan ke bawah adalah satu dan sama”. Jiwa manusia juga mengalami perubahan.

Namun karena tetap setia pada prinsipnya, Herakleitos mengatakan bahwa ‘hidup’ dan ‘mati’ (sebenarnya) merupakan hal yang sama. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa Herakleitos juga meyakini ajaran perpindahan jiwa. Menurutnya, jiwa manusia akan mengalami reinkarnasi. Hidup kembali setelah mati.

Walhasil, inti gagasan Xhenopanes merupakan ekpresi agamis dari sesosok filsuf yang melihat kehidupan masyarakat. Ia mengutarakan kata hatinya yang tidak rela Tuhan disamakan dengan makhluk. Yang kemudian ia tuangkan hal itu dalam kritik terhadap mitologi Yunani. Adapun universalisme religius merupakan keinginannya untuk melembagakan kepercayaan Yunani. Sebuah upaya untuk membuat agama di bumi Yunani.

Herakleitos pun mempunyai gagasan yang berasal dari kontemplasinya saat melihat kehidupan masyarakat. Ia menginginkan manusia untuk arif dalam memandang perubahan, perbedaan dan pertentangan. Satu hal yang ingin disampaikan Herakleitos—meski melalui nalar realis-empiris, bahwa pluralitas merupakan keniscayaan di dunia ini. Seseorang tidak akan pernah “mantap” (sempurna) dalam sepanjang hidupnya, namun ia akan memiliki sisi kekurangan dan kelebihan—yang juga bisa disebut sebagai pertentangan. Aspek inilah yang herakleitos sebut sebagai keadilan (kesempurnaan).