Apa yag disebut dengan transisu vital

Apa yag disebut dengan transisu vital

Foto : PERLUNYA MENJEMBATANI GAP SAAT TRANSISI TANGGAP DARURAT MENUJU PEMULIHAN DINI ()


Dalam diskusi pada Move 4 Table Top Exercise (TTX) di Padang diungkapkan bahwa berdasarkan pengalaman dalam pemulihan pasca bencana, gap atau kesenjangan dari fase tanggap darurat ke pemulihan memang ada.  Namun demikian yang tetap menjadi penekanan dalam respon bencana adalah masyarakat terdampak. United Nations Development Program (UNDP) dan Early Recovery Forum bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia telah membahas bagaimana menjawab gap tersebut. Gap yang dimaksud disini mengenai pemahaman bersama antara Indonesia dengan komunitas internasional mengenai fase tanggap darurat , earlu recovery , dan pemulihan. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap bantuan kemanusiaan yang diberikan bagi para korban bencana.Sementara itu, yang menjadi perhatian utama dalam transisi ini bahwa apa yang dapat dikerjakan dengan cepat tanpa menunggu proses lama demi keberlangsungan dan pemulihan pasca bencana.“Kami ingin menggarisbawahi, emergency phase semakin cepat semakin baik, begitu pula early recovery”, papar Siprianus, Program Manager Post Disaster UNDP Indonesia.Apabila masa tanggap darurat selesai, tim rescue tidak perlu diturunkan lagi di lapangan. Korban bencana sudah ditemukan dan masyarakat yang tempat tinggalnya hancur dapat ditempatkan di shelter. “Bagi masyarakat yang rumahnya hancur, merekat tetap tinggal di shelter, kami harus memberikan bantuan pelayanan dasar, ini yang disebut masa transisi”, jelas Eko Budianto, perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).Terkait dengan fase tanggap darurat,  perwakilan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumater Barat Ade Edward menjelaskan bahwa berapa lama status tanggap darurat selesai berdasarkan keputusan bersama dari pihak terkait yang membantu tanggap darurat. Keputusan ini merupakan hasil dari evaluasi yang dilakukan setiap hari. Beberapa parameter yang menjadi pertimbangan, antara lain kebutuhan, infrastruktur vital, pemerintahaan, dan perekonomian. Sementara itu terkait dengan penanganan psikososial, perwakilan dari Kementerian Sosial menjelaskan bahwa pihaknya memiliki tim khusus yang akan memberikan pendampingan psikososial. Tim ini membantu korban terdampak yang terganggu kejiwaannya. Sedangkan Kementerian Kesehatan menambahkan bahwa pihaknya memiliki tim psikiater dan psikolog yang akan diturunkan pada saat menjelang tanggap darurat dan early recovery. Tim ini akan melakukan identifikasi post traumatic disorder dan pencegahan sebagai bentuk tindak lanjut. Menjadi perhatian utama khususnya anak-anak yang menjadi korban bencana, tim melakukan aktivitas missal sebagai respon untuk menjaga kondisi psikologi mereka.

Menambahkan mengenai tim psikososial, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat telah memiliki tim yang melibatkan perguruan tinggi dan LSM setempat. Tim ini telah bekerja sama ketika terjadi gempa Padang pada tahun 2009.


Admin

Penulis

Transisi demografi adalah istilah yang mengacu kepada transisi dari tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi menjadi rendah karena ekonomi suatu negara atau wilayah berkembang dari ekonomi pra-industrial menjadi ekonomi yang terindustrialisasi. Teori ini diusulkan pada tahun 1929 oleh ahli geografi Amerika Serikat Warren Thompson[1] yang mengamati perubahan tingkat kelahiran dan kematian masyarakat-masyarakat industri selama 200 tahun. Sebagian besar negara maju telah melewati proses transisi demografi dan memiliki tingkat kelahiran yang rendah, sementara sebagian besar negara berkembang masih mengalami proses transisi ini.[2][3] Beberapa pengecualian adalah negara-negara miskin (terutama di Afrika sub-Sahara dan Timur Tengah) yang melarat dan terkena dampak kebijakan pemerintah atau huru hara, terutama di Pakistan, Palestina, Yemen, dan Afganistan.[2]

Model transisi demografi dapat digunakan untuk memprediksi penurunan tingkat kelahiran apabila suatu masyarakat menjadi semakin kaya; namun, beberapa data yang baru dikumpulkan tampaknya membantah hal ini, karena tingkat kelahiran dapat kembali meningkat setelah tingkat kemajuan tertentu telah tercapai.[4] Selain itu, dalam jangka panjang, transisi demografi akan dihentikan oleh tekanan evolusi yang menghasilkan tingkat kelahiran dan kematian yang lebih tinggi.[5]

Teori transisi demografi merupakan sebuah teori yang didukung oleh banyak ahli dalam ilmu sosial karena adanya korelasi historis yang kuat antara penurunan tingkat kesuburan dengan kemajuan sosial dan ekonomi.[4] Para ahli masih memperdebatkan apakah industrialisasi dan pendapatan yang lebih tinggi mengakibatkan penurunan jumlah penduduk, atau apakah jumlah penduduk yang lebih rendah mengarah ke industrialisasi dan pendapatan yang lebih tinggi. Para ahli juga memperdebatkan sejauh mana faktor-faktor yang terkait mempengaruhi transisi demografi ini, seperti pendapatan per kapita yang tinggi, tingkat pendapatan perempuan yang tinggi, tingkat kematian yang rendah, jaminan usia tua, dan bertambahnya permintaan sumber daya manusia.[6]

 

Perubahan demografi di Jerman, Swedia, Chile, Mauritius, dan Tiongkok, dari tahun 1820 hingga 2010.
Garis merah muda: tingkat kematian kasar, garis hijau: tingkat kelahiran kasar, garis kuning: jumlah penduduk.

Transisi ini terdiri dari empat tahap (atau mungkin lima:)

  • Tahap pertama adalah tahap yang dilalui oleh masyarakat pra-industri, ketika tingkat kelahiran dan kematian kurang lebih seimbang. Semua populasi manusia berada dalam keseimbangan ini hingga akhir abad ke-18, ketika keseimbangan di Eropa Barat mulai terganggu.[7] Pada tahap ini, tingkat pertumbuhan penduduk hanya kurang dari 0,05% paling tidak semenjak Revolusi Pertanian sekitar 10.000 tahun yang lalu.[7] Tingkat pertumbuhan sendiri dibatasi oleh ketersediaan makanan; dalam kata lain, fluktuasi tingkat kelahiran akan diseimbangkan oleh tingkat kematian, kecuali bila suatu masyarakat mengembangkan teknologi baru untuk meningkatkan produksi pangan (seperti penemuan sumber pangan yang baru atau teknologi yang menambah hasil panen).[7]
  • Tahap kedua adalah tahap yang dilalui oleh negara berkembang: tingkat kematian menurun drastis berkat ketersediaan sumber pangan dan penyediaan sanitasi yang lebih baik, sehingga harapan hidup bertambah dan risiko penyakit berkurang. Tingkat kematian mulai menurun pada akhir abad ke-18 di Eropa barat laut dan kemudian hal yang sama terjadi di Eropa selatan dan timur dalam 100 tahun berikutnya.[7]
  • Tahap ketiga: tingkat kelahiran menurun berkat faktor-faktor kesuburan seperti ketersediaan kontrasepsi, peningkatan gaji, urbanisasi, berkurangnya praktik pertanian subsisten, pendidikan dan pemberdayaan perempuan, bertambahnya biaya investasi orang tua untuk anak-anak, dan perubahan-perubahan sosial lainnya. Penurunan tingkat kelahiran di negara-negara maju dimulai pada akhir abad ke-19 di Eropa utara.[7] Walaupun kontrasepsi berperan penting dalam mengurangi tingkat kelahiran, perlu dicatat bahwa kontrasepsi belum tersedia secara luas pada abad ke-19 dan kemungkinan bukan merupakan faktor yang penting pada masa itu.[7] Tingkat kelahiran juga dapat turun akibat perubahan nilai dan bukan hanya karena kontrasepsi.[7]
  • Tahap keempat: tingkat kelahiran dan kematian rendah. Tingkat kelahiran dapat menurun hingga mengakibatkan penurunan jumlah penduduk, seperti yang terjadi di Jerman, Italia, dan Jepang. Hal ini mengancam industri-industri yang bergantung kepada pertumbuhan penduduk. Selain itu, penuaan generasi yang terlahir pada tahap kedua menjadi beban ekonomi bagi populasi pekerja yang semakin menyusut. Tingkat kematian mungkin akan tetap rendah atau sedikit bertambah akibat kemunculan penyakit yang dipicu oleh gaya hidup dan kurangnya olahraga, seperti obesitas.[3]
  • Beberapa ahli menambahkan "tahap kelima" sebagai tahap ketika tingkat kelahiran berada di bawah tingkat yang diperlukan untuk tetap mempertahankan jumlah penduduk suatu masyarakat. Beberapa ahli lain mendefinisikan tahap kelima sebagai tahap peningkatan kembali tingkat kesuburan.[5]

Model ini merupakan sebuah generalisasi yang tidak berlaku sama di semua negara. Beberapa negara seperti Tiongkok, Brasil, dan Thailand telah melewati transisi demografi dengan sangat cepat berkat perubahan ekonomi dan sosial. Beberapa negara (terutama negara-negara Afrika) tampaknya terhenti di tahap kedua akibat pembangunan yang jalan di tempat dan dampak HIV/AIDS.

  1. ^ "Warren Thompson". Encyclopedia of Population. 2. Macmillan Reference. 2003. hlm. 939–40. ISBN 0-02-865677-6. 
  2. ^ a b Caldwell, John C.; Bruce K Caldwell; Pat Caldwell; Peter F McDonald; Thomas Schindlmayr (2006). Demographic Transition Theory. Dordrecht, The Netherlands: Springer. hlm. 239. ISBN 1-4020-4373-2. 
  3. ^ a b "Demographic transition", Geography, About .
  4. ^ a b Myrskylä, Mikko; Kohler, Hans-Peter; Billari, Francesco C. (2009). "Advances in development reverse fertility declines". Nature. 460 (7256): 741–3. Bibcode:2009Natur.460..741M. doi:10.1038/nature08230. PMID 19661915. 
  5. ^ a b Can we be sure the world's population will stop rising?, BBC News, 13 October 2012
  6. ^ Galor, Oded (17 February 2011). "The demographic transition: causes and consequences". Cliometrica. 6 (1): 1–28. doi:10.1007/s11698-011-0062-7. PMC 4116081  . PMID 25089157. 
  7. ^ a b c d e f g "Demographic transition", Geography, UWC, diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-05, diakses tanggal 2017-08-11 .

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Transisi_demografi&oldid=18106637"